Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Laksmi Utami
"Tata ruang adalah kegiatan manusia dalam mengatur ruang hidupnya sesuai dengan kebudayaan yang dimilikinya (Rapoport, 1982: 179). Beberapa pakar mengatakan bahwa tata ruang yang tidak sesuai akan menimbulkan ketegangan dan frustrasi (Daldjoeni, 1992: 155), juga tidak operasionalnya konsep-konsep budaya pelaku akan menimbulkan stres (Hall, 1966).
Sehingga bila tata ruang tidak sesuai dengan kebudayaan penghuni rumah, maka penghuni rumah akan merubah tata ruang rumahnya. Pada kompleks perumahan yang dibangun secara massal, dalam hal ini kompleks perumahan BTN, kondisi tersebut terjadi karena perencana tidak bertemu muka dengan calon penghuni rumah. Guna memahami apa yang dibutuhkan penghuni rumah, perencana harus mempelajari kebudayaan penghuni rumah, yang merupakan kajian pada bidang Antropologi. Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, penting untuk dilakukan penelitian mengenai kebudayaan penghuni rumah terhadap tata ruang rumahnya.
Perubahan sistem tata ruang berarti perubahan dalam model-model pengetahuan mengenai hakekat keluarga, yaitu struktur keluarga, kekerabatan, kehidupan ekonomi, pengasuhan anak (Suparlan, 1986: 17). Kebudayaan adalah serangkaian ide-ide atau gagasan, kepercayaan dan pengetahuan yang dimiliki manusia (Spradley, 1972: 6). Hall (1966: 2), mengatakan bahwa setiap bangsa, suku bangsa tidak hanya memiliki cara berbicara yang berbeda tetapi bahkan bagaimana mereka mendiami dunia dan bagaimana mereka mengolah dunia atau membuat lingkungan binaannya- dengan cara- yang berbeda pula. Kelengkapan pustaka mengenai akar kebudayaan Jawa, dan waktu yang terbatas, maka pada penilitian ini akan mengkaji suku bangsa Jawa.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perubahan tata ruang terutama didorong oleh tidak sesuainya konsep penataan komunikasi, yaitu tidak terpenuhinya unsur "Privacy". Pada satu sisi,penghuni rumah melakukan perubahan tata ruang berdasarkan pola berpikir modern, di mana penataan ruang lebih didasarkan pada efisiensi ruang. Namun di sisi lain mereka masih berpedoman pada kebudayaan Jawa yang bersifat tradisional, terlihat pada unsur-unsur budaya inti yang tidak mengalami perubahan yang terungkap pada konsep penataan ruang, waktu dan komunikasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Cecep Eka Permana, 1965-
"Tata ruang adalah khas pada setiap kelompok masyarakat. Konsep tata ruang suatu masyarakat banyak ditentukan oleh sistem budayanya yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, norma-norma dan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Tata ruang suatu masyarakat sering kali juga merupakan simbolisasi dari kenyataan slam dan sosial-budaya masyarakat tersebut.
Tata ruang penting dalam pembangunan terutama terkait dengan pembangunan pemukiman dan perwilayahan. Karena pada setiap masyarakat memiliki konsep tertentu tentang tata ruang. Dengan mengerti secara mendalam adat-istiadat tentang keruangan suatu masyarakat, niscaya program pembangunan yang berhubungan dengan pemukiman dan perwilayahan tidak bertentangan dengan pandangan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
Dipilihnya Baduy sebagai obyek kajian ini karena: (I) merupakan salah satu kelompok masyarakat di Jawa Barat, yang khas dan unik yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya, (2) masyarakat Baduy dianggap sebagai salah satu kelompok masyarakat di Jawa Barat yang masih memegang teguh adat istiadat leluhur, (3) masyarakat ini sebenarnya telah dikepung oleh modernisasi, namun sampai saat ini masih mampu menjaga adat istiadat mereka, dan (4) kajian tentang tata ruang masyarakat Baduy ini secara khusus belum banyak dilakukan.
Khusus mengenai kekhasan dan keunikan masyarakat Baduy ini secara nyata dapat dilihat pada rumah atau bangunan dan penataannya dalam suatu kampung. Di Baduy Dalam khususnya, rumah di mana-mana bentuk dan orientasinya sama. Penataan rumah dan bangunan-bangunan lainnya juga menunjukkan kesamaan antara satu kampung dengan kampung lainnya. Selain itu, gambaran penataan tersebut tercermin pula dalam penataan kawasan Baduy. Berdasarkan hal yang menarik tersebut, permasalahan yang dikaji adalah:
1. konsep apakah yang mendasari penataan ruang tersebut.
2. dengan adanya konsep tertentu dalam penataan ruang tersebut, bagaimanakah pengaruhnya terhadap pola perilaku
3. bagaimana `fungsi dan -makna ruang tersebut dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Baduy.
Penelitian ini pada dasarnya bersifal deskriptif kualitatif-. Untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang masih hanyak mengikuti tradisi leluhur mereka, maka lokasi penelitian utama dilakukan di Baduy Dalam. Sedangkan sehagai pemhandingnya dilakukan pula di Baduy Luar. Data yang dikumpulkan meliputi data primer, herupa (1) DATA FISIK berupa bangunan-bangunan dan .alam lingkungan, dan (2) NON FISIK berupa ideologikal (ide, norma, yang ideal atau yang seharusnya) dan sosial (realitas perilaku masyarakat). Untuk memperoleh data FISIK dilakukan dengan cara observasi dan deskripsi. Sedang NON FISIK dilakukan dengan cara wawancara (ideologikal), serta observasi dan wawancara (sosial). Sementara itu, data sekunder yang dikumpulkan berupa kepustakaan yang berhubungan dengan topik kajian ini.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penataan ruang Baduy mengacu pada konsep "Baduy sehagai pancer bumi" . Sehubungan dengan itu maka: (1) Baduydianggap sehagai pusat dunia, baik secara FISIK (awal penciptaan bumi dan asal usul manusia yang berpusat di Sasaka Domas), maupun secara MENTAL (pelindung dunia dan segala isinya), (2) Sebagai pusat bumi, Sasaka Domas menjadi orientasi atau arah 'kiblat', baik secara FISIK maupun NON FISIK. Selain itu, fungsi ruang dapat dilihat dalam dua hal, yaitu fungsi dalam hubungannya dengan pola pemanfaatan (ruang pribadi, sosial, sakral, dan profan), dan fungsi dalam kaitannya dengan pola waktu (ruang yang kontinyu, sewaktu-waktu, dan berubah-ubah).
Penataan ruang Baduy juga melahirkan suatu simbolisasi yang terwujud dalam klasifikasi dua, berupa (1) 'dalam-luar' yang memiliki makna teritorial (Baduy Dalam dan Baduy Luar), dan makna tingkat kesucian (Baduy Dalam lebih suci daripada Baduy Luar), (2) 'atas - bawah' yang memiliki makna pembagian dunia menjadi Dunia atas danDunia hawah, serta (3) 'tinggi - rendah' yang mengacu pada makna makna lantai atautempat yang tinggi dan rendah, tinggi dianggap lebih sakral dibanding rendah (pada letak rumah puun, lantai imah, tangtu); dan klasifikasi tiga berupa pembagian ruang menjadi 'atas-tengah- bawah' pada (I) 'buana luhur-buana tengah-buana handap', (2) pembagian rumah secara vertikal atap (dunia atas), badan (dunia tengah) dan kaki/ kolong (dunia hawah), dan (3) pelapisan masyarakat menjadi 'tangtu - panamping - dangka'."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aline Jihan Hadiahwati
"ABSTRAK
Kawasan Braga sebagai salah satu bagian dari wilayah pusat kota Bandung merupakan kawasan pusat perdagangan bersejarah yang ekslusif dan sangat terkenal di jaman kolonial Belanda, namun dalam perkembangannya kawasan Braga mengalami penurunan vitalitas (kemampuan untuk bertahan/daya) dari aspek fisik lingkungan, fungsional, dan normatif. Pada tahun 2004 dilakukan pembangunan Braga City Walk (BCW) dengan konsep urban revitalization untuk meningkatkan vitalitas kawasan Braga, pembangunan BCW diharapkan dapat meningkatkan vitalitas kawasan Braga dan membangkitkan suasana historis Bandung Tempo Dulu.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengidentifikasi faktor-faktor yang paling berperan pada vitalitas Kawasan Braga di Kota Bandung dilihat dari aspek normatif, fisik lingkungan, dan fungsional; 2) mengetahui persepsi stakeholders tentang pembangunan Braga Walk City sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan vitalitas kawasan bersejarah Braga di Kota Bandung; 3) mengetahui upaya-upaya apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan vitalitas kawasan bersejarah Braga di Kota Bandung. Berdasarkan sifat dasarnya, metode penelitian yang dipakai adalah ex post facto.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang paling berperan pada vitalitas kawasan bersejarah Braga menurut pemilik bangunan dan pengunjung ditinjau dari aspek fisik lingkungan yaitu keamanan, kenyamanan, kondisi parkir, akses transportasi, kondisi penghijauan, dan jalur pejalan kaki, aspek fungsional yaitu jumlah pengunjung, omset perdagangan, jenis barang yang khas dan eksklusif, aktifitas kegiatan yang menarik, dan pada aspek normatif yaitu kesejahterahan warga Braga, norma/hukum, dan partisipasi masyarakat, pemerintahlswasta. Persepsi dari stakeholders menunjukkan bahwa pembangunan BCW belum memberikan dampak yang positif pada kawasan bersejarah Braga, hal menunjukkan lemahnya political will, dan salah satu upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan vitalitas kawasan Braga adalah menjadikah kawasan sebagai salah satu tujuan wisata kota yaitu wisata sejarah kota Bandung.
"
2007
T20681
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugeng Rahardjo
"ABSTRAK
Benturan kepentingan dalam pelaksanaan pembangunan sering kali sulit atau tidak dikompromikan, sehingga menjadi beban fungsi lingkungan hidup (LH). Lingkungan hidup sebagai pendukung sistem kehidupan yang terdiri atas kesatuan ruang dengan segenap pengada(entity), berupa Benda(materi) serta makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, akhir-akhir ini mengalami penurunan kualitas yang mulai mengkhawatirkan. Ruang (tanah) di suatu wilayah, ada yang diutamakan untuk keperluan permukiman, sehingga bergesekan dengan kepentingan lain yaitu untuk keperluan pelayanan yang dimaksudkan untuk mencari daya atau peluang yang lebih baik. Salah satu gejala yang perlu mendapat perhatian untuk ditelaah di dalam penelitian ini adalah kebutuhan penduduk di Kota Metropolitan Jakarta akan rumah yang terus meningkat, sementara ruang (tanah) yang tersedia makin menyempit, sehingga permukiman menebar ke wilayah di pinggirannya.
Pembangunan dapat mengakibatkan penggunaan tanah yang beragam, untuk mendukung dinamika kehidupan secara keseluruhan. Tetapi ada kecenderungan juga yang justru dikembangkan ke arah penggunaan tanah tunggal yakni untuk permukiman. Tanah pada umumnya dikuasai oleh perorangan atau oleh pengembang skala besar, sedang akibatnya terhadap penduduk lokal, seperti penggusuran, dan kehilangan pekerjaaan tidak cukup mendapat perhatian, sehingga mereka makin miskin.
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji pola penggunaan tanah yang memungkinkan penduduk lokal dapat memperoleh makna dan manfaat pembangunan, sehingga kualitas hidupnya menjadi lebih baik.
Perluasan permukiman yang tidak menghemat ruang pada berbagai wilayah menunjukkan bahwa dapat mempengaruhi kualitas hidup penduduk. Gejala itu dapat ditelaah dari penelusuran kejadian pemanfaatan sumber daya alam (SDA) oleh manusia melalui lingkungan hidup buatan atau binaan berupa penggunaan tanah. Dari pola penggunaan tanah dapat ditelaah juga interaksi antara fungsi sosial, ekonomi, dan ekologi. Interaksi antarfungsi yang kompleks memerlukan pemikiran tentang usaha kompromi dan koordinasi untuk mencapai pembangunan yang sustainable. Jadi konsep dasar dalam penelitian ini adalah penghematan ruang (tanah), peningkatan nilai tambah SDA, pengelompokan wilayah yang disusun atas dasar kesamaan karakteristik daerah, dan indikator kualitas hidup.
Hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini adalah perluasan penggunaan tanah permukiman yang terus berlangsung ke wilayah pinggiran kota metropolitan mengakibatkan penduduk lokal kehilangan pekerjaan dan menjadi miskin. Hipotesis kedua adalah pembangunan yang tidak memperhatikan kegiatan penduduk lokal dalam memanfaatkan tanah, mengakibatkan penurunan pada kualitas hidup. Interaksi fungsi pelayanan dari segi pendidikan, peluang kerja, proporsi hasil, keadilan dalam RT/RW yang memungkinkan penggunaan tanah beragam memberi pengaruh pada peningkatan kualitas hidup penduduk lokal.
Penelitian ini dilakukan di Depok, Serpong, dan Pacet, karena daerah itu menunjukkan perbedaan fisik, dan juga terdapat berbagai variasi dari kegiatan sosial-ekonomi penduduknya.
Analisis faktor yang disertai penerapan analisis komponen utama, analisis pengelompokan, dan analisis pembeda digunakan untuk mengolah berbagai variabel, seperti kepadatan penduduk, persentase petani, penduduk miskin, sawah, kebun campuran, permukiman, industri, jasa, jarak ke pasar dan lain-lain. Hasilnya menunjukkan terdapat lima tipe wilayah di Depok, dan di Serpong, yaitu kampung miskin, perumahan pengembang, perumahan tradisional, pertanian, dan industri. Sedangkan Pacet tergolong sebagai wilayah usaha pertanian.
Untuk melakukan proses analisis yang berikutnya telah dilakukan wawancara terhadap 176 responden di Depok, 70 responden di Serpong, serta 50 responden di Pacet. Jumlah responden dihitung berdasarkan proporsi penduduk miskin. Bahan wawancara yang digunakan adalah indikator kualitas hidup yang terdiri atas tingkat kesehatan, kemiskinan, pendidikan, kesempatan kerja, proporsi hasil, keamanan sosial, serta daya dukung SDA,
Kelompok wilayah dan waktu tempuh dari permukiman ke daerah pelayanan umum (DPU) menggambarkan struktur ruang wilayah. Di Depok DPU terletak berdekatan dengan perumahan pengembang, perumahan tradisional, industri dan pertanian. Sementara di Serpong DPU terletak di sekitar perumahan mewah yang berdampingan (hanya dibatasi tembok) dengan perumahan penduduk miskin. Keadaan ini mencerminkan bahwa pengembang besar membangun permukiman di wilayah (yang 20 tahun sebelumnya) merupakan kampung miskin. Sedangkan di Pacet DPU terletak di sekitar perumahan tradisional, dan daerah pertanian.
Korelasi fungsi yang cukup kuat menunjukkan bahwa penguasaan tanah yang disertai oleh perluasan permukiman diikuti peningkatan persentase penduduk miskin, karena kegiatan yang dapat ditekuni penduduk menghilang, sementara untuk memasuki bidang formal tidak cukup tingkat pendidikannya. Hasil analisis ini menjelaskan bahwa hipotesis pertama dapat diterima. Sebaliknya pada wilayah yang tetap dapat memberi peluang kerja untuk penduduk yang rendah tingkat pendidikannya, persentase penduduk miskin rendah. Keadaan itu menyebabkan kualitas hidup di Depok adalah baik, sementara di Pacet adalah cukup, dan di Serpong adalah sedang. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa hipotesis kedua dapat diterima. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa pada wilayah dengan penggunaan tanah beragam dapat berkembang pelayanan jasa, dan industri yang mendukung pertumbuhan penduduk yang tinggi, disertai fungsi ekologi dan sosial yang tetap baik, sehingga kualitas hidup penduduk baik. Hasil analisis ini menjelaskan bahwa hipotesis ketiga dapat diterima, dan menjadi dasar dari teori jejak penggunaan tanah.
Oleh karena itu pemerintah perlu membatasi izin penguasaan tanah untuk perluasan permukiman. Pengusaha perlu mengembangkan tanggung jawab sosial perusahaannya, untuk memberi nilai tambah hasil pembangunan, dengan turut serta dan membantu upaya masyarakat dalam peningkatan pendidikan, peluang kerja, keamanan sosial, serta membantu memasarkan hasil pascapanen, maupun pemanfaatan SDA yang tersia-siakan seperti meningkatkan nilai produk yang dihasilkannya, pembuatan dan pemanfaatan kompos. Selanjutnya diperlukan peningkatan kemitraan dalam menumbuhkan hubungan serasi dan setara antara penduduk yang memperoleh manfaat dari pembangunan permukiman dengan penduduk lokal untuk memperoleh dasar penataan ruang yang baru.

ABSTRACT
Conflict of interest in the development is often difficult and un-compromised, and these conditions became a burden of the environmental function. Environment that supported a living system consist of spatial unit with the whole entity such as material and other organism included human and its behaviors, in the recent time began a bothered experience of degradation of its quality. There were a space of land on one region, which prioritized for the residential area, until it scratching with other interest such as service for various interests, which intended to search for better strength and possibilities. One phenomenon, which has to be considered to study in this research, was the increasing need of Jakarta Metropolitan citizens, of housing; meanwhile, the accessible land space was decreasing, until the residential area spread to the edge area of Jakarta.
The development could cause the diversity of land use, to support the dynamic of total living entity. But there were a tendency that had been developed to use the land one way that was a settlement area. Land authorized by individual or big scale developer generally, while the local people received negative results such as residential removal, and occupational lost. This negative effect was not received attention enough and as a result the people were getting poorer.
The intention of this research is to study the land use patterns, which gave possibility for local people to obtain the benefit of development and to improve their quality of life.
The expansion of residential area is not using space (land) economically on some regions showed an influence on the quality of life of the local people. The phenomena can be examined through the study of incidence of natural resources or natural capital utilization through the made of man-made environment by land utilization, Based on land use pattern can be studied the interaction of function such as economic, social, and ecological functions. Inter-functional interaction needed a consideration on compromise and coordination efforts, to reach sustainable development. Thus, the basic concepts of this research were the save or efficient utilization of space (land), increasing of natural resources additional value, regional classification which based on homogeneities characteristic of area, and quality of life indicators.
First hypothesis said that the continuous expansion of settlement from Jakarta Metropolitan to the areas in its vicinity causes the local people loosing their job, and made poorer. Second hypothesis said that the development which unconsidered without local people activities which was done on the land, it will result in the decreasing the local people quality of life. And third hypothesis said that the interaction of services function, in term of education, job opportunity, proportion of income, justice of spatial planning which allowed to various used of land utilization, gave influence on increasing of the local people quality of life.
The study was conducted at Depok, Serpong, and Pacet based on their different physical character, and the variety of the socio-economic activities of the people.
Factor analysis, which is followed by principal components analysis, and also cluster analysis, discriminant analysis are used to examine and classify the area using some variables. Those variables are population density, percentage of farmer, percentage of poor people, percentage of area of rice field, mixed garden, settlement, industry, services, trading, waste land, distance to the market place, and so on. The result showed that there were five regions in Depok and Serpong, Those are poor villages or poor kampong, real estate areas, and traditional housing areas, agricultural areas, and industrial area. On the contrary, some villages at Pacet are classified into agricultural region, with most of the people lived as a local farmer.
Furthermore, the interviews were done at random to 170 respondents in Depok, 70 respondents in Serpong, and 50 respondents in Pacet. The samples size was calculated based on the poor people proportion at that region. The interview substances are the quality of life indicators that comprise level of health, poverty, education, and job opportunity, proportion of income, social security, and also the carrying capacity of natural resources.
Type of regions and distance to travel from the settlement areas to the central business district (CBD) explained the urban spatial structure. In Depok, the real estate, traditional housing, industrial areas, and farming areas are located consecutively closed to CBD. Meanwhile, in Serpong, the luxury housing region and the low class housing areas both only separated by a wall are located consecutively close to the new CBD. This phenomenon shows that, 20 years ago, the real estate built by the large-scale developers were developed in the poor village region. While in Pacet, the CBD was closed to the traditional housing areas and farming areas.
The strong enough functional correlation showed that the land authority and the expansion of real estate built by the large-scale developers was accompanied by the higher percentage of poor people, because there was no more opportunity for the less-educated people to utilize the land for their activity, meanwhile the less-education competence of the local people cannot support to find other jobs. This analysis showed that the first hypothesis could be accepted. On the other hand or opposite, at the region where the job opportunity for the less-educated people exist, the percentage of poor people are still low. This condition leads the quality of life for the local people in Depok is good, while in Pact is quite good, meanwhile in Serpong is modest. This analysis showed that the second hypothesis could be accepted. This research also explains that the region with multiple land use could be developed services industry, and manufacturing industry, which are able to support the high population growth, followed by continuing good social and ecological function, so that the quality of life for the local people is good. This analysis showed that the third hypothesis can be accepted, and can be a foundation of the footprints of land use theory.
Due to these facts, the local government should control the permit of land acquisition for settlement expansion. The private sectors are in need to develop a corporate social responsibility to take their role on giving the value added on development by joining and supporting the efforts of societies to increase their level of education, social security, and also to assist on marketing of post-harvest agriculture product and recycling the wasted resource such as producing compost. Furthermore, there is an urgent need to develop a friendly partnership of the relationship between the people, who lived in the luxury house areas with the local people in order to stimulate a new optimal spatial planning.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
D563
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library