Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rinna Wamilakusumayanti Sundariningrum
"Angka kematian pada tahun pertama sebagian besar disebabkan oleh bayi berat lahir rendah (BBLR). Perkembangan teknologi berhasil menurunkan angka kematian BBLR, tetapi sejalan dengan meningkatnya angka harapan hidup BBLR, ditemukan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang semakin meningkat pula. Makin kecil masa gestasi, makin besar risiko timbulnya kelainan tumbuh kembang. Kelompok BBLR termasuk dalam kelompok bayi risiko tinggi yang memerlukan pemantauan tumbuh kembang secara berkala dan terus menerus.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai pertumbuhan fisik bayi-bayi dengan riwayat BBLR (PJT dan prematur). Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan studi kohort retrospektif. Data dikumpulkan melalui penelusuran rekam medik dan kunjungan rumah subyek penelitian.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dave Anderson
"Latar Belakang: Penyakit Graves paling banyak diderita anak hipertiroid dengan akibat tumbuh kembang anak terganggu. Metode pengobatan optimal hipertiroid Graves saat ini masih dalam perdebatan. ATD masih digunakan oleh sebagian besar tenaga kesehatan. Relaps dengan ATD dapat mencapai 83% dengan pengobatan ATD. Pengalihan metode terapi salah satunya berdasarkan relaps. Pengalihan terapi saat awal dari ATD ke metode pengobatan lain pada anak yang diprediksi relaps akan menghemat waktu dan biaya serta meningkatkan potensi tumbuh kembang anak.
Tujuan: Mengetahui insidens relaps hipertiroid Graves anak dan hubungannya terhadap kadar awal FT4 serta karakteristik usia dan jenis kelamin penderita.
Metode: Penelitian bersifat kohort retrospektif dengan menelusuri data rekam medis pasien berusia 1-18 tahun mulai Januari 2000 hingga Juni 2013 di RS Cipto Mangunkusumo, RS Hermina Jatinegara, Bekasi dan Podomoro. Data ditabulasi untuk mendapatkan insiden relaps, median kadar awal FT4, median usia dan jenis kelamin penderita relaps. Analisis statistik dilakukan untuk mencari pengaruh kadar awal FT4 terhadap insiden relaps.
Hasil: Penelitian dilakukan terhadap 25 subjek dengan 12 anak mengalami relaps. Kadar awal FT4 terhadap insiden relaps ditemukan tidak bermakna secara statistik (p=0,64) namun kelompok relaps cenderung memiliki kadar awal FT4 lebih tinggi. Relaps dialami lebih banyak oleh anak perempuan (3:1) dengan median usia 10,9 tahun. Penelitian ini mendapatkan hasil lain yaitu durasi eutiroid berbeda bermakna terhadap insiden relaps (p=0,002).
Simpulan: Insiden relaps hipertiroid Graves anak 12/25 dengan kadar awal FT4 tidak bermakna secara statistik walau terdapat kecenderungan kadar awal FT4 lebih tinggi pada kelompok relaps. Relaps lebih banyak dialami anak perempuan (3:1) dengan median usia 10,9 tahun.

Background: Graves disease is most common causes in children with hyperthyroidism which affect growth and development. Optimal initial treatment method of hyperthyroid Graves in children is still under debate. Anti-thyroid drug (ATD) is still used as the initial treatment by the majority of health workers. Relapse can reach 83% with ATD treatment; and relapse is one of the causes to adjust therapeutic method. Alteration of initial ATD therapy to other treatment methods, in children who predicted relapse, will save time and costs as well as potentiate children’s growth and development.
Aim: To investigate the incidence of Graves hyperthyroidism relapse and its relationship to the initial FT4 levels, as well as age and gender characteristics of patients.
Method: This study is a retrospective cohort by investigate medical records of patients aged 1-18 years from January 2000 to June 2013 at Cipto Mangunkusumo hospital, Hermina Jatinegara Bekasi and Podomoro Hospital. Data were tabulated to obtain the incidence of relapse, the median of initial FT4 levels, the median of age, and sex of relapse patient. Statistical analysis was performed to find the effect of initial FT4 levels on the incidence of relapse.
Result: The study was conducted on 25 subjects with 12 children experienced a relapse. Initial FT4 levels of relapse patients was found statistically insignificant (p=0,64), but the relapse group tended to have higher levels of initial FT4. Relapse is predominant in girls (3:1), with median age of 10.9 years. This study found that duration of euthyroid differ significantly in the incidence of relapse (p=0,002).
Conclusion: The incidence of hyperthyroid Graves relapse in children is 12/25 with inital FT4 levels were not statistically significant although there was tendency initial FT4 levels were higher in relapse group. Girls experienced more relapses (3:1) with median age of 10.9 years.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fransiska Sri Susanti
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atiek Widyasari Oswari
"ABSTRAK
Deteksi mutasi sangat penting dilakukan terutama untuk diagnosis pranatal maupun staining neonatal. Dengan pemeriksaan DNA, kasus-kasus HAK dapat dideteksi sebelum gejala salt wasting, muntah, dan dehidrasi muncul sehingga dapat mengurangi morbiditas bahkan mortalitas yang mungkin terjadi. Pada kasus kehamilan yang dicurigai HAK, diagnosis HAK pranatal memungkinkan terapi sedini mungkin untuk mencegah virilisasi pranatal sehingga genitalia ambigus tidak terjadi dan operasi serta beban psikologis akibat kebingungan gender dapat dihindari. Sebaliknya bila HAK dapat disingkirkan maka terapi yang tidak perlu seperti pemberian deksametason pranatal juga dapat dihindari. Pengetahuan mengenai mutasi-mutasi tersering dalam populasi akan mempermudah deteksi mutasi pada kasus-kasus HAK Baru, mempercepat penegakan diagnosis dan menyingkirkan keraguan diagnosis.
Rumusan Masalah
1. Berapa proporsi tipe klasik (tipe SW dan SV) dan non klasik (NK) pada HAK karena karena defisiensi enzim 21-hidroksilase di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM?
2. Berapa frekuensi delesi/large gene conversion, mutasi I172N, I2 splice, dan R356W pada kasus-kasus HAK-21 hidroksilase dan apakah mutasi-mutasi tersebut seragam dengan yang dilaporkan di Asia?
3. Apakah terdapat konsistensi kesesuaian antara fenotip dan genotip pada kasuskasus HAK tersebut?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Mengetahui proporsi tipe klasik (tipe SW dan SV) dan non Wasik, pola mutasi dan konsistensi hubungan antara fenotip dan genotip pada kasus-kasus HAK karena defisiensi enzim defisiensi 21-hidroksilase di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM.
Tujuan Khusus
a. Memperoleh data karakteristik HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase antara lain perbandingan jenis kelamin, penentuan gender, suku, konsanguinitas, usia gestasi, berat lahir, kematian saudara kandung, kejadian HAK pada saudara kandung, dan riwayat infertilitas pada keluarga.
b. Memperoleh data fenotip kasus-kasus HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase (proporsi tipe klasik dan non kiasik kasus-kasus HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase dan derajat virilisasi genital).
c. Memperoleh data mengenai pola mutasi kasus-kasus HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase dengan acuan mutasi-mutasi yang sering ditemukan di wilayah Asia (delesi/large gene conversion, mutasi I172N, 12 splice, dan R356W).
d. Memperoleh data/bukti kesesuaian fenotip dan geno tip (mutasi) pasien HAK karena defisiensi enzim 21-hidroksilase dan membandingkannya dengan penelitian-penelitian lain.
"
2007
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktavinda Safitry
"Latar Belakang: Kompetensi "mengambil keputusan terhadap dilema etika yang terjadi pada pelayanan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat" tercantum dalam SKDI 2005 sehingga harus ada dalam kurikulum dan dilaksanakan di dalam modul. Penerapan proses pengambilan keputusan etis (PKE) berkaitan dengan manajemen pasien, karena itu pembelajaran pada tahap klinis pendidikan kedokteran menjadi keharusan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proses pembelajaran pengambilan keputusan etis di tahap klinispendidikan kedokteran di FKUI.
Metode: Penelitian merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan mengidentifikasi komponen Buku Kurikulum, Buku Rancangan Pengajaran modul praktik klinik, dan dokumen lain; wawancara mendalam pengelola program studi, pengelola modul, staf pengajar; serta Focus Group Discussion (FGD) pada mahasiswa.
Hasil: Tidak ada modul praktik klinik yang lengkap mencantumkan PKE dalam dokumen. Pengelola modul kurang memahami kompetensi PKE SKDI 2006. Sebagai klinisi, staf pengajar mampu mengidentifikasi dan mengambil keputusan penyelesaian dilema etika. Mahasiswa memahami PKE dan menemukan kasus berdilema etika dalam proses pembelajaran tahap klinik. Mahasiswa mendiskusikan dilema etika yang ditemui dengan residen dan/atau dokter penanggungjawab kasus. Mahasiswa memiliki prior knowledge yang didapat pada tahap preklinik.
Kesimpulan: Proses pembelajaran pengambilan keputusan etis di tahap klinis merupakan hidden curriculum.Perlu dilakukan peningkatan kapasitas staf pengajar di bidang teori etika kedokteran dan penyusunan modul agar PKE menjadi komponen tertulis dalam kurikulum.

Background: Ethical Reasoning is one of competency component stated in the ?2006 Indonesian Medical Doctor Competencies Standard? therefor it has to be taught in medical faculties. The competency should be stated in all documents related to the curriculum. The learning of ethical reasoning should be done in clinical years since it is related to patient's managements. This research was done to evaluate the ethical reasoning learning process in the clinical stage medical education in Faculty of Medicine University of Indonesia.
Method: This is a descriptive qualitative research which identifies the component of curriculum inside the curriculum documents; indepth interview to the module developer, module organizer, and teachers; and focus group discussion with clinical year medical students.
Result: Ethical Reasoning Competency was not written as the aim of any module, as seen in the Instructional Design of all documents. The module developer did not recognize this competency despite their daily practice of ethical reasoning. The students learnt ethical reasoning in clinical stage by observing the medical staff during their interaction with patient with ethical dilemma. The student were able to identify the cases based on their prior knowledge from previous stage.
Conclusion: Ethical reasoning learning process in clinical stage is part of hidden curriculum.Capacity building for faculty members in medical ethics theory and module development for the faculty member are needed to make the ethical reasoning process as a part of the curriculum.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustini Utari
"[Latar belakang. Hiperplasia Adrenal Kongenital (HAK) merupakan kelainan
autosomal resesif yang mengganggu pembentukan sintesis kortisol sehingga
membutuhkan terapi glukokortikoid seumur hidup. Terdapat kontroversi efek
pemberian glukokortikoid pada anak HAK terhadap BMD.
Tujuan. Mengetahui efek pemberian glukokortikoid terhadap BMD pada anak
dengan HAK
Metode. Systematic review dan meta-analisis dari literatur yang ada seperti
Cohrane library, MEDLINE, EBSCO, PROQUEST, dan database teregistrasi
lainnya dilakukan untuk mencari penelitian yang terkait BMD pada HAK. Dua
peneliti secara independen melakukan review terhadap abstrak sesuai kriteria
inklusi dan naskah lengkap untuk ekstraksi data.
Hasil. Terdapat 9 penelitian yang sesuai kriteria systematic review dan 4
penelitian masuk ke dalam meta-analisis. Hasil meta-analisis menunjukkan tidak
terdapat perbedaan mean difference Whole BMD Z-Score dan Lumbar spine BMD
Z-Score antara anak HAK yang mendapatkan terapi glukokortikoid dibandingkan
dengan kontrol anak normal (berturut-turut p=0.57, 95% CI, -0.46-0.84 dan p =
0,86 ;CI 95%, -2,3 – 1,94)
Kesimpulan. Whole BMD dan Lumbar spine BMD Z-Score pada anak HAK yang mendapatkan glukokortikoid tidak berbeda dengan anak normal. , Background : Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH) is an autosomal
recessive disorders characterized by impared cortisol synthesis which is need
glucocorticoid for long life treatment. There was conflicting results regarding
effect of glucocorticoid treatment on bone mineral density (BMD) in CAH
patients.
Objective. To determine the effect of glucocorticoid treatment on BMD in
children with CAH.
Method. We performed systematic review and meta-analysis of existing literature
using Cohrane library, MEDLINE, EBSCO, PROQUEST, and other database to
identify studies of BMD and CAH. Two authors reviewed independently abtracts
for inclusion and read full- text artices to extract data.
Result. There was 9 studies met eligibility criteria for systematic review and 4
studies included in to meta-analysis. Meta-analysis showed there was no
significant mean difference Whole BMD Z-Score and Lumbar spine BMD ZScore
between children with CAH who treated with glucocorticoid compared to
normal healthy child (p=0.57, 95% CI, -0.46-0.84 and p = 0,86 ;CI 95%, -2,3 –
1,94, respectively)
Conclusion. Whole BMD and Lumbar spine BMD Z-Score in children with CAH treated with glucocorticoid is similar with normal children. ]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Frida Soesanti
"ABSTRAK
Latar belakang: Vitamin D dianggap berperan dalam patogenesis diabetes melitus tipe 1 (DMT1), memperbaiki kontrol metabolik dan menurunkan risiko terjadinya komplikasi mikrovaskuler.
Tujuan: Mengetahui profil kadar vitamin D remaja DMT1 dan hubungan kadar vitamin D dengan retinopati dan nefropati diabetik.
Metode: Penelitian potong lintang pada remaja DMT1 usia 11-21 tahun dengan lama sakit minimal satu tahun. Semua subjek dilakukan wawancara menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisis lengkap, kadar 25(OH)D, HbA1c, rasio albumin/kreatinin urin, dan fotografi fundus.
Hasil: Terdapat 49 subjek, 34 (69,4%) perempuan dan 15 (30,6%) lelaki dengan median lama sakit lima tahun (1-16 tahun). Sebanyak 96% subjek menggunakan insulin basal bolus. Median HbA1c adalah 9,5% (6,3% - 18%). Tidak ada subjek dengan kadar 25(OH)D ≥ 30 ng/mL, 6 subjek (12,2%) dengan kadar 25(OH)D 21-19 ng/mL dan 87,8% memiliki kadar 25(OH)D ≤ 20 ng/mL. Rerata kadar 25(OH)D adalah 12,6 ng/mL (SD ±5,4 ng/mL). Faktor yang berhubungan dengan kadar vitamin D adalah lama pajanan matahari (RP 13,3; 95%IK = 1,8-96, p= 0,019). Jenis pakaian, penggunaan sunblock, IMT, lama sakit, konsumsi susu tidak berhubungan dengan kadar vitamin D. Prevalens retinopati pada penelitian ini adalah 8,2%, mikroalbuminuria 28,5%, dan nefropati 16,3%. Tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D dengan retinopati, mikroalbuminuria, dan nefropati diabetik.
Kesimpulan: Tidak ada remaja DMT1 dengan kadar vitamin D yang cukup dan tidak ada hubungan antara kadar vitamin D dengan retinopati, mikroalbuminuria, dan nefropati diabetik.;Background: Many studies showed that vitamin D involved in the pathogenesis of type 1 diabetes mellitus (T1DM), metabolic control and decreased the risk of microvascular complication.

ABSTRACT
Objective: To find out the vitamin D profile in adolescence with T1DM and its association with retinopathy and nephropathy diabetic.
Methods: This was a cross sectional study performed during April to May 2015 involving T1DM adolescence aged 11-21 years old with duration of illness ≥ 1 year. We used questionnaire to know factors associated with vitamin D level. We performed physical examinations, tests for level of 25(OH)D serum, HbA1c, urine albumin/creatinine ratio and fundal photographic.
Results: There were 49 subjects, 34 female (69.4%) and 15 male (30.6%) with median duration of illness was five years (1-16 years). Most of the subjects (96%) were on basal bolus regimen. Median of HbA1c level was 9.5% (range 6.3%-18%). None of the subject had 25(OH)D level ≥ 30 ng/mL, 12.2% with 25(OH)D level of 21-19 ng/mL and 87,8% was ≤ 20 ng/mL. Mean of 25(OH)D level was 12.6 ng/mL (SD ±5.4 ng/mL). Duration of sun exposure was associated with 25(OH)D level (prevalent ratio of 13.3; 95%CI = 1.8-96, p= 0.019); While type of clothing, sunblock, body mass index, milk and juice intake were not associated with 25(OH)D level. Diabetic retinopathy was found in 4 subjects (8.2%), microalbuminuria in 14 subjects (28.5%), and nephropathy in 8 subjects (16.3%). All the subjects who suffered from microvascular complication had 25(OH)D level ≤ 20 ng/mL. None of the subjects with 25 (OH)D > 20 ng/mL suffered had microvascular complication. There was no significant association between vitamin D level with diabetic retinopathy, microalbuminuria, or diabetic nephropathy.
Conclusion: None of the adolescent with type 1 DM had sufficient vitamin D level, and 87.8% had vitamin D deficiency. There was no association between vitamin D level with diabetic retinopathy, microalbuminuria, or diabetic nephropathy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Martina Siboe
"ABSTRAK
Latar belakang: Prevalens obesitas anak dan remaja semakin meningkat.
Obesitas merupakan masalah yang penting karena dianggap sebagai salah satu
faktor risiko utama terjadinya penyakit jantung, resistensi insulin, diabetes
mellitus tipe 2 (DMT2), hipertensi, dan stroke. Diperkirakan 80% anak yang
mengalami obesitas akan terus mengalami kondisi tersebut pada saat dewasa.
Sebelum anak mencapai pubertas, intervensi dini pada diet dan aktivitas fisis
sangat penting sebagai tata laksana obesitas anak.
Tujuan: Mengetahui pengaruh intervensi diet dan aktivitas fisis terhadap indeks
massa tubuh (IMT), asupan makan, aktivitas fisis, dan kebugaran pada anak obes
usia 6-9 tahun.
Metode: Penelitian ini menggunakan uji pre dan pasca-intervensi pada murid SD
usia 6-9 tahun di SD Marsudirini dan SD Melania Jakarta pada bulan SeptemberDesember
2015. Intervensi
diet
berupa
analisis
dan
edukasi
diet
pada
subyek
dan
orangtua.
Intervensi
aktivitas
fisis
diberikan
sebanyak
3 kali
60 menit
per
minggu
selama
12
minggu
dengan
intensitas
sedang
vigorous.
Pengukuran tingkat
aktivitas fisis menggunakan Physical Activity Questionnaire (PAQ-C).
Pengambilan data dilakukan pada awal dan akhir penelitian dengan penambahan
data IMT pada pertengahan penelitian.
Hasil: 25 subyek ikut serta pada awal penelitian, 23 subyek menyelesaikan
penelitian. Pada akhir intevensi, terdapat hasil yang bermakna pada penurunan
IMT -1.16 kg/m
2
(p<0,001), asupan makan -772,58 kkal (p<0,001), dan
peningkatan 3 komponen tes kebugaran (lari 30 m, loncat vertikal, and baring
duduk). Sebelas subyek mengalami penurunan IMT sehingga mencapai status
nutrisi gizi lebih. Terdapat peningkatan nilai PAQ-C 0,15, namun peningkatan ini
tidak bermakna. Tidak terdapat korelasi antara penurunan IMT dengan kehadiran
latihan fisis dan penurunan asupan makan subyek.
Simpulan : Intervensi diet dan aktivitas fisis selama 12 minggu pada anak obes
usia 6-9 tahun menyebabkan penurunan IMT, asupan makan, dan peningkatan
kebugaran. Hasil ini menunjukkan pentingnya multidisiplin ilmu dalam tata laksana anak dengan obesitas.
ABSTRACT Background: The prevalence of obesity among children and adolescents has
dramatically increased. Obesity is considered as risk factor for cardiovascular
disease and associated with comorbid conditions such as insulin resistance, type 2
diabetes mellitus, hypertension and stroke. It has been observed that 80% of obese
adolescents will persist into adulthood. Early dietary and physical activity
intervention of childhood obesity is mandated before reaching puberty.
Objective: To examine the effects of 12-week dietary and physical activity
intervention on body mass index (BMI), dietary intake, physical activity, and
fitness in 6-9 years old obese children.
Methods: In this one group pre and post test design, 25 obese children were
subjected to 12-weeks dietary and physical activity intervention. All children were
between 6-9 years old and attending primary education in SD Marsudirini I and
SD Melania III. Dietary intervention were given in the form of dietary analysis
and education 4 times with 1 month interval. Physical activity intervention were
given 3 times weekly (60 minutes duration) with moderate to vigorous exercise
intensity. Measurement of physical activity was done using Physical Activity
Questionnaire (PAQ-C). Data collection were done at intial and final time of
intervention with additional of BMI on mid time of intervention.
Results: From 25 observed subjects, 23 subjects completed the program. There
were significant reduction in BMI -1.16 kg/m
2
(p<0,001), dietary intake -772,58
kkal (p<0,001), and improvement of 3 components of fitness test (30 m sprint,
vertical jump, and sit-up). Eleven subjects managed to reach BMI level for
overweight nutritional status. There was an increase in PAQ-C level 0.15
(p=0,389). However, there was no correlation between decrease dietary intake or
exercise attendance with the decrease of BMI.
Conclusions: Our data demonstrate beneficial effects of a combined dietary and
physical activity intervention among 6-9 years old obese children. These results
highlight the importance of multidisciplinary programs for the treatment of childhood obesity.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yulianto Santoso Kurniawan
"Indonesia mengalami peningkatan obesitas yaitu 12,2% (2007) menjadi 14% (2010). Indeks massa tubuh (IMT) tidak membedakan massa lemak dan massa bukan lemak.
Tujuan: Mengetahui obesitas dan korelasi antara massa lemak tubuh dan IMT pada anak 7-12 tahun di Jakarta Pusat.
Metode: Penelitian potong lintang analitik cluster random sampling antara Jan-Mar 2016.
Hasil: Total subjek adalah 1.333 anak. Obesitas menurut massa lemak subyek lelaki sebesar 21,3%, subyek perempuan sebesar 13,1%. Median massa lemak lelaki 7-12 tahun berturut-turut 18,8,18,6,18,1,18,4,18,6,16,1%. Median massa lemak perempuan 7-12 tahun berturut-turut 23,6,24,23,8,23,7,24,4,25,4%. Korelasi IMT dan massa lemak subyek lelaki r=0,848-0,903, p<0,05, korelasi pada subyek perempuan r=0,717-0,846, p<0,05. Sensitivitas IMT terhadap massa lemak subyek lelaki 90,5%, spesifisitas 96,6%, kappa 0,879, sensitivitas IMT terhadap massa lemak subyek perempuan 88,2%, spesifisitas 92,4%, kappa 0,787 menggunakan P85 dan P95 hasil penelitian.
Simpulan: Obesitas menurut massa lemak lelaki adalah 21,3% dan perempuan 13,1%, korelasi IMT dan massa lemak lelaki sangat kuat dan kuat pada subyek perempuan.

Background: Obesity in Indonesia has increased in number from 12.2% (2007) to 14% (2010). Body mass index does not differentiate between fat mass and non-fat mass.
Aim: To determine the obesity profile and correlation between fat mass and body mass index in children aged 7-12 years old in Central Jakarta.
Methods: A cross sectional analytic study. Subjects were recruited from Jan - March 2016 through cluster random sampling.
Result: A total of 1,333 children were recruited. Obesity by fat mass in male was 21.3% and 13.1% in female. Fat mass median in male aged 7,8,9,10,11,and 12 years consecutively were 18.8,18.6,18.1,18.4,18.6, 16.1%. Fat mass median in female aged 7,8,9,10,11,and 12 years consecutively were 23.6,24, 23.8,23.7,24.4,25.4%. Correlation between BMI and fat mass in male r=0.848-0.903, p<0.05, females r=0.717-0.846, p<0.05. Body mass index sensitivity for fat mass in male was 90,5% and 96.6% specificity with kappa value 0,879, in female sensitivity was 88.2% and 92.4% specificity with kappa value 0.787 using new reference percentile generate from this study (P85 and P95 BMI).
Conclusion: The obesity profile determined by fat mass is 21.3% in males and 13.1% in females and with very strong correlation between BMI and fat mass for males and strong correlation in females.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Angelia Rachma Dewi
"Latar Belakang: Anak jalanan yang jumlahnya terus meningkat, merupakan kelompok berisiko tinggi terhadap berbagai masalah sosial dan kesehatan, namun belum ada informasi tentang pengetahuan, sikap, dan perilaku mereka yang berisiko penularan HIV/AIDS.
Tujuan: Mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap terhadap HIV/AIDS, serta perilaku berisiko tinggi penularan HIV/AIDS dan faktor yang memengaruhinya pada anak jalanan usia remaja di Jakarta.
Metode: Studi kuantitatif (kuesioner yang divalidasi) dan kualitatif (wawancara, focus group discussion, dan observasi) terhadap 100 subjek usia 10-18 tahun yang dipilih secara konsekutif. Analisis statistik menggunakan analisis bivariat (uji kai kuadrat atau uji Fischer) dan multivariat (uji regresi logistik).
Hasil: Sebagian besar (85%) subjek memiliki tingkat pengetahuan dan sikap yang masih kurang terhadap HIV/AIDS, 35% subjek belum pernah mendengar istilah HIV/AIDS. Tingkat pendidikan dan status ekonomi keluarga merupakan faktor yang memengaruhi pengetahuan dan sikap terhadap HIV/AIDS. Perilaku risiko tinggi penularan HIV/AIDS melibatkan 27% subjek, risiko sedang 18% subjek, risiko rendah 55% subjek. Sebanyak 17% subjek pernah berhubungan seksual (82,4% tidak pernah menggunakan kondom), 58% perokok; 45% peminum alkohol, 26% pengguna obat-obatan terlarang. Prostitusi dan homoseksualitas juga didapatkan pada anak jalanan. Usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lama bekerja, jumlah jam kerja, tempat tinggal, frekuensi bertemu orangtua kandung, dan sumber informasi utama merupakan faktor yang memengaruhi tingkat perilaku risiko tinggi.
Simpulan: Anak jalanan memiliki tingkat pengetahuan dan sikap yang kurang terhadap HIV/AIDS serta banyak terlibat perilaku berisiko tinggi, sehingga membutuhkan penanganan yang komprehensif dan multidisiplin.

Background: Street children are increasing and highly vulnerable to many social and health problems, but very little is known about their knowledge, attitudes, and behavior related to HIV/AIDS transmission.
Objectives: To identify level of knowledge, attitudes, and high-risk behavior related to HIV/AIDS transmission among adolescent street children in Jakarta and its related factors.
Methods: Quantitative (validated questionnaire) and qualitative (in-depth interview, focus group discussion, and observation) study were conducted among 100 participants aged 10-18 years old which were recruited consecutively. Statistical analysis was done using bivariate (Chi-square or Fischer tests) and multivariate (logistic regression) analysis.
Results: Most participants (85%) had low knowledge about HIV/AIDS and 35% subjects never heard about HIV/AIDS. Low education level and low socio-economic status increased likelihood of having low knowledge about HIV/AIDS. High-risk behaviors were engaged by 27% participants, moderate risk 18%, low risk 55% participants. Seventeen percent subjects were sexually experienced (82,4% never use condom), 58% smokers, 45% alcohol drinkers, and 26% drug abusers. Prostitution and homosexuality were also prevalent among street children. Factors that increased the likelihood of displaying risky behavior were being male, older age, low education level, being street children more than 5 years, working on the street more than 35 hours a week, living on the street, less contact with parents, and having friend as major source of information.
Conclusions: Street children had low knowledge and attitude toward HIV/AIDS and high engagement on high-risk behavior, thus require comprehensive and multidisciplinary approaches.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>