Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Herwandi
"Secara harfiah kaligrafi berasal dari istilah Yunani: kalligraphia (kilos = indah dan cantik, graphein = menulis) yang dapat diartikan sebagai seni menulis indah. Setiap membahas masalah kaligrafi tidak terlepas dari membicarakan tentang tulisan, terutama tulisan yang dibuat seindah mungkin, yang kadang kala disertai dengan dekorasi tambahan. Sementara itu, dalam khasanah ilmu pengetahuan terdapat istilah epigrafi yang membicarakan tentang tulisan. Kedua istilah itu meskipun sama-sama membicarakan tulisan, tetapi sesungguhnya terdapat perbedaan yang jelas yaitu pada penekanannya. Kaligrafi lebih menekankan terhadap tulisan indah sedangkan epigrafi terhadap tulisan (tak peduli indah atau tidak). Dalam epigrafi tak tertutup kemungkinan membicarakan kaligrafi, namun sebaliknya tak semua materi epigrafi dapat dimasukkan dalam bahasan kaligrafi.
Dalam masyarakat Islam, seni kaligrafi memakai huruf Arab yang disebut dengan seni khat, juga menonjolkan keindahan tulisan (Safadi l986: 13; Yudoseputro 1986: 115; Situmorang 1991: 67). Faruqi dan Faruqi (1986, 1999) menjelaskan bahwa kaligrafi Islam meskipun ada di antaranya yang berbentuk figural dan ornamental, namun menekankan terhadap keindahan tulisan berdasarkan estetika Islam, yaitu estetika yang memancing perenungan tentang suatu eksistensi yang lebih tinggi, menghindarkan penikmatnya dari yang personal dan "keduniawian" ke arah pemusatan pemikiran terhadap transendensi vertikal.3
Munculnya huruf Arab tak bisa dilepaskan dari perkembangan lebih lanjut dari huruf Nabatea di wilayah Arabia Utara, yang dapat digolongkan ke dalam kelompok huruf Semit (Baba 1992: 10-11; Wilson 1925: 11), diperkirakan telah muncul bersamaan dengan timbulnya bangsa Nabatea itu sendiri sekitar 150 tahun SM (Safadi 1986: 7-8). Meskipun begitu bukti-bukti arkeologis menunjukan penggunaan huruf Nabatea dalam inskripsi baru dijumpai sekitar abad ke-3 M, dengan ditemukan isnkripsi Umm al-Jima: berangka tahun 250 M, dan sampai abad ke-6 M masih dipergunakan dalam beberapa inskripsi seperti Namarah (328 M),4 Zabad (512 M), dan Haman (568 M), (Safadi 1986: 7-8; Akbar 1995: 12). Inskripsi-inskripsi itu mempunyai hubungan erat dengan muncul dan berkembangnya huruf Arab paling awal yang disebut huruf Jazm.5
Kaligrafi Islam erat kaitannya dengan sejarah muncul dan berkembangnya huruf Arab sampai huruf tersebut dipilih untuk menuliskan Al-Quran dan menjadi alat komunikasi, sehingga menjadi dikenal hampir di seluruh pelosok dunia seiring dengan perkembangan dan dinamika masyarakat Islam. Perkembangan tersebut erat kaitannya dengan tradisi tulis-menulis yang mendapat sokongan tak sedikit dari para intelektual dan penguasa di kota-kota "pusat" budaya Islam di Arabia, Andalusia, Sudan, Persia, bahkan di India dan Gina, sehingga di kota-kota dan wilayah tertentu muncul jenis-jenis tulisan dan huruf yang mampu menjadi identitasnya sendiri.
Kota Makkah dan Madinah dari masa Nabi Muhammad, sebagai pusat kebangkitan Islam banyak dikunjungi dan didiami oleh para intelektual yang berdatangan dari daerah sekitarnya.6 Di kota-kota ini telah hidup tradisi tulis-menulis dengan menggunakan huruf bersudut, yaitu huruf Jazm. Bahkan pada abad ke-7 M atas perintah Khalifah Utsman huruf ini dipergunakan untuk membuat lima salinan Al-Quran yang terkenal dengan ? Usmani dijadikan sebagai naskah baku penyalinan Al-Quran masa berikutnya. Empat dari lima salinan tersebut kemudian dikirim ke wilayah-wilayah yang dianggap penting yaitu ke Madinah, Bashrah, Kufah, dan Syria (Safadi 1986: 9; Sirodjuddin Ar 1992: 61, 72-75)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
D53
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Irmawati Marwoto Johan
Depok: Universitas Indonesia, 2003
D1832
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Awalia Rahma
"Selain sebagai nama sebuah pulau, ?Jawa? juga dikenal sebagai nama generik kopi yang dikenal dunia sejak abad ke-18 hingga saat ini karena kualitas premiumnya. Termasuk ke dalam budaya minum kopi adalah hal-hal terkait kopi seperti aktivitas, penyiapan, tempat dan konteks, suasana yang dibangun dan teknologi di dalamnya. Studi ini berusaha menjawab tiga pertanyaan terkait pelacakan budaya minum kopi di Jawa; bagaimana budaya minum kopi membentuk gaya hidup dan identitas masyarakat, serta makna budaya minum pada tiga tempat: domestik, lingkup kerja, dan hiburan, menggunakan pendekatan sejarah praktek keseharian. Praktek keseharian dalam studi ini merupakan praktek individu dan masyarakat yang melibatkan kopi dalam aspek sosial-budaya, politik, ekonomi dan agama. Studi menemukan bahwa kopi sudah dikenal dan dikonsumsi masyarakat di Jawa jauh sebelum diperkenalkan oleh Belanda pada akhir abad ke- 17. Budaya minum kopi di Jawa sangat kaya dan terbentuk dari praktek keseharian keluarga di rumah, di tempat kerja dan melebar ke tempat-tempat hiburan. Selain itu konsumsi kopi juga ditemukan di tempat lain seperti tempat ibadah, tempat belajar, perjalanan, pengasingan, dan sebagainya. Pada tempattempat tersebut kopi memperlihatkan makna beragam bagi individu dan masyarakat, yang membedakan gaya hidup dan identitas bangsa dan kelas sekaligus meleburnya pada saat yang sama melalui tempat yang berbeda, jenis minuman kopi yang dikonsumsi, kualitas kopi, peralatan minum, dan sebagainya.

Java, "the Garden of the East", is a name for an island where different people lived together coast to coast. It is also recognized for the generic name of world premium quality coffee. Coffee culture includes everything relate to coffee in terms of its activity, preparation, places and contexts, ambiance, technology, etc. This theme is still largely overlooked in the previous studies. The existing studies paid more attention to the history of plantation and economic aspects of coffee otherwise. A three-fold research questions are mostly directed on: a) the historical traces of coffee in Java; b) how coffee culture in Java shaped its people?s identity and lifestyle; and c) the meaning of coffee culture in three main loci: at home, at work, and at play. Using the everyday practice approach which can be explained as a patchwork of individuals and social practices by exploring social, cultural, political, economic and religious aspects of coffee in people?s everyday lives, this study eventually found: a) coffee has long been consumed in Java before it was introduced by the Dutch; b) coffee culture in Java were rich, started by individuals? everyday practices in their homes at any times, followed by practices in the workplace during the day, and at play usually during their nights or leisure times; c) coffee signifies individuals and social lives, distinguished the identity as well as everyday lifestyle of nations and class yet disguise their boundaries at the same time through its spatial-geographic place, kind of coffee drink, coffee quality, glassware, etc."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
D2267
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oman Fathurahman, 1969-
"ABSTRAK
Penelitian yang mencoba menggabungkan pendekatan filologis dari pendekatan sejarah social intelektual- ini memfokuskan telaahnya pada upaya pemaknaan terhadap naskah-naskah keagamaan, dalam hal ini naskah tentang tarekat Syattariyyah yang muncul di Sumatra Barat. Naskah-naskah Syattariyyah yang menjadi sumber primer penelitian ini berjumlah 10 judul, karangan atau tulisan dari tiga orang ulama Syattariyyah di Sumatra Barat, yakni Imam Maulana Abdul Manaf Amin, H. K. Deram (w. 2000), dari Tuanku Bagindo Abbas Ulakan.
Selain 10 naskah versi Sumatra Barat tersebut, untuk mengukur sejauhmana dinamika yang terjadi dalam ajaran tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat- dalam penelitian ini juga disertakan 2 sumber Arab yang berkaitan dengan tarekat Syattariyyah, dari dianggap sebagai sumber rujukan ajaran tarekat Syattariyyah di dunia Islam Melayu-Indonesia. Sumber pertama adalah al-Simf al-Majid, sebuah kitab tasawuf karangan Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, dan Ithaf al-Zakibi Syarh al-Tuhfah al-Marsalah ila Ruhal-Nabi karangan lbrahim al-Karani.
Melalui analisis intertekstual dengan naskah-naskah Syattariyyah yang muncul sebelumnya, diketahui bahwa naskah-naskah Syattariyyah di Sumatra Barat ini jelas terhubungkan terutama melalui hubungan intelektual di antara para penulisnya, mulai dari Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, Syaikh Ibrahim al-Kurani, Syaikh Abdurrauf al-Sinkilii, sampai kepada para penulis di Sumatra Barat yang terhubungkan melalui salah satu murid utama, al-Sinkili, yakni Syaikh Burhanuddin Ulakan.
Adapun menyangkut ajaran tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat, seperti tampak dalam naskah-naskahnya, secara umum masih melanjutkan apa yang sudah dirumuskan sebelumnya, baik oleh tokoh Syattariyyah di Haramayn, yang dalam hal ini diwakili oleh al-Qusyasyi, maupun oleh ulama Syattariyyah di Aceh, dalam hal ini diwakili oleh Abdurrauf al-Sinkili. Ajaran yang dimaksud terutama berkaitan dengan tatacara zikir, adab dan sopan santun zikir, serta formulasi zikir.
Akan tetapi, khusus menyangkut rumusan hakikat dan tujuan akhir zikir tarekat Syattariyyah, kecenderungannya tampak berbeda. Dalam hal ini, rumusan hakikat dan tujuan akhir zikir dalam naskah-naskah Syattariyyah di Sumatra Barat tersebut cenderung lebih lunak dibanding ajaran al-Qusyasyi maupun al-Sinkili sebelumnya. Jika naskah-naskah Syattariyyah karangan al-Qusyasyi dan al-Sinkili masih mewacanakan konsep fana, yakni peniadaan diri, atau hilangnya batas-batas individual seseorang, dan menjadi satu dengan Allah, bahkan fana'an al-fana atau fana 'an fanaih, yakni fana dari fana itu sendiri, sebagai hakikat dan tujuan akhir zikir, maka naskah-naskah Syattariyyah di Sumatra Barat menegaskan bahwa hakikat dan tujuan zikir adalah "sekedar" untuk membersihkan jiwa agar memperoleh kedekatan dengan Tuhan, serta untuk membuka rasa agar memperoleh keyakinan dan kesaksian akan hakikat dan Wujud-Nya.
Kecenderungan melunak ini bahkan lebih jelas lagi dalam hal rumusan ajaran tasawuf filosofisnya. Seperti tampak dalam naskah-naskah karangannya, al-Kurani dan juga al-Sinkili misalnya, masih mengajarkan doktrin wahdat al-wujud, kendati rumusanya sudah lebih disesuaikan dengan dalil-dalil ortodoksi Islam, sehingga doktrin wahdat al-wujud - yang sempat mendapat penentangan keras dari para ulama ortodoks- ini, lebih dapat diterima oleh banyak kalangan. Dalam naskah-naskah Syattariyyah di Sumatra Barat, ajaran wahdat al-wujud tersebut ternyata bukan saja diperlunak, lebih dari itu bahkan dilucuti dari keseluruhan ajaran tarekat Syattariyyah, karena dianggap bertentangan dengan ajaran ahl al-sunnah wa al-jama?ah, dan menyimpang dari praktek syariat.
Olen karenanya, sepanjang menyangkut tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat, khususnya yang terjadi sejak akhir abad ke-19, ajaran tarekat Syattariyyah tanpa doktrin wahdat al-wujud ini menjadi salah satu sifat dan kecenderungannya yang khas. Hal ini relatif berbeda dengan kesimpulan sejumlah sarjana sebelumnya, seperti B. J. O. Schrieke, Karel A. Steenbrink, Martin van Bruinessen, dan beberapa sarjana lainnya, yang menegaskan bahwa tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat merupakan kelompok tarekat yang paling giat mengembangkan ajaran wahdat al-wujud, dan berhadap-hadapan dengan tarekat Naqsybandiyyah yang disebut sebagai pengembang doktrin wahdat al-syuhud (kesatuan kesaksian).
Hal lain yang dapat dikemukakan adalah bahwa setelah bersentuhan dengan berbagai tradisi dan budaya tokal, ekspresi ajaran tarekat Syattariyyah menjadi sarat pula dengan nuansa lokal. Ajaran tentang hubungan antara tubuh lahir dengan tubuh batin misalnya, dirumuskan dalam apa yang disebut sebagai "pengajian tubuh"; demikian halnya dengan teknik penyampaian ajaran-ajaran tarekat Syattariyyah; selain melalui bentuk-bentuk yang konvensional seperti pengajian, ajaran-ajaran tersebut juga disampaikan dalam bentuk-bentuknya yang khas dan bersifat lokal, seperti kesenian salawat dulang. Masih yang bersifat lokal, di kalangan penganut tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat ini juga berkembang apa yang disebut sebagai "Basapa", yakai ritual tarekat Syattariyyah setiap bulan Safer di Tanjung Medan Ulakan, yang banyak dipengaruhi budaya lokal.

This research -which takes a philological and intellectual history-social approach- focuses on efforts to reveal meaning in religious manuscripts, in this case the manuscripts about Syattariyyah order that emerged in West Sumatra. Ten Syattariyyah manuscripts, written by three Syattariyyah ulama in West Sumatra - Imam Maulana Abdul Manaf Amin, H. K. Deram (w. 2000), and Tuanku Bagindo Abbas Ulakan- were primary sources for this research.
Aside from the ten manuscripts from West Sumatra mentioned above, in order to measure the dynamics of the teachings of Syattariyyah order in West Sumatra, two Arabic sources related to Syattariyyah, which are considered to be reference sources for teaching Syattariyyah order in the Malay-Indonesian Islamic world, were consulted. The first source is al-Simf al-Majid, a Islamic mystical book written by Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, and the second is Ithaf al-Zakibi Syarh al-Tuhfah al-Marsalah ila Ruhal-Nabi karangan lbrahim al-Kurani.

ABSTRACT
This research -which takes a philological and intellectual history-social approach- focuses on efforts to reveal meaning in religious manuscripts, in this case the manuscripts about Syattariyyah order that emerged in West Sumatra. Ten Syattariyyah manuscripts, written by three Syattariyyah ulama in West Sumatra - Imam Maulana Abdul Manaf Amin, H. K. Deram (w. 2000), and Tuanku Bagindo Abbas Ulakan- were primary sources for this research.
Aside from the ten manuscripts from West Sumatra mentioned above, in order to measure the dynamics of the teachings of Syattariyyah order in West Sumatra, two Arabic sources related to Syattariyyah, which are considered to be reference sources for teaching Syattariyyah order in the Malay-Indonesian Islamic world, were consulted. The first source is al-Simf al-Majid, a Islamic mystical book written by Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, and the second is Ithaf al-Zakibi Syarh al-Tuhfah al-Marsalah ila Ruhal-Nabi karangan lbrahim al-Kurani.
As a result of an intellectual analysis of the early Syattariyyah manuscripts, we know that the Syattariyyah manuscripts in West Sumatra were an important intellectual link between the writers, starting with Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, Syaikh Ibrahim al-Kurani, Syaikh Abdurrauf al Sinkili, and reaching the writers in West Sumatra by way of Syaikh Burhanuddin Ulakan, an eminent student of al-Sinkili.
As can be seen from the manuscripts, the teachings of Syattariyyah order in West Sumatra generally carried on the traditions that had been previously formulated by prominent figures of Syattariyyah in Hararnayn, represented by al-Qusyasyi, and also by the ulama of Syattariyyah in Aceh, in this instance represented by Abdurrauf al-Sinkili. These teachings are mainly related to the practices of zikir (religious recitation), behavior and good manners in zikir, and the formulation of zikir.
However, there are noticeable differences, particularly in relation to the concepts of hakikat (religious truth) and the ultimate objectives of zikir in Syattariyyah order. In Syattariyyah in West Sumatra, the formulation of these concepts was more moderate than in the earlier teachings of al-Qusyasyi and al-Sinkili. The Syaltariyyah manuscripts of al-Qusyfisyi and al-Sinkili discuss the concept of fana - the negation of self or the loss of individual limitations, and becoming one with Allah, fana'an al fana or fana 'an fanaih, that is fana from fana itself- as religious truth and the ultimate objective of zikir. The Syattariyyah manuscripts of West Sumatra explain that religious truth and zikir are "sufficient" to cleanse the soul, which allows nearness with God, and to produce the feelings that allow for certainty and evidence of religious truth and His Being (Wujud).
This inclination towards moderation is even clearer in the formulation of mystic-philosophy doctrine. As is evident in the manuscripts written by al Kurani and al-Sinkili, they were still teaching the wahdat al-wujud doctrine, though it was adapted to theories of orthodox Islam, and thus this doctrine -which met with strong opposition from the orthodox ulama was more widely accepted. In the Syattariyyah manuscripts of West Sumatra, the teachings of wahdat al-wujud were not just more flexible, they were in fact removed from all the teachings of Syaltariyyah order, as they were considered to be in conflict with the teachings of ahlussunnah wal jama'ah, and a deviation from the practices of syari'at.
As a result, particularly since the 19th century, the teaching of Syaltariyyah order in West Sumatra without the wahdat al-wujud doctrine is just one of this order's unique characteristics and tendencies. This is relatively different from the conclusions drawn by scholars in the past, such as B. J. D. Schrieke, Karel A. Steenbrink, Martin van Bruinessen, and several others, who argued that followers of Syattariyyah order in West Sumatra were the group most active in developing wa'hdat al-wujud, and clashed with _Naqsybandiyyah order adherents who developed the wahdat al-syuhud doctrine.
After having contact with several local traditions and cultures, the teaching style of Syattariyyah order was laden with local nuances. Teachings about the relationship between the external body and the internal self, for example, were formulated in what was known as " pengajian tubuh" (teachings of body). Syattariyyah teachings, apart from via conventional methods such as the recitation of al-Qur'an, were also delivered through traditions that included local characteristics, such as salawat dulang. Followers of Syattariyyah order in West Sumatra also developed what is known as "Basapa", a Syattariyyah order ritual in Ulakan each Safar month (2n, month of the Arabic calendar), a tradition that was strongly influenced by local culture.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
D492
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library