Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 72 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Angelina Grace Luharja
"Konsumsi makanan dan minuman dengan kadar lemak dan gula yang tinggi secara berlebihan merupakan salah satu penyebab munculnya berbagai masalah kesehatan yang berdampak pada tingginya angka penyakit tidak menular di Indonesia. Sehingga diperlukan pengaturan terkait penjualan produk makanan dan minuman di Indonesia, khususnya dalam hal label dan iklan pangan. Pengaturan label dan iklan pangan yang ada di Indonesia perlu diperbarui dan diperbaiki agar dapat membantu masyarakat Indonesia untuk mengetahui dan menentukan pilihan makanan dan minuman yang sehat dan bergizi. Skripsi ini membahas bagaimana seharusnya pengaturan mengenai pelabelan dan iklan pangan di Indonesia untuk menjamin perlindungan konsumen khususnya dalam hal peningkatan kesehatan konsumen jika dibandingkan dengan negara Singapura serta hal-hal yang perlu diperbaiki dari regulasi label dan iklan pangan yang sudah ada di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian doktrinal yang menggunakan bahan kepustakaan atau data sekunder yang kemudian diolah secara kualitatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa diperlukan perbaikan terhadap regulasi label pangan terkait Front-of-pack label serta logo pilihan lebih sehat di Indonesia. Selain itu, diperlukan juga pembaruan pada regulasi iklan pangan di Indonesia terutama terkait promosi minuman berpemanis yang dilakukan melalui media iklan.

High consumption of food and beverages with high fat and sugar content is one of the causes of various health problems that contribute to the high rate of non-communicable diseases in Indonesia. Therefore, it is necessary to regulate the sale of food and beverage products in Indonesia, especially in terms of food labeling and advertisement. The existing food labeling and advertising regulations in Indonesia need to be updated and improved in order to help the Indonesian people to understand and determine healthier food and beverage choices. This thesis explains how the regulation of food labeling and advertising in Indonesia can guarantee consumer protection, especially in terms of improving consumer health in comparison with Singapore and what needs to be improved from the existing food labeling and advertising regulations in Indonesia. The research method used in this thesis is doctrinal research that uses library materials or secondary data which is then processed qualitatively. The results of this study show that improvements are needed to food label regulations related to front-of-pack labels and healthier choice logo in Indonesia. In addition, it is also necessary to update food advertising regulations in Indonesia related to the promotion of sugar-sweetened beverages through advertisements."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Sevira Rachmah
"Tesis ini menganalisis kerangka hukum seputar kegiatan pariwisata berisiko tinggi di Indonesia, membandingkannya dengan kerangka hukum di Tiongkok, dan menentukan sejauh mana tanggung jawab yang ditanggung oleh pengusaha pariwisata Indonesia dan Cina dalam insiden kegiatan pariwisata berisiko tinggi. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif. Dalam praktiknya, Indonesia masih belum memiliki kategorisasi dan standarisasi yang akurat mengenai kegiatan pariwisata berisiko tinggi serta ketentuan mengenai kewajiban dan tanggung jawab pengusaha pariwisata yang membuat mereka dapat sepenuhnya bertanggung jawab dalam insiden kegiatan pariwisata berisiko tinggi. Dengan berkaca pada LPCRI dan UU Kepariwisataan Cina, untuk menjunjung tinggi keselamatan wisatawan, Indonesia hendaknya tidak terlalu bergantung pada peraturan pelaksana, melainkan menyediakan ketentuan keselamatan yang bersifat teknis terkait kegiatan pariwisata berisiko tinggi di UU No. 10 tahun 2009. Kemudian, di kedua negara, sanksi yang diberikan kepada pengusaha pariwisata dapat berupa kompensasi atau ganti rugi, pertanggungjawaban pidana, dan sanksi administratif.

This thesis analyzes the legal framework surrounding high-risk tourism activities in Indonesia, compares them with those of China, and determines the extent of liabilities that tourism entrepreneurs of Indonesia and China bear in high-risk tourism activity incidents. This study employs normative juridical research. In practice, Indonesia still lacks accurate categorization and standardization of high-risk tourism activities as well as provisions on tourism entrepreneurs’ obligations and liabilities that can hold them fully accountable for high-risk tourism activity incidents. By reflecting on China’s LPCRI and Tourism Law, in regard to upholding the safety of tourists, Indonesia should not heavily rely on implementing regulations but instead provide technical safety provisions related to high-risk tourism activities in the primary governing law, which is Law No. 10 of 2009. Lastly, in both countries, tourism entrepreneurs’ can be in the form of compensation or indemnity, criminal liability, and administrative sanctions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frans Anugerah Lase
"Penetapan sementara adalah suatu mekanisme perlindungan bagi pemilik Merek terdaftar dalam hal terjadinya suatu pelanggaran Merek. Penetapan sementara diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Penetapan sementara merupakan perintah Pengadilan Niaga atas permohonan Pemohon dengan tujuan untuk mencegah masuknya barang yang diduga hasil pelanggaran Hak atas Merek; pengamanan ddan pencegahan hilangnya barang bukti oleh pelanggar; dan/atau penghentian pelanggaran guna mencegah kerugian yang lebih besar. Oleh karena itu, penetapan sementara merupakan suatu mekanisme yang menghindarkan ataupun meminimalisir kerugian yang akan dialami oleh pemilik Merek terdaftar dari adanya pelanggaran Merek. Apabila melihat pengaturan mengenai penetapan sementara di negara lain, ditemukan suatu perbedaan dan juga persamaan mengenai mekanisme penetapan sementara. Persamaan dari implementasi penetapan sementara di Amerika Serikat dan Australia memiliki tujuan yang sama, yaitu mencegah dan meminimalisir dialaminya kerugian bagi pemilik Merek terdaftar. Perbedaan dari implementasi penetapan sementara di Amerika Serikat dan Australia, yaitu dari dapat diajukannya upaya hukum terhadap penetapan sementara, serta ada atau tidak adanya suatu uang jaminan. Selanjutnya, diketahui bahwa masih terdapat beberapa pihak yang belum mengerti mekanisme permohonan penetapan sementara. Hal ini terlihat dari tidak sesuainya permohonan penetapan sementara berdasarkan UU MIG. Terdapat pihak yang masih mengajukan permohonan penetapan sementara dengan mekanisme gugatan penghentian pelanggaran Merek berdasarkan Pasal 84 ayat (1) UU MIG. Selain permasalahan tersebut, penetapan sementara juga memiliki permasalahan dalam pengaturannya itu sendiri. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan menganalisis bagaimana pengaturan penetapan sementara beserta dengan perbandingan pengaturan penetapan sementara di Amerika Serikat dan Australia, bagaimana permasalahan pengaturan penetapan sementara, serta kekeliruan pemohon dalam permohonan penetapan sementara.

Injunction is a protection mechanism for registered Mark owners when a Mark infringement occured. Injunction are regulated in Law Number 20 of 2016 about Marks and Geographical Indications. The Injunction is an order from the Commercial Court at the Petitioner's request with the aim of preventing the entry of goods suspected of infringing on Trademark Rights; securing and preventing the loss of evidence by violators; and/or cessation of violations to prevent greater losses. Therefore, a temporary determination is a mechanism that avoids or minimizes losses that will be experienced by registered Mark owners from Mark infringements. The arrangements regarding injunction in Indonesia and other countries, have differences as well as similarities. The similarity of the implementation of injunction in the United States and Australia has the same objective, namely to prevent and minimize losses for registered Mark owners. The difference from the implementation of the injunction in the United States and Australia, namely from the possibility of filing legal remedies against the provisional order, and the obligation of a bail. Furthermore, it is known that there are still several parties who do not understand the mechanism for requesting an interim determination. This can be seen from the incompatibility of the request for a injunction based on the MIG Law. There are parties who are still submitting requests for injunctions with a claim mechanism for ending Mark infringement based on Article 84 paragraph (1) of the MIG Law. Apart from these problems, the injunction also has problems in the regulation itself. By using normative juridical research methods, this paper will analyze how the injunction is regulated along with a comparison of the provisional determination arrangements in the United States and Australia, how are the problems of injunction arrangements, and the applicant's confusion in the application for the injunction."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hany Areta Athayalia
"Pelindungan konsumen pada sektor perbankan merupakan salah satu hal yang fundamental. Pelaksanaan kegiatan pokok usaha perbankan tersebut pastinya akan menghasilkan interaksi yang menimbulkan atau berpotensi memunculkan berbagai isu yang menyebabkan terlanggarnya hak-hak nasabah. Salah satu kegiatan usaha bank adalah pemberian fasilitas kartu kredit. Penggunaan kartu kredit tidak hanya memberikan kemudahan tetapi juga menimbulkan masalah bagi nasabah salah satunya dengan adanya pendebetan sepihak untuk pembayaran tagihan kartu kredit. Pendebetan sepihak merupakan pengganti pelaksana pembayaran secara otomatis apabila nasabah belum memenuhi prestasinya untuk membayar tagihan. Pelaksanaan kartu kredit dengan adanya pendebetan sepihak ini didasarkan pada perjanjian baku yang tidak ternama. Hal ini berpengaruh pada ketiadaan posisi tawar bagi nasabah mengingat penggunaan kartu kredit ini didasari atas asas kepercayaan. Pada penelitian ini penulis ingin menelaah dan menganalisis bagaimana bentuk pelindungan konsumen pengguna kartu kredit atas pendebetan sepihak untuk pembayaran tagihan kartu kredit dan bagaimana kedudukan klausula tersebut ditinjau dari hukum pelindungan konsumen dan hukum perbankan. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan tipe penelitian deskriptif analitis. Hasil menunjukkan bahwa peraturan pelindungan konsumen sektor perbankan telah cukup memadai memberikan pelindungan atas hak-hak konsumen hanya perlu ditingkatkan pengawasannya. Autodebet atas kuasa nasabah untuk pembayaran tagihan tertentu berbeda dengan pendebetan sepihak untuk pembayaran tagihan kartu kredit. Kedudukan klausula pemberian kuasa kepada bank melakukan pendebetan sepihak tersebut pada dasarnya belum sesuai dengan asas itikad baik.

Consumer protection in the banking sector is one of the fundamental things. The implementation of the main banking activity will certainly emerge interactions that raise or have potential to raise issues regarding violation of customer rights. One of the banking activities is credit card facilitation. The use of credit cards not only provides convenience but also causes problems, for example the charge of unilateral debits to the customers for their credit card bills. Unilateral debit is a substitute for automatic payments that occurs when a customer has not successfully paid their bills. The implementation of unilateral debits in credit cards is based on unreputable written agreements. This causes the absence of a bargaining position for customers, considering that the use of credit cards is based on the principle of trust. This research aims to examine and analyze how consumer protection for customers charged with unilateral debits for credit card bills is performed and how the position of the clause is reviewed by consumer protection law and banking law. This research uses normative juridical method with a descriptive analysis research type. The findings show that consumer protection regulations in the banking sector are sufficient enough to protect consumer rights; only the supervision needs to be improved. Autodebits on the customer’s behalf for payment of certain bills is different from unilateral debits for payment of credit card bills. The position of the power of attorney clause to banks charging unilateral debits is not yet in accordance with the principle of good faith."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frianidzah Aridzma
"Kegiatan transaksi jual beli merupakan merupakan kegiatan sehari-hari untuk memenuhi
keperluan hidup. Seiring berkembangnya zaman, transaksi jual beli mengalami
perkembangan, salah satunya transaksi jual beli game capit. Sebagai inovasi transaksi jual beli elektronik yang memanfaatkan e-commerce Tiktok memiliki payung hukum yang
mengatur secara umum antara lain KUHPerdata, Undang-Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE), Peraturaan Pemerintah tentang Perdagangan Melalui
Sistem Elektronik (PP PMSE), dan peraturan tertulis lainnya. Sebagai metode transaksi
jual beli eletronik yang meliputi konsumen dan pelaku usaha juga perlu ditinjau dalam
Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) mengenai keabsahan sistem
transaksi, keabsahan barang yang dijual, serta tanggung jawab para pihak apabila terjadi kerugian. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, skripsi ini akan menganalisis mengenai keabsahan metode transaksi jual beli game capit, keabsahan
barang yang diperjualbelikan dalam praktik jual beli game capit, dan tanggung jawab para pihak apabila terjadi kerugian.

Commercial transaction activities are daily activities to fulfil daily needs. Nowadays, buy-sell transaction develops into new method everytime, for example game capit transaction. As an inovation of electronic commercial method, game capit transaction method is regulated under Indonesia Civil Code, Information and Electronic Transaction Law (Act Number 11 of 2008), Government Regulation Number 80 of 2019 on Trade Through Electronic Systems, and other written regulations. As electronic commercial activities that includes consumer and seller needs to be reviewed from Consumer Protection Law (Act Number 8 of 1999) about the validity of the system, the validity of the goods that been traded, and responsibility of the parties of any loss. Method used in
this research is normative juridical and will analyze through the validity of the system, the validity of the goods that been traded, and responsibility of the parties of any loss.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kania Aleyda
"Pandemi Covid-19 telah memberikan dampak besar pada berbagai sektor, termasuk industri penerbangan. Pembatalan penerbangan oleh maskapai penerbangan sebagai tindakan pengamanan kesehatan telah menjadi suatu kewajiban. Biarpun demikian, pembatalan ini seringkali berdampak pada konsumen yang telah membeli tiket pesawat. Salah satu bentuk pengembalian dana yang ditawarkan oleh maskapai penerbangan adalah voucer kredit dengan batas waktu tertentu. Hal ini menimbulkan masalah bagi konsumen yang menginginkan pengembalian dana secara penuh dan berbentuk tunai. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan menganalisis perlindungan
konsumen terhadap pengembalian dana berupa voucer kredit atas pembatalan sepihak maskapai akibat pandemic Covid-19 dengan mempertimbangkan larangan penerbangan akibat mudik yang diatur dalam Peraturan Kementerian Perhubungan No. 25 Tahun 2020. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, skripsi ini akan meninjau ketentuan hukum mengenai pengembalian dana maskapai berupa voucer kredit,
hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen, kebijakan larangan penerbangan, dan tanggung jawab pelaku usaha atas tidak terpenuhinya asas perlindungan konsumen akibat pengembalian dana berupa voucer kredit yang ditinjau berdasarkan UU
Perlindungan Konsumen dan Hukum Perjanjian. Hasil penelitian ini menghasilkan bahwa Pelaku usaha yaitu pihak maskapai pada dasarnya telah memberikan kompensasi atas pembatalan penerbangan akibat Covid-19 sesuai dengan UUPK namun pengembalian dana tiket berupa voucer kredit tidak sesuai dengan asas kepastian hukum dan asas keadilan dalam pelindungan konsumen. Pemberian voucer tiket sebagai bentuk
kompensasi atas pembatalan penerbangan akibat larangan operasional penerbangan maskapai tidak diatur secara khusus dalam perundang-undangan Indonesia. Namun, dengan pemberlakuan Permenhub 25/2020 memberikan opsi bagi maskapai untuk
memberikan kompensasi dalam bentuk voucer kredit.

The Covid-19 Pandemic has an impact on various sectors, including the aviation industry. Airlines cancel flights as an act of health security, which has become an obligation. However, these cancellations often negatively impact consumers who have already bought plane tickets. One form of refund offered by airlines is a credit voucher with a certain time limit. This causes problems for consumers who want a full cash refund This research aims to analyze consumer protection for refunds in the form voucher for unilateral airline cancellations due to the Covid-19 pandemic. It will consider the prohibition of flights due to homecoming, which is regulated by the Ministry of Transportation's Regulation No. 25 of 2020. Using the Normative-Normative Research Methods, this thesis will review legal provisions regarding refunds in the form of credit vouchers, legal relations between businesses and consumers, aviation prohibition policies, and the responsibility of businesses to fulfill the principle of consumer
protection. Refunds in the form of credit vouchers will be reviewed based on the Consumer Protection Act and Agreement Law. The results of this study show that airlines have provided compensation for flight cancellations due to Covid-19 in accordance with the UUPK. However, returning tickets in the form of a credit voucher does not adhere to the principles of legal certainty and justice in consumer protection. The provision of ticket vouchers as a form of compensation for flight cancellations due to the airline's operational ban is not specifically regulated in Indonesian laws. Nonetheless, the enactment of Permenhub 25/2020 provides airlines with options to provide compensation in the form of credit vouchers.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kimberlyne
"Sistem yang digunakan dalam pendistribusian barang dan/ atau jasa mulai dari kebutuhan primer, sekunder, hingga tersier sudah sangat amat banyak, salah satunya ialah sistem penggabungan (bundling). Penggunaan sistem penjualan bundling sudah tidak jarang ditemui dalam masyarakat, sehingga diperlukan pengaturan yang lebih khusus atau spesifik apabila hendak menerapkan sistem tersebut. Namun dikarenakan belum terdapat peraturan khusus tersebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengatasi permasalahan yang ada. Tujuannya agar hak dan kewajiban yang tertera pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen dari pihak konsumen maupun pelaku usaha tidak saling dilanggar ataupun melanggar. Serta perilaku konsumen juga tidak menyimpang dan selaras dengan ketentuan yang ada pada Undang-Undang Antimonopoli. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan mengenai bagaimana UU Perlindungan Konsumen dapat melindungi konsumen dalam kasus pembelian produk minyak goreng dengan sistem bundling dan legalitas dari penerapan sistem bundling apabila ditinjau dari UU Antimonopoli. Metode penelitian yang digunakan oleh Penulis dalam penulisan ialah yuridis normatif, menganalisis daftar pustaka ataupun data sekunder. Melalui penelitian, dapat diketahui bahwa tidak semua sistem bundling dilarang penerapannya hanya tipe pure bundling yang tidak diperbolehkan karena merugikan konsumen.

There are many systems used in the distribution of goods and/or services starting from primary, secondary, to tertiary needs, one of which is the bundling system. The use of the bundling sales system is not uncommon in the community, so more specific or specific arrangements are needed if you want to implement this system. However, because there is no specific regulation yet, Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection and Law Number 5 of 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition can be used as a reference in overcoming existing problems. The goal is that the rights and obligations contained in the Consumer Protection Act on the part of consumers and business actors are not violated or mutually violated. As well as consumer behavior does not deviate and is in line with the provisions in the Antimonopoly Law. Therefore, the author will explain how the Consumer Protection Law can protect consumers in cases of purchasing cooking oil products using the bundling system and the legality of implementing the bundling system when viewed from the Antimonopoly Law. The research method used by the author in writing is normative juridical, analyzing bibliography or secondary data. Through research, it can be seen that not all bundling systems are prohibited from being implemented, only the pure bundling type is not allowed because it is detrimental to consumers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nicole Christy Syamhadi
"Eksistensi pelantar digital memberikan kemudahan kepada pihak pembeli tiket konser dalam melakukan transaksi jual beli. Pemesanan tiket konser secara manual membutuhkan waktu yang lama baik dalam memasarkan tiket secara manual dan mengolah data pelanggan. Oleh karena itu, dalam menciptakan efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan pemasaran tiket konser diciptakan sistem yang terkomputerisasi. Aspek keamanan dan privasi data merupakan komponen penting dalam proses ekspansi produk layanan digital jual beli tiket konser untuk menanggulangi risiko kebocoran data. Salah satu tindakan kecurangan yang marak terjadi pada transaksi jual beli tiket konser adalah penggunaan malware bot. Penggunaan malware bot berisiko mengakibatkan kebocoran data, sebagaimana malware bot dapat menginfeksi sistem komputer dan memberi akses tidak sah untuk pencurian data pribadi dari pengguna layanan jual beli tiket konser tersebut. Perusahaan penyedia layanan jual beli tiket konser selaku pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk mematuhi dan mengimplementasi prosedur yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan untuk memenuhi hak konsumen. Salah satu prosedur pelindungan data pribadi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan adalah melalui pembuatan kebijakan internal yang pada hakikatnya merupakan kebijakan yang disusun oleh pelaku usaha. Kebijakan internal yang disusun oleh pelaku usaha secara mandiri, terkadang berpotensi untuk menciptakan situasi yang menguntungkan bagi pelaku usaha dan merugikan bagi pengguna. Maka dari itu, penerapan prinsip beritikad baik dan bertanggung jawab menjadi pokok yang mendasari penilaian terhadap susunan
kebijakan privasi dan syarat ketentuan yang disusun oleh suatu pelaku usaha. Kebijakan privasi tentu memuat apa yang menjadi kewajiban dan bagaimana tata kelola pemrosesan data pribadi, sebagaimana hal ini diamanatkan oleh UU PDP yaitu prinsip transparansi
dan pemberitahuan kepada subjek data atas pengelolaan datanya. Sehingga, tata kelola pemrosesan data pribadi menjadi unsur penting dalam menilai kepatuhan suatu pelaku usaha terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai perlindungan data pribadi.

The existence of digital platforms provides convenience for concert ticket buyers in conducting transactions. Convensional concert ticket booking requires a long time both in terms of the transactions and processing customer data. Therefore, to create effectiveness and efficiency in concert ticket services, a computerized system has been used for the transactions. The aspects of data security and privacy are becoming more important in the process of expanding digital product services for buying and selling concert tickets to mitigate the risk of data leaks. One of the fraudulent activities that often occurs in concert ticket transactions is the use of malware bots. The use of malware bots is risky and can result in data breaches, as malware bots can infect computer systems and provide unauthorized access for stealing personal data from users of the concert ticket buying and selling service. The concert ticket buying and selling service provider as a business actor has a responsibility to comply with and implement procedures required by regulations to fulfill consumer rights. One of the personal data protection procedures stipulated in the regulations is through the creation of internal policies, which are essentially policies formulated by business actors. Internal policies formulated by business actors independently sometimes have the potential to create situations that benefit the business actor and harm users. Therefore, the application of the principles of good faith and responsibility is the basis for assessing the structure of privacy policies and terms and conditions formulated by a business actor. The privacy policy certainly contains what is the obligation and how to manage the processing of personal data, as mandated by the Personal Data Protection Law, which includes transparency and notification principles to data subjects regarding the management of their data. Thus, the governance of personal data processing becomes an important element in assessing a business actor's compliance with applicable regulations on personal data protection."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Tobing, Yovitha Manuella Stefani
"Krisis dunia yang terjadi pada tahun 2021 berakibat langsung terhadap industri minyak kelapa sawit (crude palm oil). Di Indonesia sendiri peristiwa ini menyebabkan tingginya permintaan ekspor minyak goreng sawit Indonesia dari berbagai negara sehingga pelaku usaha lebih memilih untuk melakukan ekspor hasil produksinya. Hal ini menyebabkan pasokan dalam negeri menjadi berkurang. Kondisi makin diperparah dengan adanya pihak dalam alur distribusi yang tidak bertanggung jawab melakukan praktik penimbunan dan mengakibatkan kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng. Terdapat hak konsumen yang dilanggar dalam peristiwa ini sehingga penting untuk mengetahui pengaturan perlindungan konsumen dalam undang-undang yang dapat diterapkan. Berdasarkan pengaturan tersebut, dapat diketahui pula sanksi bagi pelaku usaha yang melakukan praktik penimbunan minyak goreng. Penulis menggunakan metode yuridisnormatif dalam penelitian ini dengan menelaah asas-asas hukum dan sumber hukum tertulis terkait perlindungan konsumen dan kelangkaan minyak goreng sebagai bahan kebutuhan pokok masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik penimbunan yang menyebabkan kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng melanggar hak konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu, pengaturan mengenai distribusi perdagangan bahan pokok diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Meskipun begitu, tetap dibutuhkan pengaturan yang lebih spesifik mengenai persenan jumlah cadangan persediaan minyak goreng yang dimiliki oleh para produsen minyak goreng sehingga
pada saat terjadi kelangkaan minyak goreng, para produsen dapat mengedarkan cadangan persediaan tersebut ke masyarakat. Selain itu, dalam pembentukan kebijakan, Pemerintah hendaknya melibatkan unsur masyarakat dan pihak terkait sehingga memenuhi rasa keadilan yang dikehendaki masyarakat serta menciptakan kebijakan yang tepat sasaran.

The world crisis that occurred in 2021 had a direct impact on the palm oil industry (crude palm oil). In Indonesia, this event has caused a high demand for exports of Indonesia palm cooking oil from various countries so that business actors prefer to export their products. This causes domestic supply to decrease. The condition is exacerbated by the presence of irresponsible elements in the distribution channel who practice hoarding practices and result scarcity and high prices for cooking oil. There were consumer rights
that were violated in this event, so it is important to know the consumer protection arrangements in applicable laws. Based on this arrangement, sanctions can also be identified for business actors who practice cooking oil hoarding. The author uses the juridical-normative method in this study by examining legal principles and written legal sources related to consumer protection and the scarcity of cooking oil as a basic need for society. The result of the research shows that hoarding practices that lead to scarcity and high prices for cooking oil violate consumer rights regulated in Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection. In addition, arrangements regarding the distribution of trade in staple goods are also regulated in Law Number 7 of 2014 concerning Trade and Law Number 18 of 2012 concerning Food. Even so, more specific arrangements are still needed regarding the percentage of cooking oil reserves owned by cooking oil producers so that when there is a scarcity of cooking oil, producers can circulate these stock reserves to the public. In addition, in policy information, the government should involve elements of the community and related parties as to fulfill the sense of justice desired by people and create policies that are right on target.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oktaviana Azalia Putri Widyanti
"Skripsi ini membahas tentang tanggung jawab pelaku usaha terhadap penjualan produk berupa mobil bekas. Semakin meningkatnya jumlah konsumen yang berminat membeli mobil bekas dan meningkatnya transaksi jual beli mobil bekas berarti hukum perlindungan konsumen harus lebih ditegakkan. Pelaku usaha harus sungguh-sungguh menjalankan kewajibannya yaitu memberikan jaminan dan bertanggung jawab atas kenikmatan dan kecacatan yang terdapat pada produk. Kewajiban tersebut termasuk kepada fasilitas layanan purna jual yang disediakan pelaku usaha dari mulai servis berkala sampai perbaikan terhadap komponen mobil. Jangan sampai pelaku usaha melakukan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen dan juga melakukan perbuatan yang tidak baik yang mengakibatkan konsumen mengalami kerugian. Sehingga permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai tanggung jawab pelaku usaha terhadap produk bekas dan bagaimana batasan tanggung jawab tersebut. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif melalui studi pustaka dan wawancara dengan narasumber. Penelitian ini menjelaskan bahwa tanggung jawab pelaku usaha yang melekat pada produk bekas merupakan tanggung jawab produk yang diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang Undang Perlindungan Konsumen. Kemudian mengenai batasan tanggung jawab pelaku usaha telah diatur dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 27 huruf e Undang Undang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha dibebaskan dari tanggung jawab tuntutan ganti rugi konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan terhadap barang tersebut. Selain itu, pelaku usaha juga dibebaskan dari tanggung jawab apabila telah lewat masa penuntutan empat tahun sejak barang dibeli atau lewat masa jaminan.

This thesis discusses the responsibilities of business actors for product sales in the form of used cars. The increasing number of consumers who are interested in buying used cars and the increase in used car buying and selling transactions means that consumer protection laws must be more enforced. Business actors must seriously carry out their obligations, namely providing guarantees and taking responsibility for the enjoyment and defects found in the product. This obligation includes after-sales service facilities provided by business actors starting from periodic servicing to repairs to car components. Do not let business actors violate consumer rights and also commit bad actions that result in consumers experiencing losses. So that the problems discussed in this study are regarding the responsibility of business actors for used products and how to limit this responsibility. This research uses a normative-juridical method through literature studies and interviews with source person. This research explains that the responsibility of business actors attached to used products is product responsibility which is regulated in Pasal 19 (1) UUPK. Then regarding the limitation of the responsibilities of business actors it has been regulated in Pasal 24 (2) and Pasal 27 e UUPK. Business actors are released from responsibility for claims for consumer compensation if other business actors who buy goods and/or services resell them to consumers by making changes to the goods. In addition, business actors are also released from responsibility if the prosecution period of four years has passed since the goods were purchased or the warranty period has passed."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>