Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 32 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Andriani
"Setiap filsuf mencoba mencari totalitas kebenaran realitas. Realitas menjadi ?ada? bila dibahasakan. Bahasa membuat objek yang tadinya tidak dikenali, menjadi teridentifikasi dan termaknai. Namun, bahasa selalu berpolar, terbatas dan kontingen sehingga kebenaran objektif yang ingin dicapai pun tidak pernah tuntas terungkap, ia selalu lepas. Ketidakmungkinan menemukan realitas objektif juga disebabkan oleh adanya proses speech-acts di dalam komunikasi. Ketika seorang filsuf menyampaikan kebenaran realitas, ia tidak hanya sekedar mengemukakan apa yang ia temukan melalui ucapan konstantif, tetapi dibalik tuturannya, ada tindakan performative agar orang percaya terhadap apa yang ia temukan. Mereka membuat kebenaran subjektif seolah-olah objektif.

Every philosopher always in effort to find truth of reality. Reality could be ?valid? if it expressed. Language makes unidentified object have meaning. But language expressed in polarity, imitation, and contingency so the idealized objective truth always in pursuit. The impossibility of finding objective reality also caused by speech-acts process in communication. When a philosopher delivers a truth of reality, s/he not only giving what s/he found by constantive utterance but also implies performative act to influence people. They turn subjective truth into objective ones."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S16121
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Sylvia Utami
"Modus keberadaan manusia (etre pour soi) yang berbeda dengan benda-benda (etre en soi), telah melahirkan adanya ketidaktunggalan identitas. Ada esensi yang mencair sehingga manusia bisa menjadi apa dan bagaimana sesuai dengan kehendaknya, sehingga ketunggalan identitas menjadi hal yang mustahil bagi manusia. Penggunaan tokoh tidak bernama dalam salah satu novel Iwan Simatupang, yakni novel Kering telah menjadi sebuah metafora yang sangat menarik akan keberadaan identitas yang tidak tunggal. Ada kebebasan yang dimiliki oleh manusia untuk menentukan identitas yang ingin disandangnya, sehingga sewaktu-waktu bisa menjadi apa saja, kapan saja dan di mana saja. Salah satu Filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre mengetengahkan kebebasan sebagai sesuatu yang mutlak dimiliki oleh manusia. Meskipun ada penghayatan terhadap nilai-nilai yang bisa mengurangi kebebasan itu sendiri (faktisitas), bagi Sartre kebebasan manusia tetap mutlak.

Existence of human which different with the objects is born the not single identity. There is the essence of the melt, so that man can become what and how in accordance with his will. In this case, the single of identity become impossible thing for humans. The use of character is not named in the novel from Iwan Simatupang, namely Kering has become a methapor which very interesting about the existence of identity that not single. There is a freedom which is owned by humans to determine the identity of themselves, so that can be anything, anytime and anywhere. One of the French Philosopher, Jean-Paul Sartre explores freedom as an absolutely things. Although there is something that could reduce the value of freedom (Facticity), humans still have their freedom as an absolute."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S11
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bhayu Mahendra Hendrobaskoro
"Nama Friedrich Nietzsche memang cukup sering didengar orang. Baik orang awam yang sekedar `pernah dengar' sampai mereka yang memang bergelut habis dengan pemikirannya. Sayangnya, nama ini sering didengar sebagai seorang yang penuh rasa anti: anti sistem, anti metode, anti agama, hingga anti Tuhan! Semua stigma itu telah berurat-berakar dalam benak banyak orang hingga menjadi semacam common sense. Padahal, common sense itu bermula dari cara pembacaan terhadap teks-teks Nietzsche yang disertai penafsiran tertentu. Jadi, semua itu semata masalah penafsiran. Hampir dua abad setelah Nietzsche, seorang filsuf yang juga berasal dari Jerman menyatakan, sebuah teks pada dasarnya adalah netral. Pembaca sekaligus penafsir teks itulah yang memberikannya makna. Sebuah teks yang dibaca pembaca sedapat mungkin diberikan `jembatan' dengan teks yang ditulis oleh pembuatnya. `Jembatan' itu disebut dengan hermeneutika, yaitu ilmu untuk menafsirkan teks. Dan filsuf itu bernama Hans-Georg Gadamer, Dengan metode hermeneutika filosofis yang disediakan olehnya, skripsi ini mencoba memurnikan stigmatisasi terhadap Nietzsche dan teks-teksnya sebagai ateis. Lebih jauh, skripsi ini bergerak untuk memberikan suatu horizon penafsiran baru terhadap pemikiran sang filsuf: teisme Nietzsche."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
S16162
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Restu Debrina Mahyuni
"Hukuman legal sebagai sebuah konsekuensi yuridis dilanggarnya hukum positif merupakan sebuah hal yang seringkali menjadi sentral perdebatan Para ahli ilmu hukum dan filsafat. Perdebatan yang terjadi tidak hanya mengenai bagaimana suatu hukuman dilaksanakan, melainkan juga mengenai pendasaran moral dari berlakunya suatu hukuman. Utilitarianisme sebagai sebuah aliran filsafat mencoba menjawab pertanyaan di atas dengan mengatakan bahwa sesungguhnya suatu hukuman dapat dibenarkan dengan melihat implikasinya di kemudian hari. Hukuman dibenarkan karena kegunaannya yang dapat mewujudkan kebahagiaan umum. Pembenaran etis utilitarianisme ini kemudian diperkuat lagi oleh pemikiran tokoh aliran ini, John Stuart Mill. Mill berpendapat bahwa manfaat (kegunaan) adalah suatu pertimbangan terakhir bagi semua permasalahan etis, dan manfaat yang ia maksudkan adalah manfaat dalam arti yang seluas-luasnya yang didasarkan atas kepentingan-kepentingan manusia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S16059
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Nestri Rahayu
"Maria Nestri Rahayu, 0701160216. Problem Subjek dalam Konsep Hiperealitas Jean Baudrillard; Analisa Filosofis film The Truman Show. (Di bawah bimbingan Bapak Tommy F Awuy). Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005. Untuk memahami konsep hiperealitas terutama problem subjek yang dikemukakan Jean Baudrillard perlu dilakukan penelusuran terhadap sejarah perkembangan filsafat mengenai tema-tema tersebut. Diawali dengan konsep realitas yang berkembang pada Taman Yunani, yaitu realitas sebagai substansi dasar pembentuk alam, yang terletak di bawah payung metafisika. Pada masa modern, pemahaman mengenai realitas diperoleh saat mencari pengetahuan yang benar dan tepat, Realitas berada baik dalam wilayah metafisika maupun episteinologi. Realitas bergeser menuju lingkup Filsafat Bahasa sejak hadirnya kaum strukturalis. dare sinilah, realitas mengalarni revolusi di dalam warna dekonstruksi, di bawah bendera postrukturalis. Adanya dekonstruksi membawa Jean Baudrillard untuk merumuskan sebuah konsep baru mengenai realitas, yaitu hiperealitas. Hiperealitas adalah era yang dituntun oleh model-model realitas tanpa asal usul dan referensi. Dunia yang nampak lebih real daripada realitas itu sendiri. Dalam wacana hiperealitas sudah tidak ada lagi subjek yang dapat diketahui. karena seluruh aspek kehidupan telah melebur dalam simulakrum, demikian halnya dengan subjek dan objek. Konsekuensi logis dari meleburnya subjek-objek adalah tidak adanya lagi subjek yang menandai hiperealitas. Kita tidak menyadari bahwa seluruh aspek kehidupan kita pun tidak lebih dari sebuah simulakrun besar. Pada saat manusia ikut terlarut di dalam sistem penandaan, maka terlihat tidak adanya lagi pemisahan antara subjek dan objek. Semuanya melebur dalam hiperealitas. Permasalahan mengenai relasi subjek-objek tidak terlepas dan problem realitas. Cara pandang mengenai realitas berimplikasi logis terhadap pengertian relasi subjek-objek. Para filsuf alam mengatakan bahwa subjek manusia berada di dalam himpunan objek (alam). Para pemikir modern memandang manusia sebagai pusat segala sesuatu yang dapat mengamati hal-hal di luar manusia (objek). Subjek modern mengambil jarak dengan objek, teljadi pemisahan tegas antara subjek dan objek. Fenomenologi mendamaikan pemisahan ini dengan intensionalitas-nya. Menghilangnya dikotomi subjek-objek nampak jelas ketika Derrida mengemukakan konsep Dasein, dan semakin dipertegas pada saat Wittgenstein dan Derrida mengemukakan mengenai permainan bahasa dan dekonstruksi. Melalui film The Truman Show, pemikiran Baudrillard yang cukup rumit, diturunkan dari tataran konsep ke tataran praktis, yang berada sangat dekat dengan kehidupan kita. Konsep hiperealitas, strategy of the real, dan problem subjek Film Truman Show merupakan film yang menceritakan mengenai reality show dalam bentuknya yang paling ekstrim. Di sini kita dapat inelihat dengan jelas betapa suatu bentuk simulakrum yang dibuat demi kepentingan tertentu, berhasil menyihir masyarakat untuk terus-menerus menyaksikannya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2005
S16179
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairil Parmato
"Tubuh merupakan medium yang paling tepat untuk memvisualisasikan diri. Tubuh juga merupakan titik pusat bagi diri. Tubuh yang melekat merupakan jembatan yang menghubungkan diri ini dengan ruang-ruang tak terbatas yang akan memvisualisasikan identitas diri. Dalam sejarahnya, persoalan mengenai tubuh tidak banyak mengambil porsi dalam pembicaraan yang besar seperti politik. Baru pada abad ke-20, tubuh mulai ramai dibicarakan di ruang publik dikarenakan perkembangan teknologi dan media yang ada. Tubuh mulai banyak disorot dan persoalan mengenai tubuh dengan cepat menjadi topik utama dan meluas ke area di mana ada diskursus mengenai citra tubuh yang dibentuk dalam masyarakat sampai mengenai identitas sosial yang dibentuk oleh tubuh. Diskursus mengenai tubuh semakin meluas ketika arus media dan industri fashion mulai berkembang dengan cepat. Berbagai nilai dan konsekuensi yang hares diambil tubuh menjadi suatu hal yang dianggap wajar. Problem tubuh tidak lagi hanya menyangkut masalah nilai dan identitas sosial seorang individu, namun juga meluas kepada problem kesehatan bahkan seksualitas. Dalam sejarah filsafat sendiri, persoalan mengenai tubuh lebih fokus dibahas oleh seorang filsuf Prancis, Michel Foucault. Baginya, tubuh merupakan media bagi sensasi, rasa dan kenikmatan bertempat. Menurutnya, tubuh merupakan satu dimensi dengan empat variabel di dalamnya, yakni kuasa-pengetahuan, kenikmatan, rasa, dan sensasi. Baginya, kuasa bagi tubuh bukanlah alat untuk merepresi tubuh melainkan alat untuk memperluas kemampuan tubuh dan meningkatkan kualitas tubuh. Foucault membuat tiga bentuk analisanya terhadap tubuh, yakni force relation, di mana di sini ia mengemukakan mengenai kekuasaan dan tubuh. Kemudian ia juga mengemukakan mengenai anatomi tubuh dan perwujudan kekuasaan dalam tingkah laku. Yang terakhir, ia berbicara mengenai tubuh sosial di mana, di sinilah adanya perwujudan kekuasaan dan tubuh. Bagi Foucault, sebuah diskursus mengenai tubuh tidak akan habis dibahas karena pembicaraan ini menyangkut segala aspek yang ada di masyarakat, karena nilai-nilai sosial yang dibentuk dalam masyarakat, bahkan identitas sosial seorang individu akan berakar pada tubuh. Tubuh merupakan benda sosial di mana ia adalah penanda bagi sebuah masyarakat. Perkembangan masyarakat dengan sistem kapitalisme globalnya, membuat masyarakat modem terjebak pada sebuah era eksplorasi dan eksploitasi tubuh. Itulah mengapa Foucault mengatakan bahwa tubuh manusia merupakan tempat yang paling esensial untuk pengoperasian kekuasaan. Tubuh juga merupakan tempat untuk tempat di mana praktek-praktek sosial terjadi. Dan sini tercapai sebuah kejelasan bagaimana tubuh sampai digolong-golongkan, dikonstitusi, dan dimanipulasi oleh kekuasaan. Diskursus mengenai tubuh mulai melebar lagi ketika negara dan media mengambil tempat di dalanmya. Mulailah ada proses normalisasi dan idealisasi yang dibentuk oleh negara dan media. Problematika yang terjadi menjadi bertambah luas ketika perkembangan media menawarkan berbagai idealisasi di dalamnya. Hal ini membuat tubuh bukan lagi seonggok daging dengan kebebasan dan kuasa di dalamnya, melainkan tubuh sebagai barang bongkar-pasang yang bisa diutak-atik sesuai dengan keinginan, kapan pun dan di mana pun. Diskursus mengenai tubuh tidak akan luput dari pembahasan seksualitas. Perkembangan seksualitas sering kali mengalami represi, yang dimulai dari zaman Victoria. Bahkan, sampai sekarang pun represi terhadap seksualitas masih terjadi dengan adanya bentukan idealisasi dan normalisasi dan negara dan media tali. Kuasa yang tadinya berfungsi melebarkan sayap kualitas tubuh menjadi berbalik menghakimi dan membatasi ruang gerak tubuh. Diskursus yang ada mulai membuat sebuah nilai kebenaran mengenai tubuh dan seksualitas. Tubuh merupakan sebuah media tempat segala macam aksesoris melekat. Sekarang, tubuh bisa dengan mudah dibentuk, dimanipulasi, dan direpresi. Diskursus mengenai tubuh dan seksualitas tidak akan pernah memiliki truth (kebenaran) dengan T besar di dalamnya, karena my body, your body, our body is wonderland!"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S16196
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ira
"Konsepsi identitas di zaman kontemporer tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang melekat pada diri individu dan bersifat natural, tetapi menjadi suatu konstruksi. Michel Foucault mencoba mengaitkan identitas dengan relasi kekuasaan, pengetahuan dan etika. Metode Genealogi menurutnya berusaha menelusuri perkernbangan historis masa kini yang berkonsentrasi pada teknologi kekuasaan dan relasinya dengan pengetahuan, termasuk di dalamnya konstruksi identitas. Teknologi kekuasaan (dominasi) menurut Foucault terfokus pada objektisasi individu ke dalam tubuh yang patuh (docile bodies). Kekuasaan bekerja terhadap tubuh subjek dengan sifatnya yang melatih, memaksa untuk melakukan disiplin, upacara-_upacara dan produksi tanda. Sedangkan teknologi diri merupakan kekuatan yang berasal dari individu berupa kehendak (will) dan hasrat (desire) dan berupa realisasi bagi terbentuknya identitas diri. Di sini subjek memiliki berbagai pilihan untuk bertindak dan bertahan. Identitas diri diekspresikan melalui berbagai bentuk representasi yang dapat dikenali oleh diri sendiri maupun yang lain (the other). Di sini identitas dianggap bersifat personal sekaligus sosial dan menandai bahwa kita sama atau berbeda dengan orang lain. Identitas dibentuk secara dialogis (dialogically) atau berada dalam wacana (discourse) yang selalu berada dalam jalinan relasi dengan yang lain (the other). Diskursus multikulturalisme tidak hanya membicarakan realitas masyarakat dengan lebih dari satu kultur (terdapat pluralitas kultur), tetapi terdapat fakta bahwa ada kelompok yang termarginalkan oleh kelompok lainnya. Penekanannya pada politik perbedaan, yakni pengakuan serta tanggapan terhadap hak fundamental individu yang dilindungi oleh institusi publik serta adanya sarana untuk bertahan dan berkembang. Jika identitas terbentuk secara dialogis, maka pengakuan secara publik terhadap identitas meminta politik yang meninggalkan ruang agar aspek identitas tersebut dibagi dengan orang lain. Pelbagai identitas kolektif digambarkan dalam suatu politik identitas (politics of recognitions) yang dilihat sebagai suatu cara mengkonstruksi makna-makna sosial dan identitas, suatu pencitraan yang positif terhadap kelompok-kelompok yang dianggap sebagai negatif. Ferninisme misalnya, merupakan salah satu bentuk perjuangan identitas perempuan dalam merekonseptualisasi peran sosialnya. Asumsi_-asumsi Foucauldian tentang teknologi kekuasaan diri mengimplikasikan tuntutan terhadap otonomi dan kesetaraan melalui strategi resistensi. Inilah kemudian yang menjadi dasar dari pergerakan identitas dalam menuntut pengakuan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S16084
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Novelia
"Media dewasa ini berada dalam tahap perkembangan yang paling krusial, dimana media massa tidak lagi menjadi penyebar realitas, tetapi sudah menjadi penyebar hiperrealitas. Hiperrealitas adalah era yang dituntun oleh model-model realitas tanpa asal-usul dan referensi. Dunia yang nampak lebih real daripada realitas itu sendiri. Media sangat menentukan bagaimana masyarakat memandang dunia dan menyikapi kehidupan berkat kemampuannya memanipulasi realitas menjadi hiperrealitas. Realitas sosial direkayasa sedemikian rupa oleh sejumlah besar pesan dan tanda yang torus menerus ditampaikan oleh media. Seperti yang dikatakan oleh Marshall McLuhan, seorang teoritikus media sekaligus pakar komunikasi yang juga menjadi acuan hagi sosiolog sekaligus ahli tilsafat posmodern Jean Baudrillard, bahwa media massa adalah suatu kekuasaan. la berkuasa menciptakan pesan yang tidak lain menurut Baudrilllard adalah tanda. Menurut McLuhan media adalah pesan dan juga perluasan tubuh manusia (Medium is a message : L:rteniion_s q/ Man). Kalau radio adalah perpanjangan telinga manusia, koran adalah perpanjangan mata manusia, mobil adalah perpanjangan kaki manusia, maka televisi adalah perpanjangan otak manusia. Media sebagai sebuah pesan dapat dilihat dari bentuk atau format tampilannya. Sebuah tayangan sinetron misalnya, yang menarik bukan hanya isi pesannya tetapi juga bagaimana pesan itu dikemas. Sinetron sebagai media kekuatannya terletak pada kemampuan untuk merekayasa fakta dan fiksi, realitas dan ilusi, kebenaran dan kepalsuan dalam rangkaian tanda. Yang cukup merisaukan pada perkembangan tayangan sinetron dewasa ini adalah pada sistem yang melekat didalamnya yaitu keharusan untuk setiap saat menghibur nasyarakat. Bahayanya bukan terletak pada keterhiburan masyarakat, melainkan bahaya lanjutannya yakni masyarakat menjadi lupa akan realitas real sehari-hari. Padahal realitas yang ditampilkan sinetron bukanlah realitas real, melainkan citraan abstrak hasil rckayasa. Kekuatan yang lain yang juga rnerupakan kunci kekuatan sinetron sebagai media adalah 'bentuk'-nya. Bentuk suatu media mempengaruhi bagaimana massa menerima informasinya. Dengan bentuknya yang ideal, sinetron sebagai media mampu memanipulasi segala sesuatu yang sesuai dengan kepentingan kapitalisme global yang menghidupinya. Sinetron mampu merekayasa konteks waktu dari suatu peristiwa atau hal dan membuat segalanya masuk dalam konteks 'kekinian' yang semu. Sinetron sebagai media mereproduksi segala kenangan masa lampau dan ilusi masa depan menjadi fakta semu yang sedang berlangsung. Sinetron telah menciptakan tanda-tanda semu. Seperti yang diungkapkan Baudrillard, media menciptakan realitas simulasi, suatu rangkaian tanda yang tak lagi diketahui mana yang otentik dan mana yang tiruan, mana yang benar dan mana yang salah, mana yang real dan mana yang palsu. Realitas simulasi yang diciptakan media, menjadikan kode sebagai prinsip utama dalam kehidupan sosial ini. Simulasi dan kode menarik seluruh realitas menuju hiperrealitas..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S16178
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Heraini
"Kierkegaard merupakan filsuf yang dijuluki sebagai founder of existentialism. Kierkegaard memberikan pemahaman baru terhadap pemaknaan sebelumnya mengenai eksistensi individu, individu harus menjalani hidup dengan gairah. Memilih merupakan bagian dari gairah dalam kehidupan eksistensial, pilihan-pilihan atas eksistensi individu tidak dapat memberikan kepastian mengenai apa yang akan terjadi. Sehingga diperlukan kebenaran yang diyakini oleh individu untuk memutuskan apa yang menjadi pilihannya sebagai wujud kediriannya.Peter Parker dalam Spiderman 3 merupakan sebuah contoh atas pemahaman eksistensialisme Kierkegaard. Peter Parker berhadapan dengan pilihan atas eksistensinya yang membutuhkan pertimbangan etis dalarn dirinya.

Kierkegaard is a philosopher who called as founder of existentialism. Kierkegaard gave a new understanding toward previous meaning of individual existence, an individual should live his/her life with enthusiasm. Choosing is part of existential life enthusiasm, choices of individual existence giving uncertainty of further things. So that, it is needed individual truth which assured by him/her to choose what further things in order of existence actualization.Peter Parker in Spiderman 3 is an example on Kierkegaard's existentialism comprehension. Peter Parker dealing with his existential choice that needed ethical consideration."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S16047
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ali
"Skripsi ini membahas mengenai manusia sebagai makhluk unik yang berada di antara elan vital dan materi. Manusia memiliki kodrat untuk selalu menuju _lan vital yang merupakan jalan menuju kebebasan. Akan tetapi, ketidakwaspadaan dapat menyebabkan manusia tergelincir menuju materi. Ketergelinciran ini disebut dengan komik. Pada situasi dan kondisi komik, manusia kehilangan kebebasannya. Segala geraknya terdeterminasi dan terlihat seperti mesin yang bergerak mekanis dan otomatis. Di dalam masyarakat situasi komik dianggap sebagai ancaman. Ketidakmampuan untuk beradaptasi menyebabkan seseorang menjadi komik. Hukuman bagi seseorang yang berlaku komik adalah dengan ditertawakan.

This essay discusses about man as unique creatures existing between the elan vital and the matter. Naturally, man always toward to _lan vital which is the road to freedom. However, incautiousness can slip him to the matter. This loseness is called with comic. In the comic situations and conditions, man loss his freedom. Their movements are determined and looked like the engine moving automatically and mechanically. In society, comic situation is seen as a threat. Inability to adapt can cause someone to be comic. The punishment for someone who act comically is being laugh."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S16056
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>