Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 43 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erny Sagita
"ABSTRAK
Kitosan merupakan polimer alam yang bersifat kationik. Sifat kationik tersebut
membuat kitosan dapat berinteraksi dengan polimer anionik membentuk
kompleks polielektrolit (KPE). Dalam penelitian ini, pektin digunakan sebagai
polimer anionik yang berinteraksi secara ionik dengan kitosan. Tujuan dari
penelitian ini adalah membuat dan mengkarakterisasi KPE kitosan-pektin yang
akan digunakan sebagai matriks dalam sediaan tablet mengapung. Larutan kitosan
dan pektin 0,3% b/v dicampur dengan perbandingan 1:9, 3:7, 1:1, 7:3 dan 9:1
pada pH 4,5 dan 5,0. Kondisi terbaik untuk menghasilkan KPE adalah pada pH
5,0 dengan perbandingan larutan kitosan dan pektin = 3:7. Perbedaan karakteristik
KPE kitosan-pektin dengan polimer asalnya ditunjukkan dengan analisis gugus
fungsi, analisis termal, daya mengembang dan kekuatan gel. Selanjutnya KPE
digunakan sebagai matriks dalam sediaan tablet mengapung dengan famotidin
sebagai model obat. KPE juga dikombinasikan dengan hidroksipropilmetilselulosa
(HPMC) dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Hasil uji disolusi menunjukkan
bahwa KPE dapat menahan pelepasan famotidin selama 10 jam. Kombinasi
dengan HPMC dapat membantu KPE menahan pelepasan famotidin hingga 20
jam. Tablet yang hanya mengandung KPE sebagai matriks hanya dapat bertahan
mengapung hingga 12 jam, sedangkan tablet dengan kombinasi KPE dan HPMC
dapat bertahan mengapung hingga 24 jam.

ABSTRACT
Chitosan is a natural cationic polymer. That cationic property makes chitosan can form polyelectrolite complex (PEC) with anionic polymer. In this research, pectin was used as anionic polymer that interact ionically with chitosan. The aim of this research is to produce and characterize chitosan-pectin PEC that would be used as matrix in floating tablet. The solutions of chitosan and pectin 0,3% w/v were mixed in ratio 1:9, 3:7, 1:1, 7:3 and 9:1 with pH of the solution 4,5 and 5,0. The best condition to produce PEC was in pH 5,0 with ratio of chitosan and pectin = 3:7. The differences between chitosan-pectin PEC characteristic and its origin polymer were shown by functional group analysis, thermal analysis, swelling capacity and gel strength. The PEC was then used as matrix in floating tablet with famotidin as a model. PEC was also combined with hydroxypropilmethylcellulose (HPMC) in different concentrations. The results of the dissolution study showed that PEC could retard the release of famotidin for 10 hours. PEC in combination with HPMC could retard the release of famotidin for 20 hours. Tablet that only contains PEC as matrix could remain buoyant for 12 hours while tablet with combination of PEC and HPMC could remain buoyant for 24 hours. "
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S32816
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Riskafuri
"Gliklazid merupakan antidiabetik oral golongan sulfonilurea generasi kedua yang digunakan pada pengobatan diabetes melitus tipe 2. Namun, gliklazid dengan kelarutan rendah dalam air memiliki laju disolusi yang rendah dan menyebabkan masalah pada bioavailabilitas. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan laju kelarutan dan disolusi gliklazid menggunakan metode mikronisasi. Proses mikronisasi dilakukan dengan menggunakan alat vibrating mill dengan variasi durasi milling. Mikrokristal yang terbentuk dikarakterisasi menggunakan particlesize analyzer, scanning electron microscopy, differential scanning calorimetry, dan X-ray powder diffraction, serta diuji profil kelarutannya dan laju disolusinya.
Hasil PSA dan SEM menunjukan terjadinya penurunan ukuran partikel. Struktur kristal tidak berubah berdasarkan hasil XRD dan terjadi penurunan suhu puncak endotermik dan entalpi peleburan berdasarkan hasil DSC. Hasil uji disolusi serbuk menunjukkan adanya peningkatan laju disolusi sebesar 2,50 kali dibandingkan serbuk gliklazid standar. Pada sediaan tablet terjadi peningkatan laju disolusi sebesar 1,13 kali dibandingkan tablet gliklazid standar.

Gliclazide is a second generation sulfonylurea which is useful in the treatment of type 2 diabetes mellitus. However, gliclazide with low solubility in water has low dissolution rates and hence suffer from oral bioavailability problems. This study is intended to enhance the solubility and dissolution rate of gliclazide by using micronization method. The micronization process carried out by using a vibrating mill with varying the milling duration. Microcrystals were characterized with particle size analyzer, scanning electron microscopy, differential scanning calorimetry, and X-ray powder diffraction, and also solubility and dissolution test.
PSA and SEM results indicated that the particle size were decreased. Crystal structure did not change based on the results of XRD and the endothermic peak temperature and enthalpy of fusion were decreased based on the results of DSC. The rate of dissolution was increased about 2,50 times compared with standard. In tablet dosage form, the dissolution rate was increased about 1,13 times compared with standard.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2011
S839
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Farkhani
"Sulokrin telah dilaporkan memiliki aktivitas sebagai inhibitor α-glukosidase. Model tiga dimensi (3D) enzim dikonstruksi berdasarkan struktur kristal α-glukosidase S. solphataricus (MalA) dan sub-unit N-terminal Maltase-Glukoamilase manusia (NtMGAM) (Saqib & Siddiqi, 2008) menggunakan Modeller9.10. Penambatan sulokrin dilakukan pada dua bentuk konformasi yakni berdasarkan energi terbaik dan klaster terbaik menggunakan Autodock4.2 dan hasilnya menunjukkan nilai G secara berturut-turut yakni -6,90; -6,44 kkal/mol dan Ki= 8,74; 19,13 M, sebagai kontrol inhibitor α-glukosidase digunakan akarbose, miglitol, voglibose, dan salasinol dengan skor nilai G= -7,80; -7,60; -6,56 dan -4,25 kkal/mol, serta Ki= 2,12; 2,77; 15,75 dan 482,55 M. Interaksi sulokrin pada situs aktif α-glukosidase manusia dipelajari melalui simulasi dinamika molekuler menggunakan AMBER dan menunjukkan adanya interaksi kuat dan stabil pada residu Asp587, dibandingkan dengan akarbose yang menunjukkan interaksi dengan residu Asp587, Asp398, Asp511, dan Phe 518, sedangkan voglibose menunjukkan interaksi dengan residu Asp398 dan Asp511.

Sulochrin has reported active as α-glucosidase inhibitor. The three-dimensional (3D) model of enzyme is constructed based on the crystal structures of the S. solphataricus α-glucosidase (MalA) and Human N-terminal subunit of Maltase-Glucoamylase (NtMGAM) (Saqib & Siddiqi, 2008) by using Modeller9.10 program. Docking of sulochrin performed on two conformational form based on the best energy and best cluster by using Autodock4.2 and the result showed G value = -6.90, -6.44 kcal/mol and Ki value= 8.74, 19.13 M, respectively, as a control of α-glucosidase inhibitor is used acarbose, miglitol, voglibose, and salacinol with a score of G value= -7.80, -7.60, -6.56, -4.25 kcal/mol and Ki value= 2.12, 2.77, 15.75, 482.55 M, respectively. Interaction of sulochrin to active site of Human α-glucosidase has been studied by molecular dynamic simulation using AMBER and showed a strong and stable interactions with Asp587 residue, in comparison with acarbose showed interactions with Asp587, Asp398, Asp511, and Phe 518, while voglibose showed interactions with Asp398 and Asp511."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S42318
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Purwinda Herin Marliasih
"ABSTRAK
HPMCP HP-55 dan Eudragit L 100-55 adalah polimer sensitif pH yang dapat menahan pelepasan obat pada pH asam dan melepaskan obat pada pH diatas 5,5 serta digunakan sebagai bahan penyalut dalam sediaan lepas tunda. Natrium diklofenak merupakan golongan antiinflamasi AINS yang memiliki efek samping mengiritasi mukosa lambung dipilih sebagai model obat. Mikrokapsul HPMCP HP-55 dibuat dengan metode penguapan pelarut sedangkan mikrokapsul Eudragit L 100-55 dengan metode semprot kering. SEM, PSA, sieve analizer, dan uji pelepasan obat secara in vitro digunakan untuk mengkarakterisasi mikrokapsul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mikrokapsul HPMCP HP-55 terdistribusi pada rentang 181-1180 μm dan mikrokapsul Eudragit L 100-55 pada rentang 0,4-20 μm. Uji pelepasan natrium diklofenak dari mikrokapsul HPMCP HP-55 dengan rasio 1:2 dan 1:3 menunjukkan pelepasan sebesar 7,31 dan 5,75% dalam medium HCl pH 1,2 serta 96,04% dan 93,27% dalam medium dapar fosfat pH 6,8. Sedangkan mikrokapsul Eudragit L 100-55 pada rasio 1:1 menunjukkan pelepasan sebesar 0,47% dalam medium HCl pH 1,2 dan 88,75% dalam medium dapar fosfat pH 6,8. Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa mikrokapsul HPMCP HP-55 rasio 1:2 dan 1:3 serta mikrokapsul Eudragit L 100-55 rasio 1:1, memenuhi persyaratan sebagai sediaan lepas tunda.

ABSTRACT
HPMCP HP-55 and Eudragit L 100-55 are pH sensitive polymers which can retain drug release at acidic pH, releases drug at pH above 5.5 and used as coating material in the delayed release dosage form. Diclofenac sodium is an antiinflammatory NSAID which has side effect irritating gastric mucosa, was chosen as model drug. HPMCP HP-55 microcapsules prepared by solvent evaporation method, while Eudragit L 100-55 microcapsules by spray-dry method. SEM, PSA, sieve analyzer, and drug release test in vitro is used to characterize microcapsules. The results showed that HPMCP HP-55 microcapsules distributed in range 181-1180 μm and microcapsules Eudragit L 100-55 in range 0.4 to 20 μm. The release test of diclofenac sodium microcapsules HPMCP HP-55 with ratio 1:2 and 1:3 showed the release 7.31 and 5.75% in medium HCl pH 1.2, 96.04% and 93.27% in the medium buffer phosphate pH 6.8. Meanwhile, Eudragit L 100-55 microcapsules at ratio of 1:1 showed the release of 0.47% in acid medium pH 1.2 and 88.75% at phosphat medium pH 6.8. From the results it is concluded that the HPMCP HP-55 microcapsules ratio 1:2 and 1:3 and Eudragit L 100-55 microcapsules ratio 1:1, qualify as delayed release dosage form."
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2011
S1471
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Reni Yandwi Sari
"Praktek Kerja Profesi Apoteker di Direktorat Bina Produksi Dan Distribusi Alat Kesehatan Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia bertujuan untuk mengetahui struktur organisasi, tugas, dan fungsi serta peran apoteker dalam kebijakan, pengawasan dan pengendalian alat kesehatan dan perbekalan kesehatan rumah tangga. Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan mempunyai tugas dalam melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan penyusunan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK), serta pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang produksi dan distribusi alat kesehatan serta perbekalan kesehatan rumah tangga. Tugas khusus yang diberikan berjudul pemeriksaan dan penilaian berkas permohonan izin edar produk diagnostik "Hormolisa Testosterone". Penilaian dilakukan untuk mendapatkan izin edar, dimana produk tersebut memiliki identifikasi spesifik. Identifikasi tersebut diperlukan untuk penentuan klasifikasi alat kesehatan, persyaratan dan pendaftaran kode Code of Federal Regulation (CFR) dan Harmonized Commodity Description and Coding System (HS code).

Apothecary Internship at Directorate of Production and Distribution of Medical Devices Directorate General of Pharmaceutical and Medical Devices of the Republic of Indonesia's Ministry of Health aimed to determine the organizational structure, duties, functions and role of the pharmacist in the policy, supervision and control of medical equipment and medical supplies household. Directorate of Production and Distribution of Medical Devices has a duty to carry out the preparation of the formulation and implementation of policies and preparation of Norms, Standards, Procedures and Criteria (NSPK), and providing technical guidance and evaluation in the field of production and distribution of medical equipment and medical supplies household. Given a special assignment called inspection and assessment of the marketing authorization application for beam diagnostic products "Hormolisa Testosterone". Assessment is carried out to obtain marketing authorization, where the product has a specific identification. Identification is required for the determination of the classification of medical devices, the requirements and the registration code of the Code of Federal Regulations (CFR) and the Harmonized Commodity Description and Coding System (HS code)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suki Handayani
"Penggunaan antioksidan alami mulai ber1
terdapat dalam ekstrak biji petai (Parkia speciosa) menggunakan metode peredaman radikal bebas DPPH (1,1-difeniI-2-pikrilhidrazil) dan metode
tiosianat serta meneari fraksi aktif dari ekstrak biji petai yang memiliki aktivitas antioksidan. Uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH dan tiosianat secara spektrofotometri menunjukkan bahwa ekstrak biji petai yang diuji memiliki aktivitas antioksidan dan ekstrak metanol memiliki aktivitas
antioksidan tertinggi dengan nilai ICso sebesar 80,558 ~g/ml, sedangkan ekstrak air, kloroform dan washbenzene masing-masing dengan nilai ICso 102,007, 152,917 dan 180,77 ~g/ml. Sebagai pembanding, vitamin C dan BHT memiliki ICso sebesar 4,307 ~g/ml dan 4, 77 ~g/ml. Penentuan pola
kromatografi dilakukan dengan menggunakan larutan pengembang kloroform-metanol (9:1) untuk ekstrak metanol dan ekstrak air, larutan pengembang n-heksana-metanol (9: 1) untuk ekstrak kloroform dan ekstrak washbenzene. Pada masing-masing hasil elusi ekstrak disemprot dengan menggunakan DPPH 0.2 % dalam metanol. Pada keempat ekstrak terlihat
bereak kuning pueat berlatar belakang ungu. Ekstrak metanol memiliki jumlah bereak yang terbanyak dalam meredam aktivitas radikal. Hasil penelitian
menunjukkan ekstrak biji petai memiliki aktivitas antioksidan dan fraksi yang bertanggung jawab adalah polifenol, flavonoid dan sulfidril."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syatiani Arum Syarie
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui toksisitas ekstrak daun Garcinia
porrecta Wall var. schizogyna Boerl dengan metode Brine Shrimp Lethality Test
(BSLT) dan mengetahui senyawa kimia dari fraksi yang aktif. Daun G. porrecta
Wall var. schizogyna Boerl diekstraksi dengan pelarut n-heksana, aseton, dan
metanol. Hasil uji BSLT pada ekstrak menunjukkan bahwa ekstrak metanol
memiliki sifat toksik dengan nilai LC50 sebesar 564,424 ppm, sedangkan ekstrak
n-heksana dan aseton tidak bersifat toksik karena nilai LC50 lebih dari 1000 ppm.
Fraksi hasil pemisahan ekstrak metanol secara kromatografi cair vakum diperoleh
10 fraksi M1, M2, M3, M4, M5, M6, M7, M8, M9, dan M10. Fraksi M3
merupakan fraksi yang paling toksik dengan nilai LC50 sebesar 75,366 ppm.
Fraksi M3 difraksinasi kembali dengan kromatografi kolom dan diperoleh 5 fraksi
gabungan yaitu fraksi M31, M32, M33, M34, dan M35. Fraksi yang memiliki
toksisitas tertinggi adalah fraksi M31 dengan nilai LC50 sebesar 9,568 ppm.
Identifikasi golongan senyawa dari fraksi M31 menunjukkan bahwa fraksi tersebut
mengandung senyawa golongan flavonoid."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S33120
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmadiah
"Asam jawa (Tamarindus indica L.) merupakan salah satu tanaman obat yang daunnya memiliki khasiat sebagai kholagogik dan laksatif. Ekstrak daunnya digunakan untuk mengobati batuk, demam, reumatik, icteric jaundice, infeksi cacing, ulkus, dan insomnia. Daun yang masih muda dan bunganya digunakan untuk mengobati konstipasi, dispepsia, flatulensi, dan infeksi saluran urin. Daun asam jawa juga memiliki aktifitas antibakteri spektrum luas dan dapat digunakan pada terapi diabetes tipe-2. Dalam upaya mengembangkan obat tradisional, pada penelitian ini dilakukan penetapan beberapa parameter spesifik dan non spesifik ekstrak etanol daun asam jawa, sehingga diperoleh parameter yang konstan. Daun asam jawa dikumpulkan dari daerah Depok, Tawangmangu, dan Bekasi sebagai bahan penelitian. Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan etanol 50%. Dari penelitian ini diperoleh ekstrak kental berwarna coklat-kehitaman, berbau khas dan rasanya asam. Rendemen ekstrak berkisar antara 25,27-39,12%, kadar senyawa terlarut dalam air berkisar antara 58,68-69,55%, dan kadar senyawa terlarut dalam etanol berkisar antara 51,20-52,92%. Susut pengeringan berkisar antara 16,00-25,80% dan kadar air berkisar antara 10,15-18,03%. Kadar abu total berkisar antara 4,40-4,84%, sedangkan kadar abu yang tidak larut asam berkisar antara 1,52-2,18%, dan sisa pelarut etanol tidak lebih dari 1%. Cemaran logam berat Pb dan Cd tidak lebih dari 0,01%, sedangkan cemaran logam berat Hg tidak lebih dari 0,001%. Identifikasi kimia menunjukkan bahwa ekstrak mengandung flavonoid, tanin, glikosida,dan saponin. Pola kromatogram ekstrak etanol secara kromatografi lapis tipis dan kromatografi lapis tipis densitometer dengan fase gerak kloroform-metanol-air (80:12:2) memperlihatkan 4 bercak biru tua setelah disemprot dengan besi (III) klorida 10% dalam air. Kadar fenol total dalam ekstrak ditetapkan secara spektrofotometri menggunakan reagen Folin Ciocalteu pada panjang gelombang 642 nm berkisar antara 0,35-8,24% dihitung sebagai asam galat.

Tamarind (Tamarindus indica L.) is one of medicinal plants which the leaves were known having advantages as cholagogic agent and laxative. Leaves of tamarind are used to cure cough, pyretic, rheumatism, icteric jaundice, worm infection, ulcer, and insomnia. Leaves and flowers are used to cure constipation, dyspepsia, flatulence, and urinary tract infection. They also have broad spectrum antibacterial activity and able to be used in diabetes type-2 therapy. In order to develop traditional medicine and guarantee the quality and safety, determination of some specific and non specific parameters has been done to gain constant parameters. The sample materials were collected from Depok, Tawangmangu, and Bekasi. The samples were macerated by using ethanol 50%. The result of research was a thick brown to blackish extract, with specific smell and sour taste. The yield of extract was 25.27-39.12%, the water soluble extractive substances were 58.68-69.55%, while ethanol soluble extractive substances were 51.20-52.92%. Loss on drying was 16.00-25.80% and the water content was 10.15-18.03%. The total ash content was 4.40-4.84%, the acid-insoluble ash content was 1.52-2.18%, and the solvent residue was not more than 1%. Heavy metals contamination of Pb and Cd were less than 0.01% while heavy metal contamination of Hg was less than 0.001%. The chemistry identification showed that the extract contains flavonoid, tannin, glycosides, and saponin. The chromatograms profile used thin layer chromatography and densitometer thin layer chromatography in chloroform-methanol-water (80:12:2) mobile phase, gave 4 dark blue spots after sprayed with iron (III) chloride 10% in water. Total phenol content was between 0.35-8.24% determined by spectrophotometry using Folin Ciocalteu reagent at 642 nm, counted as gallic acid equivalent."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2009
S32674
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andita Mandasari
"Penggunaan kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa) telah diteliti memiliki khasiat dalam menurunkan tekanan darah tinggi melalui efek vasodilator. Herba seledri (Apium graveolens) juga telah dikenal sebagai herbal antihipertensi dengan efek diuretik dan vasodilator. Karena kesamaan khasiat keduanya dalam menurunkan tekanan darah, penelitian ini bertujuan membuat kombinasi teh herbal dari kelopak bunga rosella dan herba seledri yang distandardisasi.
Standardisasi ditetapkan terhadap simplisia kelopak bunga rosella dan herba seledri meliputi beberapa parameter spesifik dan non-spesifik. Tiga formula teh herbal yang dibuat kemudian diuji kesukaan untuk mengetahui formula yang paling disukai dari 30 panelis. Formula yang paling disukai adalah formula C yang terdiri atas 2 gram kelopak bunga rosella dan 0,5 gram herba seledri.

The use of rosella calyx (Hibiscus sabdariffa) has been examined to have an activity on decreasing high blood pressure through vasodilator effect. Celery herb (Apium graveolens) has been acknowledged as an antihypertension herb with vasodilator and diuretic effect. Since both have similar activity on decreasing high blood pressure, this study was to intended to prepare the combination of herbal tea from standardized rosella calyx and celery herb.
Standardization determined for rosella calyx and celery herb required several spesific and non-spesific parameters. Three different formulas of herbal tea were prepared that would be hedonically tested to obtain the most favoured from the 30 panelists. The most favoured herbal tea formula was formula C which contained 2 gram rosella calyx and 0,5 gram celery herb.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2009
S32711
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Megawati Salim
"Logam berat yang mencemari lautan dapat terakumulasi dalam tubuh biota laut dan menimbulkan bahaya bagi manusia yang mengkonsumsinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar timbal, tembaga, dan kadmium pada kerang dara dan kerang hijau Muara Angke. Daging kerang dara dan kerang hijau dipisahkan dari cangkangnya, dikeringkan dalam oven (105oC) hingga bobot konstan, lalu dihaluskan dengan blender. Sampel daging kerang ini kemudian didestruksi dengan 20 mL asam nitrat pekat menggunakan microwave digestion system (200oC, 25 menit). Serapan logam dalam sampel diukur dengan spektrofotometer serapan atom (SSA) pada panjang gelombang yang spesifik, yaitu 283,3 nm untuk timbal; 324,8 nm untuk tembaga; dan 228,8 nm untuk kadmium. Asetilen-udara digunakan sebagai gas pembakar dan oksidannya. Penelitian menunjukkan bahwa kerang dara kecil mengandung timbal 1,1967 μg/g, tembaga 3,6056 μg/g, dan kadmium 3,7298 μg/g; kerang dara besar mengandung timbal 0,8684 μg/g, tembaga 3,5077 μg/g, dan kadmium 1,8077 μg/g; kerang hijau kecil mengandung timbal 0,7750 μg/g, tembaga 2,7671 μg/g, dan kadmium 0,1876 μg/g; kerang hijau besar mengandung timbal 0,4649 μg/g, tembaga 2,1131 μg/g dan kadmium 0,1632 μg/g. Berdasarkan batas aman yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, kerang dara Muara Angke sudah tidak layak untuk dikonsumsi."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S33161
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>