Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Winni Rezki Wulandari
"Salah satu nutrien utama yang mengakibatkan terjadinya eutrofikasi pada sistem akuatik adalah senyawa fosfat. Jumlah fosfat yang tinggi di sistem akuatik mengakibatkan kualitas air menjadi menurun dan keseimbangan ekosistem menjadi terganggu. Fenomena eutrofikasi ini dapat diatasi dengan suatu metode, yaitu adsorpsi yang dipengaruhi oleh suatu adsorben. Abu terbang batubara telah menjadi perhatian oleh para peneliti untuk dijadikan sebagai adsorben dalam adsorpsi fosfat. Dalam penelitian ini, dilakukan modifikasi abu terbang dengan asam, yang terdiri dari H2SO4, HCl dan campuran kedua asam tersebut serta dilakukan modifikasi abu terbang menggunakan basa, yaitu NaOH secara hidrotermal. Hasil modifikasi abu terbang dikarakterisasi dengan menggunakan XRF, XRD, SEM, FTIR dan SSA lalu dijadikan sebagai adsorben untuk adsorpsi fosfat dan dibandingkan dengan abu terbang tanpa modifikasi. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kapasitas adsorpsi fosfat dari abu terbang termodifikasi asam dan abu terbang modifikasi basa secara hidrotermal memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan abu terbang tanpa modifikasi. Abu terbang termodifikasi asam, yaitu HCl, H2SO4 dan campuran kedua asam tersebut memiliki kapasitas adsorpsi masing-masing mencapai 0,606 mg P-PO4/g, 0,655 mg P-PO4/g, dan 0,705 mg P-PO4/g
dengan %efisiensi adsorpsi sebesar 73,58%, 79,60% dan 85,62%. Abu terbang modifikasi basa secara hidrotermal memiliki kapasitas adsorpsi mencapai 0,677 mg P-PO4/g dengan %efisiensi sebesar 82,27%. Sementara, abu terbang tanpa modifikasi memiliki kapasitas adsorpsi mencapai 0,485 mg P-PO4/g dengan %efisiensi sebesar 60,07%. Kondisi pH optimum adsorpsi fosfat diperoleh pada pH 7 untuk adsorben abu terbang yang telah
dimodifikasi dan pH 5 untuk abu terbang tanpa modifkasi. Model isoterm yang sesuai pada kelima adsorben ini adalah isoterm Freundlich.
One of the main nutrients that causes eutrophication in aquatic systems is phosphate compounds. The high amount of phosphate in the aquatic system results in decreased water quality and the balance of the ecosystem is disturbed. This eutrophication phenomenon can be overcome by a method, namely adsorption which is influenced by an adsorbent. Coal fly ash has been of interest by researchers to be used as an adsorbent in phosphate adsorption. In this study, fly ash was modified with acid, consisting of H2SO4, HCl and a mixture of the two acids and modified fly ash using a base, namely NaOH hydrothermally. The modified fly ash was characterized using XRF, XRD, SEM, FTIR and AAS and then used as an adsorbent for phosphate adsorption and compared with fly ash without modification. The results showed that the phosphate adsorption capacity of acid modified fly ash and base modified fly ash hydrothermally had a higher value than unmodified fly ash. Acid-modified fly ash, namely HCl, H2SO4 and a mixture of the two acids had adsorption capacities of 0.606 mg P-PO4/g, 0.655 mg P-PO4/g, and 0.705 mg P-PO4/g respectively.
with % adsorption efficiency of 73.58%, 79.60% and 85.62%. Hydrothermal base modified fly ash has an adsorption capacity of 0.677 mg P-PO4/g with an efficiency of 82.27%. Meanwhile, unmodified fly ash has an adsorption capacity of 0.485 mg P-PO4/g with an efficiency of 60.07%. The optimum pH conditions for phosphate adsorption were obtained at pH 7 for fly ash adsorbents that had been modified and pH 5 for fly ash without modification. The suitable isotherm model for these five adsorbents is the Freundlich isotherm."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samsu Riza Wibowo
"Pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia telah berkembang dengan pesat. Salah satu pemanfaatan tenaga nuklir adalah penggunaan radiasi untuk mengiradiasi suatu bahan dengan tujuan sterilisasi, pengawetan atau polimerisasi dalam fasilitas iradiator. Peraturan BAPETEN terkait fasilitas iradiator telah diperbarui dari yang sebelumnya No. 11/Ka-BAPETEN/VI-99 menjadi No. 3 Tahun 2020. Dalam peraturan tersebut Budaya Keselamatan menjadi poin baru dalam Persyaratan Manajemen yang wajib diwujudkan oleh pemegang izin. Penelitian ini bermaksud untuk mengukur tingkat kematangan budaya keselamatan di sebuah fasilitas iradiator. Model budaya keselamatan akan menggunakan model yang dikembangkan IAEA yaitu 5 karakteristik budaya keselamatan yang terbagi menjadi 37 atribut budaya keselamatan. Tingkat kematangan budaya keselamatan yang digunakan pada penelitian ini mengacu dari tingkat perkembangan budaya keselamatan yang dikembangkan oleh BATAN. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif. Pendekatan Analytic Hierarchy Process (AHP) akan digunakan untuk menganalisis tingkat kematangan budaya keselamatan dan pendekatan skala likert akan digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik budaya keselamatan yang kuat dan karakteristik budaya keselamatan yang perlu untuk ditingkatkan. Dari hasil analisis dengan pendekatan AHP didapatkan hasil penilaian tingkat kematangan budaya keselamatan belum mencerminkan nilai yang sesungguhnya. Berdasarkan data-data penelitian, fakta lapangan dan membandingkan dengan penelitian serupa sebelumnya pada fasilitas instalasi nuklir serta penilaian dari inspektur keselamatan nuklir sebagai perspektif eksternal, peneliti menetapkan tingkat kematangan budaya keselamatan PT X masuk dalam kategori Tahap 2 yaitu Kinerja keselamatan yang baik menjadi tujuan organisasi. Dari hasil analisis dengan pendekatan skala likert diketahui bahwa Akuntabilitas Keselamatan menjadi karakteristik yang paling kuat dan karakteristik yang perlu untuk ditingkatkan diantaranya Kepemimpinan dalam keselamatan, Keselamatan terintegrasi pada seluruh kegiatan dan Keselamatan didorong pembelajaran. Peneliti merekomendasikan PT X untuk mulai mengembangkan SMK3 agar konteks keselamatan tidak hanya berfokus pada keselamatan radiasi tetapi bisa lebih luas menjadi keselamatan secara umum, perlu adanya dokumentasi pelaksanaan sharing session terkait keselamatan secara umum dan menyelenggarakan pelatihan soft skill.

The utilization of nuclear power in Indonesia has developed rapidly. One of the utilizations of nuclear power is the use of radiation to irradiate a material with the purpose of sterilization, preservation or polymerization in the irradiator facility. Bapeten regulations related to irradiator facilities have been updated from previously No. 11/Ka-BAPETEN/VI-99 to No. 3 of 2020. In that regulation the safety culture is a new point in management requirements that must be realized by the permit holder.

This study intends to measure the level of maturity of the safety culture in an irradiator facility. The cultural model of safety will use the model developed by IAEA, namely 5 characteristics of the cultural safety which is divided into 37 attributes of safety culture. The level of maturity of the safety culture used in this study refers to the level of safety culture developed by Batan. This research uses descriptive analysis methods. The Analytic Hierarchy Process (AHP) approach will be used to analyze the level of maturity of safety culture and the Likert scale approach will be used to identify the characteristics of a strong safety culture and the characteristics of a safety culture that needs to be improved. From the results of the analysis with the AHP approach, the results of the assessment of the level of safety culture have not reflected the actual value. Based on research data, field facts and comparing with previous research in nuclear installation facilities and the assessment of nuclear safety inspector as an external perspective, researchers set the level of maturity of PT X's safety culture into the category of stage 2, namely good safety performance becomes an organizational objective. From the results of the analysis with the likert scale approach it is known that "Accountability for safety” is the most powerful characteristics and characteristics that need to be improved including “Leadership for safety”, “Safety is integrated into all activities” and “Safety is learning driven”. Researchers recommend PT X to start developing SMK3 so that the safety context does not only focus on radiation safety but can be broader into general safety, the need for documentation of the implementation of sharing sessions related to safety and organizing soft skills training."

Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library