Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 25 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fijri Auliyanti
"Latar belakang. Gangguan tidur pada remaja memiliki prevalens yang tinggi dan dapat memengaruhi prestasi akademik di sekolah. Namun, sejauh ini di Indonesia, belum terdapat studi yang meneliti prestasi akademik pada remaja dengan gangguan tidur serta faktor yang berhubungan.
Tujuan. Penelitian ini untuk mengetahui: (1) prevalens dan pola gangguan tidur berdasarkan SDSC, (2) proporsi murid SMP dengan gangguan tidur yang memiliki prestasi akademik di bawah rerata, (3) hubungan antara: jenis kelamin, motivasi dan strategi belajar, nilai IQ, tingkat pendidikan ibu, tingkat sosial ekonomi keluarga, struktur keluarga, pendidikan di luar sekolah, adanya TV/komputer di kamar tidur, durasi tidur di hari sekolah, perbedaan waktu tidur dan bangun, dan prestasi akademik murid SMP dengan gangguan tidur.
Metode. Penelitian potong lintang analitik di lima SMP di Jakarta pada bulan Januari hingga Maret 2013. Skrining gangguan tidur dengan kuesioner Sleep Disturbance Scale for Children dilakukan terhadap 491 orang murid SMP di Jakarta. Murid yang memenuhi kriteria gangguan tidur diminta mengisi kuesioner motivasi dan strategi pembelajaran. Peneliti meminta nilai IQ subjek penelitian.
Hasil. Terdapat 129 subjek yang memenuhi kriteria gangguan tidur. Empat orang subjek di drop-out karena tidak memiliki nilai IQ. Prevalens gangguan tidur sebesar 39,7% dengan jenis gangguan tidur terbanyak adalah gangguan memulai dan mempertahankan tidur (70,2%). Sebanyak 47,6% subjek memiliki prestasi akademik di bawah rerata. Sebagian besar subjek perempuan (71%), termasuk sosial ekonomi menengah ke bawah (58,9%), memiliki motivasi dan strategi belajar yang cukup (72,6%), dan mengikuti pendidikan di luar sekolah (87,9%). Tiga belas subjek yang memiliki nilai IQ di bawah rata-rata tidak diikutsertakan dalam analisis bivariat dan multivariat. Berdasarkan uji regresi logistik, faktor yang paling berhubungan dengan prestasi akademik di bawah rerata secara berurutan, yaitu pendidikan di luar sekolah (> 2 jenis, non-akademik), nilai IQ rata-rata, dan jenis kelamin lelaki.
Simpulan. Prevalens gangguan tidur pada murid SMP di Jakarta adalah 39,7% dengan jenis gangguan tidur terbanyak adalah gangguan memulai dan mempertahankan tidur. Sebanyak 47,6% subjek memiliki prestasi akademik di bawah rerata. Faktor yang terbukti berhubungan dengan prestasi akademik di bawah rerata adalah pendidikan di luar sekolah (> 2 jenis, non-akademik), nilai IQ rata-rata, dan jenis kelamin lelaki.

Background. Sleep disorders are prevalent in adolescents and may influence their academic achievement at school. However, in Indonesia, no research has ever been done to study academic achievement in students with sleep disorders and related factors.
Objectives. This study aimed to define: (1) the prevalence of sleep disorders and their patterns based on the SDSC questionnaire, (2) the proportion of junior high school students having low average academic achievement, (3) the relationship between factors; i.e gender, motivation and learning strategies, IQ level, mothers' educational level, socioeconomic level, family structure, non-formal education, TV/computer set inside the bedroom, sleep duration during schooldays, bedtimewakeup time difference; and the academic achievement in junior high school students with sleep disorders.
Method. This was an analytical cross-sectional study, performed at five junior high schools in Jakarta between January to March 2013. Screening for sleep disorders, based on the Sleep Disturbance Scale for Children questionnaires, was done in 491 junior high school students. Students who fulfilled the criteria of sleep disorders, were asked to fill in the Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ). The IQ level of each subjects was also measured.
Results. There were 129 subjects who fulfilled the sleep disorders criteria. Four subjects were dropped out due to they didn?t have IQ level. The prevalence of sleep disorder in this study was 39.7%, mostly difficulty in initiating and maintaining sleep (70.2%). There were 47.6% subjects had low average academic achievement. As many as 13 subjects had low average IQ level and were not included in bivariate and multivariate analysis. Subjects mostly female (71%), with middle-low income (58.9%), had moderate motivation and learning strategies (72.6%), and attended non-formal education (87.9%). Based on the logistic regression analysis, the most influencing factors to the low average academic achievement are consecutively: the non-formal education ( > 2 types, non-academic), the average IQ level, and male sex.
Conclusion. The prevalence of sleep disorders in junior high school students in Jakarta are 39.7%, mostly difficulty in initiating and maintaining sleep. There were 47.6% subjects had low average grade. Factors related to the low average academic achievement are non-formal education ( > 2 types, non-academic), the average IQ level, and male sex.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tania Paramita
"Latar belakang: Pengukuran suhu tubuh sebenarnya (core body temperature) tidak lazim dilakukan pada anak karena invasif dan sulit, sehingga pengukuran suhu aksila dan membran timpani lebih disukai. Namun sampai saat ini ketepatan hasil pengukuran suhu membran timpani dan aksila masih diperdebatkan.
Tujuan: Membandingkan ketepatan hasil pengukuran suhu membran timpani dan aksila dengan rektal, mengetahui metode terbaik pengukuran suhu tubuh, dan cut off demam pada anak berdasarkan masing-masing metode pengukuran suhu.
Metode: Penelitian diagnostik potong lintang pada anak demam berusia 6 bulan ? 5 tahun yang dipilih secara konsekutif di Poliklinik Anak, IGD Anak, dan Ruang Perawatan Anak Gedung A RSCM antara bulan Desember 2014 ? Januari 2015.
Hasil: Dengan cut off demam suhu aksila 37,4oC dan membran timpani 37,6oC didapatkan sensitivitas 96% (IK 95% 0,88-0,98) dan 93% (IK 95% 0,84-0,97), spesifisitas 50% (IK 95% 0,47-0,84) dan 50% (IK 95% 0,31-0,69), NDP 90% (IK 95% 0,81-0,95) dan 85% (IK 95% 0,75-0,91), NDN 83% (IK 95% 0,61-0,94) dan 69% (IK 95% 0,44-0,86). Cut off optimal demam suhu membran timpani dan aksila pada penelitian ini adalah 37,8oC (AUC 0,903 dan 0,903).
Simpulan: Hasil pengukuran suhu aksila sama baik dengan membran timpani dalam mendeteksi demam dan dapat digunakan dalam praktik klinis sehari-hari maupun di rumah. Dengan cut off demam 37,8oC didapatkan sensitivitas 81% dan 88%, spesifisitas 86% dan 73%, NDP 95% dan 91%.

Background: Core body temperature measurement is not common in pediatric population because it is invasive and difficult. Therefore tympanic and axillary temperature measurement are prefereble but their accuracy still debated.
Objective: To compare the accuracy of axillary and tympanic temperature to rectal temperature in children with fever and measure the cut off point for fever based on each temperature measurement method.
Methods: A cross-sectional diagnostic study was conducted among children age 6 months ? 5 years which was selected consecutively at Pediatric Out-patient clinic, Pediatric emergency unit, and the in-patient wards in building A RSCM from December 2014 to January 2015.
Results: With the cut off for fever on axilla 37,4oC and tympanic membrane 37,6oC the sensitivity was 96% (95% CI 0,88-0,98) and 93% (95% CI 0,84-0,97), specificity 50% (95% CI 0,47-0,84) and 50% (95% CI 0,31-0,69), NDP 90% (95% CI 0,81-0,95) and 85% (95% CI 0,75-0,91), NDN 83% (95% CI 0,61-0,94) and 69% (95% CI 0,44-0,86). Optimal cut off of tympanic membrane and axilla temperature was 37,8oC (AUC 0,903 dan 0,903).
Conclusions: Axillary temperature measurement is as good as the tympanic membrane temperature measurement and can be used at the daily clinical practice or at home. By increasing the optimum fever cut off point for axilla temperature and tympanic membrane to 37,8oC, we found sensitivity 81% and 88%, specificity 86% and 73%, NDP 95% and 91%."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58925
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Halim
"Latar Belakang. Dermatitis atopi merupakan manifestasi penyakit alergi yang sering pada anak. Prevalens dermatitis atopi (DA) meningkat di seluruh dunia dengan awitan tersering pada usia 1 tahun pertama. Lesi DA cenderung relaps hingga usia 5 tahun, diikuti allergic march yang dapat menetap hingga dewasa. Beberapa faktor risiko DA ialah riwayat atopi keluarga, pajanan dini alergen, defek barier kulit dan berkurangnya kekerapan infeksi. Alergen yang sering mencetuskan DA berasal dari makanan. Peran ASI dalam mencegah DA dilaporkan dalam banyak studi, namun masih kontroversi. Studi mengenai hal ini belum banyak dilakukan di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui manfaat pemberian ASI eksklusif dalam mencegah kejadian DA pada anak.
Metode. Desain penelitian ini ialah kasus-kontrol berpasangan dengan matching terhadap kelompok usia dan adanya riwayat atopi keluarga. Penelitian dilakukan pada anak berusia 7-24 bulan di Poliklinik Ilmu Kesehatan Anak dua Rumah Sakit swasta dan di sebuah Posyandu di Jakarta, pada bulan Juli-Desember 2012. Diagnosis DA ditegakkan pada kelompok kasus dengan kriteria Hanifin-Rajka.
Hasil. Sebanyak 108 anak ikut serta dalam penelitian. Sebagian besar anak dengan DA berusia 7-24 bulan dan memiliki riwayat atopi keluarga. Awitan DA tersering pada usia 6 bulan pertama dengan predileksi lesi di wajah. Tidak terdapat perbedaan pola dan lama menyusui pada kelompok anak dengan dan tanpa DA. Manfaat ASI dalam mencegah DA pada anak pada penelitian ini belum dapat dibuktikan (RO 0,867;IK95% 0,512-2,635; p 0,851).
Simpulan. Penelitian ini belum dapat membuktikan manfaat pemberian ASI eksklusif untuk mencegah kejadian DA pada anak. Pemberian ASI eksklusif masih sangat direkomendasikan karena memiliki banyak manfaat dan keunggulan dibandingkan susu formula.

Latar Belakang. Dermatitis atopi merupakan manifestasi penyakit alergi yang sering pada anak. Prevalens dermatitis atopi (DA) meningkat di seluruh dunia dengan awitan tersering pada usia 1 tahun pertama. Lesi DA cenderung relaps hingga usia 5 tahun, diikuti allergic march yang dapat menetap hingga dewasa. Beberapa faktor risiko DA ialah riwayat atopi keluarga, pajanan dini alergen, defek barier kulit dan berkurangnya kekerapan infeksi. Alergen yang sering mencetuskan DA berasal dari makanan. Peran ASI dalam mencegah DA dilaporkan dalam banyak studi, namun masih kontroversi. Studi mengenai hal ini belum banyak dilakukan di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui manfaat pemberian ASI eksklusif dalam mencegah kejadian DA pada anak.
Metode. Desain penelitian ini ialah kasus-kontrol berpasangan dengan matching terhadap kelompok usia dan adanya riwayat atopi keluarga. Penelitian dilakukan pada anak berusia 7-24 bulan di Poliklinik Ilmu Kesehatan Anak dua Rumah Sakit swasta dan di sebuah Posyandu di Jakarta, pada bulan Juli-Desember 2012. Diagnosis DA ditegakkan pada kelompok kasus dengan kriteria Hanifin-Rajka.Hasil. Sebanyak 108 anak ikut serta dalam penelitian. Sebagian besar anak dengan DA berusia 7-24 bulan dan memiliki riwayat atopi keluarga. Awitan DA tersering pada usia 6 bulan pertama dengan predileksi lesi di wajah. Tidak terdapat perbedaan pola dan lama menyusui pada kelompok anak dengan dan tanpa DA. Manfaat ASI dalam mencegah DA pada anak pada penelitian ini belum dapat dibuktikan (RO 0,867;IK95% 0,512-2,635; p 0,851).
Simpulan. Penelitian ini belum dapat membuktikan manfaat pemberian ASI eksklusif untuk mencegah kejadian DA pada anak. Pemberian ASI eksklusif masih sangat direkomendasikan karena memiliki banyak manfaat dan keunggulan dibandingkan susu formula.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miranti Fristy Medyatama
"Latar belakang. Hipoparatiroid merupakan salah satu komplikasi yang terjadi pada talasemia mayor akibat deposisi besi di kelenjar paratiroid. Sampai dengan saat ini belum diketahui berapa prevalens hipoparatiroid pada anak talasemia mayor di Indonesia. Keterlambatan dalam diagnosis dan tata laksana dapat menyebabkan risiko terjadinya morbiditas seperti fraktur, osteoporosis, atau kejang.
Tujuan. Mengetahui prevalens hipoparatiroid pada pasien talasemia mayor usia 7-12 tahun dan faktor yang memengaruhi.
Metode. Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang dilakukan pada 64 pasien talasemia mayor usia 7-12 tahun di RSCM. Pengambilan darah puasa dilakukan untuk menilai kalsium ion (Ca), serum fosfat (P), magnesium, 25-(OH)D3 dan intak paratiroid hormon (iPTH). Subyek diklasifikasikan sebagai hipoparatiroid primer bila mengalami hipokalsemia dan penurunan iPTH, hipoparatiroid subklinis bila hipokalsemia dan atau penurunan 25-(OH)D3 tanpa peningkatan iPTH. Analisis bivariat dan regresi multipel logistik dilakukan untuk menilai faktor risiko hipoparatiroid.
Hasil. Rerata usia subyek adalah 9,7(SB 1,6) tahun dengan lelaki 51,6%(n=33). Ditemukan hipoparatiroid primer sebanyak 6/64 (9,4%) subyek (rerata iPTH 11,9(SB 2,3) pg/mL), hipoparatiroid subklinis 34/64 (53,1%) subyek (median iPTH 31,4(20,0-64,0) pg/mL). Kejadian hipoparatiroid lebih banyak ditemukan pada subyek dengan frekuensi transfusi >1x/bulan, kepatuhan kelasi tidak baik dan Hb pre-transfusi <9 g/dL. Namun, berdasarkan hasil analisis regresi logistik hanya lama sakit >5 tahun yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian hipoparatiroid (rasio odd 8,6 interval kepercayaan 2,1-35,7 p=0,003). Terdapat korelasi negatif ringan dan sedang antara nilai rerata feritin (r-0,34, p=0,01) dan saturasi transferin (r=-0,41, p<0,0001) dengan kejadian hipoparatiroid.
Kesimpulan. Prevalens hipoparatiroid pada dekade pertama kehidupan pada pasien talasemia mayor di Indonesia cukup tinggi. Lama sakit >5 tahun adalah faktor prediktor yang sangat memengaruhi kejadian hipoparatiroid pada anak talasemia mayor.

Background. Hypoparathyroidism is a complication that occurs in thalassemia major due to iron deposition in the parathyroid glands. Until now, the prevalence of hypoparathyroidsm in children with thalassemia major is unknown. Delay in diagnosis and treatment can increase the risk of developing morbidities such as fractures, osteoporosis, or seizure.
Methods. This study was cross-sectional, conducted on 64 thalassemia major patients, aged 7-12 years, in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH). Blood samples were collected in fasting to determine Calcium ion (Ca), Phosphorus (P), Magnesium (Mg) , 25-(OH)D3 and intact parathyroid hormone (iPTH). Subjects were classified into primary hypoparathyroidism (low Ca and low iPTH), subclinical hypoparathyroidsm (low Ca and/or low 25(OH)D3 without an increase of iPTH). Bivariate analysis and multiple logistic regression were performed to assess risk factors for hypoparathyroidsm.
Result. The mean age of the subjects was 9.7(SD 1.6) years with 51.6% male (n=33). primary hypoparathyroidism was found in 6/64(9.4%) subjects (mean iPTH 11.9(SD 2.3 pg/mL), subclinical hypoparathyroidism in 34/64(53.1%) subjects (median iPTH 31.4(20-64) pg/mL). The prevalence of hypoparathyroidism was more common in subjects with tranfusion frequency >1x/month, poor chelation compliance and pre-transfusion haemoglobin <9 g/dL. However, based on the results of logistic regression analysis, only duration of illness >5 years had a significant relationship with hypoparathyroidism (odds ratio 8.6, confidence inrerval 2.1-35.7 p=0.003). There was a mild and moderate negative correlation between the mean value of ferritin (r=-0.34, p=0.01) and transferrin saturation (r=-0.41, p<0.0001) with hypoparathyroidism.
Conclusion. The prevalence of hypoparathyroidism in the first decade of life in thalassemia major in Indonesia is quite high. Duration of illness >5 years is a predictor factor that greatly influences the incidence of hypoparathyroidism in children with thalassemia major.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Maharani Pramudya
"Latar belakang. Jumlah pasien keganasan anak di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara dan pneumonia merupakan komplikasi infeksi tersering serta memiliki luaran yang lebih berat. Namun, hingga saat ini belum ada penelitian mengenai prevalens, karakteristik, dan faktor risiko kejadian pneumonia pada pasien keganasan anak di Indonesia
Tujuan. Mengetahui prevalens, karakteristik, dan faktor-faktor yang memengaruhi kejadian pneumonia pada pasien keganasan anak di RSCM.
Metode. Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik dengan metode potong lintang retrospektif menggunakan data rekam medis pasien. Subjek yang diteliti ialah seluruh pasien keganasan berusia 1 bulan-18 tahun yang dirawat inap di IGD, PICU, dan bangsal anak RSCM dari Januari 2021 sampai Desember 2023. Faktor risiko yang dianalisis, antara lain usia, jenis keganasan, status imunisasi, status gizi, tipe terapi keganasan, neutropenia, dan riwayat rawat inap ≥ 14 hari.
Hasil. Terdapat 162 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian. Prevalens pneumonia pada pasien keganasan anak di RSCM sebesar 43,2% (70/162) subjek, terdiri dari 78,5% (55/70) kasus pneumonia terkait RS dan 21,4% (15/70) kasus pneumonia komunitas. Karakteristik subjek dengan pneumonia, antara lain median usia 5,3 tahun (min-mak 0,2-17,5 tahun), median usia awitan keganasan 4,7 tahun (min-mak 0-17,3 tahun), jenis kelamin lelaki 57,1% subjek, pengidap leukemia 55,7% subjek, imunisasi tidak lengkap 38,6% subjek, status gizi kurang/buruk 54,3% subjek, terapi keganasan berupa kemoterapi 61,4% subjek, neutropenia 65,7% subjek, dan riwayat rawat inap ≥14 hari 34,3% subjek. Profil klinis dan pemeriksaan penunjang pada subjek dengan pneumonia, yakni 37,1% subjek mengalami pneumonia sangat berat, terapi oksigen dengan kecepatan  >6 lpm 40% subjek, 52,8% subjek tidak terdapat leukositosis, kadar CRP meningkat pada 80% subjek, kadar PCT meningkat pada 71,4% subjek, dan rontgen dada kesan sugestif pneumonia pada 82,9% subjek. Hasil analisis multivariat faktor yang memengaruhi kejadian pneumonia dan pneumonia terkait RS adalah status gizi kurang/buruk (AOR 3,24; IK 95% 1,49-7,05; p=0,003 dan AOR 2,98; IK 95% 1,24-7,17; p=0,015), neutropenia (AOR 4,15; IK 95% 1,94-8,84; p<0,001 dan AOR 4,59; IK 95% 1,94-10,86; p<0,001), serta riwayat rawat inap (AOR 8,48; IK 95% 2,63-27,31; p<0,001 dan AOR 12,34; IK 95% 3,71-41,09; p<0,001).
Simpulan.Faktor yang memengaruhi kejadian pneumonia, khususnya pneumonia terkait RS pada pasien keganasan anak adalah status gizi kurang/buruk, neutropenia, dan riwayat rawat inap ≥ 14 hari.

Background. The number of pediatric malignancies in Indonesia is the highest in Southeast Asia. Pneumonia is the most common infection in childhood cancer and also has more severe outcomes than normal children. However, there has been no research regarding the prevalence, characteristics, and risk factors influencing pneumonia in pediatric patients with malignancy in Indonesia
Objectives. To determine the prevalence, characteristics, and risk factors influencing pneumonia in pediatric patients with malignancy at RSCM.
Method. This research was a descriptive-analytical study with a retrospective cross-sectional design using medical records. The subjects studied were all malignancy patients aged 1 month-18 years who were hospitalized in the ER, PICU, and RSCM pediatric wards from January 2021 to December 2023. The risk factors which studied were age, type of malignancy, immunization status, nutritional status, type of malignancy therapy, neutropenia, and a history of hospitalization ≥ 14 days.
Result. 162 subjects met the inclusion and exclusion criteria in the study. The prevalence of pneumonia in pediatric malignancy patients at RSCM was 43,2% (70/162) subjects, consisting of 78,5% (55/70) cases of hospital-acquired pneumonia and 21,4% (15/70) cases of community-acquired pneumonia. Basic characteristics of the subjects, including median age 5,3 years (min-max 0,2-17,5 years), median age of malignancy onset 4,7 years (min-max 0-17,3 years), male 57,1% subjects, leukemia 55,7% subjects, incomplete immunization 38,6% subjects, malnutrition 54,3% subjects, chemotherapy in 61,4% subjects, neutropenia in 65,7% subjects, and history of hospitalization ≥ 14 days in 34,3% subjects. The clinical profiles and laboratory examinations in subjects with pneumonia, including 37,1% subjects had very severe pneumonia, 40% subjects had oxygen therapy >6 lpm, 52,8% subjects had no leukocytosis, CRP level increased in 80% subjects, PCT level increased in 71,4% subjects, and chest x-ray impression suggestive of pneumonia in 82,9% subjects. Multivariate analyses result of risk factors influencing pneumonia and hospital-acquired pneumonia are moderate/severe malnutrition (AOR 3,24; 95% CI 1,49-7,05; p = 0,003 and AOR 2,98; 95% CI 1,24-7,17; p = 0,015), neutropenia (AOR 4,15; 95% CI 1,94-8,84; p <0,001 and AOR 4,59; 95% CI 1,94-10,86; p <0,001) and history of hospitalization (AOR 8,48; 95% CI 2,63-27,31; p <0,001 and AOR 12,34; 95% CI 3,71-41,09; p <0,001).
Conclusion. Moderate/severe malnutrition, neutropenia, and a history of hospitalization ≥14 days are risk factors for pneumonia, especially hospital-acquired pneumonia in pediatric patients with malignancy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ezy Barnita
"Latar belakang: Asma merupakan penyakit kronik yang paling sering dijumpai pada anak. International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) merupakan kerjasama intemasional yang melakukan studi prevalensi asma dan alergi pada anak di berbagai populasi, dengan menggunakan kuesioner yang telah divalidasi. Tujuan: Mengetahui prevalensi asma pada pada anak kelompok usia 13-14 tahun di Jakarta Timur, derajat berat serangan asma, dan faktor risiko yang memengaruhinya. Metodologi: Penelitian analisis deskriptif pada populasi anak usia 13-14 tahun di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kotamadya Jakarta Timur Daerah Khusus lbukota (DKI) Jakarta. Waktu penelitian adalah Februari - April 2011. Pengolahan data menggunakan peranti lunak statistical package for social studies version 17.0 for windows PC (SPSS Inc). Analisis faktor risiko dilakukan dengan uji Chi-Square atau uji mutlak Fisher Hasil: Terdapat 562 subyek penelitian, perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1:1,25. Frekuensi kejadian pemah mengi adalah 8,9%; mengi dalarn 12 bulan terakhir 5,2%; asma yang didiagnosis dokter 9,4%. Frekuensi serangan mengi 1-3 kali per-bulan sebesar 3,9%; 4-12 kali per-bulan 1,1%; >12 kali perbulan 0,2%. Serangan mengi yang menyebabkan gangguan tidur sebesar 3%, dan mengi yang menyebabkan terjadi kesulitan bicara 1 ,8%. Tidak ada hubungan jenis kelamin (p=0,821; IK 95% 0,59:0,92), terpapar asap rokok (p=0,735; IK 95% 0,55:2,34), ataupun dermatitis alergi (p=0,054; IK 95% 0,97:4,63), dengan kejadian mengi. Terdapat hubungan bermakna anak pertarna (p=0,015; IK 95% 1,14:3,69), sosio ekonomi (p=0,001; IK 95% 0,02:0,36), dan rinitis alergi (p<0,05; IK 95% 2,5:10,43), terhadap kejadian mengi. Simpulan: Prevalensi asma pada anak usia 13-14 tahun di Jakarta Timur sebesar 12,5%. Faktor risiko kejadian mengi adalah anak pertarna, sosio ekonomi tinggi, dan rinitis alergi. Tidak ada hubungan jenis kelarnin, paparan asap rokok, dan dermatitis alergi terhadap kejadian mengi.

Background: Asthma is the most common chronic disease in childhood. International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) s a unique worldwide epidemiological research programmed to investigate asthma, rhinitis and eczema in children, using standardized questionnaire. Aim: To investigate asthma symptoms prevalence among population 13-14 yearold in East Jakarta, along with the severity and risk factors of asthma. Method: This is an analytical- cross sectional study, conducted from FebruaryApril 2011. Risk factors were analyzed using chi square or Fisher exact test. Result: Sample size is consisted of 562 children. The prevalence of wheeze ever 8.9%; 12-month wheeze 9,4%; asthma physician-diagnosed 9,4%. The prevalence of recureece wheezing as follows: 1-3 times a month 3.9%; 4-12 times a month 1.1 %; > 12 times a month 0,2%. Sleep distubance related wheeze 3%, and speech disorder related wheeze 1.8%. The prevalence of current wheezing did not show differences according to sex (p=0.821; IK. 95% 0.59:0.92), smoke exposure (p=0.735; IK 95% 0.55:234), nor allergic dermatitis (p=0.054; IK 95% 0.97:4.63). But it was significantly higher in children with no sibling (p=O.Ol5; IK 95% 1.14:3.69), high social economy (p=0.001; IK 95% 0.02:0.36), and allergic rhinitis (p<0.05; IK 95% 2.5:10.43) Conclusion: Asthma prevalence in 13-14 year-old in Jakarta Timur is 12.5%. Having no sibling, upper middle social economy level, and allergic rhinitis are wheezing ever risk factors, while sex differences, smoking exposure, and allergic dermatitis are not.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2011
T58261
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meilianawati
"BELAKANG: aterosklerosis adalah proses yang mendasarinya penyakit kardiovaskular dan telah terbentuk sejak usia dini. Obesitas dan dislipidemia pada usia anak dan remaja merupakan faktor risiko perkembangan aterosklerosis. Modulasi mikrobiota usus dengan pemberian probiotik pada awal kehidupan diharapkan dapat mencegah obesitas dan dislipidemia. TUJUAN: mengevaluasi efek suplementasi probiotik pada masa kanak-kanak terhadap indeks massa tubuh (IMT) dan profil lipid, setelah 10 tahun pemberian. METODE: Sebanyak 494 anak telah berpartisipasi pada studi baseline(studi Probiocal) di tahun 2007-2008. Saat ini, sebanyak 151 remaja yang berusia 11-18 tahun ikut serta pada penelitian tindak lanjut, yaitu: 42 remaja pada kelompok casei, 43 remaja pada kelompok reuteri, dan 66 remaja pada kelompok kontrol. Pengambilan data dilakukan di dua kelurahan di Jakarta Timur. Kepada seluruh subjek dilakukan pemeriksaan fisik serta wawancara sosio-demografi, aktivitas fisik, dan asupan makanan. Pengukuran antropometri berupa pengukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar pinggang. Pemeriksaan profil lipid berupa kadar trigliserida, kolesterol LDL, dan HDL dilakukan setelah subjek berpuasa. HASIL: rerata kadar kolesterol HDL pada remaja di kelompok probiotik reuteri cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, sebelum penyesuaian (p = 0.093). Pemberian probiotik L. casei atau L. reuteri pada masa kanak-kanak tidak memberikan efek jangka panjang terhadap IMT serta kadar trigliserida, kolesterol LDL, dan HDL pada remaja, setelah dilakukan penyesuaian dengan faktor perancu (p > 0.05). KESIMPULAN: Kadar kolesterol HDL yang cenderung lebih tinggi pada kelompok probiotik reuteri dapat disebabkan oleh efek pemberian probiotik pada masa kanak-kanak. Jumlah subjek follow-up yang terbatas membuat sulit untuk menyimpulkan efek suplementasi probiotik pada masa kanak-kanak terhadap IMT dan profil lipid pada saat remaja.

Purpose: Recent studies have discovered the role of probiotic in the prevention of obesity and dyslipidemia. The purpose of the study was to evaluate the effect of probiotic supplementation during childhood on body mass index (BMI) and lipid profile in the adolescence period. Methods: Of 494 children included in baseline study (Probiocal study), 151 entered the follow-up at 11-18 years of age, n = 42 in the casei, n = 43 in the reuteri, and n = 66 in the regular calcium group. This study was conducted in 20 communities in East Jakarta. Subjects underwent physical examination and interviewed of socio-demography, smoking behaviour, physical activity, and dietary intake. Anthropometrics (weight, height, and waist circumference) were assessed. Triglyceride, low-density lipoprotein (LDL), and high-density lipoprotein (HDL) level were determined after overnight fasting. 

Results: The effect of probiotic supplementation was shown as a tendency to increase the HDL level before adjusted (p = 0.093). The evaluation of lipid profile adjusted for age, sex, and waist circumference showed no differences in the mean of triglyceride, LDL, and HDL level between casei or reuteri groups and control. Lactobacillus casei or reuteri did not affect BMI in adolescent after adjusted for age, sex, and BMI at the end of baseline study (p > 0.05). Conclusion: The higher level of HDL cholesterol in reuteri group might have been a response to probiotic supplementation during childhood. As a relatively small sample was entered in this follow-up study, our research needs to be replicated in different settings to produce comparable findings."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58550
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firda Fairuza
"Latar belakang. Kolestasis terkait sepsis (KTS) masih merupakan permasalahan medis di negara berkembang disebabkan tingginya morbiditas, mortalitas dan lama rawat. Inflamasi usus akibat disfungsi sawar usus diduga berperan dalam KTS sehingga perlu dibuktikan perannya terhadap terjadinya KTS. Inflamasi dan permeabilitas mukosa usus dapat dinilai melalui kadar kalprotektin dan alfa-1 antitripsin (AAT) pada tinja.
Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara terjadinya KTS pada sepsis neonatorum dengan inflamasi dan gangguan permeabilitas usus yang dinilai dengan peningkatan kadar kalprotektin dan α-1-antitripsin dalam tinja. Metode. Studi kohort prospektif di ruang rawat inap Perinatologi dan Neonatal Intensive Care Unit Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo periode Juni 2012- Oktober 2013. Delapan puluh neonatus diambil secara consecutive sampling dari 271 subjek proven sepsis yang dirawat pada periode studi ini, terbagi menjadi 2 kelompok (KTS dan sepsis tidak kolestasis) masing-masing 40 subjek. Dilakukan pemeriksaan kadar kalprotektin dan AAT tinja.
Hasil penelitian. Tidak ditemukan perbedaan antara KTS dan sepsis tidak kolestasis dalam ekskresi kalprotektin tinja [KTS vs. sepsis tidak kolestasis, median (rentang) 104,4 (25 sampai 358,5) vs. 103,5 (5,4 sampai 351) μg/g; p = 0,637] dan alfa-1 antitripsin tinja [median (rentang) 28 (2 sampai 96) vs. 28 (2 sampai 120) mg/dL; p = 0,476). Tidak ditemukan peningkatan bermakna kadar kalprotektin tinja dengan nilai p = 0,63 (IK 95% 0,4 sampai 3,6) dan kadar AAT tinja dengan nilai p=0,152 (IK 95% 0,4 sampai 3,3).
Simpulan. Kadar kalprotektin dan alfa-1 antitripsin tinja tidak terbukti dapat memprediksi kejadian KTS pada sepsis neonatorum. Tidak ada bukti proses inflamasi usus yang terjadi pada KTS melalui peningkatan permeabilitas paraselular usus. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai patogenesis inflamasi usus yang terjadi melalui peningkatan permeabilitas trans-selular dan kerusakan enterosit usus pada KTS.

Background. Sepsis-associated cholestasis (SAC) remain a medical problem in developing countries due to high morbidity, mortality and length of hospital. Intestinal inflammation as the causes of intestinal barrier dysfunction are suspected play a role in SAC, so it is necessary to prove its contribution to SAC. Intestinal inflammation and increased permeability were assessed through faecal calprotectin and alpha-1 antitrypsin (AAT) concentrations.
Objective. To determine the association between SAC in sepsis neonatorum with intestinal inflammation and permeability were assessed through increased faecal calprotectin and AAT levels.
Methods. This was cohort prospective study at Perinatologi and Neonatal Intensive Care Unit Department of Child Health Cipto Mangunkusumo Hospital during June 2012 to October 2013. Eighty neonates were obtained by consecutive sampling, of which 271 proven sepsis hospitalized in this period, devided 2 groups (SAC and non cholestasis sepsis) respectively 40 subjects. Faecal calprotectin and AAT concentrations was measured.
Results. There was no significant association between SAC and faecal calprotectin excretion [SAC vs. non cholestasis sepsis, median (range) 104.4 (25 to 358,5) vs. 103.5 (5.4 to 351) μg/g; p = 0.637] and faecal AAT [median (range) 28 (2 to 96) vs. 28 (2 to 120) mg/dL; p = 0.476). Increased faecal calprotectin (CI 95% 0.4 to 3.6; p = 0,63) and AAT (CI 95% 0.4 to 3.3; p=0.152) did not differ significantly between the two groups.
Conclusions. Faecal calprotectin and alpha-1 antitrypsin concentrations is not associated with SAC in sepsis neonatorum. There is no evidence of intestinal inflammation causes increased paracellular intestinal permeability in SAC. Further research is needed on the pathogenesis of intestinal inflammation in SAC which may result in increased intestinal permeability by transcellular and enterocyte damage.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Hidayati
"Latar belakang: Diare akut masih merupakan masalah kesehatan yang penting dengan angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Virus merupakan penyebab tersering diare akut pada anak. Diare akut akibat virus akan menyembuh sendiri dan tidak membutuhkan terapi antibiotik. Namun, data dari Kemenkes Indonesia menyebutkan bahwa 85 pasien dengan diare di Jakarta diobati dengan antibiotik. Sampai saat ini, penelitian prevalens dan manifestasi klinis tentang diare akut akibat virus selain rotavirus masih jarang dilakukan. Penelitian tentang prevalens dan gambaran klinis diare akibat virus rotavirus, adenovirus, norovirus dan astrovirus belum pernah dilakukan di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui proporsi dan manifestasi klinis diare akut yang disebabkan oleh rotavirus, norovirus, adenovirus, dan astrovirus pada anak.
Metode: Studi potong lintang dilakukan di RSCM dan RSUD Budhi Asih Jakarta, sejak Februari hingga September 2017. Penelitian melibatkan 100 orang anak berusia 6-36 bulan yang datang dengan keluhan diare akut. Spesimen tinja diperiksa menggunakan rapid test CerTest untuk mendeteksi adanya rotavirus, adenovirus, norovirus dan astrovirus, kemudian dilakukan pemeriksaan analisis tinja untuk menilai terjadinya intoleransi laktosa.
Hasil: Diare akut akibat virus didapatkan pada 36 dari 100 anak, terdiri dari rotavirus 74,3 sebagai penyebab tersering, diikuti adenovirus 17,9 , norovirus 5,1 dan astrovirus 2,6 . Tiga spesimen ditemukan terdapat koinfeksi 2 virus. Diare akut akibat virus lebih sering terjadi pada anak berusia kurang dari 24 bulan 73,2 , dan 55,6 diantaranya mengalami gizi kurang. Laki-laki lebih banyak terinfeksi sebesar 1,5 kali dibandingkan perempuan. Muntah merupakan gejala yang bermakna secara statistik terkait diare akut akibat virus ini 66,7 ; p=0,045 . Manifestasi klinis lainnya yaitu diare lebih dari 10 kali per hari 58,3 , dehidrasi 68,8 , batuk 66,7 , pilek 77,8 , demam 88,6 , dan warna tinja kuning hijau 44,4 . Analisis tinja menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara diare akut akibat virus dengan terjadinya intoleransi laktosa pH.

Background Acute diarrhea remains a major cause of morbidity and mortality in Indonesia and worldwide. Virus is the most common cause of acute diarrhea in children. Viral acute diarrhea is usually self limited, and does not require antibiotic therapy. However, data from Ministry of Health Indonesia reported that 85 of patients with diarrhea in Jakarta are treated with antibiotics. Data on the prevalence and clinical manifestations of viral acute diarrhea other than rotavirus are still limited. Research on prevalence and clinical features of viral diarrhea rotavirus, adenovirus, norovirus and astrovirus has not been done in Indonesia.
Objective To know the prevalence of acute diarrhea caused by virus in children and its clinical manifestations.
Methods A cross sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital and Budhi Asih Hospital from February to September 2017. A total of 100 stool specimens were collected from patients aged 6 36 months with acute diarrhea and tested for rotavirus, adenovirus, norovirus and astrovirus by rapid test and then performed for stool analysis.
Results Of the 100 specimens, 36 36 were found to be positive for virus causing diarrhea. Rotavirus 74.3 was the most frequently detected, followed by adenovirus 17.9 , norovirus 5.1 and astrovirus 2.6 . Three specimens were found positive by two viruses. Viral diarrhea was seen in 73.2 of children aged under 24 months, of whom 55.6 of them were undernourished. Males were affected 1.5 times as much as females. Vomiting was significantly associated with viral acute diarhhea 66.7 p 0.045 . Other clinical manifestations were passage of diarrheic stools more than 10 times a day 58.3 , dehydration 68.8 , cough 66.7 , rhinorhea 77.8 , fever 80.6 , and yellow greenish stools 44.4 . Stool analysis revealed that there was no statistically significant association between viral diarrhea and lactose intolerance pH
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rr Irma Roosyana Lestyowati
"Latar Belakang: Instruksi penggunaan reagen PPD RT 23 2 TU yang dibuat oleh Statens Serum Institut Denmark yang menyatakan bahwa reagen PPD tidak boleh disimpan dan digunakan kembali setelah dibuka lebih dari 24 sampai 48 jam sulit untuk dipatuhi karena harga satu vial reagen yang mahal dan jumlah pasien yang tidak selalu ada untuk dilakukan tes tuberkulin.
Tujuan: Untuk melihat apakah penggunaan reagen PPD RT 23 yang vialnya sudah dibuka lebih dari 24 jam mempengaruhi hasil tes tuberkulin dan aman digunakan.
Metode: Studi potong lintang, non-inferiority study bulan Juni hingga bulan November 2017 pada 150 subjek. Dua tes tuberkulin dilakukan secara bersamaan pada tiap lengan pasien anak tersangka TB, satu tes tuberkulin menggunakan reagen yang vialnya dibuka <24 jam (kontrol) dan tes tuberkulin yang lainnya menggunakan reagen yang sudah dibuka 1 minggu (kelompok studi pertama) atau 1 bulan (kelompok studi kedua). Diameter indurasi masing-masing lengan diukur setelah 72 jam.
Hasil: Jumlah subjek pada kelompok studi pertama sebanyak 64 anak, dengan rata-rata diameter indurasi 3,14 mm (SD 6,409) dan 3,41 mm (SD 6,732) untuk kontrol (p=0,364). Jumlah subjek pada kelompok studi kedua sebanyak 86 anak, dengan rata-rata diameter indurasi 3,33 mm (SD 5,491) pada perlakuan dan 3,41 mm (5,555) pada kontrol (p=0,559). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada jumlah subjek dengan hasil tes tuberkulin positif (diameter indurasi ≥10 mm) dan tidak ada perbedaan selisih diameter yang bermakna (p=0,000). Tidak didapatkan efek samping maupun tanda infeksi pada lokasi tempat penyuntikan.
Simpulan: Reagen PPD RT 23 2 TU tidak berkurang efektivitasnya walaupun sudah dibuka 1 minggu dan 1 bulan dan aman untuk digunakan.

Background: Recommendations that purified protein derivative (PPD) RT-23 tuberculin should not be kept and used more than 24 to 48 hours after opening are rarely complied with because of the high price of a vial PPD tuberculin and there are not always patients to administer the test to.
Objective: To examine whether keeping opened vials of PPD RT-23 tuberculin for longer than 24 hours could affect the results of the test and safe.
Methods: A cross-sectional study, non-inferiority study was conducted during June to November 2017 at 150 subjects. Two tuberculin tests were simultaneously administered one in each forearm, to pediatric patient with suspect tuberculosis, one test using a recently opened vial of tuberculin (control) and the other using tuberculin that had been opened a week before (first phase of study tuberculin) or a month before (second phase of study tuberculin) then we measure diameter of the induration of each forearm after 72 hours.
Results: Total subject 64 patients in the first group (tuberculin opened 1 week), the mean (SD) diameter of the induration was 3.14 (6.409) mm and 3.41 (6.732) mm for the control (P=.3). Total subject 86 patients in the second group (tuberculin opened 1 month), the mean diameter of the induration was 3.33 (5.491) mm and 3.41 (5.555) mm for the control (P=.5). There were no differences between the number of positive tests (diameter of induration ≥10 mm) found and there were no significant differences of the difference of diameter of induration between the study tuberculin and control (P=.0). No adverse reaction and none sign of infection on the site of injection."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>