Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 42 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marina Hamadian
"Tujuan dan metode penelitian: Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus jeruk siam bersama klaritromisin terhadap bioavailabilitas klaritromisin. Dilaporkan bahwa jus jeruk jika diminum bersama obat-obat tertentu dapat menurunkan bioavailabilitas obat-obat tersebut secara drastis karena jus jeruk merupakan penghambat paten transporter influks/uptake yang terdapat di brush border usus halus yaitu organic anion transporter polypeptide (OATP), dan obat-obat tersebut merupakan substrat OATP. Klaritromisin seringkali digunakan untuk pengobatan infeksi saluran napas, dan pasien yang menderita infeksi ini juga sering minum jus jeruk untuk tambahan vitamin C dan untuk rasa segar. Klaritromisin merupakan substrat/penghambat transporter efluks yang juga terdapat di brush border usus halus yaitu P-glycoprotein (P-gp). Terdapat tumpang tindih antara substrat/penghambat P-gp dan OATP. Penelitian ini merupakan studi menyilang dua kali pada 13 sukarelawan sehat. Klaritromisin dosis tunggal diminum bersama air dan bersama jus jeruk dengan urutan acak selang 2 minggu. Sampel darah diambil pada jam jam tertentu sampai dengan 12 jam, dan kadar klaritromisin dalam serum diukur secara mikrobiologis. Parameter bioavailabilitas yang dinilai adalah AUC0_12jam (area di bawah kurva kadar klaritromisin terhadap waktu dari 0-12 jam), Cmax (kadar puncak klaritromisin dalam darah) dan tmax (waktu untuk mencapai Cmax). Ketiga parameter tersebut dibandingkan antara klaritromisin yang diminum dengan air dan yang diminum dengan jus jeruk.
Hasil dan kesimpulan: Perbandingan bioavailabilitas (AIJCo-lz jam) tablet Abbotic® mengandung klaritromisin 500 mg, yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam dengan yang diminum bersama air, berkisar antara 20.6% sampai 527.4% dengan rata-rata 124.9%; peningkatan ini tidak bermakna secara statistik. Berdasarkan kriteria bioekivalensi jus jeruk siam dinyatakan tidak mempengaruhi bioavailabilitas klaritromisin jika perbandingan bioavailabilitas klaritromisin bersama jus jeruk berkisar antara 80-125% bioavailabilitasnya bersama air. Dari 13 subyek penelitian ini, jus jeruk siam tidak mempengaruhi bioavailabilitas klaritromisin pada 5 orang subyek. Jus jeruk siam menurunkan bioavailabilitas klaritromisin pada 4 subyek dan meningkatkan bioavailabilitas klaritromisin pada 4 subyek. Kadar maksimal klaritromisin dalam serum (Cmax) dari tablet klaritromisin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam berkisar antara 15.6% sampai 429.8% dengan rata-rata 136.6% dibandingkan jika tablet tersebut diminum bersama air, tetapi peningkatan ini tidak bermakna secara statistik, Waktu untuk mencapai kadar maksimal klaritromisin dalam serum (tmax) dari tablet klaritromisin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam secara rata-rata tidak berubah dibandingkan jika tablet tersebut diminum bersama air (2.08 jam dengan jeruk dan 2.04 jam dengan air). Waktu paruh eliminasi (t112) tablet klaritromisin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam sedikit memanjang dibandingkan jika tablet tersebut diminum bersama air (rata-rata 5.43 dan 4.70 jam), tetapi tidak bermakna secara statistik.

Interaksi Klaritromisin Dengan Jus Jeruk Field and methodology: Orange juice can drastically decrease bioavailability of some medications that are taken together with orange juice because orange juice is a potent inhibitor of organic-anion transporting polypeptides (OATP), the uptake/influx transporter expressed on the enterocyte brush border and the medications are substrates of OATP. Clarithromycin is a substrate and an inhibitor of P-glycoprotein, the efflux transporter also expressed on the enterocyte brush border. There is an extensive overlap between substrate/inhibitor of OATP and P-gp. Clarithromycin is often used in the treatment of respiratory tract infections, and patients suffer from these infections often drink orange juice for extra vitamin C and roborants. The present study was performed to find out the effects of a local orange juice (slam orange) on the pharmacokinetics of clarithromycin. An open-label, randomized, 2-way crossover study was performed with an interval of 2 weeks. Thirteen healthy volunteers received 500 mg clarithromycin with both water and orange juice in a random order. Serum concentrations of clarithromycin were measured by simple microbiologic method.
Results and conclusions: Bioavailability (AUCo.12 hours) of Abbotic® tablet containing 500 mg clarithromycin which was taken with 200 ml orange juice ranged from 20.6% to 527.4% with an average of 124.9% compared to that which was taken with water; this increase was not statistically significant. Based on the bioequivalence criteria, orange juice did not affect clarithromycin bioavailability if clarithromycin bioavailibility ranges from 80-125% of its bioavailability with water. Among 13 volunteers, only in 5 volunteers orange juice did not affect clarithromycin bioavailability. Orange juice decreased clarithromycin bioavailability in 4 subjects and increased clarithromycin bioavailability in 4 volunteers. Peak concentration (Cmax.) of clarithromycin with orange juice ranged from 15.6 to 429.8% with an average of 136.6% compared to that with water, and this increase was not statistically significant. Clarithromycin tmax was not changed by orange juice (averages 2.08 hours with orange juice and 2.04 hours with water), while tip of clarithromycin was slightly prolonged by orange juice (averages 5.43 hours with orange juice and 4.70 hours with water) but not statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T2740
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pinka Taher
"Ruang lingkup dan Cara penelitian :
Jus jeruk jika diminum bersama obat-obat tertentu dapat menurunkan bioavailabilitas obat-obat tersebut secara drastis karena jus jeruk merupakan penghambat paten organic anion transporter polypeptide (OATP), yakni uptake/influx transporter yang terdapat di brush birder sel usus, dan obat-obat tersebut merupakan substrat dari OATP. Siprofloksasin merupakan substrat dan penghambat P-glycoprotein (P-gp), yakni efflux transporter yang juga terdapat di brush border sel usus. Terdapat tumpang tindih yang cukup ekstensif antara substrat dan penghambat OATP dan P-gp.
Siprofloksasin seringkali digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi, dan pasien yang menderita infeksi seringkali juga minum jus jeruk. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus jeruk Siam bersama siprofloksasin pada farmakokinetik siprofloksasin.
Penelitian ini merupakan studi menyilang dua kali pada 12 sukarelawan sehat. Siprofloksasin dosis tunggal diminum bersama air dan bersama jus jeruk dengan urutan acak selang 2 minggu. Sampel darah diambil pada jam-jam tertentu sampai dengan 12 jam, dan kadar siprofloksasin dalam serum diukur secara mikrobiologis. Parameter bioavailabilitas yang dinilai adalah AUCo-12jam(area di bawah kurva kadar siprofloksasin terhadap waktu dari jam 0-12), Cmax(kadar puncak siprofloksasin dalam darah) dan tmax (waktu untuk mencapai Cmax). Ke-3 parameter tersebut dibandingkan antara siprofloksasin yang diminum dengan air dan yang diminum dengan jus jeruk.
Hasil dan kesimpulan :
Bioavailabilitas (AUCo-12jam) tablet Ciproxine yang mengandung 500 mg siprofloksasin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam berkisar antara 26.6% sampai 149.4% dengan rata-rata 75.4% dibandingkan dengan yang diminum bersama air; penurunan ini bermakna secara statistik (p=0.019).
Berdasarkan kriteria bioekivalensi, jus jeruk siam dinyatakan tidak mempengaruhi bioavailabilitas siprofloksasin jika bioavailabilitas siprofloksasin dengan jus jeruk berkisar antara 80-125% bioavailabilitasnya dengan air. Di antara 12 subyek penelitian ini, hanya pada 2 orang subyek jus jeruk siam tidak mempengaruhi bioavailabilitas siprofloksasin. Jus jeruk siam menurunkan bioavailabilitas siprofloksasin pada 8 subyek, dan meningkatkan bioavailabilitas siprofloksasin pada 2 subyek. Kadar maksimal siprofloksasin dalam serum (Cmax) dari tablet siprofloksasin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk slam berkisar antara 26.7% sampai 147.3% dengan rata-rata 81.3% dibandingkan dengan Cmax dari tablet siprofloksasin yang diminum bersama air, dan penurunan ini tidak bermakna secara statistik.
Waktu untuk mencapai kadar maksimal siprofloksasin dalam serum (tmax) dari tablet siprofloksasin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam sedikit memendek dibandingkan dengan tmax dari tablet siprofloksasin yang diminum bersama air (rata-rata 1.08 dan 1.13 jam), tetapi tidak bermakna secara statistik. Waktu paruh eliminasi (t1/2) tablet siprofloksasin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam sedikit memanjang dibandingkan dengan t1/2 dari tablet siprofloksasin yang diminum bersama air (rata-rata 2.99 dan 2.93 jam), tetapi tidak bermakna secara statistik. Pada 7 subyek terjadi penurunan kecepatan absorpsi. Penurunan AUC dan Cmax siprofloksasin bersama jus jeruk siam dapat terjadi akibat hambatan OATP. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa siprofloksasin adaiah substrat dari OATP dan bahwa transporter ini dihambat oleh jus jeruk siam. Subyek yang mengalami penurunan AUC dan Cmax tampaknya mempunyai transporter OATP yang dominan.
Peningkatan AUC dan Cmax siprofloksasin bersama jus jeruk siam dapat terjadi akibat hambatan P-gp dan/atau CYP1A2 dan sulfotransferase. Tetapi hambatan ini tampaknya bukan hambatan CYP1A2 maupun sulfotransferase, karena jeruk siam tidak mengandung flavonoid naringin dan naringenin yang menghambat aktivitas metabolik CYP1A2 sedangkan hambatan sulfotransferase tidak diketahui. Subyek yang mengalami peningkatan AUC dan Cmax mungkin mempunyai transporter P-gp yang dominan. Pada beberapa subyek dengan bioavailabilitas yang tidak berubah mungkin disebabkan oleh ekspresi transporter OATP dan P-gp yang seimbang. Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa jus jeruk siam menurunkan bioavailabilitas siprofloksasin secara bermakana, baik secara statistik maupun berdasarkan kriteria bioekivalensi. Di samping itu terdapat variabilitas yang tinggi antar subyek, sehingga dianjurkan agar tidak minum antibiotik ini bersama jus jeruk siam karena pengaruhnya cukup besar dan pada setiap subyek tidak dapat diprediksi.

Field and methodology :
Orange juice can drastically decrease bioavailability of some medications that are taken together with the juice because orange juice is a potent inhibitor of organic-anion transporting polypeptides (OATP), the uptake/influx transporter expressed on the enterocyte brush border, and the medications are substrates of OATP.
Ciprofloxacin is a substrate and inhibitor of P-glycoprotein, the efflux transporter which is also expressed on the enterocyte brush border. There is an extensive overlap between substrate and inhibitor of OATP and P-gp. Ciprofloxacin is used in the treatment of various infections, and patients suffer from these infections often drink orange juice for extra vitamin C and roborants.
The present study was carried out to find out the effects of a local orange juice on the pharmacokinetics of ciprofloxacin. A randomized, open-label, 2-way crossover study was performed with an interval of 2 weeks. Twelve healthy volunteers received 500 mg ciprofloxacin with either water or local orange juice. Blood samples were drawn at certain hours until 12 hours. Serum concentrations of ciprofloxacin were measured by simple microbiologic method.
Results and conclusions :
Bioavailability (AUC0-12 hours) of Ciproxine tablet containing 500 mg ciprofloxacin which was taken with 200 ml of local orange juice ranged from 26.6% to 149.4% with an average of 75.4% compared to that which was taken with 200 ml of water; this decrease was statistically significant (p=0.019).
Based on the bioequivalence criteria, orange juice does not affect ciprofloxacin bioavailability if its bioavailability with orange juice ranges from 80-125% of its bioavailability with water. Among 12 subjects, only in 2 subjects orange juice did not affect ciprofloxacin bioavailability. Orange juice decreased ciprofloxacin bioavailability in 8 subjects and increased ciprofloxacin bioavailability in 2 subjects. Peak concentration (Cmax) of ciprofloxacin with orange juice ranged from 26.7% to 147.3% with an average of 81.3% compared to that with water, but this decrease was not statistically significant.
Ciprofloxacin t1/2 with orange juice was slightly shortened compared to that with water (averages of 1.08 and 1.13 hours), but not statistically significant. Ciprofloxacin tip with orange juice was slightly prolonged compared to that with water (averages of 2.99 and 2.93 hours), but not statistically significant. In 7 subjects there were decreases in the absorption rate. Direct decreases in AUC and Cmax can occur if the substance is a substrate of OATP and this transporter is inhibited. This study showed indirectly that ciprofloxacin is a substrate of OATP and that OATP is inhibited by the local orange juice. Subjects with decreased AUC and Cmax seem to have predominant OATP transporter. Inhibition of P-gp causes increases in AUC and Cmax.
Subjects with increased AUC and Cmax may have predominant P-gp transporters and/or CYP1A2 and sulfotransferase. However, inhibition of CYP1A2 and sulfotransferase is unlikely, because orange juice does not contain naringin and naringenin which inhibit CYP1A2, while inhibition of sulfotransferase is not known. Subjects with unchanged AUCs may have balanced OATP and P-gp. From the results of the present study, it was concluded that slam orange juice caused a significant decrease in ciprofloxacin oral bioavailability, both statistically and based on bioequivalence criteria, with a quite large interindividual variability. Therefore, it was recommended that ciprofloxacin should not be administered with slam orange juice because the effect is quite significant and in each subject the effect is unpredictable."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T 10811
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasavati Kurnia
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Ketoprofen dapat menimbulkan gangguan saluran cerna yang serius. Disamping itu, karena eliminasinya yang cepat, perlu diberikan beberapa kali sehari, sehingga mengurangi kepatuhan penderita. Sediaan lepas lambat telah dibuat, yang cukup diberikan 1 kali sehari dan memberikan kadar puncak lebih rendah dan dapat bertahan dalam kadar terapi selama 24 jam. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati profit sediaan lepas lambat (Profenid® OD dan Oruvail® 200), dibandingkan dengan sediaan biasa (Profenid 50) pada sukarelawan sehat setelah pemberian dosis oral berulang, dan untuk mengembangkan metode pemeriksaan kadar ketoprofen serum dengan kromatografi lapis tipis - densitometri. Penelitian dilakukan dengan disain menyilang dan alokasi acak pada 10 orang sukarelawan sehat. Sampel darah diambil setelah dicapai kadar mantap, untuk Profenid® 50 sampai jam ke 8, dan untuk sediaan lepas lambat sampai jam ke 24 setelah dosis terakhir. Serum sampel, dengan naproksen sebagai standar dalam, diekstraksi dengan eter-kloroform (4:1 v/v) pada suasana asam.
Hasil dan Kesimpulan: Ketoprofen dapat dipisahkan dengan baik dari naproksen, dan diperoleh 2 kurva kalibrasi: Y = 0,540X - 0,005 (kadar ketoprofen 0,25-1,00 ug/ml) dan Y = 0,295X + 0,314 (kadar 1,0-8,0 ug/ml). Dari parameter farmakokinetik yang digeroleh, disimpulkan bahwa Profenid® OD dan Oruvail® 200 memperlihatkan profit lepas lambat (C lebih rendah, t dan t1 lebih panjang, indeksmaxfluktuasi (FI) lebihmakecil) dlbandingkan Profenid® 50, dengan bioavailabilitas relatif (BR) } 80%, namun keduanya tidak dapat bertahan dalam kadar terapi sampai 24 jam. Profenid® OD menunjukkan profil lepas lambat yang lebih baik dari Oruvail® 200 pada orang Indonesia (Cmax lebih rendah, ti lebih panjang dan Fl lebih kecil (<,05)). Metode KET-densitometri ini dapat mengukur kadar ketoprofen serum dengan sensitivitas 0,25 ug/ml, kecermatan (KV) C 6% dan ketepatan (d) < 14%."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Sudrajat
"Telah djlakukan penelitian niengenai beberapa parameter farmakokinetjk salisilat pada sukarelawan orang Indonesia
yang sehat.
Dalam ]enelitian liii dilakukan pengukuran kadar salisilat
dalam plasma pada 5 orang sukarelawan sehat.
KepaQ, setiap sukarelawan diberikan Aspirin dosi.s tunggai
0,5 g per oral, lalu pengambilan sampel darah vena dilakukan
pada jam +1, +2 +k, dan +8 jam seteiah peniberian obat.
Orang percobaan dlbori istirahat se]..ama 3 han, Setelah itu
kepda setiap orang percobaan diberikan Aspirin dosis tung -
gal 1 g per oral, lalu pengambilan sampel darab vena dilakukan
pada jam +1, +2, +k, dan +8 jam setelah pembonianobat.
Cara pemeniksaan ada]Ab metode Spec trophotometer dan
Tninder (1954). Pninsipnya rnemakai sifat salisilat yang akan
menibenikan warna ungu bila dibeni garam fern.
Dari hasil :percobaan didapatkan korelasi positif yang
berniakna (r 0,97) antara kadar salisilat dalam plasma dengan
waktu paruhnya,
Iecepatan elirninasi salisilat akan berkurang dengan maidn
bertambahnya dosis, seperti terlihat dari konstanta kecepatan
elimtnasinya yang makin keel."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 1981
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juan, Tjiu Sion
"Ruang lingkup dan cara penelitian:
Jus jeruk jika diminum bersama obat-obat tertentu dapat menurunkan bioavailabilitas obat-obat tersebut secara drastis karena jus jeruk merupakan penghambat poten organic anion transporter polypeptide (OATP), yakni uptake/influx transporter yang terdapat di brush border sel usus, dan obat-obat tersebut merupakan substrat dari OATP. Eritromisin merupakan substrat dan penghambat Pglycoprotein (P-gp), yakni efflux transporter yang juga terdapat di brush - border sel usus. Terdapat tumpang tindih yang cukup ekstensif antara substrat dan penghambat OATP dan P-gp. Eritromisin seringkali digunakan untuk pengobatan infeksi saluran napas, dan pasien yang menderita infeksi ini juga sering minum jus jeruk untuk tambahan vitamin C dan untuk rasa segar. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui pengaruh pemberian jus jeruk siam bersama eritromisin pada farmakokinetik eritromisin. Penelitian ini merupakan studi menyilang dua kali pada 13 sukarelawan sehat. Eritromisin dosis tunggal diminum bersama air dan bersama jus jeruk dengan urutan acak selang 2 minggu. Sampel darah diambil pada jam-jam tertentu sampai dengan 9 jam dan kadar eritromisin dalam serum diukur secara mikrobiologis. Parameter bioavailabilitas yang dinilai adalah AUC0_, (area di bawah kurva kadar eritromisin terhadap waktu dari jam 0 sampai "'), Cmax (kadar puncak eritromisin dalam darah) dan tmax (waktu untuk mencapai Cmax). Ke-3 parameter tersebut dibandingkan antara eritromisin yang diminum dengan air dan yang diminum dengan jus jeruk.
Hasil dan kesimpulan:
Bioavailabilitas (AUCo-"' jam) tablet eritromisin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam berkisar antara 9.6°/o sampai 189.3% dengan rata-rata 81.2% dibandingkan jika tablet eritromisin tersebut diminum bersama air. Berdasarkan kriteria bioekivalensi jus jeruk siam dinyatakan tidak mempengaruhi bioavailabilitas eritromisin dengan bioavailabilitas eritromisin dengan jus jeruk berkisar antara 80-125% dibandingkan dengan bioavailabilitas yang diminum bersama air. Dari 13 subyek penelitian ini, jus jeruk siam tidak mempengaruhi bioavailabilitas eritromisin pada 3 orang subyek. Jus jeruk siam menurunkan bioavailabilitas eritromisin pada 7 subyek dan meningkatkan bioavailabilitas eritromisin pada 3 subyek. Kadar maksimal eritromisin dalam serum (Cmax) dari tablet eritromisin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam berkisar antara 30.0°/o sampai 206.1% dengan rata-rata 93.6% dibandingkan dengan Cmax dari tablet eritromisin yang diminum bersama air. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jus jeruk siam tidak mempengaruhi Cmax eritromisin (p = 0.173). Waktu untuk mencapai kadar maksimal eritromisin dalam serum (tmax) dari tablet eritromisin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam memanjang dibandingkan dengan tmax dari tablet eritromisin tersebut diminum bersama air (rata-rata 2.04 dan 1.69 jam), tetapi tidak bermakna secara statistik. Waktu paruh eliminasi (t112) dari tablet eritromisin yang diminum bersama 200 ml jus jeruk siam sedikit memendek dibandingkan dengan t112 daii tablet eritromisin yang diminum bersama air (rata-rata 1.63 dan 1.73 jam), tetapi tidak bermakna secara statistik. Penurunan AUC dan Cmax eritromisin bersama jus jeruk siam dapat terjadi akibat hambatan OATP. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa eritromisin adalah ~ubstrat dari OATP dan transporter ini dihambat oleh jus jeruk siam. S~byek yang mengalami penurunan AUC dan Cmax mungkin mempuMyai transporter OATP yang dominan atau yang lebih peka terhadap hambatan oleh jus jeruk siam. Peningkatan AUC dan Cmax eritromisin bersama jus jeruk siam dapat terjadi akibat hambatan CYP3A4 dan/atau P-gp, tetapi tampaknya bukan akibat hambatan CYP3A4 karena jeruk siam tidak mengandung furanokumarin dihidroksibergamotin maupun flavonoid naringin dan naringenin yang menghambat aktivitas metabolik CYP3A4. Subyek yang mengalami peningkatan AUC dan Cmax mungkin mempunyai transporter P-gp yang dominan atau yang lebih peka terhadap hambatan oleh jus jeruk siam. Pada beberapa subyek dengan bioavailabilitas yang tidak berubah mungkin disebabkan oleh ekspresi transporter OATP dan P-gp yang seimbang. Pada 12 subyek terjadi penurunan kecepatan absorpsi."
2002
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Susilowati
"Kurkumin merupakan senyawa aktif utama dari berbagai Curcuma species. Sudah sejak lama rimpang berbagai Curcuma species seperti Curcuma Longa dan Curcuma xantharrhiza digunakan untuk pengobatan tradisional penyakit hati di Indonesia. Kemampuan kurkumin untuk bekerja sebagai hepatoprotektor telah diteliti secara in vitral dan in vivo. Kurkumin merupakan scavenger radikal bebas oksigen, seperti radikal anion superoksida, radikal hidroksil, dan radikal nitrogen dioksida. Aktifitas antioksidannya ditunjukkan dengan kemampuannya untuk menghambat peroksidasi lipid dalam homogenat otak tikus dan mikrosom hati tikus, serta mencegah deplesi kandungan -SH sel yang ditimbulkan akibat pemberian besi dan butilhidroperoksida tersier. Aktifitas antioksidan kurkumin tersebut dapat memegang peranan penting dalam kemampuannya sebagai hepatoprotektor. Untuk mengerti mekanisme proteksi kurkumin. perlu mengetahui pada tahap manakah proses yang menyebabkan kematian sel dapat dipengaruhi. Walaupun sempat diabaikan cukup lama, saat ini nampaknya mitokondria mempunyai peranan penting dalam kematian sel. baik dalam fisiologi maupun patologi. Akhir-akhir ini perhatian ditujukan pada kemungkinan peranan radikal bebas pada sejumlah penyakit termasuk penyakit hati. Oleh karena itu. penelitian ini dilakukan untuk meneliti efek kurkumin terhadap kerusakan oksidatif mitokondria hati tikus yang terisolasi yang diinduksi oleh butilhidroperoksida tarsier. suatu hidroperoksida organik yang sering digunakan untuk mempelajari stres oksidatif. Efek proteksi kurkurmin di nilai dari hambatannya terhadap swelling mitokondria. kegagalan potensial transmembran mitokondria dan perubahan pola protein mitokondria. Swelling mitokondria diikuti menggunakan spektrofotometer dengan mengukur penurunan absorbans pada 520 nm. Potensial transmembran mitokondria diamati menggunakan spektrofotometer pada dua panjang gelombang yang dinilai dari pergeseran panjang gelombang maksimum dan penurunan absorbans safranin O. yaitu dengan mengukur absorbans pada 516 nm dikurangi absorbans pada 495 nm. Pola protein mitokondria dinilai secara elektroforesis menggunakan SOS-PAGE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa butilhidroperoksida tersier menyebabkan kerusakan mitokondria yang dinilai dengan adanya swelling mitokondria; kegagalan potensial transmembran mitokondria dan perubahan pola protein mitokondria yang diamati berupa pembentukan agregat protein dengan berat molekul tinggi dan berkurangnya jumlah kandungan protein pada pita 116 kD sebagai akibat ikatan silang thiol. Kurkumin 2500 µM hampir sempurna mencegah swelling mitokondria dan menghasilkan 85 % proteksi. sementara itu 79 % proteksi terhadap kegagalan potensial transmembran dicapai dengan penambahan kurkumin 250 uM. Kurkumin 3500 uM menghambat pembentukan agregat protein dengan berat molekul tinggi dan menghambat penurunan jumlah protein dengan berat molekul mendekati 116 kD. sebagai akibat adanya hambatan terhadap pembentukan ikatan silang thiol. Hal ini menunjukkan bahwa kurkumin memberikan proteksi terhadap kerusakan Kati oksidatif pada tahap organel mitokondria.
The Protective Effects of Curcumin on Swelling, Collapse of Transmembrane Potential, and Alterations of Protein Pattern of Rat Liver Mitochondria Induced by Tert-ButylhydroperoxideCurcumin is a major active compound of several Curcuma species. Many years ago the rhizomes of various Curcuma species like Curcuma Longa and Curcuma xanthorrrizha are used for hepatic diseases in Indonesian traditional medicine. The potential of curcumin to act as hepatoprotector agent has been demonstrated in vitro and in vivo. Curcumin appears to be a potent scavenger of oxygen free radicals, such as super oxide anion radicals. hydroxyl radicals and nitrogen dioxide radicals. Its antioxidant activity has been shown by its capacity to inhibit lipid peroxidation in rat brain homogenates and rat liver microsomes, and by its ability to prevent the depletion of cellular -SH content by iron and tert-butylhydroperoxide. This antioxidant activity of curcumin may play an important role in its hepatoprotective ability. In order to understand the mechanism by which curcumin exerts its protective activity, it is important to know at which levels the process leading to cell death can be influenced. Although neglected for many years. it appears now that mitochondria have a major role on cell death, in both physiology and pathology. Current interest has focused on the possible role of free radicals in a wide range of diseases including hepatic diseases. Therefore, the present study was undertaken to investigate the effect of curcumin on oxidative damage of isolated rat liver mitochondria induced by tert-butylhydroperoxide. an organic hydroperoxide used frequently for studying oxidative stress. The protective effect of curcumin was assessed by studying its ability to inhibit mitochondrial swelling. collapse of mitochondrial Trans membrane potential and alterations of mitochondrial protein pattern. Mitochondrial swelling was followed using spectrophotometer by measuring the decrease of absorbance at 320 rim. Mitochondria] trans membrane potential was observed using a dual-wavelength spectrophotometer by measuring the absorbance of safranin 0 at 316 nm and at 495 nm showing a shift of the maximum wavelength of safranin O and the decrease of its absorbance. Mitochondrial protein pattern was assessed electrophoretically by using SDS-PAGE. The present study showed that tert-butylhydroperoxide caused mitochondrial damage as indicated by mitochondrial swelling, collapse of mitochondrial trans membrane potential. and alterations of protein pattern which were observed as the formation of high molecular mass protein aggregates and the decrease in protein content of 116 kD band due to thiol cross-linking. Curcumin at a concentration of 2500 uM almost completely prevented mitochondrial swelling providing 85 % protection. while 79 % protection against collapse of trans membrane potential was achieved with the addition of 250 uM curcumin. Curcumin at a concentration of 3500 uM inhibited the production of high molecular weight protein aggregates and the decrease of protein with molecular mass close to 116 kD due to inhibition of thiol cross-linking. This indicates that curcumin at concentrations of 250 uM - 3500 uM provided protection against oxidative liver damage at mitochondrial organelle level."
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Jusuf Susanto
"Pada setiap kerja otot akan terjadi kenaikan tekanan darah, baik itu kerja isotonik ataupun kerja isometrik. Kenaikan tekanan darah sewaktu kerja isometrik lebih tinggi daripada sewaktu kerja isotonik. Yang dimaksud dengan kerja isotonik atau kerja dinamis adalah kerja dimana terjadi pemendekan otot yang sedang berkontraksi. Sedangkan pada kerja isometrik atau statis tidak terjadi pemendekan otot.
Gerak otot-otot tubuh kita dalam kehidupan sehari-hari tidak ada yang bersifat murni isotonik atau isometrik. Pergerakan tubuh biasanya merupakan gabungan dari keduanya. Tergantung kerja yang dilakukan maka dapat lebih bersifat isotonik atau isometrik. Olahraga lari dan renang mempunyai lebih banyak komponen isotonik, sedangkan angkat besi dan push-up lebih banyak komponen isometrik.
Penyelidikan mengenai respons kardiovaskuler sewaktu kerja dinamis telah banyak dilakukan, tetapi penyelidikan mengenai respons tersebut sewaktu kerja statis belum cukup banyak. Dalam kehidupan kita sehari-hari kadang-kadang kita melakukan berbagai kerja isometrik yang bervariasi beratnya seperti mengangkat atau membawa barang yang berat, mendorong perabotan rumah tangga atau membuka pintu atau jendela yang sulit dibuka. Semuanya itu kita lakukan tanpa menyadari bahwa kerja itu dapat merupakan beban yang berat bagi jantung dan pembuluh darah terutama pada orang tua atau mereka yang berpenyakit jantung.
Di negara-negara yang mengalami musim salju seringkali dilaporkan adanya orang yang meninggal dunia segera sesudah membersihkan jalan atau halaman dari salju dengan sekop. Mereka tidak mengira bahwa bila mereka menyekop salju basah dengan kecepatan 10 x semenit selama 1 menit, energi yang dibutuhkan sama dengan naik tangga sampai lantai ke tujuh selama 1 menit. Membawa koper seberat 20 kg selama 2 menit dapat menaikkan tekanan sistolik sampai 45 mmHg dan tekanan diastolik sampai 30 mmHg.
Penggunaan alat-alat olah raga yang banyak memerlukan kerja isometrik seperti barbel dan dumbel juga mengandung resiko bagi mereka yang kesanggupan kardiovaskulernya terbatas. Apa lagi memang kegunaan alat-alat tersebut untuk meningkatkan efisiensi kardiovaskuler atau kemampuan aerobik serta kesegaran jasmani sangat terbatas. Kerja isotonik seperti berjalan atau berlari merupakan kegiatan yang rutin dikerjakan sehari-hari. Orang dengan kemampuan kardiovaskuler yang terbatas dapat segera menghentikan kegiatan itu jika merasa lelah tanpa melampaui batas kesanggupannya?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irwan Widjaja
"Ekstrak Phaseolus vulgaris merupakan ekstrak dan kacang jenis White kidney bean. Ekstrak ini digunakan sebagai suplemen untuk menurunkan berat badan, dengan cara menghambat penyerapan karbohidrat melalui hambatan enzim aamilase. Sudah pemah dilakukan penelitian menggunakan ekstrak Phaseolus vulgaris terhadap penghambatan absorpsi karbohidrat dengan menggunakan roti putih, namun belum ada penelitian pada manusia yang menilai efek ekstrak Phaseolus vulgaris terhadap penyerapan karbohidrat setelah makan nasi.
Tujuan penelitian: Mengetahui berapa besar ekstrak Phaseolus vulgaris menurunkan absorpsi karbohidrat pada sukarelawan Indonesia yang makan nasi.
PeneIitian ini menggunakan desain menyilang, acak, tersamar ganda, berpembanding plasebo dengan washout 1 minggu. Dilakukan pada 18 orang sukarelawan sehat. Ekstrak Phaseolus vulgaris 1,5 gram atau plasebo diberikan tepat sebelum makan nasi. Sampel darah diambil pada waktu-waktu tertentu sampai 4 jam setelah makan nasi. Sebagai parameter absorpsi karbohidrat adalah luas area di bawah kurva kadar gula darah terhadap waktu (AUC 0-4 jam) yang dihitung secara trapezoidal. Absorpsi karbohidrat yang dimakan bersama ekstrak Phaseolus vulgaris dan absorpsi karbohidrat yang dimakan bersama plasebo, dibandingkan dengan menggunakan uji t berpasangan.
Hasil penelitian menunjukkan setelah pemberian ekstrak Phaseolus vulgaris, terjadi penurunan absorpsi karbohidrat yang ditunjukkan dengan penurunan AUC04 jam rerata 9,50 % dengan kisaran 1,05 % dan 19,37 % ,dibandingkan sewaktu mendapat plasebo. Penurunan ini bermakna secara statistik (p<0,001). Puncak kadar gula darah tercapai pada menit ke-60 setelah makan nasi, sedangkan hambatan absorpsi karbohidrat yang ditunjukkan dengan kadar gula darah sudah mulai terlihat pada menit ke-30, dengan penurunan kadar gula darah yang terlihat cukup besar pada menit ke-45 sampai menit ke-60 setelah makan nasi.
Kesimpulan : Penggunaan ekstrak Phaseolus vulgaris dengan dosis 1,5 gram pada sukarelawan sehat Indonesia yang makan nasi, dapat menurunkan absorpsi karbohidrat dengan kisaran 1,05 % dan 19,37%, rerata 9,50 %.

Background : Phaseolus vulgaris extract is a water-extract of a common white kidney bean. As supplement, this extract potentially promote weight loss. Its use is based on it inhibitors of amylase activity content that cause reduction of starch digestion and reduce carbohydrate uptake. Clinical studies have used Phaseolus vulgaris extract inhibit carbohydrate absorption of white bread, but .no clinical studies have been done after rice intake:
Purpose : To study how much Phaseolus vulgaris extract can reduce for carbohydrate absorption in healthy Indonesian volunteer rice intake.
Methods : Thirteen males and five males (ages 18 to 56) were screened to participate in a randomized, double-blind, placebo-controlled, crossover study after the informed consent. One and half gram Phaseolus vulgaris extract or placebo given concurrently by rice meal. Plasma glucose in IV blood were measured every 15 minutes on first hour, 20 minutes on second, and 30 minutes on third and fourth for 4 hours by a colorimetric enzyme kit (GOD FS Diasys®) after meal. The parameter for carbohydrate absorption is the Area Under Curve for 4 hours (AUC 0-4 hours). Carbohydrate absorption after Phaseolus vulgaris extract and after placebo were compared by paired-t test.
Result : After taking Phaseolus vulgaris extract, carbohydrate absorption was reduce, the Area Under Curve for 4 hours range (AUC0-4 hours) average 9.50 % ( 1.05 % and 19.37 %), compared with placebo. The reduction is statistically significant (p
Conclusion : One and half gram Phaseolus vulgaris extract can reduce the carbohydrate absorption with range 1.05 % and 19.37%, average 9.50 %, after rice meal in healthy Indonesian volunteer."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T 17672
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zita Arieselia
"Prevalensi penyakit kardiovmakular meningkat dengan tajam pada wanita pasca menopausa Pada wanita pasca menopause terjadi peningkatan produksi trombosit dan penurunan produksi prosiasiklin. Aspirin dosis rendah (75 - 150 mg) telah lama dikenal sebagai penghambat agregasi trombosit. Aspirin bekerja dengan menghambat produksi tromboksan (suatu zat proagregasi trombosit dan vasokonslriktor poten) serta produksi prostasiklin (suatu zat antiagregasi trombosit dan vasodilator poten).
Studi ini merupakan uji klinik Lidak tersamar dengan 2 kelompok paralel. Kelompok pertama terdiri dari 15 orang wanita pramenopause (3 40 tahun) dan kelompok kedua 15 orang wanita pasca menopause yang telah henti haid selama 3 - 5 tahun. Urin 24 jam dikumpulkan dari setiap subyek sebelum dan sesudah minum aspirin 100 mg salama 7 hari berturut-turut, Kadar prostasiklin dalam win dalam bentuk metabolitnya, 2,3-dinor-6-keto-prostaglandin-F1.1, dianalisis menggunakan metode EIA (Enzyme immunoassay). Tromboksan, dalam bcntuk metabolitnya (ll-dehidro-tromboksan-B2), juga diukur dalam sampel urin ini pada studi terdahulu.
Studi terdahulu menunjukkan bahwa aspirin menurunkan kadar tromboksan secara bermakna pada kedua kelompok dengan persentase penurunan yang lebih besar secara bermakna pada wanita pasca menopause dibandingkan wanita pramenopause. Hasil studi ini menunjukkan bahwa aspirin menurunkan kadar prostasiklin secara bermakna pada wanim pramenopause (selisih = 78,44 nglg kreatinin; p = 0,001) maupun wanita pasca menopause (sclisih = 35,7l ng/g kreatinin; p < 0,001), namun persentase penurunan antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (46,26% vs_ 40,94%; p = 0,574). Penurunan kadar tromboksan dan proslasiklin oleh aspirin perlu dibandingkan (dalam bcntuk penurunan rasio kadar ll- dehidro-tromboksan-B2 / 2,3-dinor-6-keto-prostaglandin-Fu, dalam urin) untuk menilai ekasi aspirin sebagai antitrombodk Perhitungan rasio kadar ll-dehidro-tromboksan-B2/ 2,3-dinor-6-keto-proslaglandin-Fm sebelum pemberian aspirin jauh lebih tinggi pada wanila pascamenopause dibandingkan wanita pramenopause (4,09 vs. 1,l3; p A 0,001)_ Pcnurunan rasio kadar 11-dchidro-tromboksan-Bd 2,3-dinor-6-keto-prostaglandin-Fm olch aspirin jauh lebih besar pada wzmita pasca menopause dibandingkan wanita pramenopause (l,9l vs. 0, 17; p = 0,022).
Dengan demikian disimpulkan bahwa aspirin menurunkan kadar prostasiklin secara bermakna pada masing-masing kelompok dengan persentase penurunan yang tidak berbeda antara kedua kelompok, namun menurunkan rasio kadar 11-dchidro-tromboksan-BJ 2,3-dinor-6-keto-prostaglandin-F1,, yang jauh lebih besar pada wanita pasca menopause dibandingkan pada wanila pramenopausa.

The prevalence of cardiovascular diseases in women increases sharply after menopause. In postmenopausal women, thromboxane production increases while prostacyclin production decreases. Low dose mpirin (75 - 150 mg) has long been known as an antiplatelet aggregator. Aspirin reduces the production of both thromboxane (potent thrombocyte aggregator and vasoconstrictor) and prostacyclin (anti thrombocyte aggregator and potent vasodilator).
The present study was an open-label clinical trial with 2 parallel groups. One group consisted of 15 premenopausal women (age 2 40 years) while the other group 15 postmenopausal women (for 3 - 5 years). Twenty-four hours urine was collected from each subject before and after aspirin 100 mg daily for 7 days. The concentration of prostacyclin was measured as its metabolite (2,3-dinor-6-keto-prostaglandin-Fm) in urine using EIA (Enzyme immunoassay). Thromboxane as its urinary metabolites (11-dehidro-tromboksan-Bg) was also measured in these same urine samples in the previous study.
Previous study showed that aspirin significantly reduced thromboxane in both groups, with significantly larger percentage reduction in postmenopausal women compared to premenopausal women. Results of the present study showed that aspirin reduced prostacyclin signilicantly in both premenopausal women (mean difference = 78.44 ng/g creatinine; p = 0.001) and postmenopausal women (mean difference = 35.71 ng/g creatinine; p < 0.001), but the percentage reduction between the groups was not significantly different (46,26% vs. 4O,94%; p = O,574). The decrease in thromboxane and prostacyclin should be compared (as the decrewe in the ratio of ll-dehidro-tromboksan-B2 / 2,3-dinor-6-keto- prostaglandin-Fia) to assess aspirin efficacy as an antithrombotic. Calculation of the ratio of 11-dehidro-trombol
It was concluded that aspirin reduced prostacyclin significantly in each group with nons ignificant percentage reduction between groups, but reduced the 11-dehidro-tromboksan-BU 2,3-dinor-6-keto-prostaglandin-Fi., ratio much larger in postmenopausal women compared to that in premenopausal women."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32325
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Soefiandi Soedarman
"Tujuan : Untuk mengetahui perubahan ketebalan makula sebelum dan sesudah operasi fakoemulsifikasi pada pasien dengan NPDR ringan-sedang dengan dan tanpa profilaksis tetes mata nepafenac 0.1%.
Metode : Penelitian ini adalah uji klinis acak tidak tersamar. Sebanyak 36 subyek yang memenuhi kriteria inklusi menjalani fakoemulsifikasi. Secara acak 18 subyek mendapatkan tetes mata nepafenac 0,1 % dan sisanya mendapatkan tetes mata plasebo yang dipakai 3 hari pre fakoemulsifikasi hingga 14 hari pasca fakoemulsifikasi. Ketebalan fovea dan volume makula diukur dengan SD-OCT pre-fakoemulsifikasi dan minggu ke-4 pasca fakoemulsifikasi. Dilakukan juga pengukuran tajam penglihatan dengan koreksi (TPDK) dan tingkat peradangan di bilik mata depan.
Hasil : Didapatkan peningkatan ketebalan fovea pada kelompok plasebo 4 minggu pasca fakoemulsifikasi secara statistik berbeda bermakna (uji-t berpasangan, p=0,022). Pada kelompok nepafenac tidak didapatkan perubahan ketebalan fovea yang bermakna 4 minggu pasca fakoemulsifikasi (uji-t berpasangan, p = 0,538). Didapatkan 1 pasien pada kelompok plasebo mengalami CME. Pada penilaian perubahan volume makula 4 minggu pasca fakoemulsifikasi, terdapat peningkatan volume makula pada ke-2 kelompok yang bermakna secara statitistik (uji-t berpasangan, p<0,05) tetapi antar kedua kelompok tidak bermakna (uji-t tidak berpasangan, p= 0,621). Secara klinis presentase tingkat peradangan di bilik mata depan pada kelompok plasebo lebih besar dibandingkan kelompok nepafenac pada hari-1 pasca fakoemulsifikasi (38,9% : 5,6%) walaupun secara statistik antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (uji Kolmogorov-Smirnov, p=0,27). Kelompok nepafenac secara klinis mendapatkan TPDK yang lebih baik dibandingkan kelompok placebo 4 minggu pasca fakoemulsifikasi walaupun secara statistik tidak berbeda bermakna (uji t tidak berpasangan, p=0,991).
Kesimpulan : Pemberian tetes mata nepafanac 0,1% dapat mencegah penebalan fovea secara bermakna (klinis dan statistik) 4 minggu pasca fakoemulsifikasi pada penderita NPDR ringan-sedang. Secara klinis pemberian tetes mata nepafenac 0,1% dapat mengurangi resiko peradangan di bilik mata depan, resiko terjadinya CME, dan penurunan tajam penglihatan meskipun tidak mencapai kemaknaan secara statistik bila dibandingkan dengan plasebo.

Aim : To evaluate the effect of prophylactic nepafenac eye drops on macular thickness changes after phacoemulsification surgery in mild to moderate NPDR patients.
Method : This study is an open label randomized clinical trial. Thirty-six subjects who met the inclusion criteria underwent phacoemulsification. One group (18 subjects) were given nepafenac 0,1% eye drops and the rest were given placebo; both products were used 3 days before phacoemulsification until 14 days after phacoemulsification. Foveal thickness and total macular volume were measured by SD-OCT before surgery and the fourth week after phacoemulsification. Best corrected visual acuity (BCVA) and degree of inflammation in the anterior chamber were also being assessed.
Result : There was a statistically significant increase foveal thickness in the placebo group 4 weeks after phacoemulsification (paired t-test, p=0,022). In the nepafenac group there was no significant changes in the foveal thickness 4 weeks after phacoemulsification (paired t-test, p = 0,538). One patient in the placebo group had CME. There was an increased in total macular volume, which were statistically significant in both groups (paired t-test, p<0,05) although not significantly different between the two groups (unpaired t-test, p= 0,621). Clinically, percentage degree of inflammation in anterior chamber in placebo group was higher than nepafenac group (38,9% : 5,6%) but not significantly different between 2 groups (Kolmogorov-Smirnov test, p=0,27). Nepafenac group achieved clinically better BCVA than the placebo group 4 weeks after phacoemulsification, although statistically there was no significant difference between two groups (unpaired t-test, p=0,991).
Conclusion : Nepafenac 0,1% eye drops could prevent foveal thickening 4 weeks after phacoemulsification in mild to moderate NPDR patients. Clinically, nepafenac 0,1% eye drops could decrease the risk of inflammation in the anterior chamber, risk of CME, and vision deterioration although did not reach statistically significant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>