Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fannie Fauzarianda
"Latar Belakang: Penurunan massa bebas lemak dan status fungsional akan mempengaruhi prognosis pada pasien kanker kepala leher. Pembentukan massa bebas lemak dipengaruhi berbagai hal termasuk nutrisi. Salah satu zat gizi yang berperan dalam adalah asam amino rantai cabang. Karnofsky Performance Scales (KPS) adalah salah satu parameter status fungsional yang dinilai secara rutin untuk pasien kanker Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara asupan asam amino rantai cabang dengan massa bebas lemak dan status fungsional pada pasien kanker kepala dan leher.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada subjek dewasa dengan kanker kepala leher secara consecutive sampling method di poliklinik radioterapi RSCM. Wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data karakteristik dasar, data asupan zat gizi dan penilaian status fungsional. Pengukuran komposisi tubuh massa bebas lemak dengan alat bioimpedance analysis single Frequency. Pengukuran status fungsional dengan KPS.
Hasil: Sebanyak 77 subjek penelitian dengan rerata usia 52 tahun, dengan sebagian besar berjenis kelamin laki-laki, 61 % berpendidikan menengah dan sebagian besar bekerja. Lokasi kanker terbanyak pada nasofaring dengan jenis karsinoma sel skuamosa dan stadium IV. Rerata subjek memiliki status gizi normal. Penilaian 3 x24-h Food Recall didapatkan dengan rerata asupan energi 27,44 kkal/kgBB dan protein 1,33 g/kgBB. Penilaian rerata asupan AARC dengan FFQ semi kuantitatif pada subjek penelitian didapatkan sebesar 10,99 gram. Pada penelitian ini didapatkan rerata nilai massa bebas lemak 42,10 kg dengan sebanyak 46 % subjek penelitian laki- laki memiliki index massa bebas lemak < 17 kg/m2 sedangkan pada subjek penelitian wanita terdapat 16 % dengan index massa bebas lemak <15 kg/m2 Status fungsional dengan menggunakan KPS subjek penelitian dengan median 90 dengan nilai minimum 40. Sekitar 11,6% subjek penelitian yang memiliki nilai KPS kurang dari sama dengan 70. Terdapat korelasi lemah antara asupan asam amino rantai cabang dengan massa bebas lemak (r=0,238, p=0,037).Tidak terdapat korelasi antara asupan AARC dengan status fungsional (r=0.147; p>0.05)
Kesimpulan: Terdapat korelasi bermakna yang lemah antara asupan AARC dengan massa bebas lemak dan tidak terdapat korelasi antara asupan AARC dengan status fungsional pada subjek kanker kepala leher

Background: Decreased fat-free mass and functional status will affect the prognosis in head and neck cancer patients. The formation of fat-free mass is influenced by various things including nutrition. One of the nutrients that play a role in is branched chain amino acids. Karnofsky Performance Scales (KPS) is a functional status parameter that is routinely assessed for cancer patients.
Methods: This cross-sectional study was conducted on adult subjects with head and neck cancer by consecutive sampling method at the radiotherapy polyclinic RSCM. Interviews were conducted to collect data on basic characteristics, data on nutrient intake and assessment of functional status. Measurement of body composition fat-free mass using a single Frequency bioimpedance analysis tool. Functional status measurement using the KPS.
Results: A total of 77 study subjects with an average age of 52 years, with most of them being male, 61% having secondary education and most of them working. Most cancer locations in the nasopharynx with the type of squamous cell carcinoma and stage IV. On average, the subjects had normal nutritional status. The 3 x24-h Food Recall assessment was obtained with an average energy intake of 27.44 kcal/kgBW and protein 1.33 g/kgBW. The assessment of the average BCAA intake with semi-quantitative FFQ on research subjects was 10.99 grams. In this study, the average fat-free mass value was 42.10 kg with as many as 46% of male research subjects having a fat-free mass index <17 kg/m2 while in female research subjects there were 16% with a fat-free mass index <15 kg/m2. Functional status using KPS of research subjects with a median of 90 with a minimum value of 40. Approximately 11.6% of study subjects had a KPS value of less than 70. There was a weak correlation between intake of branched-chain amino acids and fat-free mass (r=0.238, p=0.037. There was no correlation between BCAA intake and functional status (r=0.147; p>0.05)
Conclusion: There is a weak significant correlation between BCAA intake and fat-free mass and there is no correlation between BCAA intake and functional status in head and neck cancer subjects
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elfina Rachmi
"Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang di Departemen Radioterapi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar asam lemak omega-3 terhadap massa otot dan kekuatan genggam pada subjek kanker kepala leher yang mendapatkan radioterapi. Kaheksia kanker sering terjadi pada kanker kepala leher akibat peningkatan sitokin proinflamasi yang menyebabkan hipermetabolisme, peningkatan kebutuhan nutrisi, anoreksia, penurunan massa otot dan berat badan. Asam lemak omega-3 berperan dalam menurunkan inflamasi, meningkatkan massa otot, dan kekuatan genggam. Dari 52 subjek yang sudah mendapatkan radioterapi ge;25 kali, 57 adalah laki-laki dengan rerata usia di atas 50 tahun. Lokasi kanker paling banyak di area nasofaring, sebagian besar sudah berada pada stadium IV dan mendapatkan kombinasi radioterapi dan kemoterapi. Sebesar 38,5 dan 32,7 subjek berada pada kategori indeks massa tubuh normal dan kurang. Data yang diperoleh dari penelitian ini dapat memberikan gambaran kurangnya asupan energi, protein, lemak, dan asam lemak omega-3, serta massa otot sebagian besar subjek yang tergolong kecil 28,4 4,7 , dengan kekuatan genggam sebagian besar subjek tergolong normal, dan kadar asam lemak omega-3 plasma seluruh subjek yang tergolong rendah 2,5 0,8 . Data tersebut menunjukkan adanya masalah nutrisi pada pasien kanker kepala leher. Terdapat korelasi yang kuat antara kadar asam lemak omega-3 plasma terhadap massa otot r =0,6, p 50?60 Gy dan 50 Gy.

This cross sectional study conducted in the Department of Radiotherapy Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, aimed to investigate the correlation between omega 3 fatty acids plasma levels with muscle mass and hand grip muscle strength in subjects with head and neck cancer undergoing radiotherapy. Cancer cachexia is common in head and neck cancer as a result of the increasing of proinflammatory cytokines that cause hipermetabolisme, increased nutritional needs, anorexia, decreased muscle mass and body weight. Omega 3 fatty acids play a role in reducing inflammation, as well as improving muscle mass and hand grip. There were 52 subjects who had received radiotherapy ge 25 times, 57 were male with a mean age of 50 years. Most cancer sites were at nasopharynx area, mostly in stage IV and received a combination of radiotherapy and chemotherapy. There were 38,5 of the subjects in the normal body mass index and 32,7 were in low body mass index. The data from this study showed inadequate intake of energy, protein, fat, and omega 3 fatty acids, as well as muscle mass majority was small 28,4 4,7 , with most of the hand grip classified as normal, and the plasma levels of omega 3 fatty acids all of the subjects were low 2,5 0,8 . The data showed that there were nutritional problems in patients with head and neck cancer. There was strong correlation of plasma levels of omega 3 fatty acids with muscle mass r 0,8, p 50 60 Gy and 50 Gy. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55623
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jellyca Anton
"Glutamin merupakan asam amino yang berperan penting dalam menjaga homeostasis dari fungsi sel tertentu, di antaranya adalah proliferasi sel limfosit. Penurunan kadar glutamin plasma terjadi pada hewan coba dengan kanker, yang berdampak pada peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Beberapa penelitian melaporkan bahwa suplementasi glutamin dapat mencegah terjadinya mukositis oral akibat radiasi, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien kanker kepala leher dengan radioterapi. Penelitian dengan desain potong lintang ini dilakukan di Departemen Radioterapi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, yang bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar glutamin plasma terhadap total lymphocyte count TLC dan kualitas hidup pada pasien kanker kepala leher dengan radioterapi. Dari total 52 subjek yang mengikuti penelitian ini, didapatkan median usia 50,50 18-62 tahun dan 63,46 adalah subjek laki-laki. Nasofaring merupakan lokasi kanker tersering. Sekitar 70 subjek berada pada stadium IV dan mendapatkan kombinasi radioterapi dan kemoterapi. Status gizi sebagian besar subjek masih tergolong normal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara kadar glutamin plasma terhadap TLC dan kualitas hidup pada pasien kanker kepala leher dengan radioterapi. Meskipun demikian, beberapa data dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai adanya masalah nutrisi yang dialami pasien kanker kepala leher dengan radioterapi. Data tersebut antara lain lebih dari 60 subjek memiliki asupan kalori dan protein harian yang kurang, kemudian didapatkan juga kadar glutamin plasma semua subjek yang sangat rendah, dengan rerata 7,77 3,32 ?mol/l. Beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab terjadinya hal tersebut adalah proses penyakit kanker, lokasi pertumbuhan kanker, efek samping terapi, serta kebutuhan yang sangat tinggi akan glutamin untuk fungsi fisiologis tubuh.

Glutamin is an amino acid that plays an important role in maintaining the homeostasis of many cells, including the proliferation of lymphocytes. A decrease in plasma glutamine level was observed in rats with cancer, which could increase the susceptibility to infection. Several studies showed that glutamine supplementation could prevent oral mucositis induced by radiation, so this could increase the quality of life of head and neck cancer patients receiving radiotherapy. This cross sectional study conducted at Radiotherapy Department, RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, aimed to investigate the correlations of plasma glutamin level with total lymphocyte count TLC and quality of life in head and neck cancer patients receiving radiotherapy. A total of 52 subjects participated in this study, with median age 50,50 18 62 years old and 63,46 subjects were male. Nasopharynx was the most common site affected. About 70 subjects were at stage IV cancer and receiving a combination of radiotherapy and chemotherapy. Most of the subjects had a normal nutritional status according to body mass index BMI.
The results of this study showed no correlations of plasma glutamine level with TLC and quality of life in head and neck cancer patients receiving radiotherapy. However, data from this study revealed nutritional problems that happened in head and neck cancer patients receiving radiotherapy. These data include more than 60 of subjects had below normal limit daily calorie and protein intakes, and the plasma glutamine level of all subjects was very low, with mean 7,77 3,32 mol l. Several factors predicted to be the cause of these problems are the process of the disease, cancer growth location, side effects of therapy, as well as a high need of glutamine for physiological functions of the body.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Viona
"Lebih dari 56,8 juta manusia di seluruh dunia mengalami penderitaan yang sebenarnya bisa ditangani dengan layanan paliatif, namun hanya 14% pasien yang akhirnya mendapatknannya. Pengintegrasian layanan paliatif ke sistem kesehatan primer akan mempermudah akses pasien terhadap layanan paliatif, mengurangi overkapasitas pelayanan di fasilitas kesehatan lanjut, dan mengurangi beban finansial baik untuk fasilitas kesehatan lanjutan maupun untuk pasien. Kunjungan rumah oleh tim paliatif juga dapat mengurangi angka hospitalisasi, lama rawat inap saat hospitalisasi, dan lebih memungkinkan pasien meinggal di rumah daripada di Rumah Sakit. Penelitian ini merupakan studi deskriptif analitik dengan metode kuantitatif dan kualitatif untuk mengetahui ketersediaan sumber daya di Puskesmas Indonesia dan dampaknya dalam penyelenggaraan layanan paliatif kanker. Saat ini tingkat ketersediaan sumber daya di Puskesmas Indonesia berada pada tingkat sedang – baik dengan permasalahan yang terjadi adalah tidak adanya regulasi, minimnya atensi dari pemerintah mengenai layanan paliatif, tidak adanya pembiayaan khusus, serta ketidak tersediaan morfin di Puskesmas. Untuk mengembangkan layanan paliatif di Puskesmas Indonesia, diperlukan adanya pembentukan regulasi, penjaminan ketersediaan obat – obatan, edukasi kepada tenaga kesehatan yang terstruktur dan terstandarisasi nasional mengenai layanan paliatif dan penjaminan pembiayaan program paliatif.

More than 56.8 million people worldwide experience suffering that can be treated with palliative services, but only 14% of patients that finally get it. Integrating palliative services into the primary health system will facilitate easier access to palliative services, reduce overcapacity of services at secondary health facilities, and reduce the financial burden for both secondary health facilities and for patients. Home visits by the palliative team can also reduce hospitalization rates, length of stay during hospitalization, and are more likely to die at home than in the hospital. This research is an analytic descriptive study with quantitative and qualitative methods to determine the availability of resources at Indonesian primary health centers and its impact on the implementation of cancer palliative services. At present, the level of resource availability at primary health care is at a moderate level but problems that occur are the absence of regulations, the lack of attention from the government regarding palliative services, the absence of allocated financing, and the unavailability of morphine in primary health centers. To develop palliative services at Indonesian primary health centers, it is necessary to form regulation about palliative services, guarantee the availability of medicines, educate health workers regarding palliative services that is structured and nationally standardized and guarantee the financing of palliative programs."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Ronald Barata Sebastian
"Tujuan : untuk mengetahui waktu terbaik dilakukan adaptasi perencanaan radiasi terhadap kasus kanker nasofaring yang menjalani radiasi di RSCM serta mencari tahu hubungan penurunan berat badan dan pengecilan ukuran tumor terhadap perubahan dosimetri pasien kanker nasofaring serta batasan perubahan separasi leher yang memerlukan tindakan adaptasi perencanaan radiasi. Metode : Dilakukan studi kohort prospektif pada 11 pasien kanker Nasofaring. Dilakukan pengukuran berat badan dengan timbangan dan separasi pada tip mastoid , kelenjar getah bening terlebar menggunakan alat ukur di TPS pada data set CT Simulator dan pada CBCT fraksi 1,6,11,16,21,26,dan 31. Data set hasil CBCT dilakukan fusi terhadap data set CT simulator kemudian dilakukan delineasi dan dilanjutkan rekalkulasi dosis dengan parameter yang sama seperti perencanaan radiasi awal kemudian dilakukan evaluasi dosimetri. Jika terdapat deviasi pada minimal 1 organ normal berisiko atau target volume maka masuk ke kriteria untuk dilakukan adaptasi perencanaan radiasi. Batasan waktu dalam menilai hubungan adaptasi perencanaan radiasi dengan parameter klinis dilakukan menggunakan kurva ROC (Receiving Operator Characteristic) Hasil : Dari 11 pasien yang diteliti,terdapat 10 pasien yang memerlukan adaptasi perencanaan radiasi dikarenakan melewati batas toleransi. Perubahan dosimetri yang menyebabkan adaptasi perencanaan radiasi, terjadi pada fraksi dan struktur organ yang berbeda. Hubungan antara waktu fraksinasi dengan indikasi tindakan adaptasi perencanaan radiasi signifikan mulai fraksi ke 6 sedangkan perubahan relative risk terbesar terdapat pada fraksi 11 ke fraksi 16. Indikasi adaptasi perencanaan radiasi dengan parameter klinis; Δ separasi KGB terlebar (AUC 0.951, 95% CI 0.905-0.996), Δ separasi Tip mastoid (AUC) 0.741, 95% CI 0.631-0.852, Δ persentase berat badan ((AUC) 0.911, 95% CI 0.844-0.978). dengan batas tengah kurva ROC pada Δ separasi KGB terlebar 1,21 cm dan Δ persentase berat badan 4,49 %. Kesimpulan : dari penelitian ini, pasien kanker nasofaring membutuhkan radiasi adaptif untuk memberikan terapeutik ratio yang baik dan didapatkan adanya hubungan antara perubahan separasi dan penurunan berat badan dengan adaptasi perencanaan radiasi.

Objectives: to determine appropriate timing for adaptive radiation therapy for nasopharyngeal cancer cases undergoing radiation at the RSCM and to find out the relationship between weight loss and tumor size reduction on dosimetry changes in nasopharyngeal cancer patients and the cut off of changes in neck separation that require adaptive radiation therapy. Methods: A prospective cohort study was conducted on 11 nasopharyngeal cancer patients. Separation measurements were made on the tip mastoid, the widest neck lymph node using a measuring instrument at the treatment planning system (TPS) on the CT Simulator data set and the CBCT data set fractions 1,6,11,16,21,26, and 31. The CBCT data set was fused to the CT data set. The CBCT data set was then delineated and continued with dose recalculation using the same parameters as the initial radiation plan, then dosimetry evaluation was carried out. If there is deviation in at least 1 normal organ at risk or target volume, then it is included in the criteria for adaptive radiation therapy. The time limit in assessing the relationship between adaptive radiation planning adaptive and clinical parameters was carried out using the ROC (Receiving Operator Characteristic) curve. Results: there were 10 out of 11 patients who required adaptive radiation planning due to exceeding the tolerance limit. Dosimetry changes that cause adaptive radiation planning occur in different fractions and organ structures. The relationship between fractionation time and indications of radiation planning adaptative measures is significant starting from the 6th fraction, while the largest relative risk changes are found in fractions 11 to 16. Indications of adaptive radiation planning with clinical parameters; widest lymph node separation (AUC 0.951, 95% CI 0.905-0.996), tip mastoid separation (AUC) 0.741, 95% CI 0.631-0.852, weight percentage ((AUC) 0.911, 95% CI 0.844-0.978). with the middle limit of the ROC curve at the widest KGB separation 1.21 cm and body weight percentage 4.49%. Conclusion: Nasopharyngeal cancer patients require adaptive radiation to provide a good therapeutic ratio and there is relationship between changes in separation and weight loss with adaptive radiation planning"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Mikhael
"Latar belakan: Kanker serviks merupakan kanker terbanyak kedua dan tingkat kematian terbesar ketiga di Indonesia. Sebagian besar pasien datang dengan stadium lanjut (IIB-IIIB), sehingga terapi pilihan untuk pasien adalah radioterapi atau kemoradiasi. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa terdapat perbedaan respon tumor antara pasien yang dilakukan radiasi di pagi hari dibandingkan sore hari. Terlepas dari hal tersebut, kualitas dan kuantitas tidur dihubungkan dengan peningkatan faktor karsinogenik yang dapat menyebabkan imunosupresi. Penelitian juga menunjukkan bahwa gangguan tidur merupakan faktor prognostik independen dalam memengaruhi overall survival pasien kanker kolorektal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kualitas dan kuantitas tidur terhadap respon klinis pada pasien kanker serviks stadium lokal lanjut yang menjalani radioterapi.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional pada pasien kanker serviks stadium IIB – IIIB yang telah menjalani radioterapi di IPTOR RSCM. Data pola dan kebiasaan tidur didapatkan dari wawancara yang telah dilakukan kepada pasien kanker serviks dari penelitian terdahulu oleh Ramli dkk., berupa durasi, kualitas, dan jam mulai tidur malam, serta frekuensi, durasi, kualitas, dan jam mulai tidur siang. Data hasil terapi didapatkan dari pencatatan hasil pemeriksaan fisik di rekam medik.
Hasil : Rerata usia dari 43 sampel adalah 50 tahun dengan jenis karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin diferensiasi sedang. Pada analisis regresi logistik univariat, didapatkan adanya hubungan antara jam mulai tidur malam dengan respon klinis (p=0.032), dengan pengaruh yang cukup kuat (OR: 3,13, 95%CI; 1,10-8,88). Pada analisis multivariat, variabel jam mulai tidur malam masih memberikan signifikansi 0,032, dengan pengaruh terhadap respon yang cukup kuat (OR: 3,14,95%CI; 1,10-8,94), dimana jam mulai tidur yang lebih malam akan meningkatkan kemungkinan terjadinya respon tidakkomplit pada pasien.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara kualitas tidur dan respon klinis pada pasien kanker serviks stadium lokal lanjut yang menjalani radioterapi. Terdapat hubungan antara jam mulai tidur dan respon klinis pada pasien kanker serviks stadium lokal lanjut yang menjalani radioterapi. Semakin telat pasien tidur akan meningkatkan kemungkinan respon klinis yang lebih buruk. Setelah disesuaikan dengan faktor-faktor lain, dapat diketahui bahwa jam mulai tidur pasien mempengaruhi secara independen terhadap respon klinis pada pasien kanker serviks stadium lokal lanjut yang menjalani radioterapi

Background: Cervical cancer is the second most common cancer and the third largest cause of mortality due to cancer in Indonesia. Definitive chemoradiotherapy is the main modality in treating locally advanced cervical cancer patient. Previous studies have shown that there is a difference in tumour response between patients who received radiation in the morning compared to the afternoon. It is known that the quality and quantity of sleep is associated with an increase in carcinogenic factors, and may cause immunosuppression. Research also shows that sleep disturbance is an independent prognostic factor in influencing overall survival. The aim of this study is to determine the relationship between sleep quality and quantity on clinical response in locally advanced cervical cancer patients undergoing radiotherapy.
Methods: This is a cross-sectional study in cervical cancer patients treated with definitive chemoradiotherapy in Radiotherapy Department, Ciptomangunkusumo Hospital. Quality and quantity of sleep data was extracted from previous interview done with study subjects by Ramli et al, which include the duration, quality, and night bedtime schedule, and also the frequency, duration, quality, and nap time. Clinical response was assessed by physical examination by the end of radiotherapy treatment.
Results: Mean age of 43 patients were 50 years with non-keratinizing, moderate differentiation squamous cell carcinoma. From univariate logistic regression, there was an association between bedtime schedule and clinical response (p=0.032) with a good strength (OR: 3.13; 95% CI: 1.1-8.88). Multivariate analysis also showed that with a late bedtime schedule, there was a higher chance of incomplete clinical response in patients (p=0.035, OR: 3.14; 95% CI: 1.1-8.94)
Conclusion: There was no relationship between quality of sleep and clinical response for locally advanced cervical cancer who underwent radiotherapy. Meanwhile, bedtime yield a significant association with cervical cancer clinical response. After further adjustment with other factors, bedtime was an independent factor for locally advanced cervical cancer clinical response. 
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Narisa Dewi Maulany Darwis
"Latar Belakang: Kemoradiasi merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatan kesintasan sel. Diperlukan penelitian in-vitro untuk mengembangkan potensi-potensi agen kemoradiosensitiser tersebut, namun sayangnya tidak banyak laboratorium yang melakukan protokol uji radiosensitivitas sel di Indonesia. Tujuan: Penelitian ini ditujukan untuk membangun protokol clonogenic assay agar radiosensitivitas dan efek radiosensitiser dapat diukur dengan baik. Metode: Lini sel yang digunakan adalah MCF-7 adenokarsinoma payudara dan HeLa yang merupakan adenokarsinoma cervix uteri. Linear accelerator digunakan sebagai cell irradiator. Clonogenic assay digunakan untuk menilai radiosensitivitas sel MCF-7 dan HeLa serta mengexplorasi efek cisplatin sebagai radiosensitiser pada dua sel tersebut. Radiosensitivitas sel akan dipresentasikan pada kurva quadratic linear. Hasil: Didapatkan bahwa Radiosensitivitas sel MCF-7 dan HeLa didapatkan dengan α/β ratio 4.56 dan 4.94. IC50 cisplatin pada Hela adalah 10.4 uM dan MCF-7 adalah 250nM. Cisplatin memiliki potensi sebagai radiosensitiser pada lini sel kanker payudara dengan SER-D10 dan SER-D50 1.83 dan 2.87 pada dosis 50nM, serta SER-D10 dan SER-D50 2.23 dan 3.31 pada dosis 100nM. Kesimpulan: Protokol colony assay dapat dimanfaatkan untuk menentukan kesintasan sel terhadap radiasi, kemoterapi, dan kemoradiasi. Cisplatin memiliki potensi sebagai radiosensitizer terhadap sel MCF-7, yang merupakan lini sel adenokarsinoma payudara.

Background: Chemoradiation is a therapeutic approach aimed at improving treatment results. There is a lack of laboratories in Indonesia that conduct cell radiosensitivity testing protocols, which hinders the development of potential chemo-radiosensitizer agents through in-vitro research. Methods: The purpose of this research is to develop a clonogenic assay protocol in order to accurately measure radiosensitivity and the impact of the radiosensitivity. We use MCF-7, a breast adenocarcinoma cell line, and HeLa, a cervical cervix adenocarcinoma cell line. The study uses a linear accelerator as a device to irradiate cells. We explore the radiosensitivity of MCF-7 and HeLa cells and investigates the impact of cisplatin, a radiosensitizer, on these two cell types. Clonogenic assays are employed to assess the in-vitro susceptibility of cells to radiation, chemotherapy, and chemoradiation. The cell's radiosensitivity to these three interventions will be presented in a quadratic linear curve. Results: The radiosensitivity of MCF-7 and HeLa cells was determined to have an α/β ratio of 4.56 and 4.94, respectively. The IC50 of cisplatin in Hela cells is 10.4 μM, while in MCF-7 cells it is 250nM. Cisplatin demonstrates potential as a radiosensitizer on the breast cancer cell line, with SER-D10 and SER-D50 values of 1.83 and 2.87 at a dose of 50nM, and SER-D10 and SER-D50 values of 2.23 and 3.31 at a dose of 100nM. Conclusion: the colony assay protocol is a reliable method for assessing cell sensitivity to radiation, chemotherapy, and chemoradiation. Cisplatin exhibits potential as a radiosensitizer against MCF-7 cells, a specific type of breast adenocarcinoma cells."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatmasari
"Latar Belakang: Radioterapi baik sebagai terapi tunggal maupun sebagai terapi kombinasi, memegang peranan yang penting dalam penatalaksanaan kanker payudara kiri. Eskalasi dosis dikatakan mampu meningkatkan kontrol dan menurunkan angka kekambuhan namun di sisi lain dapat meningkatkan angka toksisitas. Hingga saat ini masih terus dilakukan studi untuk menganalisis parameter dosimetri diantara teknik Three Dimensional Conformal Radiotherapy-Field and Field, Volumetric Modulated Arc Therapy, dan Helical Tomotherapy pada kanker payudara di departemen Radioterapi RSUPN-CM.
Metode: Studi eksperimental eksploratorik dengan melakukan intervensi pada 10 data CT plan pasien kanker payudara kiri yang diradiasi di Departemen Radioterapi RSUPN-CM. Dosis 50 Gy diberikan pada PTV dalam 25 fraksi. Cakupan PTV dievaluasi menggunakan Indeks konformitas CI dan indeks homogenitas HI. Menilai perbandingan PTV lokal D98, D95, D2, D50 dan supraklavikula dan menilai organ kritis sekitar target seperti paru kiri ipsilateral V20 le; 30, paru kanan contralateral V5 le; 50, jantung V25 le;10, payudara kanan contralateral Dmean < 5Gy.
Hasil: Dari hasil analisis statistik tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna antara 3DCRT-FIF, VMAT maupun HT dalam mencapai dosis D98 dan D95, pada D50 terdapat perbedaan yang bermakna antara 3DCRT-FIF dengan VMAT p=0,000, 3DCRT-FIF dengan HT p=0,000, namun tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara VMAT dengan HT p=0,508. Dalam hal ini, ketiga teknik mampu memberikan cakupan dosis minimal yang baik pada volume target, meskipun begitu dari hasil penelitian ini teknik HT mampu memberikan nilai rerata D95 yang superior. Untuk D50 lokal ditemukan adanya perbedaan yang bermakna di 3 kelompok yang ada yaitu antara 3DCRT-FIF dengan VMAT p=0,000, 3DCRT-FIF dengan HT p=0,000, maupun VMAT dengan HT p=0,005. Didapat teknik HT memiliki nilai rerata D50 yang paling baik 50.01 0.25. Untuk D2 dari hasil analisis statistik ditemukan adanya perbedaan yang bermakna di 3 kelompok yang ada yaitu antara 3DCRT-FIF dengan VMAT p=0,005, 3DCRT-FIF dengan HT p=0,005, maupun VMAT dengan HT p=0,005.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna rerata D98 dan D95, namun terdapat perbedaan bermakna pada cakupan dosis D2 dan D50 antara teknik 3DCRT-FIF vs VMAT, 3DCRT-FIF vs HT, dan VMAT vs HT, seluruhnya memperlihatkan perbedaan yang bermakna p < 0,05 . Rerata durasi penyinaran paling tinggi didapatkan dengan teknik HT dan paling rendah pada 3DCRT-FIF.

Background: Radiotherapy as a main or combination therapy, holds an important role in the management of left breast cancer. Dose escalation is said to increase control and lower recurrence rate. On the other hand, dose escalation increases toxicity. Until now there is many study comparing dosimetry parameters between three different techniques; Three Dimensional Conformal Radiotherapy ndash; Field and Field 3DCRT-FIF, Volumetric Modulated Arc Therapy VMAT and Helical Tomotherapy HT and in relation to left breast cancer in radiotherapy department RSUPN-CM.
Method: This is an experimental study with intervention on 10 left breast cancer patients, CT planning data. All the subjects underwent radiation in radiotherapy department RSUPN-CM. 50 Gy dose in 25 fractions was given for PTV. Afterwards, PTV coverage was evaluated using conformity index CI and homogeneity index HI . Comparison of critical organs was evaluated using Dmax le; 50 Gy spinal cord, V25 le; 10 heart, V20 le; 30 lung ipsilateral and V5 le; 30 lung contraleteral and Dmean < 5 Gy right breast.
Results: From the statistical analysis there is no difference between 3DCRT-FIF, VMAT and HT in achieving D98 in local PTV. At the D95 value there is a difference between 3DCRT- and VMAT p = 0.022, 3DCRT-FIF with HT p = 0.005, but no value exists between VMAT and HT p = 0.508. In this case, one of the techniques employed gives a good minimum amount of volume targets, although the results of this technique HT are able to provide a superior D95% average. For D50% locally found, there are three groups that exist between 3DCRT-FIF with VMAT p = 0,000, 3DCRT-FIF with HT p = 0,000, and VMAT with HT p = 0,005. HT technique has the highest mean D50 50.01 0.25. For D2 of the analysis results found there were significant differences in 3 groups that existed between 3DCRT-FIF with VMAT p = 0,005, 3DCRT-FIF with HT p = 0,005, and VMAT with HT p = 0,005.
Conclusion: There is no D98% and D95%, but there is still a difference with D2% and D50% between 3DCRT-FIF vs VMAT, 3DCRT-FIF vs HT, and VMAT vs HT, all significant differences (p <0.05). The highest average duration of exposure with HT and lowest on 3DCRT-FIF."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vito Filbert Jayalie
"Tujuan: Menghitung Tingkat Utilisasi Radioterapi aktual (TURa) dan optimal (TURo) untuk kanker kolon dan rektum di Indonesia. Metodologi: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang terhadap data sekunder registrasi/rekam medis kanker di rumah sakit (RS) dengan pusat radioterapi di Indonesia tahun 2019. Data dikumpulkan secara total sampling untuk menghitung TURo, TURa, dan persentase yang tidak terpenuhi. Hasil: Terdapat 32 RS yang datanya dapat diolah (1.211 dan 1.762 pasien kanker kolon dan rektum). Rata-rata pasien berusia sekitar 52-54 tahun (10-94 tahun), jenis kelamin laki-laki (51,1%) dan berasal dari Sumatera Utara atau Jawa Tengah. Sebagian besar datang dengan stadium lokal lanjut dan lanjut (III dan IV), tidak diradiasi (76,9%). TURa kolon 14 RS adalah 5,3% (0-33,3%), sedangkan TURo kolon 3,3 (3-3,7%) dengan persentase yang tidak terpenuhi -60,6% (-76,7 sampai -43,2%). Untuk TURa dan TURo rektum adalah 22,8% (0-100%) dan 41% (28-66%). Persentase yang tidak terpenuhi kanker rektum adalah 44,4% (18,6-65,5%). Kesimpulan: TURa kanker kolon terkesan sudah memenuhi TURo, tetapi ketika disesuaikan dengan data dalam lingkup yang lebih besar, masih terdapat celah yang belum terpenuhi. Untuk kanker rektum, masih diperlukan peningkatan utilisasi. Diperlukan penelitian lebih lanjut pada indikasi radiasi yang belum terlalu jelas. Selain itu, peningkatan TUR perlu mempertimbangkan faktor pasien, klinisi ataupun birokrasi.

Aims: To calculate the actual and optimal Radiotherapy Utilization Rate (RTUa and RTUo) of colon and rectal cancer in Indonesia. Methodology: This cross-sectional study used secondary cancer registry/medical records from hospitals with radiotherapy centers in Indonesia in 2019. Total sampling was used for data collection to calculate RTUa, RTUo and percentage of unmet needs. Results: Out of 32 hospitals (1,211 and 1,762 colon and rectal cancer patients), the mean age was 52-54 years old (10-94), male (51.1%), from North Sumatra or Central Java province. Most patients came with locally advanced and advanced stages (III and IV), not irradiated (76.9%). RTUa of colon in 14 hospitals was 5.3% (0-33.3%), whereas RTUo was 3.3 (3-3.7%). The unmet needs was -60.6% (-76.7 to -43.2%). For rectal, the RTUa and RTUo were 22.8% (0-100%) and 41% (28-66%). The unmet needs for rectal was 44.4% (18.6-65.5%). Conclusion: Despite the impression of fulfilling the RTUo of colon cancer, gaps are to be filled when adjusted with a broader scope of data. Moreover, for rectal cancer, there was still an unmet need for utilization. Further research is needed, especially in cancer with obscure radiotherapy indications. The increase in RTU should also consider patient, clinician and bureaucratic factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kotambunan, Charity
"Tujuan: Membahas perhitungan Tingkat Utilisasi Radioterapi optimal (TURo), aktual (TURa) serta kebutuhan tidak terpenuhi (kesenjangan) antar keduanya untuk kanker serviks dan ovarium di Indonesia. Metodologi: Studi deskriptif desain potong lintang, metode total sampling dengan mengambil data sekunder dari registrasi kanker dan/atau rekam medis internal RS partisipan yang memiliki pusat radioterapi di Indonesia tahun 2019. Hasil: Dari 33 RS partisipan total data kanker serviks dan ovarium adalah 4937 dan 1583. Rata-rata pasien berusia 48-52 tahun (7-91 tahun). Domisili pasien sebagian besar dari Pulau Jawa. Stadium III adalah yang terbanyak untuk kedua kanker serviks (39,4%) dan ovarium (20,8%). Tatalaksana kanker serviks didominasi oleh radioterapi saja dan radioterapi-kemoterapi (28,5% dan 27,4%), sementara kanker ovarium terbanyak adalah kemoterapi-pembedahan (43,8%). Nilai TURo, TURa, dan kebutuhan tidak terpenuhi untuk kanker serviks yaitu 97,2% (90,9-97,4%), 61,24%, dan 36,7% (32,62-37,13%) dan untuk kanker ovarium 1,89% (1,39-4,60%), 4,83%, dan -155,56% (-247,48%-(-5)%). Kesimpulan: TUR masih memiliki kesenjangan yang cukup besar antara aktual dan optimal pada kanker serviks. Sebaliknya, kanker ovarium terkesan adanya utilisasi berlebihan namun kesenjangan terlihat pada eskalasi cakupan yang lebih luas. Diperlukan usaha peningkatan aktualisasi TUR mendekati nilai optimalnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi TUR harus dieksplorasi secara universal meliputi segi pasien, klinisi dan sistem kesehatan.

Purpose: To discuss the calculation of the optimal and actual Radiotherapy Utilization Rate (RURo and RURa) and unmet need (gap) between the two RUR for cervical and ovarian cancer in Indonesia. Methodology: This is a descriptive cross-sectional study with total sampling by taking secondary data from cancer registry and/or medical records of participating hospitals with radiotherapy centers in Indonesia in 2019.
Results: Out of the 33 participating hospitals, the total data on cervical and ovarian cancer were 4937 and 1583. The mean age was 48-52 years old (7-91). Most of the patients were from Java Island. Stage III was the most common for both cancers, 39.4% and 20.8%. The management of cervical cancer was dominated by radiotherapy alone and radiotherapy-chemotherapy (28.5% and 27.4%), while ovarian cancer most were chemotherapy-surgery (43.8%). RURo, RURa, and unmet needs for cervical cancer were 97.2% (90.9-97.4%), 61.24% and 36.7% (32.62-37.13%) and for ovarian cancer were 1.89% (1.39-4.60%), 4.83%, and -155.56% (-247.48%-(-5)%). Conclusion: RUR for cervical cancer still has a sizeable gap between actual and optimal. On the other hand, ovarian cancer gives the impression of overutilization but the gap was seen when escalating wider coverage. Efforts are needed to increase actualization rate close to its optimal value. The factors that affect RUR should be explored universally including the patient, clinician and health system aspects.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>