Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fenny Lovitha Dewi
"Latar Belakang : Fungsi motorik kasar pada seorang anak berkaitan erat dengan kemampuan untuk menggunakan tangannya. Pada anak dengan Palsi Serebral, Gross Motor Function Classification System (GMFCS) dan Manual Ability Classification System (MACS) merupakan sistem klasifikasi yang digunakan untuk menentukan tingkat fungsi motorik kasar dan tingkat kemampuan manual, sehingga perlu diketahui apakah kedua sistem klasifikasi ini juga saling berhubungan dalam menggambarkan kemampuan fungsional pada anak dengan Palsi Serebral. Penilaian tingkat GMFCS dan MACS dapat melengkapi gambaran tentang keterbatasan aktifitas dan restriksi partisipasi anak dengan Palsi Serebral menurut International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF).
Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara GMFCS dan MACS pada anak dengan Palsi Serebral.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang analitik yang melibatkan 14 orang anak (8 orang laki-laki dan 6 orang perempuan) dengan rerata usia 6,21 tahun. Seluruh subjek merupakan Palsi Serebral tipe spastik dan 7 orang diantaranya adalah spastik kuadriplegik. Tingkat kemampuan motorik kasar diklasifikasikan berdasarkan GMFCS dan tingkat kemampuan manual berdasarkan MACS. Hubungan antara GMFCS dan MACS ditentukan dengan uji korelasi non parametrik Spearman's.
Hasil: Didapatkan 57,1% anak mempunyai GMFCS tingkat V dan 35,7% dengan MACS tingkat V. Satu orang subjek dengan Palsi Serebral spastik hemiplegik berada pada GMFCS tingkat V dan MACS tingkat IV dan 1 orang subjek dengan Palsi Serebral spastik triplegik mempunyai GMFCS dan MACS tingkat IV. Lima orang subjek dengan Palsi Serebral spastik diplegik mempunyai tingkat GMFCS yang bervariasi dari tingkat I hingga tingkat V dan 60% mempunyai MACS tingkat II. Pada Palsi Serebral spastik kuadriplegik, 85,7% subjek mempunyai GMFCS tingkat V dan 71,4% dengan MACS tingkat V.
Kesimpulan: GMFCS dan MACS saling berhubungan dalam menggambarkan tingkat fungsi motorik kasar dan tingkat kemampuan manual pada seluruh jenis Palsi Serebral.

Background : Gross motor function correlates strongly with the children's ability to use their hands. The Gross Motor Function Classification System (GMFCS) and the Manual Ability Classification System (MACS) was designed to determine the level of gross motor function and manual ability, and we need to know the relationship between these classifications to describe the functional ability for the children with Cerebral Palsy. GMFCS and MACS will give the complete description about the activity limitation and participation restriction in children with Cerebral Palsy, according to the International Classification of Functioning, Disability and Health (ICF).
The aim : To investigate the relationship among the GMFCS and MACS in children with Cerebral Palsy.
Methods: This is was the analytic cross sectional study which involving 14 children with the average age 6,21 years old (8 males and 6 females). All of the children was diagnosed as spastic Cerebral Palsy with 1 hemiplegic, 5 diplegic, 1 triplegic and 7 quadriplegic. The children were classified by researcher according to the GMFCS for their motor function and according to the MACS for the functioning of their hands when handling objects in daily activities. The relationship among the GMFCS and MACS was analyzed with the Spearman correlation test.
Results: From all of the children, 57,1% was the children with GMFCS level V and 35,7% with MACS level V. One subject with spastic hemiplegic was the child with level V in GMFCS and level IV in MACS and 1 subject with spastic triplegic have the GMFCS and MACS level IV. Five subjects with spastic diplegic were have varying distribution in all of GMFCS levels and 60% from all of spastic diplegic children have the MACS level II. In spastic quadriplegic, 85,7% were the subjects with level V in GMFCS and 71,4% with level V in MACS.
Conclusion: The GMFCS and MACS correlate each other for describing the level of gross motor function and manual ability in all of the types of Cerebral Palsy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Setiono
"Tujuan: Menilai manfaat edukasi mengenai gangguan berkemih neurogenik pada pasien cedera medulla spinalis (CMS) di RSUP Fatmawati terhadap pengetahuan dan kemampuan mengatasi masalah.
Metode: Desain studi eksperimental. Subyek 22 orang pasien paraplegi karena CMS dengan gangguan berkemih neurogenik yang dirawat pertama kali di RSUP Fatmawati. Subyek diberikan program edukasi yang terdiri dari 7 topik selama rentang 3 minggu. Dilakukan penilaian pengetahuan dan kemampuan masalah dengan menggunakan kuesioner pada awal penelitian, pasca pemberian edukasi, dan 3 bulan pasca edukasi. Selain itu dilakukan penilaian kepentingan topik edukasi menurut subyek dengan skala Likert.
Hasil: 22 subyek menyelesaikan penilaian awal dan pasca edukasi, namun hanya 18 orang yang dapat dihubungi saat follow up 3 bulan. Terdapat peningkatan pengetahuan yang bermakna antara awal dan pasca edukasi (p=0,033), pasca edukasi dan follow up (p=0,047). Terdapat peningkatan yang bermakna pada kemampuan menyelesaikan masalah antara awal dan pasca edukasi (p=0,000), tidak terdapat perubahan bermakna antara pasca edukasi dan follow up (p=0,157). Seluruh topik edukasi yang diberikan dianggap penting oleh subyek.
Kesimpulan: Terdapat peningkatan pengetahuan dan kemampuan menyelesaikan masalah setelah pemberian edukasi, dan terdapat retensi sampai dengan 3 bulan pasca edukasi. Pemberian program edukasi mengenai gangguan berkemih neurogenik pada pasien CMS penting untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan menyelesaikan masalah, serta mencegah komplikasi urologis.

Objective : To evaluate the effect of educational program in neurogenic bladder for spinal cord injury patient at Fatmawati General Hospital in improving knowledge and problem solving skill.
Methods : This is a experimental study. Twenty two paraplegic SCI patients with neurogenic bladder in Fatmawati hospital was included in this study. The subjects was given educational program which consist of 7 topics in 3 weeks period. Questionnaire for evaluating knowledge and problem solving skill was given at the beginning of the study, after completion of education program, and 3 months after education. A likert scale-based questionnaire also given at the end of education to assess patient?s perception of importance regarding the education topics.
Results : All subjects finished the initial and post education assessment, but only 18 subjects finished follow up evaluation. There was significant difference in knowledge between initial and post education assessment (p=0.033) and between post education and follow up (p=0.047). There was significant improvement in problem solving skill between initial and post education assessment (p=0.000) and no significant difference between post education and follow up (p=0.157). All topics given perceived as important by all the subjects.
Conclusion : There is a significant improvement in knowledge and problem solving skill after educational program, and there is retention up to 3 months after education. Educational program in neurogenic bladder for patients with SCI during hospital stay is important in improving patient?s knowledge and problem solving skill also for prevention of urological complication.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Basith Halim
"Menurut World Health Organization (WHO) ada sekitar 46,6 juta penderita stroke yang mengalami disabilitas. Selama ini dalam menentukan program rehabilitasi medik yang tepat dengan memperhatikan dominansi tangan pasien pasca stroke masih belum dilakukan, sehingga penentuan dominansi tangan ini penting untuk dilakukan. Berbagai studi meneliti mengenai hubungan lateralisasi otak dan dominansi tangan namun masih jarang yang meneliti hubungan sisi hemiparesis pada pasien stroke dengan dominansi tangan dan menghubungkannya dengan pemulihan fungsi anggota gerak atas. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan mengetahui variasi perubahan dominansi tangan pasca stroke yang diukur dengan Edinburgh Handedness Inventory - Short Form (EHI-SF) dan fungsi anggota gerak atas pasca stroke yang diukur dengan Fugl-Meyer Upper Extremity (FMA-UE) dan Chedoke Arm and Hand Activity Inventory (CAHAI). Penelitian observasional prospektif dengan desain cross sectional ini dilakukan di Poli Rehabilitasi Medik Neuromuskular RSCM pada bulan September 2021 sampai Oktober 2022. Populasi subjek adalah pasien stroke iskemik fase subakut dan kronik dengan hemiparesis yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan. Dominansi tangan ditentukan dengan EHI-SF, sedangkan fungsi anggota gerak pasca stroke diukur dengan FMA-UE dan CAHAI. Penelitian ini melibatkan 62 orang subjek yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok dominan ipsilateral (n=27) dan dominan kontralateral (n=35). Didapatkan hubungan bermakna antara sisi hemiparesis dengan dominansi tangan (p < 0,001). Selain itu, didapatkan hubungan bermakna antara pemulihan fungsi anggota gerak dengan dominansi tangan pasca stroke. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara pemulihan fungsi anggota gerak dengan sisi hemiparesis. Kesimpulan penelitian ini adalah dominansi tangan berhubungan dengan sisi hemiparesis dan pemulihan fungsi anggota gerak, dan pemulihan fungsi anggota gerak tidak berhubungan dengan sisi hemiparesis.

According to the World Health Organization (WHO) there are around 46.6 million stroke sufferers who experience disability. So far, determining the right medical rehabilitation program based on hand dominance in post-stroke patients has not been carried out. Various studies have examined the relationship between brain lateralization and hand dominance, but the relationship between the side of hemiparesis in stroke patients with hand dominance and their correlation with the recovery of upper limb function has not been established. This study aims to answer this question by knowing the variations in post-stroke hand dominance as measured by the Edinburgh Handedness Inventory - Short Form (EHI-SF) and post-stroke upper limb function as measured by Fugl-Meyer Upper Extremity (FMA-UE) and Chedoke Arm and Hand Activity Inventory (CAHAI). This prospective observational study with cross-sectional design was conducted at the Neuromuscular Medical Rehabilitation Polyclinic, Cipto Mangunkusumo Hospital from September 2021 to October 2022. The study population was subacute and chronic ischemic stroke patients with hemiparesis who met the inclusion and exclusion criteria. Hand dominance was determined by EHI-SF, while post-stroke limb function was measured by FMA-UE and CAHAI. This study involved 62 subjects who were divided into two groups, namely the dominant ipsilateral group (n=27) and the dominant contralateral group (n=35). A significant relationship was found between the side of the hemiparesis and hand dominance (p <0.001). In addition, a significant relationship was found between the recovery of limb function and hand dominance after stroke. No significant relationship was found between the recovery of limb function and the side of the hemiparesis. The conclusion of this study is hand dominance is associated with the side of the hemiparesis and recovery of limb function, and recovery of limb function is not associated to the side of hemiparesis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gusti Benindra Pratomo
"Latar Belakang: Disfagia pada stroke dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang menurunkan kualitas hidup. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah posisi duduk 700 membuat performa menelan berbeda dengan pada posisi duduk 900, pada pasien stroke dengan disfagia neurogenik fase oral dan faring.
Metode: Desain pre-post experimental study, dilakukan pada 30 pasien stroke dengan disfagia neurogenik fase oral dan faring, berusia 40 ? 80 tahun dan memenuhi kriteria penerimaan. Performa menelan dievaluasi dengan pemeriksaan FEES pada posisi duduk 900 dan posisi duduk 700. Parameter FEES (standing secretion, preswallowing leakage, residu, penetrasi dan aspirasi) dibandingkan antara kedua posisi duduk.
Hasil: Angka kejadian dan tingkat keparahan standing secretion lebih rendah bermakna pada posisi duduk 700. Angka kejadian preswallowing leakage tidak berbeda bermakna antara kedua posisi duduk. Angka kejadian residu lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700. Tingkat keparahan residu lebih rendah bermakna pada posisi duduk 700. Angka kejadian penetrasi lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700. Tingkat keparahan penetrasi lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700. Angka kejadian dan tingkat keparahan aspirasi lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700.
Simpulan: Posisi duduk reclining 700 membuat performa menelan lebih baik dibandingkan pada posisi duduk 900 pada pasien stroke dengan disfagia neurogenik.

Background: Dysphagia in stroke can cause various complications those reducing quality of life. The aim of the study to ackowledge if 700 sitting position makes different swallowing performance from 900 sitting position, in stroke patients with oral and pharyngeal neurogenic dysphagia.
Methods: A pre-post experimental study design, conducted on 30 stroke patients with oral and pharyngeal neurogenic dysphagia, aged 40 ? 80 years old and met the inclusion criteria. Swallowing performance was evaluated with FEES examination in 900 sitting position and 700 sitting position. FEES parameters (standing secretion, preswallowing leakage, residue, penetration and aspiraton) were compared between both sitting positions.
Results: Incidence and severity of standing secretion was significantly lower in 700 sitting position. Incidence of preswallowing leakage wasn?t significantly different between both sitting positions. Incidence of residue was insignificantly lower in 700 sitting position. Severity of residue was significantly lower in 700 sitting position. Incidence of penetration was insignificantly lower in 700 sitting position. Severity of penetration was insigificantly lower in 700 sitting position. Incidence and severity of aspiration was insignificantly lower in 700 sitting position.
Conclusions: 700 reclining sitting position makes better swallowing performance than 900 sitting position, in stroke patients with neurogenic dysphagia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Regie Santoso
"ABSTRAK
Latar Belakang: Sepakbola merupakan olahraga yang sangat dinamik dan memerlukan keterampilan yang berhubungan dengan komponen kebugaran tubuh antara lain agilitas. Agilitas juga berperan penting dalam pencegahan terjadinya cedera pada seorang atlit sepakbola. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur nilai agilitas menggunakan T-Agility Test, nilai performa fungsional menggunakan Laughborough Soccer Passing Test (LSPT) dan hubungan antar keduanya pada atlit sepakbola Junior di DKI Jakarta. Metode: Desain studi potong lintang analitik. Subyek 65 orang atlit sepakbola junior (usia 13.6±1.2 tahun) dari sekolah sepakbola dilakukan pengukuran nilai agilitas dengan T-Agility Test dan performa fungsional dengan LSPT. Hasil: Nilai rerata agilitas atlit dengan T-Agility Test adalah 10.89±0.47 detik. Nilai rerata performa fungsional dengan LSPT adalah 62.26±10.66 detik. Terdapat hubungan positif bermakna antara nilai agilitas dengan performa fungsional (p<0.01 dan r=0.483). Simpulan: Nilai agilitas dan performa fungsional dapat digunakan sebagai data dasar dalam pengembangan atlit dan pencegahan cedera pada atlit sepakbola junior di DKI Jakarta. Korelasi positif bermakna menunjukan nilai agilitas mempengaruhi kemampuan performa fungsional pada atlit sepakbola junior.

ABSTRACT
Background: Soccer is a very dynamic sport and require skills that correlate with the components of physical fitness including agility. Agility is also important in the prevention of injury in soccer athletes. The aim of this study was to measure agility score using T-Agility test, functional performance using Laughborough Soccer Passing Test (LSPT) and the correlation between them in Junior Soccer Athletes in Jakarta. Methods: Design of this study is cross sectional analysis. Sixty five junior soccer athletes (age 13.6±1.2) from soccer academy were measured in agility score using T-Agility Test and functional performance using LSPT. Results: The agility score using T-Agility Test is 10.89±0.47 second. The functional performance score using LSPT is 62.26±10.66 second. There is a significant positive correlation between agility score with functional performance (p<0.01 and r=0.483). Conclusions: The agility and functional performance score can be use as a basic data for the ability development and injury prevention in junior soccer athletes in Jakarta. The significant positive correlation showed that functional performance in junior soccer athletes is determined by their agility abilities. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58757
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Fitria
"Tujuan: Membuktikan kesahihan dan keandalan Foot and Ankle Ability Measure (FAAM) dalam versi Bahasa Indonesia
Metode: Desain uji potong lintang. Penelitian dilakukan pada 42 orang tentara pasukan khusus dengan instabilitas pergelangan kaki. Setiap responden mengisi kuesioner FAAM versi Bahasa Indonesia yang sudah diujicobakan terlebih dahulu. Kemudian dilakukan pengisian kuesioner SF-36 sebagai baku emas kuesioner kualitas hidup untuk menilai kesahihan konvergen. 2 minggu dari pengisian pertama dilakukan pengisian kembali kuesioner FAAM untuk menilai keandalan test-retest.
Hasil: Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala aktivitas keseharian dengan skor komponen mental dan skor komponen fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,417, dan 0,458. Didapatkan korelasi bermakna dengan nilai korelasi sedang untuk antara FAAM subskala olahraga dengan skor komponen fisik dan fungsi fisik terhadap dengan nilai r secara berurutan 0,430 dan 0,464. Didapatkan konsistensi internal dengan cronbach alpha 0,917 dan 0,916 untuk subskala aktivitas keseharian dan subskala olahraga. Didapatkan nilai korelasi interkelas sedang untuk subskala olahraga sebesar 0,78.
Kesimpulan: FAAM versi Bahasa Indonesia memiliki kesahihan dan keandalan yang baik.

Objective: to assess validity and realibility of Foot Ankle Ability Measure in Indonesia version .
Method : design of this study is cross sectional study. This research was to 42 special force army personal with ankle instability. Every subject was asked to fill out Indonesian version of Foot and Ankle Ability Measure quetionairre. And SF-36 quetionairre as gold standard of quality of life to assess validity. After 2 weeks, subject is asked to fill FAAM quetionairre again to assess test-retest realibility.
Result : There was significant correlation with moderate value between FAAM-I activity daily living subscale and mental component summary and physical component summary with r 0,417 and 0,458 respectively. There was also significant correlation with moderate value between FAAM-I sport subscale with r 0,430 and 0,464 respectively. The internal consistency with cronbach alpha was 0,917 and 0,916 for ADL subscale and sport subscale. Interclass correlation for sport subscale was 0,78.
Conclusion : Indonesian version of FAAM have good validity and realibility.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58755
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library