Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Denny Wibisono Saputro
"Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris ("UUJN")pada tanggal 6 Oktober 2004, telah membawa perubahan besar bagi pengawasan Notaris di Indonesia. Hal ini disebabkan karena sebelum UUJN berlaku yang melakukan pengawasan terhadap notaris adalah Ketua Pengadilan Negeri, dan setelah UUJN berlaku yang melakukan pengawasan terhadap notaris adalah Menteri melalui Majelis Pengawas Notaris. Hal ini juga membawa perubahan terhadap proses keputusan pemberhentian notaris secara tidak hormat oleh Menteri. Sebelum UUJN berlaku proses pemecatan seorang notaris dilakukan oleh Menteri Kehakiman setelah sebelumnya ada usul dari Ketua Pengadilan Negeri, dan sebelum mengucapkan pemecatan seorang notaris, Menteri Kehakiman akan meminta pendapat Mahkamah Agung lebih dulu. Sedangkan setelah berlakunya UUJN seorang notaris diberhentikan secara tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usul dari Majelis Pengawas Pusat Notaris. Permasalahannya adalah apakah keputusan pemberhentian notaris oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Notaris merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual, dan final?, dan bagaimana akibat hukum Putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap terhadap keputusan tersebut?. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan melakukan analisa data dengan cara pendekatan kualitatif untuk menghasilkan data deskriptif analitis, dan setelah dianalisa dilakukan pengambilan kesimpulan secara deduktif. Dengan berlakunya UUJN maka keputusan pemberhentian notaris oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Notaris merupakan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual, dan final, dan dilakukannya gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara oleh seorang notaris, tidak menghalangi atau tidak menunda dilaksanakannya keputusan Menteri tersebut. Sebaliknya notaris yang telah diberhentikan oleh Menteri wajib diangkat kembali, bila Putusan Peradilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap membatalkan keputusan pemberhentian tersebut.

The enactment of Law Number 30 Year 2004 concerning Notary Title ("Notary Title Law") on October 6, 2004, has brought about a significant change in the supervision of Notaries in Indonesia. This is due to the fact that before the enactment of the Notary Title Law, it was the Head of District Court who conducted supervision of notaries whereas after the entry into force of the law, such supervision has been conducted by the Minister through the Notaries' Supervisory Council. This has also brought about a change in the process of dishonorable dismissal of notaries by the Minister. Before the entry into force of the Notary Title Law, the process of dismissal of a notary was conducted by the Minister of Justice upon a prior recommendation from the Head of District Court, and that before pronouncing a dismissal of a notary, the Minister of Justice would request for the opinion of the Supreme Court. Meanwhile after the entry into force of the Notary Title Law, a notary shall be dishonorably dismissed from his/her office by the Minister upon the recommendation of the Central Notaries' Supervisory Council. The problem is weather a decision for dismissal of a notary by the Minister upon the recommendation of the Notary Supervisory Council constitutes a State Administrative Decision which is concrete, individual, and final, and what legal consequences are created following the Decision of the State Administrative Court which has been final and binding. The research method employed is a normative law research, namely by conducting an analysis of data through a qualitative approach in order to make a descriptive and analytical data upon which a deductive conclusion can be drawn. Following the coming into effect of the Notary Title Law, a decision to dismiss a Notary upon the recommendation of the Notary Supervisory Council constitutes a State Administrative Decision which is concrete, individual and final in nature, and that any lawsuit filed to the State Administrative Court by a Notary shall not impede or delay the enforcement of the aforementioned Ministerial Decision. On the contrary, a notary who has been dismissed by the Minister must be re-appointed in the event that a Decision of the State Administrative Court which is final and binding cancels the decision of dismissal."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19620
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifai Yusup
"Tesis ini membahas jenis peraturan perundang-undangan yang seharusnya mengatur tentang jenis dan tarif penerimaan negara bukan pajak (PNBP) serta pengelolaan PNBP pada Badan Pertanahan Nasional. Bentuk penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan lebih menekankan pada analisis secara kualitatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pengaturan tentang jenis dan tarif PNBP seharusnya dituangkan dalam Undang-undang, bukan Peraturan Pemerintah. Karena rakyat adalah pemegang kedaulatan, maka pembebanan kepada rakyat harus mendapat persetujuan dari rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR. Pengelolaan PNBP pada Badan Pertanahan Nasional secara umum sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Biaya transportasi, akomodasi, dan konsumsi dalam rangka pelayanan pertanahan yang dibebankan kepada pemohon/wajib bayar merupakan unsur penerimaan negara bukan pajak, sehingga harus dikelola sesuai dengan mekanisme APBN.

This thesis discusses the types of laws that should regulate the type and the rate of nontax revenues and also discusses the management of nontax revenues in the National Land Agency. Forms of this research is normative juridical with more emphasis on qualitative analysis. The results of this study concluded that the regulation of the type and the rate of nontax revenues should be set forth in the Act, rather than government regulation. Because the people are sovereign, then charge to the people must get approval from the people through their representatives in Parliament. Management of nontax revenues in the National Land Agency in general has been conducted in accordance with the provisions of the legislation in force. The cost of transportation, accommodation, and consumption for land services that charged to the applicant/obliged to pay is an element of nontax revenues, so it must be managed in accordance with the state budget mechanism."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28020
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Evy Trisulo
"Tesis ini membahas tentang konfigurasi lembaga-lembaga penunjang atau State Auxiliary Bodies (SAB) dimana mencakup bagaimana status dan kedudukan lembaga SAB tersebut yang meliputi dasar hukum pembentukan lembaga SAB, nomenklatur dari lembaga dimaksud, korelasi dan tanggung jawab atas lembaga SAB yang mencakup koordinasi di antara lembaga SAB dan koordinasi dengan kementerian terkait, efektifitas keberadaan lembaga SAB serta akuntabilitas lembaga SAB. Penelitian ini adalah penelitian Deskriptif ? Normatif yang difokuskan terhadap lembaga Komisi dan Dewan.
Hasil penelitian ini menyarankan tentang perlunya disusun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang SAB/Lembaga Penunjang, pembatasan Presiden dalam mengangkat dan membentuk lembaga penasehat, kajian mengenai kejelasan dasar penentuan nomenklatur SAB di masa yang akan datang, pengintegrasian bagi SAB yang memiliki potensi tumpang tindih dalam menjalankan tugas fungsinya, baik ke Kementerian ataupun ke SAB yang lebih efektif, serta perlunya pemahaman yang komprehensif bagi pembuat kebijakan mengenai efektifitas dan efisiensi akibat dibentuknya suatu SAB dari konsekuensi peraturan perundang-undangan.

The thesis discusses supporting bodies or State Auxiliary Bodies (SAB) covering
firstly, the status and position of these bodies including the legal basis of the establishment and their nomenclatures; secondly, the correlation and responsibilities of the bodies including the coordination among themselves and the concerned ministries, the effectiveness of their existence, and their accountability. The research is normative descriptive, which focuses on the State Auxiliary Bodies in the forms of Commissions and Boards. The results show that there is an urgent need to formulate a number of regulations on SAB/supporting bodies and the limitation of The President rights in assigning and setting up new advisory bodies.
The results suggest that some research on the clarity of legal basis are urgently required for the nomenclatures of SAB in the future. The study also suggests to integrate those SAB which are potentially-overlapping in implementing their tasks and functions to the parent ministries or a more effective SAB, and to develop a more comprehensive understanding for the policy makers on effectiveness and efficiencies of establishing an SAB as a result of a regulation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30298
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anggrek Kurnianti
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang hak atas informasi minyak dan gas bumi (migas) di
Indonesia. Hal ini mengingat bahwa hak atas informasi migas merupakan hak
asasi manusia di bidang sipil dan politik dan tidak termasuk ke dalam hak yang
tidak dapat dibatasi dalam keadaan apapun. Informasi migas merupakan informasi
publik yang bersifat terbuka, kecuali informasi yang dapat mengungkapkan
kekayaan alam Indonesia di bidang migas, sebagaimana yang diatur dalam Pasal
17 huruf d Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik. Dalam penelitian ini, penulis mengkaji pengaturan hak atas
informasi migas di Indonesia dan kriteria informasi publik yang dikategorikan
dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia di bidang migas. Penelitian ini
merupakan yuridis normatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hak atas
informasi migas di Indonesia dijamin dalam UUD 1945 dan peraturan perundangundangan.
Masyarakat berhak mengakses informasi migas yang terbuka dan
Badan Publik yang menguasai informasi migas berkewajiban untuk
menyediakannya. UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan juga mengakui
adanya pembatasan terhadap hak atas informasi migas. Pembatasan hak atas
informasi migas bersifat ketat dan terbatas, serta bersifat rahasia sesuai undangundang,
berdasarkan kepatutan, dan berdasarkan kepentingan umum. Kriteria
informasi publik yang dikategorikan dapat mengungkapkan kekayaan alam
Indonesia di bidang migas adalah informasi migas yang apabila dibuka dapat
mengancam kedaulatan negara, yaitu informasi yang menyangkut data yang
diperoleh dari survei umum dan/atau eksplorasi dan eksploitasi migas, yang
dirahasiakan dalam jangka waktu tertentu, yang terdiri dari data dasar, data
olahan, dan data interpretasi. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM
diharapkan perlu segera menetapkan kriteria informasi publik yang dikategorikan
dapat mengungkapkan kekayaan alam Indonesia di bidang migas. Sementara itu,
masyarakat diharapkan dapat berperan aktif dalam mengawal keterbukaan
informasi publik di bidang migas untuk mewujudkan good governance.

ABSTRACT
This thesis discusses the right to information of oil and gas in Indonesia. It
consider that right to information of oil and gas is a part of human right in civil
and political right. Besides that, it isn't a non-derogable right. The information of
oil and gas is a public information shall be in nature open, except information
which could reveal the natural resource assets of Indonesia in oil and gas fields, as
considered in Article 17 letter d Act of The Republic of Indonesia Number 14 of
2008 on Public Information Opennes. This study discuss the regulation of right on
information of oil and gas in Indonesia and criteria of public information which
catagorized could reveal the natural resource assets of Indonesia in oil and gas
fields. This study is a normative juridical research. The result of this study
indicate that right on information of oil and gas in Indonesia is guaranteed in
UUD 1945 and legislation. Public has right to access information of oil and gas
which open and public body which has it has a duty to give it. UUD 1945 and
legislation recognized that there is limitation on right on information of oil and
gas. Limitation on it are strict, limited, and confidential pursuant to legislations,
appropriateness, and public interest. The criteria of public information which
catagorized could reveal the natural resource assets of Indonesia in oil and gas
fields is information of oil and gas if opened can threaten sovereignty of country.
They are information about data which got from general survey and/or
exploration, and exploitation of oil and gas, which confidential in limited term.
They are basic data, processed data, and interpretive data. Government, in this
case, Ministry of Energy and Mineral Resources Republic Indonesia, need soon
to stipulate criteria of public information which catagorized could reveal the
natural resource assets of Indonesia in oil and gas fields. Besides that, public
expected to play an active role in guarding the public disclosure in the oil and gas
fields to realize good governance."
Universitas Indonesia, 2013
T35200
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Doni Ramdani
"Tesis ini akan menguraikan mengenai kontrol yudisial terhadap kekuasaan pemerintahan baik secara umum, maupun kontrol terhadap kekuasaan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan. Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, dengan menggunakan beberapa pendekatan diantaranya; pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sejarah (hystorical approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Hasil penelitian menunjukkan, kontrol yudisial terhadap kekuasaan pemerintahan merupakan penilaian tentang sah atau tidaknya suatu tindakan pemerintah yang menimbulkan akibat hukum. Kontrol yudisial yang dapat dilakukan oleh badan peradilan (judicial control) terhadap kekuasaan pemerintahan pada prinsipnya hanya menitik beratkan pada kontrol segi hukum, yang salah satu cirinya adalah dilakukan sesudah terjadinya perbuatan yang dikontrol. Kontrol yudisial terhadap Presiden sebagai penyelenggara pemerintahan menurut UUD dapat dilakukan baik terhadap tindakan Presiden yang dianggap telah melanggar Pasal 7A joncto Pasal 7B UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maupun terhadap tindakan hukum Presiden dalam mengeluarkan produk hukum peraturan perundang-undangan.

This thesis will outline the judicial control of the executive power either generally, or control the power of the President as the holder of the power of government. This research is a kind of normative legal research, using several approaches including; statute approach, hystorical approach and comparative approach. The results showed that the judicial control of governmental power is a valid judgment about whether or not a government action that lead to legal consequences. Judicial control can be done by the judiciary against the power of government is in principle only focuses on legal control, which one character is carried out after the deed is controlled. Judicial control of the administration of President by the Constitution as the organizers can do well against the president's actions are deemed to have violated Article 7A joncto Article 7B Constitution of Indonesian 1945, as well as legal action against the President in issuing a legal product legislation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35670
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Fauzan
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S25465
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Widiyanto
"Perselisihan hasil pemilu merupakan suatu sengketa yang timbul sebagai akibat dari dilaksanakannya pemilu yang menyangkut perolehan suara para peserta pemilu. Ia sarat dengan konflik kepentingan yang apabila tidak diselesaikan akan berakibat pada tidak stabilnya pemerintahan di suatu negara. Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi, perselisihan hasil pemilu yang pada awalnya merupakan sengketa politik diarahkan oleh undang-undang menjadi sengketa hukum yang diselesaikan melalui mekanisme peradilan. Seperti peradilan pada umumnya, maka Penyelesaian perselisihan pemilu di Mahkamah konstitusi memiliki hukum acara dan ketentuan tentang pembuktian tersendiri. Pembuktian pada hukum acara Mahkamah Konstitusi diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 03/PMK/2003 tentang Tata Tertib Persidangan Pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, dan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu. Dengan ketentuan inilah perselisihan hasil Pemilu Legislatif diperiksa, diadili dan diputus. Pada Pemilu 2004, Tak kurang dari 252 perkara perselisihan hasil pemilu dari 23 partai politik peserta pemilu harus diputus Mahkamah Konstitusi dalam 30 hari. Dari 252 perkara tersebut, dikaji mengenai pembuktian dalam perkara yang diajukan Partai Keadilan Sejahtera dalam putusan Mahkamah Konstitusi atas permohonan Partai Keadilan Sejahtera di daerah pemilihan Kepulauan Riau, Jawa Timur 8 dan Seluma 2. Konsekuensi dari limitasi waktu yang diberikan undang-undang untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu disamping banyaknya perkara yang harus diputus, membuat proses pembuktian yang dijalankan Mahkamah Konstitusi tidak dapat berjalan maksimal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sulaiman Sujono
"Skripsi ini membahas tentang lembaga ombudsman di Indonesia, utamanya pada masa Komisi Ombudsman Nasional dan perubahannya dengan lahirnya Ombudsman Republik Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan. Pengolahan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif, sehingga menghasilkan data deskriptif analitis. Dalam menganalisa data yang didapat, penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa Komisi Ombudsman Nasional dan Ombudsman Republik Indonesia merupakan bentuk organisasi yang berbeda dalam lingkup Republik Indonesia, terdapat perubahan wewenang yang ada setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia dan terlihat adanya penguatan secara kelembagaan.

This thesis talk’s about the condition of ombudsman in Indonesia after the enactment of Act Number 37 Year 2008 About The Ombudsman Republik Indonesia (Ombudsman The Republic of Indonesia). This research is a library typed research. Using qualitative approach to process the data, so the result is an analytic descriptive data. On analyzing the data, the research is using normative law research method. Result of this research shows that the Act Number 37 Year 2008 About The Ombudsman Republik Indonesia had made basic differences in the obligation and the authority of ombudsman in Indonesia, thus at certain point, has made the body stronger. Other than that, after the enactment of Act Number 37 Year 2008, the ombudsman in Indonesia are becoming an independent state agencies, not a part of the organs of state administrations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S25468
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Maulana
"Tesis ini mengkaji tentang perkembangan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam peraturan perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia dan permasalahan konstitusionalitas pengisian jabatan melalui pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berlaku saat ini. Masalah konstitusional kedudukan wakil kepala daerah dan persoalan pemaknaan pemilihan kepala daerah secara demokratis haruskah untuk seluruh daerah, termasuk daerah istimewa menjadi bagian dari kajian. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pendekatan undang-undang, pendekatan kasus dan pendekatan konsep juga pendekatan sejarah digunakan untuk mengkaji permasalahan penelitian. Bahan hukum yang ada dianalisis dengan menggunakan silogisme dan interpretasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah mengalami perubahan dari masa ke masa. Dalam perkembangannya pernah diberlakukan pengaturan pengisian jabatan kepala daerah baik secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan mekanisme pengisian jabatan kepala daerah tersebut dipengaruhi dan ditentukan oleh corak peraturan perundang-undangan otonomi daerah yang ditetapkan oleh rezim pemerintahan yang berlaku. Pengisian jabatan melalui pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berlaku saat ini tidak memiliki landasan konstitusional yang kuat.
Dasar hukum pelaksanaannya cenderung merujuk pada politik hukum dari pembentuk undang-undang yang menafsirkan makna pemilihan demokratis sebagai pemilihan umum. Kedudukan Wakil Kepala Daerah dan pemilihan umum untuk memilih wakil kepala daerah yang dilaksanakan satu paket dengan kepala daerah meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam konstitusi adalah konstitusional. Pengisian jabatan kepala daerah melalui pemilihan demokratis tidak harus dimaknai dengan pemilihan langsung untuk seluruh daerah. Menurut konstitusi pengaturan pengisian jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat berbedabeda untuk setiap daerah termasuk untuk satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa.

This thesis examines the development of position filling mechanism of regional and vice regional head in the constitution that has been issued by Indonesian Government before and the constitutionality of position filling problem through the current elections of regional and vice regional head. The constitutional position problem of the Vice Regional Head and meaning issue in democratic local elections, whether or not it should be for the entire region including a special area, becomes part of the study. This study examines the use of normative legal research methods. Law approach, case and concept approach, and historical approach are used to assess research problems. Legal materials are analyzed by using syllogisms and interpretation.
The results show that the development of position filling mechanism of the regional and vice regional head amended from time to time. In its development, direct and indirect position filling regulations have ever been imposed. Changes in the mechanism of position filling of the regional head is affected and determined by the mode of legislation of regional autonomy regime stipulated by government regulations. The position filling through the current elections of regional and vice regional head does not have a strong constitutional basis.
The legal basis for its implementation tends to refer to the legal politics of the legislators who interpret the meaning of democratic elections as elections.Position of Regional Head and general elections to elect representatives of regional heads that was conducted together with the head region election is constitutional, although not set explicitly in the Constitution. Filling the position of the regional head through democratic elections should not be interpreted as direct elections for the entire region. According to the constitution, regulation for the position filling of regional and vice regional head may be different for each local unit of government, including special regions. According to the constitution, regulation for the position filling of regional and vice regional head may be different for each local unit of local government.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T30110
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Khoiriah
"ABSTRAK
Keberadaan otonomi daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menjadi konsensus
Nasional. Konsenssus nasional mengenai keberadaan otonomi daerah dalam NKRI tersebut
mengandung arti bahwa penyelenggaraan organisasi dan administrasi Negara tidak hanya
semata-mata atas dasar sentralisasi dan dekonsentrasi sebagai penghalusannya, tetapi juga atas
dasar desentralisasi dengan otonomi daerah sebagai perwujudannya. Dari dimensi administrasi,
prinsip diatas menuntut agar otonomisasi yang terjadi didasarkan pada faktor dan pertimbangan
objektif serta kebijakan yang dapat menjamin kemampuan daerah dalam mengemban otonomi.
Inilah makna otonomi yang nyata tercakup dalam dimensi ini adalah perlunya dukungan
wewenang dalam bidang keuangan dan perangkat bagi setiap penyerahan urusan pemerintahan
oleh pemerintah kepada daerah.
Menurut logika hukum keuangan daerah yang juga merupakan keuangan publik, tidak lagi
tunduk pada ketentuan keuangan Negara. Keuangan daerah sebagai salah satu indikator untuk
mengetahui kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri,
Pentingnya posisi keuangan daerah dalam menyelanggarakan otonomi daerah sangat disadari
oleh pemerintah. Demikian pula alternatif cara untuk mendapatkan keuangan yang memadai.
Dalam rangka menyelenggarakan Otonomi Daerah kewenangan keuangan yang melekat pada
setiap kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan Daerah. Sedangkan sumber pendapatan
daerah pajak dan retribusi daerah, perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, hasil
perusahaan milik daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, pinjaman
daerah.
Dalam hal kewenangan kepala daerah Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000
menyebutkan Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati dan Walikota. Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan daerah disebutkan bahwa
Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah adalah kepala daerah yang karena jabatannya
mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan daerah. Dalam hal
pengelolaan keuangan daerah kepala daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan
daerah; Dalam melaksanakan kekuasaan kepala daerah melimpahkan sebagian atau selurah
kekuasaannya yang berupa perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan
pertanggungjawaban, serta pengawasan, keuangan daerah kepada para pejabat perangkat daerah,
Pelimpahan sebagian atau seluruh kekuasaan didasarkan pada prinsip pemisahan kewenangan
antara yang memerintahkan, menguji, dan yang menerima/mengeluarkan uang.

Abstract
The existence of regional autonomy in the Republic of Indonesia has become a national
consensus. The National Consensus about the existence of regional autonomy within the
Republic of Indonesia means that the implementation of the organization and administration of
the State is not merely on the basis of centralization and deconcentration as soften, but also on
the basis of decentralization and regional autonomy as its realization. From the dimensions of the
administration, demanding that the above principle of autonomization that occurred based on
objective factors and considerations as well as policies that can ensure the ability to carry out
regional autonomy. This is the real meaning of autonomy which is included in this dimension is
the need to support the authority in the field of finance and devices for each delivery of
governmental affairs by the government to the regions.
According to the logic of local finance law which is also the public finances, no longer subject to
the provisions of State Finance. Local finance as one indicator to determine the ability of regions
to organize and manage their own households, the financial position of regional importance in
organizing the regional autonomy is realized by the government. Similarly, an alternative way to
obtain adequate finance. In order to organize the Regional Autonomy of financial authority
inherent in any government authority to regional authorities. While the source of local income
taxes and levies, the financial balance between central and local government, the regional-owned
enterprises, and the separated regional wealth management, lending areas.
In terms of local authority heads of Government Regulation Number 84 of the year 2000
mention is the Regional Head of Governors, Regents and Mayors. In Government Regulation
Number 58 Year 2005 concerning the Financial Management stated that the Holder of Power
Financial Management is a regional head office has the authority for conducting the overall
management of regional finances. In terms of financial management of the head area is the area
of financial management authority regions; In exercising the power of regional chief delegate
part or all of the powers of planning, implementation, administration, reporting and
accountability, and oversight, regional finance to the local officials, delegation of some or all
power is based on the principle of separation of powers between the ordering, testing, and
receiving/spending money."
2012
T31537
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>