Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muryanto Amin
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh munculnya para ”preman” sebagai aktor lokal di Sumatera Utara yang berperan penting dalam sistem demokrasi yang relatif baru diterapkan sejak tahun 1997. Sebagian aktor lokal tersebut berasal dari kader Pemuda Pancasila. Mereka tidak hanya mengandalkan intimidasi dan uang yang dimiliki, tetapi mereka juga menjadi pengurus partai politik, anggota legislatif, pejabat birokrasi, pebisnis, dan pemilik media cetak lokal. Dalam kapasitas menggunakan jaringan tersebut, tentunya mereka sangat kuat untuk memperoleh akses terhadap sumber daya (resources) dari pemerintah daerah dan akan memaksimalkan sumber kekuasaan yang dimiliki. Sementara dalam kapasitasnya sebagai ’preman’, mereka dapat juga menggunakan sumber daya kekerasan. Untuk membuktikan adanya peran tersebut, penelitian ini akan menjawab pertama bentuk intimidasi yang dilakukan oleh Pemuda Pancasila Sumatera Utara dalam pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara tahun 2008. Kedua, pola mobilisasi yang dilakukan untuk menggerakkan potensi organisasi yang dimiliki Pemuda Pancasila di Sumatera Utara. Ketiga, model relasi jaringan yang dilakukan di antara Pemuda Pancasila dengan pemerintah daerah, pengusaha lokal dan media massa dalam memenangkan calon gubernur yang didukung. Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Bosissm dari John T. Sidel dan Kelompok Kekerasan yang ditulis oleh Masaaki dan Rozaki. Sedangkan teori pendukung adalah Teori Kekuasaan dari Miriam Budiardjo dan Charles F. Andrain, Konsensus dan Konflik dari Maswadi Rauf, Teori Demokrasi dan Otonomi Daerah dari Brian C. Smith, dan Teori Kepentingan Terselebung (Hidden Autonomy) yang ditulis Syarif Hidayat. Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dan studi kasus sebagai strategi penelitian. Analisis kualitatif teknik tipologi dipilih sebagai sebagai cara untuk menyusun interpretasi atas kajian literatur, wawancara mendalam dengan narasumber yang terlibat dan observasi. Temuan penelitian menunjukkan bahwa bentuk intimidasi yang dilakukan anggota Pemuda Pancasila adalah mengancam dan menakut-nakuti akan melakukan pemukulan fisik dan membuat ketidaknyamanan pemilih yang tidak memilih calon gubernur yang ingin dimenangkan. Pola mobilisasi dilakukan atas dasar patron-klien piramida yaitu seorang tokoh Pemuda Pancasila memiliki kekuatannya sendiri untuk mengerakkan anggota Pemuda Pancasila. Model relasi yang terjalin antara Pemuda Pancasila dengan birokrasi, pengusaha, dan media cetak lokal dilakukan atas dasar hubungan yang saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme. Disertasi ini mengajukan perspektif teoritis baru bahwa fenomena munculnya bos lokal dan kelompok kekerasan mengindentifikasikan adanya perbedaan yang khas di Sumatera Utara. Kontribusi terhadap perspektif teori Ilmu Politik yang ditemukan dalam penelitian ini disebut Teori Jaringan Patronase Baru Bos Lokal.

The background of this study is the emergence of “gangsters”—some of whom were cadres of Pemuda Pancasila—as local actors who played an important role in the democratic system applied in North Sumatera since 1997. Not only that they intimidated with violence and money; they became political party officials, legislative members, bureaucrats, business people, and owners of local print media. In their formal capacity, they had power to gain access to resources from the local government and maximize them. While as ‘gangsters’, they practiced violence. This study would discuss three points to prove that such things really occurred: first, the forms of intimidation done by Pemuda Pancasila North Sumatera in the North Sumatera governor election in 2008; second, the pattern of mobilization performed to generate the potential of the organization; third, the network relation model among Pemuda Pancasila, the local government, the local business people, and the mass media in making the supported candidate win. The main theories applied here are the Bosissm Theory by John T. Sidel and the Violence Group Theory by Masaaki and Rozaki. The supporting theories are the Theory of Power by Miriam Budiarjo and Charles F. Andrain, Consensus and Conflict by Maswadi Rauf, Democracy and Decentralization by Brian C. Smith, and Hidden Autonomy by Syarif Hidayat. This study uses a qualitative approach with case studies. The qualitative analysis with typology technique is chosen as a way to arrange interpretations on data—written materials, in depth interviews, and observations. The findings showed that the forms of intimidation done by Pemuda Pancasila members were threaten to beat physically and create inconvenience if the voters did not vote governor candidates who want to win. The mobilization pattern was executed using patron-client pyramid: each figure of Pemuda Pancasila had his own power to mobilize members. The relation model among Pemuda Pancasila, bureaucracy, business people, and local print media was performed based on mutualistic symbiosis. The phenomenon of emerging local bosses and violent groups theoretically implied spesific differences in North Sumatera. The contribution to Political Science theories, which will be found in this study, is called the Theory of New Patronage Network of Local Bosses."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Sarah Nuraini
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sejumlah masalah dalam profesionalitas Polri di era demokrasi pasca reformasi. Salah satunya adalah keterlibatan dan peran polisi dalam kontestasi politik. Keterlibatan Polri dalam politik menjadi fenomena penting karena memperlihatkan persoalan mendasar dalam profesionalitas aktor keamanan yang tidak selaras dengan prinsip demokrasi, yaitu tidak terlibat dalam politik. Keterlibatan ini terjadi saat situasi demokrasi Indonesia mengalami kemunduran dan berlangsung pada Pilpres 2019 di Jawa Barat. Fenomena empiris ini menjadi dasar terbentuknya pertanyaan penelitian dalam disertasi ini, yaitu bagaimana profesionalitas Polri dalam demokrasi Indonesia era reformasi, yang dilihat melalui Pilpres 2019 di Jawa Barat. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, disertasi ini menggunakan dua teori utama yaitu Demokrasi dan De-demokratisasi dan Hubungan Sipil-Militer, dan satu konsep kekuasaan politik dalam pemolisian.
Metode penelitian dalam disertasi ini adalah kualitatif berdasarkan studi kasus dengan tipe single-case design yang holistik. Data primer diperoleh dari hasil wawancara para informan yang dipilih secara purposif. Data primer dilengkapi dengan data sekunder melalui literatur, regulasi, serta laman opini informan yang tidak bisa diwawancarai. Jumlah informan dalam penelitian sebanyak 20 dari 23 yang direncanakan.
Temuan penelitian disertasi ini menunjukkan bahwa persoalan profesionalitas Polri dalam Pilpres 2019 di Jabar disebabkan sejumlah faktor, yaitu: kapasitas demokrasi negara yang rendah melalui penggunaan instrumen penegakan hukum Polri; persepsi polisi mengenai kekuasaan pemolisian melampaui batasan prinsip profesionalitas; adanya dua kepentingan yang saling berkelindan dalam hubungan negara dan polisi sebagai aliansi politik; dan lemahnya seluruh mekanisme pengawasan kepada kepolisian. Temuan-temuan ini memperlihatkan bahwa pelemahan demokrasi justru terjadi di saat polisi secara kelembagaan telah mandiri sebagai institusi penegak hukum.
Penelitian ini memberikan kontribusi teoretis pada Teori Demokrasi dan De-demokratisasi dengan memperluas konsep kapasitas demokrasi negara yang rendah. Proposisi teoretis disertasi ini adalah kapasitas demokrasi negara yang rendah telah menggeser peran polisi dari instrumen negara menjadi instrumen rezim. Peran polisi sebagai instrumen rezim tidak murni membatasi kebebasan sipil demi kepentingan rezim, namun juga menjaga kepentingan kepolisian.
Kontribusi teoretis pada Teori Hubungan Sipil-Militer adalah memperluas konsep kontrol sipil subyektif dengan menambah unit analisis kepolisian dan konsep kekuasaan pemolisian. Karakter hubungan dalam kontrol sipil subyektif tersebut tidak sepenuhnya menjaga kepentingan rezim namun juga kepentingan kepolisian karena polisi memiliki kekuasaan pemolisian yang dapat dilakukan secara mandiri.

This research analyzes several problems in the Police's professionalism in the post-reform era. One of these problems is the involvement and role of the Police in political contestation. Police involvement in politics is an important phenomenon because it shows a fundamental problem in the professionalism of security actors that is not in line with democratic principles, not being involved in politics. However, this involvement occurred when Indonesia's democratic situation experienced a setback and took place during the 2019 Presidential Election in West Java. This empirical phenomenon is the basis for the formation of the research question in this dissertation: how is the professionalism of the Indonesian National Police (Polri) in the era of reform through the 2019 Presidential Election in West Java? Based on the research question, this dissertation uses two main theories; Democracy and De-democratization and Civil-Military Relations, and a concept of political power in policing.
The research method in this dissertation is qualitative and based on case studies with a holistic single-case design. Primary data was obtained from the interviews of informants who were selected purposively. Secondary data complement primary data through literature, regulations, and the opinion links of informants who cannot be interviewed. The number of informants in the study was 20 out of 23 informants' plans.
The findings of this dissertation show that the problem of Polri's professionalism in the 2019 Presidential Election in West Java was caused by several factors: the low-capacity democratic through the use of law enforcement instruments; the Police's perception of policing power that has exceeded the limits of the principle of professionalism; the existence of two intertwined interests in the relationship between the state and the Police as a political alliance; and the weakness of all oversight mechanisms to the Police. These findings show that the weakening of democracy occurs when the Police have institutionally fulfilled the principles of democracy, being independent as a law enforcement institution.
The theoretical contribution of this research is expanding the concept of the low capacity democratic in the Theory of Democracy and De-democratization. The theoretical proposition of this dissertation is that the state's low democratic capacity begins with weak democratic consolidation and in its development, this capacity is strengthened when law enforcement and security become police tools in limiting citizens' civil liberties. The theoretical contribution to the Civil-Military Relations Theory is to expand the scope of the unit of analysis, namely the police, and add the concept of policing to the concept of subjective civilian control.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library