Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nico Iswanto Pantoro
"Kejadian Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) pasca bedah jantung terbuka masih merupakan salah satu komplikasi yang banyak ditemukan. Salah satu faktor risikonya adalah durasi pintas jantung. Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap 187 pasien bedah jantung terbuka di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2014-2015. Subjek dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan durasi pintas jantung (durasi >60 menit dan ≤60 menit). Sebanyak 107 (57,2%) pasien mengalami SIRS dalam 24 jam pasca operasi. Kejadian SIRS ditemukan pada 75 (65,8%) pasien dari kelompok durasi >60 menit dan 32 (43,8%) pasien dari kelompok durasi ≤60 menit. Melalui analisis multivariat regresi logistik, didapatkan hubungan bermakna (p<0,05) antara durasi CPB dan SIRS dengan OR2,04 (IK95% 1,05-3,93). Durasi CPB merupakan faktor risiko independen dari kejadian SIRS pasca bedah jantung terbuka.

Sytemic inflammatory Response Syndrome (SIRS) is a major complication foundat patient following open heart surgery. One of the risk factors is the duration of the cardiopulmonary bypass. A historical cohort study had been done on 187 postcardiac surgery patients in RSUPN Cipto Mangunkusumo. The subjects were divided into 2 separate groups based on the duration of cardiopulmonary bypass (duration >60 minutes and ≤60 minutes). There were 107 (57.2%) patients having SIRS within 24 hours following the surgery. SIRS was found on 75 (65.8%) patients from group with duration >60 minutes and 32 (43.8%) patients from group with duration ≤60 minutes. Through logistic regression multivariate analysis, there was a significant difference (p<0.05) with OR 2.04 (CI95% 1.05-3.93) between two groups. Therefore, duration of cardiopulmonary bypass was an independent risk factor of post open heart surgery SIRS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anasthasia Devina Sutedja
"Acute Kidney Injury (AKI) pada anak dengan penyakit jantung bawaan mencakup 5-33% dari seluruh pasien anak yang melalui bedah jantung terbuka, dengan dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup dan luaran pasien. Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian AKI adalah durasi penggunaan mesin pintas jantung paru. Penelitian metode kohort retrospektif dilakukan terhadap 122 pasien dengan durasi panjang dan 73 pasien dengan durasi pendek pasca bedah jantung terbuka di PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo. Data rekam medis yang dianalisis menunjukkan bahwa terdapat kemaknaan (p<0,05) hubungan antara durasi CPB dengan AKI dengan OR 2,95. Kesimpulan penelitian adalah durasi CPB >60 menit merupakan faktor risiko terjadinya AKI pasca bedah jantung terbuka.

Acute kidney injury (AKI) in children with congenital heart disease consists of 5-33% pediatric patients who went through open heart injury, with significant impact on the quality of life and outcome of the patient. One of the factors affecting the incidence of AKI is the duration of cardiopulmonary bypass machine. Retrospective cohort study was done on 122 patients with bypass duration >60 minute and 73 patients with bypass duration <60 minute after open heart surgery in PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo. Analysis of medical records shown that there was a significant difference (p<0,05) between the duration of cardiopulmonary bypass with the incidence of AKI with OR of 2,95. It was concluded that duration of bypass >60 minutes was a risk factor of post open heart surgery AKI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Santoso
"Latar belakang: Angka kejadian mual-muntah pascabedah sekitar 20-30 % dari seluruh pembedahan umum dan lebih kurang 70-80% pada kelompok risiko tinggi. Ketersediaan obat-obatan untuk mencegah mual-muntah pascabedah (PONV) sering sulit didapat, tidak hanya di daerah terpencil, tetapi juga di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Terdapat bukti bahwa terapi nonfarmakologis seperti mengunyah permen karet efektif untuk menurunkan risiko PONV. Dalam penelitian ini, kami mengevaluasi efek mengunyah permen karet sebagai ajuvan metoklopramide dalam mengurangi PONV.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal. Sejumlah 116 subjek yang akan menjalani pembedahan mata dibagi menjadi 2 kelompok (metoklopramid 10 mg iv dan metoklopramid 10 mg iv ditambah aktivitas mengunyah). Metoklopramide IV diberikan pada akhir pembedahan, sebelum pasien diekstubasi. Kelompok kedua diminta mengunyah permen karet selama 15 menit di ruang pemulihan. Efektivitas mual-muntah pascabedah dinilai dari kejaidan mual-muntah dan derajatnya sampai 24 jam pascabedah (jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12, jam ke-18, dan jam ke-24).
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna antara dua kelompok untuk kejadian PONV dengan nilai p= 0,016. Namun, penilaian derajat keparahan PONV tidak bermakna secara statistik.
Simpulan: Penambahan aktivitas mengunyah permen karet sebagai ajuvan metoklopramid efektif untuk pencegahan PONV.

Background: Incidence of PONV is around 20-30% in patients who underwent surgery with general anesthesia, and up to 70-80% in high risk patients. Availability of PONV drugs is often limited, not only in rural area, but also in Cipto Mangunkusumo Hospital. Evidence showed that non-pharmacological therapy such as chewing gum is effective in reducing PONV. In this study, we evaluated the effect of chewing gum as adjuvant to metoclopramide for reducing PONV.
Method: This is a single-blind randomized controlled trial. One hundred and sixteen adult subjects scheduled for elective ophthalmologic surgery with general anesthesia were allocated into two groups (IV metoclopramide 10 mg and IV metoclopramide 10 mg plus chewing gum). IV metoclopramide was given at the end of surgery, before the patient were extubated. The second group was instructed to chew gum for 15 minutes in recovery room. Effectiveness to prevent PONV was measured by incidence of PONV and its degree of severity up to 24 hours post operatively (2-hour, 6-hour, 12-hour, 18-hour, and 24-hour).
Results: The difference in PONV incidence is statistically significant between two groups (p=0.016). However, degree of PONV severity is not significant.
Conclusion: Chewing gum as an adjuvant to metoclopramide is effective for PONV prevention."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ponisih
"ABSTRAK
Nama : Ponisih Program Studi : EpidemiologiJudul : Determinan Mediastinitis Pascabedah Pintas Arteri KoronerDi RSUPN Dr.Cipto MangunkusumoPembimbing : Prof. Dr.dr. Bambang Sutrisna, M. HSc.Tujuan: Mediastinitis pascabedah BPAK adalah komplikasi yang jarang namunmematikan. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui determinan dan sistem skoringmediastinitis pascabedah BPAK.Metode: Studi kohort retrospektif yang melibatkan 706 pasien operasi BPAK di RSUPNDr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2011 hingga Desember 2017. Definisimediastinitis disesuaikan dengan definisi CDC infeksi kasus spesifik, yangmelatarbelakangi resternotomi debridement. Terdapat delapan faktor risiko yangberpotensi mediastinitis dalam analisa univariate.Hasil: Dari 706 pasien BPAK, terjadi insiden mediastinitis sebanyak 35 pasien. Lima daridelapan variable tersebut bertahan dalam analisa multivariate yaitu diabetes mellitusdengan OR sebesar 4.46 IK95 = 2,01-9,89 , IMT ge; 26,5 kg/m2 dengan OR 3,34 IK95 =1,61-6,97 dan lama operasi ge; 300 menit dengan OR 3,43 IK95=1,67-7,04 , usia ge;60 tahun dengan OR 2,01 IK 95 =0,97-4,19 , dan pemedahan ulang karena perdarahandengan OR sebesar 3,10 IK 95 = 0,94-10,27 .Kesimpulan: Determinan utama yaitu diabetes mellitus, obesitas, usia, lama operasi danpembedahan ulang karena perdarahan.Kata kunci: bedah pintas arteri koroner; determinan mediastinitis.

ABSTRACT
Name PonisihStudy Program Magister EpidemiologyTitle Deteminants MediastinitisPost Coronary Artery Bypass Graft CABG SurgeryIn Cipto Mangunkusumo HospitalCounsellor Prof. Dr.dr. Bambang Sutrisna, M. HSc.Objective Mediastinitis post CABG is a rare but serious complication. This studiobjective is to asses determinants and scoring system of mediastinitis post CABG.Methode A retrospective cohort study of 706 patients from January 2011 until December2017 in Cipto Mangunkusumo Hospital. The definition of mediastinitis according toCenter Disease Control Surveylance and patient had a resternotomy debridement surgeryfor the infections. There are eight factors potential as a determinants from univariateanalysis age, obesity, diabetes mellitus, duration of surgery, surgical reintervention,delay sternal closure, valve surgery involves and ventilatory day , where necessaryfollowed in multivariate analysis.Result 35 out of 706 patients develop mediastinitis. Five variable were identifed as aindependent predictor of mediastinitis diabetes mellitus OR 4.46 95 CI 2.01 9.89 ,body mass index ge 26.5 kg m2 OR 3,34 95 CI 1.61 6.97 duration surgery ge 300minutes OR 3,43 95 CI 1.67 7.04 , age ge 60 years OR 2.01 95 CI 0.97 4.19 , andsurgical reintervention OR 3.10 95 CI 0.94 10.27 Conclusion Determinants of mediastinitis post CABG in Cipto Mangunkusumo Hospitalwere age, obesity, diabetes mellitus, duration of surgery and surgical reintervention.Key words coronary artery bypass graft surgery determinants mediastinitis"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50660
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Nur Sudarmi Wiratanoeningrat
"ABSTRAK
Latar Belakang: Manajemen nyeri pascabedah yang efektif dapat memberikan pemulihan cepat, mengurangi biaya perawatan dan tercapainya kenyamanan serta kepuasan pasien. Pemberian analgesia epidural dapat digunakan secara Continuous Epidural Infusion/ CEI. Epidural kontinu memberikan  derajat analgesia yang stabil, mencegah fluktuasi dalam meredakan nyeri dengan gangguan kardiovaskular minimal. Saat dilakukan chest physiotherapy pascabedah dengan pemberian CEI, pasien lebih kooperatif sehingga meningkatkan kepuasan pasien. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perbandingan efektivitas antara teknik CEI dengan IEB pada pemberian morfin 4 mg dan bupivakain 0.125%  per 24 jam.
Metode: Penelitian uji klinik acak tidak tersamar ini melibatkan 36 subjek pascabedah abdomen bawah, urologi dan ginekologi  dari Januari sampai Maret 2018. Dilakukan consecutive sampling kemudian dibagi melalui  randomisasi menjadi 2 kelompok CEI dan IEB. Pada kelompok CEI mendapatkan morfin 4 mg + bupivakain 0,125% 60 mg (total volume 48 ml) kecepatan 2 ml/jam drip selama 24 jam, tanpa inisial bolus. Kelompok IEB, mendapatkan morfin 2 mg + bupivakain 0,125% 5 mg (total volume 4 ml) tiap 12 jam. Penelitian ini Membandingkan derajat nyeri istirahat dan bergerak pada menit ke-0, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24, saat pertama kali pasien membutuhkan analgesik tambahan  dan jumlah pemberian ketorolak dan efek samping analgesia epidural pada kedua grup dalam 24 jam pertama.
Hasil: Kedua kelompok sama efektif dalam  mengontrol nyeri pascabedah secara klinis. Saat menit ke-0, jam ke-6, jam ke-12 dan jam ke-24 berdasarkan rentang NPS termasuk nyeri ringan-sedang, dengan nilai median derajat nyeri bergerak 2-3 dan derajat nyeri istirahat 1-2, meski tidak  ada perbedaan bermakna secara statistik.
Simpulan : Tidak ada perbedaan efektivitas antara teknik CEI dengan IEB pada pemberian morfin 4 mg dan bupivakain 0.125%  per 24 jam.

ABSTRACT
Background: An Effective post-operative pain management can improve recovery period, reduce cost, and give comfort and satisfaction to the patient. Epidural analgesia can be given continuously (Continuous Epidural Infusion/ CEI) or intermittently (Intermittent Epidural Bolus/IEB). However, continuous epidural analgesia provides stable analgesia level. It prevents fluctuation in pain with minimal cardiovascular disruption. Patient with CEI is more cooperative in the effectiveness chest physiotherapy hence improve patient satisfaction. This study aims to compare the effectiveness between CEI and IEB for lower abdomen and urology post-operative epidural analgesia using of 4 mg morphine and bupivacaine 0125% in 24 hours.
Methode: This study was a randomized control trial. 36 Subjects were taken from January to March 2018. Were selected consecutively randomized into two groups: In CEI group, morphine 4 mg + bupivacaine 0,125% 60 mg (total volume 48 ml) with speed 2 ml/hour in 24 hour) was given post-operatively, without initial boluses. In IEB group, morphine 2 mg + bupivacaine 0.125% 5 mg (total volume 4 ml)  was give every 12 hours. This study evaluate the degree of pain (rest and active condition) in 0 minute, 6 hour, 12 hour, and 24 hour post-operative, rescue analgesia time (ketorolac iv), and side effect of epidural analgesia in two groups within first 24 hour.
Result: The effectiveness in controlling post-operative pain between two groups was similar. Clinically, pain in 0 minute, 6 hour, 12 hour, and 24 hour in two groups according to NPS range were classified as mild-moderate pain, with median value of pain degree (active condition) was 2-3 and pain degree (rest) was 1-2, although not statistically significant.
Conclusion: There is no difference the effectiveness between CEI and IEB for lower abdomen and urology post-operative epidural analgesia using of 4 mg morphine and bupivacaine 0125% in 24 hours.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putra Prasetio Nugraha
"Trakeostomi adalah salah satu tindakan pilihan pada kasus obstruksi jalan nafas atas. Blok pleksus servikalis superfisialis bilateral merupakan teknik regional anestesi yang populer untuk tatalaksana nyeri selama dan pasca operasi regio leher, namun jarang dipergunakan pada tindakan trakeostomi. Subtansia P adalah neurotransmitter utama nyeri dan mediator poten inflamasi neurogenik yang menyebabkan aktivasi sel-sel inflamatori, vasodilatasi, dan edema setelah manipuasi pada ujung saraf sensori. Kadar substansia P meningkat pada saat nyeri akut, sehingga juga dapat dianggap berperan sebagai mediator nyeri dan digunakan sebagai penanda kejadian nyeri akut. Metode: Kelompok Blok servikalis superfisialis bilateral: Penyuntikan dilakukan dengan menggunakan Bupivakain 0,25% sebanyak 10-15 ml pada masing-masing sisi. Setelah 20 menit, operasi dapat dilakukan. Kelompok Infiltrasi dilakukan penyuntikan infiltrasi lokal lidokain 2% pada daerah insisi. Pra dan Pasca tindakan trakeostomi, segera dilakukan pengambilan sample darah untuk pemeriksaan kadar Substansia P. Hasil: Jumlah sampel penelitian yang didapatkan adalah 34 sampel, usia 12-80 tahun. Hasil uji satistik variabel skala nyeri insisi menunjukkan nilai p<0,001. Hasil uji Mann-Whitney selisih Substansia P menunjukkan nilai p>0,05 (p=0,692). Simpulan: Blok pleksus servikalis superfisialis bilateral memiliki efektivitas analgesia yang lebih baik dibandingkan dengan infiltrasi lokal lidokain 2% pada tindakan trakeostomi.

Background: Tracheostomy is one of choice for upper airway obstruction management. Bilateral superficial cervical plexus block is a popular technique for pain management during and post neck region surgery, but rarely used in tracheostomy. Subtansia P is a major neurotransmitter of pain and a potential mediator of neurogenic inflammation that causes activation of inflammatory cells, vasodilation, and edema after manipulation of sensory nerve endings. The level of substance P is increased during acute pain, so it can also be considered as a mediator of pain and is used as a marker of acute pain events. Methods: Bilateral superficial cervical block group: Injections were carried out using 10-15 ml Bupivacaine 0.25% on each side. After 20 minutes, surgery can be proced. Infiltration group was injected with 2% lidocaine local infiltration in the incision area. Pre and post tracheostomy, blood samples were taken immediately to check the Substance Level P. Results: The number of research samples obtained was 34 samples, aged 12-80 years. The statistical test results of incision pain scale variable showed p value <0.001. Mann-Whitney test results on the P Substance differences showed a value of p> 0.05 (p = 0.692). Conclusion: Bilateral superficial cervical plexus block has better analgesia effectiveness compared to 2% local lidocaine infiltration in tracheostomy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Meliani Anggreni
"Latar Belakang. Puasa sebelum pembiusan merupakan hal yang lazim dilakukan untuk menghindari aspirasi perioperatif. Lama puasa dapat menentukan volume lambung yang tersisa. Puasa yang terlalu singkat dapat meningkatkan risiko aspirasi, namunpuasa yang berkepanjangan dapat menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa volume lambung setelah puasa 6 jam dan 8 jam setelah makan padat pada pasien yang akan menjalani operasi elektif. Metode. Penelitian ini merupakan studi kohort terhadap 37 subjek penelitian selama Januari hingga Februari 2019. Subjek penelitian adalah pasien yang akan menjalani pembedahan elektif non-disgestif di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dengan usia antara 18-60 tahun, tidak mengalami kelainan status gizi, dinilai dengan status fisik ASA 1 atau 2. Kriteria penolakan adalah pasien dengan penyakit diabetes mellitus, kehamilan, distensi abdomen, riwayat dispepsia dan gangguan motilitas usus. Hasil. Pada penelitian ini, didapatkan volume lambung setelah puasa makan padat 6 jam adalah 35,07±39,17 dan setelah puasa 8 jam adalah 14,16±19,24. Selisih antara kedua rerata tersebut adalah 20,91±38,60, p=0,002. Setelah puasa 6 jam, 5.4% subjek memiliki volume lambung di atas 1,5 ml/kg, sedangkan setelah puasa 8 jam, volume lambung seluruh pasien di bawah 1,5 ml/kg. Simpulan. Volume lambung setelah puasa 6 jam lebih kecil secara signifikan dibandingkan dengan puasa 8 jam.

Background. Preoperative fasting was a common practice to decrease perioperative aspiration risk. Duration of fasting was proportional to gastric volume. Short fasting duration may increase aspiration risk. However, prolonged perioperative fasting duration may lead to dehydration and hypoglycemia. The objective of this study was to analyze gastric volume after 6-hour and 8-hour duration of fasting after consumption of solid meal in patient scheduled for elective surgery. Methods. This was a cohort study for 37 subjects from January to February 2019. Subjects were patient scheduled for elective non-digestive surgery in RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, with age between 18 to 60 years old, no nutritional status disorder and physical status of ASA 1 or 2. Exclusion criteria were patients with diabetes mellitus, pregnancy, abdominal distention, history of dyspepsia and intestinal motility disturbances. Results. In this study, gastric volume 6-hour after solid intake was 35.07±39.17 and gastric volume 8-hour after solid intake was 14.16±19.24. Difference of gastric volume between 6-hour and 8-hour after solid intake was 20.91±38.60, p=0.002. After 6-hour of fasting, 5.4% of the subjects had gastric volume above 1,5ml/kg, while after 8-hour of fasting, gastric volume of all subjects were below 1,5ml/kg. Conclusion. Gastric volume 8-hour after solid intake was smaller than gastric volume 6-hour after solid intake."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57633
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Arbi
"Latar Belakang: Disfungsi kognitif pascabedah merupakan komplikasi yang cukup sering pascabedah jantung terbuka. Salah satu faktor yang dikaitkan dengan kerusakan jaringan otak adalah faktor oksigenasi jaringan yang terganggu. Selama periode pascabedah gangguan oksigenasi jaringan masih tidak dapat disingkirkan sebagai penyebab POCD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan nilai Hb, PaO2, SaO2 dan ScvO2 pascabedah terhadap kejadian POCD pada bedah jantung terbuka di RSCM.
Metode: Penelitian ini adalah kohort prospektif dilakukan di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Sebanyak 44 pasien bedah jantung terbuka elektif dilakukan uji neurokognisi pada 1 hari sebelum pembedahan dan hari ke 5 pascabedah. Subjek dinyatakan mengalami disfungsi kognitif pascabedah jika terjadi penurunan >20% dibandingkan dengan nilai uji prabedah, pada 2 dari 3 area kognisi. Nilai Hb, PaO2, SaO2 dan ScvO2 diambil dari kateter arteri dan kateter vena sentral pada 6 jam dan 24 jam pascabedah. Analisis data bivariat variabel numerik menggunakan Independent T-test atau Mann-Whitney dengan SPSS 20.0. Variabel dengan nilai p<0.25 pada analisis bivariat selanjutnya dimasukkan kedalam regresi logistik.
Hasil: Terdapat 23 dari 44 subjek (52,3%) mengalami POCD. Nilai Hb 6 jam pascabedah lebih rendah secara signifikan pada kelompok subjek dengan POCD (9,13±1,15 vs 10,61±1,10 mg/dL, nilai p<0,001). Sama halnya dengan nilai Hb 24 jam pascabedah juga lebih rendah secara signifikan pada kelompok subjek dengan POCD (9,13±0,68 vs 10,45±0,75 mg/dL, nilai p<0,001). Nilai PaO2, SaO2, dan ScvO2 tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok. Analisis multivariat menunjukkan nilai Hb 6 jam dan 24 jam pascabedah sebagai variabel yang paling berpengaruh dengan kejadian POCD.
Simpulan: Nilai Hb 6 jam dan 24 jam pascabedah memiliki hubungan dengan angka kejadian POCD pascabedah jantung terbuka.

Introduction. Postoperative cognitive dysfunction is a compilaction in open heart surgery. Factor that may involve is associated with impaired brain tissue oxygenation. The aim of this study is to investigate the association between postoperative value of Hb, PaO2, SaO2, and ScvO2 with POCD in open heart surgery in RSCM.
Purpose: To evaluate association between postoperative value of Hb, PaO2,and ScvO2 with POCD in open heart surgery in RSCM.
Methods. This study was prospective cohort held in Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia. We included 44 elective open heart surgery patients tested forcognitive function on 1 day before surgery and postoperative day 5. Bloods were taken in 6 hours and 24 hours after surgery to measure postoperative value of Hb,PaO2, SaO2 and ScvO2. Subjects were categorized as POCD if there was decline >20% in postoperative neurocognitive test than preoperative. Data were comparedusing SPSS 20.0 software. Bivariate analysis with p-value above 0.25 were includedin logistic regression.
Results: There was 23 of 44 subjects (52.3%) became POCD. Hemoglobin value in 6 hours and 24 hours were significantly lower in POCD group [(9,13±1,15 vs10,61±1,10 mg/dL, p value<0,001) and (9,13±0,68 vs 10,45±0,75 mg/dL, p value<0,001)]. PaO2, SaO2, and ScvO2 were not significantly different between twogroups. From multivariate analysis, it was found that hemoglobin value in 6 hours and 24 hours after surgery affect POCD in open heart surgery.
Conclusion: There is an association between hemoglobin values in 6 hours and 24 hours after surgery with POCD in open heart surgery.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ivana Firman
"Pendahuluan: Pasien anak merupakan populasi yang sering dilaporkan mengalami komplikasi pascabedah, diantaranya mual muntah pasca bedah (33-82%) danemergence delirium (ED ; 2-80%). Kedua komplikasi tersebut sangat menurunkan kualitas kesejahteraan pascabedah, menurunkan tingkat kenyamanan serta kepuasan orang tua, serta mengganggu jahitan dan meningkatkan persepsi terhadap nyeri. Mual muntah pascabedah dan ED merupakan kondisi multifaktorial, salah satunya diperkirakan akibat pengaruh puasa prabedah. Cairan karbohidrat elektrolit telah dilaporkan berpengaruh positif terhadap luaran pascabedah, diantaranya menurun nya angka mual muntah pasca bedah, menurun nya angka nyeri, serta meningkatkan kenyamanan pasien. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian cairan karbohidrat elektrolit oral prabedah dibandingkan dengan air putih, terhadap angka kejadian mual muntah pascabedah dan ED pada pasien anak yang menjalani operasi elektif.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal yang melibatkan 90 pasien anak usia 1-12 tahun yang menjalani pembedahan elektif. Pasien dibagi secara acak menjadi 2 kelompok: kelompok cairan karbohidrat elektrolit (n=45) dan kelompok kontrol yang mendapat air putih (n=45), masing-masing diberikan 50 ml/kgBB pada 12 jam sebelum pembedahan dan diminum bertahap hingga 1 jam sebelum induksi. Setelah pembedahan pada saat pasien berada di ruang pulih, dilakukan pemantauan untuk menilai kejadian mual muntah pascabedah. Kejadian ED dinilai menggunakan PAED skor dengan diangggap positif bila skor 10.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna terhadap kejadian mual pascabedah (3,3% pada cairan karbohidrat elektrolit vs 12,2% pada air putih; p 0,039), namun tidak pada muntah pascabedah (4,4% vs 8,8% ; p 0,677). Angka kejadian ED ditemukan 6,6% (4,4% pada karbohidrat elektrolit ; 8,8% pada air putih) dan tidak terdapat perbedaan signifikan antara kedua kelompok. Meski demikian kelompok cairan karbohidrat elektrolit cenderung menunjukkan angka skor PAED yang lebih rendah (p 0.06).
Kesimpulan: Pemberian cairan karbohidrat elektrolit oral prabedah berhubungan dengan angka kejadian mual pascabedah yang lebih rendah, namun tidak dengan muntah pasca bedah. Pemberian cairan karbohidrat elektrolit oral prabedah tidak berhubungan dengan angka kejadian ED, namun berhubungan dengan skor PAED yang lebih rendah.

Introduction: Pediatric patients often develop post-operative complications, that includes post operative nausea vomiting (PONV ; 33-82%) and emergence delirium (ED ; 2-80%). Both complications greatly affect the quality of post-op conditions, decrease in comfort and parents’ satisfaction, as well as disruption of surgical wound and heighten perception of pain. PONV and ED are of multifactorial causes, one of which is preoperative fasting. Oral carbohydrate electrolyte-containing fluid has been reported to improve post-operative outcomes, such as lower incidence of PONV, lower pain scores and improves level of comfort. The current study aimed to evaluate the effect of preoperative oral carbohydrate electrolite-containing solution compared to standard mineral water to the incidence of PONV and ED in children undergoing elective surgery.
Methods: This single-blind randomized controlled study included 90 patients aged 1 – 12 years old undergoing elective surgery. Patients were divided into 2 groups: the carbohydrate electrolyte group (n=45) and the control mineral water group (n=45). Both groups were given 50 ml/kgBW of designated fluid 12 hours prior to surgery and can be consumed until 1 hour before induction. Following the surgery, while the patient was in the recovery room, the incidence of PONV was evaluated. The incidence of ED was evaluated using PAED score; positive in PAED score 310.
Results: There is a significant difference in the incidence of post-operative nausea (3.3% in the carbohydrate electrolyte group vs 12.2% in the control group; p 0.039), but not in postoperative vomiting (4.4% vs 8.8% ; p 0.677). The incidence of ED was 6,6% (4,4% in the treatment group vs 8,8% in the control group) and did not differ significantly between two groups. However the actual PAED score in the carbohydrate electrolyte group was found significantly lower (p 0.06).
Conclusion: The incidence of post-operative nausea is significantly lower in the carbohydrate electrolyte group compared to the mineral water group, but not for the post operative-vomiting. The incidence of ED did not differ significantly, however carbohydrate electrolyte group tends to have lower PAED score.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Isnarsandhi Yustisia
"Latar Belakang: Dalam sistem pembelajaran di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, keterampilan klinik dasar Intubasi pada mahasiswa ikut melibatkan PPDS Anestesi tahap mandiri sebagai bentuk aplikasi dari modul komunikasi efektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan pelatihan intubasi yang dilakukan oleh PPDS Anestesi dibandingkan dengan Konsulen Anestesi pada Mahasiswa Kedokteran FKUI
Metode: Penelitian dilakukan menggunakan desain eksperimental dengan membagi subyek menjadi dua kelompok antara mahasiswa yang dilatih oleh PPDS Anestesi tahap mandiri dan Konsulen anestesi. Selanjutnya kedua kelompok melalui ujian OSCE yang dinilai oleh tim penilai. Analisis data dilakukan dengan menggunakan aplikasi SPSS versi 26.
Hasil: Dalam penelitian ini, 100 subjek memenuhi kriteria inklusi dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok mahasiswa yang dilatih oleh PPDS Anestesi dan kelompok yang dilatih oleh Konsulen Anestesi. Demografi subjek menunjukkan proporsi laki-laki dan perempuan yang seimbang di kedua kelompok. Hasil penilaian kedua kelompok menggunakan skor rubrik menunjukkan perbedaan nilai statistik yang tidak signifikan (p > 0.001) sedangkan nilai global rating scale memberikan perbedaan nilai statistik yang signifikan (p = 0.001).
Simpulan: Pelatihan keterampilan klinis intubasi endotrakeal yang dilakukan PPDS Anestesi Tahap Mandiri dibandingkan dengan Konsulen Anestesi memberikan hasil yang tidak berbeda bermakna pada mahasiswa kedokteran FKUI.

Background: In the learning system at the Faculty of Medicine, Universitas Indonesia, basic clinical skills in intubation for students also involve the Resident of Anesthesiology as a form of application of the effective communication module. This study aims to determine the comparison of intubation training carried out by Resident of anesthesiology compared to Attendings for Medical Students in Universitas Indonesia
Methods: The research was carried out using an experimental design by dividing subjects into two groups, one group contains students trained by Resident of Anesthesiology and other group contains students which trained by Attendings. Both groups went through the OSCE exam which was assessed by the assessment team. Data analysis was carried out using the SPSS version 26.
Results: In this study, 100 subjects met the inclusion criteria and were divided into two groups, namely the student group trained by Resident of Anesthesiology and the group trained by Attendings. Subject demographics showed an equal proportion of men and women in both groups. The results of the assessment of the two groups using rubric scores showed that the differences in statistical values were not significant (p > 0.001) while the global rating scale values provided significant differences in statistical values (p = 0.001).
Conclusion: Endotracheal intubation clinical skills training carried out by Resident of Anesthesiology compared to attendings gave results that were not significantly different for medical students in Universitas Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>