Ditemukan 54 dokumen yang sesuai dengan query
Endang Wilis Ekowati
"Arthur Schopenhauer yang pemikirannya dilatarbelakangi oleh gerakan romantik serta gugatan terhadap idealisms Jcnnan dalam perkembangan filsafat abad 19 menyajikan konsepsi kehendak metafisis yang bergejolak dalam diri manusia. Sikap pesimistiknya memberikan warna tersendiri dalam filsafatnya. Dalam ranah filsafat kehendak dipahami dengan pengertian yang beragam. Schopenhauer menganggap kchendak sebagai sesuatu yang bersifat liar dan buta. Kehendak memainkan peran penting dalam kehidupan dan dianggap sebagai suatu dorongan diluar kesadaran yang selalu ingin terpcnuhi keinginannya. Kehendak yang ditekankan adalah kehendak untuk hidup yang bersifat metafisis. Ia berpandangan bahwa untuk membebaskan manusia dari tirani kchendak, salah satu jalan yang dapat dilalui adalah kontemplasi estetik. Mclalui kontcmplasi estetik manusia mampu menenangkarr diri dari perbudakan kehendak walaupun bersifat sementara. Schopcnhauer mcnilai bahwa seni yang paling tinggi tingkatannya adalah musik karma musik memanifestasikan kehendak itu sendiri. Pengagungan musik yang dikemukakan oleh Schopenhauer ini mengindikasikan bahwa musik merupakan karya seni yang melibatkan aspek metafisis sehingga berpengaruh kuat pada manusia. Musik yang dimaksud oleh Schopenhauer adalah musik instrumental atau musik absolut. Pandangannya tentang musik dikemukakan dalam konsep metafisika musik. Musik dianggap sebagai manifestasi dari kehendak itu sendiri sehingga berbeda dengan seni-seni lain yang dianggap manifestasi dari ide. Musik berhubungan dengan kehendak yang abstrak sehingga musik dianggap sebagai seni yang absurd. Kemampuan musik dalam menangkap esensi kehendak sebagai kondisi natural manusia memberikan efek yang luar biasa ketika manusia melakukan kontemplasi estetik. Hal ini mengindikasikan bahwa kehendak pada dasarnya berbicara melalui musik untuk menunjukkan kehadirannya dalam kehidupan manusia. Penekanan pada musik absolut sebagai satu-satunya musik yang mampu menangkap esensi kehendak tersebut mengindikasikan bahwa konsep musik Schopcnhauer terpengaruh pada gerakan romantik dimana ekspresi perasaan berperan utama dalam seni"
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S16170
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Windo Wibowo
"Rasionalisme dan empirisme merupakan dua aliran filsafat yang besar dalam periode filsafat Modern. Kedua aliran ini memiliki kecenderungan yang berbeda sekaligus bertentangan satu sama lain. Rasionalisme mengutamakan pengetahuan a priori ementara empirisme mengutamakan pengetahuan a posteriori. Di dalam filsafat Kant (_kritisisme_) ditemukan corak yang berbeda dari dua aliran itu. Dalam kritisisme Kant pengetahuan dijelaskan sebagai sintesis antara unsur a priori dan a posteriori. Dengan pemikiran Kant itu penulis dalam skripsi ini menyelenggarakan sintesis antara rasionalisme dan mpirisme yang mana notabene kedua aliran tersebut saling bertentangan.
Rationalism and empiricism are two huge philosophies in the Modern age. Those twoschools of thought either have different dispositions and contraries each other. Rationalism raises the a priori knowledge meanwhile empiricism raise the a posteriori knowledge. In Kant_s philosophy (_criticism_) was found different pattern than those two schools of thought. In Kant_s criticism knowledge was explained as a synthesis between the a priori and a posteriori elements. With those of Kant_s thought, the author in this thesis organizing synthesis between rationalism and empiricism in which those two school of thought are basically in contradiction each other. Key words: A posteriori, a priori, empiricism, epistemology, criticism, rationalism, sensibility, understanding, Vernunft."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S16075
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Githa Farahdina
"Sejak perkembangan teknologi informasi, situs jejaring sosial menjadi lingkungan baru bagi manusia. Lingkungan baru ini mengkonstruksi sebagian dunia manusia sebagai realitas virtual. Keberadaan kita di dalam realitas virtual tersebut turut mempengaruhi pembentukan self. Hal ini dikarenakan self tidak terkurung di dalam tubuh manusia, tidak pula terisolasi dari dunia luar, melainkan berada di dalam yang sosial, dan pembentukannya berlangsung dalam relasi seseorang dengan yang lain. Oleh karena self tidak memiliki esensi, maka pembentukan self merupakan sebuah proses penciptaan diri yang tidak pernah berhenti. Virtualisasi di dalam situs jejaring sosial inilah yang menjadi salah satu medium bagi penciptaan self tersebut.
Since the development of information technology, site of social networking has been becoming a new environment for human-being. This new environment constructs a part of human-world as virtual reality. Our existence in this virtual reality also influences the self forming. It is because of self that is not prisoned in human body, nor self is isolated from external world, but existing within the social, and its forming is going on relation to the others. Because of self has no essence, self forming is a process of self-creation which never stop. Virtualization in this site of social networking is a kind of media for that self-creation."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S16048
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Fauzan Alkadri
"Musik tidak memiliki aspek yang memungkinkannya mengekspresikan suatu makna secara eksplisit. Makna hanya dapat kita dekati dengan bahasa yang memiliki fungsi semantik dan dibentuk oleh kata-kata sebagai unsurnya. Adapun musik, tidak memiliki fungsi semantik layaknya bahasa, namun memiliki kedalaman yang melampaui nalar. Oleh karena itu, kedalaman musik tak bisa didekati dengan kegiatan memaknai. Meskipun demikian, kedalaman ini memiliki efek tertentu yang menyebabkan adanya perasaan tertentu pada pendengarnya. Kedalaman dari musik dapat kita dekati melalui intimasi, dan bukan penafsiran maupun penilaian. Pada musik, intimasi dapat berupa emosi, yang merupakan efek nyata yang timbul karena mendengarkan musik.
Music has no aspect that make it possibles to express meaning explicitly. We can only approach meaning by language which has semantic function and is constructed by words as its elements. Music is not language, therefore, has no semantic function, but it has profundity that beyond the reason. Thereby, musical profundity can_t be approached by interpreting act. Nevertheless, its profundity has effect that cause certain emotion on its listener. Musical profundity can be approached by intimations, not by interpretation nor evaluation. Intimations on music can be found as emotion which is a real effect emerges when we are hearing music"
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S16015
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Puri Kurniasih
"Mitos; kata yang seolah-olah dekat dan dikenal. Banyak orang berbicara mengenai mitos, bahkan bermitos. Namun, kebanyakan dari mereka tidak tahu apa itu mitos, yang ada justru terperosok ke dalam makna tambahan. Perbedaan konsepsi mengenai realitas dan kebenaran bisa melahirkan perbedaan pandangan mengenai mitos. Tulisan ini merupakan upaya mengingat sebuah gerakan konseptual yang mengkonstruksi pandangan tentang mitos sebagai yang tidak benar dan yang tidak nyata. Dengan demikian, perlu rekonstruksi pandangan umum untuk membereskan permasalahan tersebut agar didapat pemahaman baru mengenai mitos untuk menyelamatkan rasio.
Myth; a term that is as if familiar and known. Many people talks about myth, even mything. But, a lot of them do not know what is myth; they tend to think about it in its additional meanings. Different conceptions about reality and truths can emerge differences on view about myth. This writing is an attempt to review the conceptual movement that constructs view about myth as the untruth and the unreal. Thereby, we need to reconstruct common view to make this problem clear, so that we get a new understanding about myth to safe reason."
Depok: Universitas Indonesia, 2011
S16037
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Aufira Utami
"Skripsi ini merupakan sebuah telaah filsofis terhadap kondisi mental illness pada manusia. Dengan menggali kembali kondisi mind manusia yang terbentuk melalui pengalaman, maka muncullah dialog sebagai pola interaksi bagi ‘penderita’ mental illness. Berbeda dengan telaah psikologis yang bersifat empiris dan menekankan terapi pada tiap tahapnya, telaah filosofis menaruh perhatian pada kondisi abstrak mind yang bersentuhan dengan lingkungan. Penelitian dilakukan dengan membongkar kembali kondisi mind manusia dan hubungannya dengan pengalaman sebagai langkah awal mengenal mental illness dan pemulihannya.
This undergraduate thesis is a philosophical analysis of mental illness in human being. By recollecting mind condition of human which is shaped by experience, dialogue appears as an interaction model for patient of mental illness. It is different with the psychological, which is more empirical and talk more about stages of therapy, the philosophical analysis talk about abstraction of human mind condition related to their society. This observation using phenomenological method by re-knowing human experience and find dialogue as the first step to cure mental illness."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S560
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Mohamad Yoga Ramadhan
"Musik populer lahir dengan beragam asumsi yang melekat seperti, low culture, komoditi industri, musik non serius dan sebagainya, hal tersebut yang sekaligus membentuk pengertian kita secara umum mengenai musik populer. Mengangkat kembali problem penting dalam musik, seperti proses kreasi yang mengandalkan ide dan imajinasi terhadap relevansinya dengan musik populer yang ketat dengan tradisi industri, media dan massa ditinjau melalui epistemologi Carl Gustav Jung mengenai konsep ketidaksadaran, merupakan ide yang menarik dalam membentuk pandangan, makna dan keseharian manusia terhadap aktivitas musik populer yang berpengaruh secara mendalam bagi perkembangan sosial dan budaya.
Popular music was born with a variety assumptions such as, low culture, industrial commodities, not serious music and so forth, it is well established in general our understanding of popular music. Raised important issues in music, like the creative process that relies on ideas and imagination of its relevance to popular music is tight with industry tradition, and the media are dealt with through the epistemology of Karl Gustav Jung's concept of the unconscious, is an interesting idea in forming the view, the meaning and the everyday activities of influential popular music in depth the social and cultural development."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S42979
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Agrita Widiasari
"Skripsi ini adalah sebuah telaah filosofis mengenai diskursus tubuh difabel dalam kerangka pikir Maurice Merleau-Ponty. Persepsi dan ketubuhan menjadi pisau analisis yang tajam dalam mengkaji problem kemampuan dalam tubuh difabel. Label ketidakmampuan yang dimiliki oleh difabel merupakan bentuk marginalisasi tubuh minoritas. Dengan kerangka pikir milik Merleau-Ponty, tubuh mayoritas dengan kemampuan rata-rata akan ditolak sebagai tubuh yang paling sempurna dalam tindak mempersepsi dunia. Problem ketidakmampuan yang disandang oleh difabel beralih menjadi bentuk penerimaan terhadap keberagaman mempersepsi.
This thesis is an analysis of the philosophical discourse of the body with disabilities within the framework of Maurice Merleau-Ponty's thought. Perception and body in Merleau-Ponty's framework have become a sharp analysis to review the ability problems within disability people. Term 'dis-ability' in disability people often lead them to minority groups and rising discrimination. According to Merleau-Ponty's framework, a body with a major ability will be rejected as the most perfect body in the act of perceiving the world. Whereas the problem carried by disabled people's inability transform into having themselves perceiving the form of the diversity of acceptance."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42029
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Cahyo Arswandaru
"Subjek merupakan salah satu objek kajian yang memiliki andil besar dalam pergerakan pemikiran filsafat. Diskursus mengenai subjek hadir dalam setiap periodisasi filsafat, sejak jaman Yunani Kuno hingga filsafat Kontemporer. Pemetaan tentang subjek ini salah satunya diungkapkan oleh seorang pemikir psikoanalisa, yaitu Jean Jacques Lacan, melalui pembacaannya atas subjek Cartesian dan subjek Freudian yang dipadukan dengan gagasan dialektika Hegel, serta strukuralisme dari Saussure. Subjek Lacanian mengemban tiga wilayah utama, yaitu The Imaginary, The Symbolic, dan The Real, dimana ketiga wilayah tersebut saling berintegrasi membentuk kerangka subjek, serta digerakan oleh hasrat dan kekurangan yang menjadi poros dalam roda triadik tersebut. Komplemen lain yang turut membentuk kerangka subjek ialah kehadiran Phallus, Maternal Phallus, the other, the Other, rangkaian penanda hingga Jouissance sebagai jawaban atas konflik yang senantiasa diemban oleh subjek dalam usahanya untuk mencapai keutuhan diri. Subjek Lacanian dijelaskan sejak masa kelahiran hingga mencapai puncak konflik di wilayah Simbolik. Selaras dengan hal tersebut, sinopsis yang disajikan dalam teks album The Wall melalui narasi lirik lagu sejak lagu pertama hingga terakhir, menyajikan cerita mengenai perjalanan pencarian jati diri subjek sejak kelahiran hingga puncak konflik hidup yang dialaminya. Jalan cerita yang disajikan dalam teks album The Wall relevan dengan alur pemetaan subjek Lacanian. Analisis atas teks The Wall merupakan sebuah usaha menemukan kebaruan yang tersembunyi dibaliknya.
Subject is an object of study that have a significan impact in philosophical discourse. This discourse about subject present in every periodization of philosophy, from the Ancient Greek to the Contemporary philosophy. One of the Psychoanalitic thinker that revealed about this mapping of subject is Jean Jacques Lacan, through his reading of Cartesian subject and Freudian subject combined with the concept of Hegelian dialectic, and also structuralism from Saussure. Lacanian subject contains three main areas, there are The Imaginary, The Symbolic, and The Real, where this three regions are integrated to form the structure of subject, and its also powered by desire and lack. Another complements that form the subject are the presents of Phallus, Maternal Phallus, the other, the Other, chain of signifiers, and Jouissance as the solution of subject’s conflict in order to attain the self completeness. Lacanian subject is explained since the birth of subject until the climax of conflicts in Symbolic area. In tune with this mapping of subject, The Wall present a narration in its text, about the journey of a subject, since the birth until the climax conflicts of life. The narration is formed by every lyrics of the song, from first to last in the album. The storyline of The Wall’s text is relevant with the mapping line of Lacanian subject. Analysis of The Wall is an effort to find novelty beyond its text."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S45091
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Batubara, Yohanna Monica H.
"Soren Aabye Kierkegaard sebagai bapak eksistensialisme, menekankan manusia sebagai inti dari pemikiran eksistensialismenya. Pemikiran atas pemahaman eksistensi individu yang berdasarkan pada gairah atas pilihan_pilihan hidup, yang berjuang, bergulat, dan mengalami hasrat. Tegangan_tegangan eksistensial yang dirasakan oleh setiap individu menjadi landasan bagi subjek untuk memilih setiap pilihan yang ada di hidupnya. Ketidakpastian dalam hal ini merupakan salah satu hal yang pasti akan hadir pada setiap pilihan yang akan membuat setiap subjek merasakan kecemasan dan ketakutan. Semua pilihan yang mengandung ketidakpastian tersebut memerlukan adanya suatu keyakinan yang membuat individu lepas dari rasa cemas, sehingga keputusan yang telah dibuatnya membawa dia kepada keotentikan dan eksistensi dirinya. Isabella Swan dalam film Twilight merupakan sebuah contoh atas pemahaman eksistensialisme Soren Kierkegaard.Isabella Swan berhadapan dengan pilihan atas eksistensinya yang membutuhkan pertimbangan etis pada dirinya.
Soren Aabye Kierkegaard as the father of existentialism, emphasizes people as the core of the idea of existentialism. Thoughts on the understanding that the existence of individuals based on the passion for life choices, struggling, and experiencing desires. Existential tensions felt by every individual as a baseline for the subject to select any options in life. The uncertainty in this respect is one thing for sure will be present at every option that would make any subject feel the anxiety and fear. All the options that contain these uncertainties requires a belief that makes the individual free from anxiety, so the decision has been made to bring the subject to the authenticity and existence itself. Isabella Swan in the Twilight movie is an example of existentialism, Soren Kierkegaard's understanding. Isabella Swan faced with the option of requiring the existence of ethical considerations in her."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S16019
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library