Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Qolby Lazuardi
"Unit Perawatan Intensif (UPI) merupakan bagian rumah sakit yang berfungsi untuk melakukan perawatan pada pasien yang mengalami penyakit dengan potensi mengancam nyawa. Data menunjukkan angka mortalitas pasien UPI dewasa di seluruh dunia memiliki rerata sekitar 10-29%, sedangkan di RSCM berada di kisaran 28,63-33,56%. Keadaan tersebut membuat kemampuan memprediksi luaran mortalitas menjadi penting untuk menentukan perawatan yang tepat. Logistic Organ Dysfunction System (LODS) merupakan salah satu metode skoring yang dapat digunakan untuk memprediksi luaran mortalitas pasien, namun penelitian untuk menguji hal tersebut belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan skor LODS dalam memprediksi luaran mortalitas pasien dewasa UPI RSCM. Penelitian ini menggunakan 331 sampel data rekam medik pasien UPI RSCM, didapati hasil bahwa rerata pasien meninggal memiliki skor LODS yang lebih besar daripada pasien yang hidup, yaitu rerata 5,854 (median: 6) pada pasien meninggal, dan rerata 2,551 (median: 2) pada pasien yang hidup. Pada uji kalibrasi, didapati hasil Hosmer-Lemeshow test sebesar 0,524, yang menandakan hasil uji kalibrasi yang baik (>0,05). Sedangkan pada uji diskriminasi menggunakan kurva Receiver Operating Characteristic (ROC), nilai Area Under the Curve (AUC) sebesar 79,2%, yang menandakan kemampuan diskriminasi dari skor LODS cukup (70-80%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa skor LODS dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam memprediksi luaran mortalitas pasien UPI RSCM.

Intensive Care Unit (ICU) is the part of hospital that do the care for patients with disease that threaten their life. Data shows that the mortality rate in ICU in the whole world revolved aroung 10-29%, and in RSCM revolved around 28,63-33,56%. This condition makes the ability to predict mortality outcome become important to help decide the correct treatment. Logistic Organ Dysfunction System (LODS) is one of scoring method that is able to help predict patients mortality outcome, but there is still no study for this scoring method for adult patients in Indonesia. This study inteded to evaluate the ability of LODS scoring in predicting ICU RSCM patients mortality outcome. This study used 331 ICU RSCM patients as its samples, and the result shows that the mean LODS score of the patients that died is greater than the one that lives, the mean LODS score of the patients that died is 5,854 (median: 6), and the mean score of the patients that lives is 2,551 (median: 2). In calibration test using Hosmer-Lemeshow test, the result shows a good outcome that is 0,524 (P>0,05). While in discrimantion test using Receiver Operating Characteristic (ROC) curve, the Area Under the Curve (AUC) value is 79,2%, showing that the ability of LODS score to discriminate is sufficient. This results show that LOD score can be used as one of the refference to predict patients mortality outcome in ICU RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagas Ariandana Dewanto Putra
"ABSTRACTS
Penelitian ini membahas tentang representasi kekerasan seksual melalui elemen-elemen mise-en-scÃne dalam serial drama The Handmaids Tale. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan berfokus pada analisis deskriptif. Proses penelitian dilakukan dengan studi literatur. Hasil penelitian menemukan bahwa tiap-tiap elemen mise-en-scÃne memiliki makna sendiri-sendiri dalam membentuk adegan yang ketika diintegrasikan akan membentuk makna baru dalam membuat representasi di dalam adegan. Penggabungan elemen-elemen mise-en-scÃne menciptakan sintagma yang bekesinambungan dari shot satu ke shot berikutnya. Kekerasan seksual dalam adegan didasari oleh seksisme yang dikonstruksi lewat cara pandang patriarki dari karakter yang mendominasi.

ABSTRACT
This study discusses the representation of sexual violence scenes through elements of mise-en-scÃne in the drama series The Handmaids Tale. This research is a qualitative research and focused on descriptive analysis. This research conduct by literature study. This research finds that every element of mise-en-scÃne has its own meaning and when each element is integrated, they will have a new meaning to represent something in the scene.  The fusion of all elements of mise-en-scÃne creates continuous syntagms. Sexual violence in the scenes that have been analyzed are rooted in sexism that is constructed through elite characters patriarchal perspective."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathaniel Gilbert Dyson
"Latar belakang: Gejala motorik pada pasien dengan parkinsonisme sangat mengganggu aktivitas sehari-hari. Faktor sosiodemografis diketahui berperan penting pada berbagai penyakit kronis, namun kaitannya dengan penyakit parkinsonisme belum banyak mendapat perhatian. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara faktor sosiodemografis dengan gejala motorik pasien dengan parkinsonisme.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan di RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta melalui pengisian kuesioner MDS Unified Parkinson’s Disease Rating Scale (MDS-UPDRS) Bagian II tentang gejala motorik sehari-hari secara daring. Sampel target dalam penelitian ini adalah pasien parkinsonisme berdasarkan diagnosis dokter yang bersedia mengikuti penelitian, lancar berbahasa Indonesia, dan memiliki akses internet.
Hasil: Sebanyak 50 pasien bersedia menjadi responden dengan gejala motorik terbanyak adalah kesulitan berpakaian (90%), diikuti dengan menulis, melakukan hobi, tremor, dan bangkit berdiri (88%). Analisis bivariat menemukan bahwa pasien berpendidikan rendah, berpendapatan rendah, dan sudah menikah secara signifikan memiliki gejala motorik yang lebih buruk (p<0,05). Analisis multivariat mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan rendah dan status sudah menikah signifikan sebagai faktor risiko, sedangkan tingkat pendapatan tinggi sebagai faktor protektif terhadap gejala motorik yang buruk.
Kesimpulan: Faktor sosiodemografis memiliki hubungan signifikan dengan derajat gejala motorik pada pasien dengan parkinsonisme. Studi ini merekomendasikan penanganan pasien secara personalisasi berdasarkan faktor sosiodemografis pasien.

Background: Motor symptoms in patients with parkinsonism severely impair daily activities. Sociodemographic factors are known to play an important role in various chronic diseases, but their relationship with parkinsonism has not been studied yet. This study aims to determine the association between sociodemographic factors and motor symptoms among patients with parkinsonism.
Methods: This cross-sectional study was conducted at Dr. Cipto Mangunkusumo National Hospital Jakarta by using the MDS Unified Parkinson's Disease Rating Scale (MDS-UPDRS) Part II questionnaire about daily motor symptoms. The target sample in this study were patients with parkinsonism based on a doctor's diagnosis, fluent in Indonesian, and had internet access.
Results: A total of 50 respondents were recruited with the most motor symptoms being difficulty dressing (90%), followed by writing, doing hobbies, tremors, and balance (88%). Bivariate analysis found that patients with low education, low income, and married had significantly worse motor symptoms (p<0.05). Multivariate analysis revealed that low education level and married status were significant risk factors, while high income level was a protective factor against poor motor symptoms.
Conclusion: Sociodemographic factors significantly associated with motor symptoms in parkinsonism patients. This study recommends personalized patient management based on the patient's sociodemographic factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Claudio Agustino
"Sirosis hati adalah bentuk akhir perjalanan penyakit hati secara kronik dengan tanda klinis berupa kerusakan jaringan hati dan terbentuknya jaringan fibrosis serta nodul sehingga mengganggu fungsinya dalam menghasilkan albumin, protrombin, dan fibrinogen . Sirosis dapat dideteksi dan diklasifikasikan dalam 3 kelompok dengan teknik diagnostik non-invasif menggunakan skor APRI. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui adanya perbedaan signifikan pada profil albumin, masa protrombin, dan fibrinogen dalam tingkatan sirosis hati berdasarkan klasifikasi dari skor APRI.
Desain penelitian secara cross sectional dengan 60 pasien sesuai kriteria penelitian dari rekam medis laboratorium Patologi Klinik dan bagian pusat RSCM. Hasil penelitian dengan uji Kolmogorov Smirnov menunjukkan kadar albumin, masa protrombin, dan fibrinogen median 2,.91 ;, 11,.8 ; , rata-rata 273,.7117 dan hasil dari uji Anova atau Kruskal Wallis memperlihatkan perbedaan bermakna antara ketiga kelompok hati berdasarkan skor APRI semua p.

Cirrhosis is an end stage of chronic inflammatory disease with the destruction of liver tissue and fibrosis that impairs its function to synthesis albumin, prothrombin, and fibrinogen. Cirrhosis can be detected and classified into 3 groups with non invasive diagnostic technique by using APRI score. This study aims to find out the significant difference between albumin, prothrombin time, and fibrinogen profile within cirrhosis stages based on classification from APRI score.
Design of the study is cross sectional with 60 patients which meet the criteria from the medical records in the Clinical Pathology Laboratory and center of medical record of RSCM. The results of the study were analyzed with Kolmogorov Smirnov test showed albumin level, prothrombin time, and fibrinogen median 2.91, 11.8, and mean 273.7117 , Anova or Kruskal Wallis test showed significant difference between these three components based on score APRI classification. all p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Timotius Alvonico
"Sirosis hati merupakan stadium akhir dari penyakit hati kronik yang ditandai dengan fibrosis dan perubahan arsitektur hati normal menjadi struktur nodular yang abnormal. Sirosis hati menyebabkan gangguan fungsi hati, mengakibatkan perubahan penanda fungsi hati. Skor APRI telah digunakan sebagai salah satu pilihan metode non-invasif untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan progresi sirosis hati.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui profil beberapa penanda fungsi hati, yaitu ALP, bilirubin, dan GGT, dan apakah terdapat perbedaan bermakna kadar penanda fungsi hati tersebut pada berbagai tahapan sirosis hati berdasarkan skor APRI.
Metode: Penelitian menggunakan desain cross-sectional pada 60 data pemeriksaan laboratorium pasien 36 laki-laki dan 24 perempuan yang dibagi ke dalam tiga tahapan berdasarkan skor APRI, yaitu tahapan skor APRI kurang dari 0,5, 0,5 sampai 2,0, dan lebih dari 2,0. Data pemeriksaan laboratorium didapatkan dari rekam medis Laboratorium Patologi Klinik RSCM.
Hasil: Profil ALP, bilirubin, dan GGT dianalisis dengan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov ALP tidak normal, median 124 U/L; bilirubin tidak normal, median 1,865 mg/dL; GGT tidak normal, median 82,5 U/L dan dengan uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui perbandingan profil ALP pada ketiga tahapan sirosis hati berdasarkan skor APRI p>0,05 dan bilirubin dan GGT pada ketiga tahapan sirosis hati berdasarkan skor APRI p 2,0 serta kelompok skor < 0,5 dan kelompok skor APRI > 2,0 p < 0,05. Uji post hoc profil GGT menunjukkan perbedaan bermakna hanya terdapat pada perbandingan antara kelompok skor < 0,5 dan kelompok skor APRI 0,5 ndash; 2,0 p < 0,05.
Kesimpulan: Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan profil bilirubin dan GGT yang signifikan pada berbagai tahapan sirosis hati berdasarkan skor APRI, sementara profil ALP pada berbagai tahapan sirosis hati berdasarkan skor APRI tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Rifani
"Latar belakang. Endometriosis adalah suatu penyakit radang kronik yang dicirikan dengan adanya pertumbuhan jaringan mirip endometrium yang dapat ditemukan pada peritoneum, ovarium, dan septum retrovagina. Penyakit ini merupakan penyakit multifaktorial yang dapat disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Selain itu, faktor hormonal diketahui mempengaruhi perkembangan dan klinis endometriosis. Resistensi hormon progesteron merupakah salah satu penyebab terjadinya endometriosis karena sering dihubungkan dengan rendahnya kadar dan aktivitas kerja reseptor hormon progesteron pada endometriosis. Polimorfisme gen reseptor progesteron (PROGINS=progesterone receptor gene polymorphism) diketahui berkaitan dengan risiko endometriosis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan polimorfisme gen reseptor progesteron (PR) rs139646398 dengan endometriosis di Indonesia.
Metode penelitian. Penelitian cross sectional ini menggunakan 30 sampel jaringan endometriosis ovarium dari wanita penderita endometriosis dan 17 jaringan endometrium dari wanita tanpa endometriosis. Sampel DNA dari subjek diisolasi, dilakukan PCR, diikuti dengan proses elektroforesis, dan dilanjutkan dengan DNA sequencing.
Hasil. Hasilnya dianalisis secara statistik dengan uji Fisher. Tidak ditemukan perbedaan yang signifikan frekuensi genotip rs139646398 dari gen PR pada endometriosis ovarium dan kontrol (p=0,638). Penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara polimorfisme gen reseptor progesteron rs139646398 dengan endometriosis di Indonesia.
Kesimpulan. Penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan antara polimorfisme gen reseptor progesteron rs139646398 dengan endometriosis di Indonesia.

Endometriosis is a chronic inflammatory disease characterized by the growth of endometrial-like tissues that can be found in peritoneum, ovary, and retrovaginal septum. This disease is a multifactorial disease caused by genetic and environmental factors. In addition, hormonal factors are known to influence the development and clinical symptom of endometriosis. Progesterone resistance is one of the causes of endometriosis. It is often associated with low levels or activity of hormone progesterone receptor in endometriosis patients. Progesterone receptor gene polymorphism (PROGINS) is known to be associated with the risk of endometriosis. This study aims to determine the relationship between progesterone receptor (PR) gene polymorphism rs139646398 with endometriosis.
Methods. This cross sectional study used 30 endometriosis ovary samples from women suffered endometriosis and 17 endometrium tissues from women without endometriosis. DNA samples from subjects were isolated, PCR was carried out, then followed by electrophoresis, and continued with DNA sequencing.
Results. The results were statistically analysed by Fisher’s test. There was no statistically significant difference in genotype frequency of rs139646398 of the PR gene in ovarian endometriosis and controls (p=0.638).
Conclusion. This study shows no relationship between progesterone receptor gene polymorphism rs139646398 and endometriosis in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joanna Erin Hanrahan
"Latar belakang. Terdapat 5 domain keterampilan yang harus dicapai sesuai dengan kelompok usia anak. Apabila tidak dicapai hingga melebihi batasan usia yang seharusnya, anak dikatakan mengalami keterlambatan perkembangan. Keterampilan motorik kasar merupakan domain perkembangan dengan tingkat perhatian orang tua tertinggi, sebab keterampilan motorik kasar merupakan penentu otonomi seorang anak. Penelitian mengenai faktor risiko dibuat untuk menyusun strategi intervensi pencegahan keterlambatan perkembangan.
Tujuan. (1) Mengetahui faktor risiko yang signifikan terhadap keterlambatan motorik kasar pada anak usia 6-24 bulan. (2) Mengetahui pengaruh antar masing-masing faktor risiko.
Metode penelitian. Desain penelitian menggunakan kasus dan kontrol. Data diperoleh melalui data primer hasil penilaian keterampilan motorik kasar yang divalidasi oleh pembimbing dan wawancara orang tua pasien yang ada di Poli Kiara RSUPN Cipto Mangunkusumo dan Pondok Pinang. Anak dengan keterampilan motorik kasar terlambat dimasukkan dalam kelompok kasus dan dilakukan matching usia untuk memperoleh kelompok kontrol. Pengambilan data dilakukan dari bulan Februari sampai Juli 2018. Faktor-faktor risiko dianalisis secara bivariat dan multivariat.
Hasil penelitian. Dilakukan analisis terhadap 63 anak dengan motorik kasar terlambat dan 63 anak dengan motorik kasar normal. Faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan keterlambatan motorik kasar pada anak, yaitu asfiksia perinatal (P=0,004 ; OR=5,714 ; IK 95%=1,553-21,026), prematuritas (P=0,009 ; OR=3,949 ; IK 95%=1,347-11,574), berat badan lahir rendah (P=0,011 ; OR=3,511 ; IK 95%=1,281-9,625), dan mikrosefali (P<0,001 ; OR=5,128 ; IK 95%=2,332-11,280). Setelah dilakukan analisis multivariat, mikrosefali (aOR=4,613 ; IK 95%=2,023-10,521) dan prematuritas (aOR=3,668 ; IK 95%=1,153-11,673) merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap keterlambatan motorik kasar pada anak.
Kesimpulan. Mikrosefali dan prematuritas (usia gestasi < 37 minggu) merupakan faktor prediktor keterlambatan motorik kasar pada anak usia 6-24 bulan.

Introduction. There are 5 domains of development that has to be accomplished by a child. If a child fails to master a skill according to his age group, he is said to have a delayed development. Gross motor is one of the domain with the highest parental concern as mastering gross motor is an important factor that determine the autonomy of a child. This study is made to arrange a strategic intervention on the prevention of delayed development.
Objectives. (1) To determine the significant risk factors for gross motor delay in children age 6-24 months old. (2) To determine the association between risk factors.
Methods. Case control study design was used. Data was obtained from direct assessment of gross motor skill (validated by supervisor) and parents’ interview in Cipto Mangunkusumo National Hospital and Pondok Pinang. Children with gross motor delay were categorized as the case group and age matching from this group was used to obtain the control group. Data was collected from February until July 2018. Bivariate and multivariate analysis on risk factors were done to find the significant risk factors and predictor factors for gross motor delay.
Results. 63 children with gross motor delay and 63 children with normal gross motor development were being analyzed. Significant risk factors for gross motor delay were perinatal asphyxia (P=0.004 ; OR=5.714 ; CI 95%=1.553-21.026), prematurity (P=0.009 ; OR=3.949 ; CI 95%=1.347-11.574), low birth weight (P=0.011 ; OR=3.511 ; CI 95%=1.281-9.625), and microcephaly (P<0.001 ; OR=5.128 ; CI 95%=2.332-11.280). After multivariate analysis, microcephaly (aOR=4.613 ; CI 95%=2.023-10.521) and prematurity (aOR=3.668 ; CI 95%=1.153-11.673) were the predictor factors for gross motor delay.
Conclusion. Microcephaly and prematurity (gestation age < 37 weeks) are the predictor factors for gross motor delay in children age 6-24 months old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amirah Yasmin
"Pendahuluan: Imunoregulasi yang terjadi pada kehamilan menyebabkan ibu hamil lebih rentan terhadap infeksi, termasuk infeksi parasit. Salah satu parasit intestinal yang paling sering ditemukan di negara berkembang adalah Blastocystis-terutama banyak dijumpai pada populasi imunosupresi. Belum diketahui apakah infeksi Blastocystis dapat memengaruhi respon imun seluler terhadap infeksi patogen lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan infeksi Blastocystis pada kehamilan dengan respon imun seluler terhadap infeksi tuberkulosis, yang dimodelkan dengan stimulasi purified protein derivative (PPD).
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang dengan data yang bersumber dari penelitian utama yang telah dilakukan di daerah endemik Blastocystis. Sebanyak 98 ibu hamil trimester ketiga menjadi sampel dalam penelitian ini. Status infeksi Blastocystis ditetapkan berdasarkan pemeriksaan mikroskopis sampel feses. Respon imun seluler yang dinilai adalah kadar sitokin proinflamasi IFN-γ dan sitokin antiinflamasi IL-10 yang diambil dari kultur darah subjek dan diukur dengan Luminex assay.
Hasil: Kadar IFN-γ dan IL-10 setelah stimulasi PPD lebih tinggi pada kelompok ibu hamil sehat dibandingkan ibu hamil terinfeksi Blastocystis, tetapi perbedaan kadar ini tidak signifikan untuk IFN-γ (p=0,356) dan signifikan untuk IL-10 (p=0,001). Perbandingan kadar sitokin setelah stimulasi PPD dengan basal yang dihitung dalam bentuk rasio menunjukkan hasil yang lebih tinggi pada kelompok ibu hamil sehat baik untuk IFN-γ dan IL-10, tetapi keduanya tidak bermakna secara statistik (p=0,428 untuk rasio IFN-γ dan p=0,564 untuk rasio IL-10). Rasio keseimbangan sitokin proinflamasi-antiinflamasi (rasio IFN-γ/rasio IL-10) pascastimulasi PPD lebih tinggi pada kelompok terinfeksi Blastocystis, meskipun tidak signifikan secara statistik (p=0,741).
Kesimpulan: Infeksi Blastocystis pada ibu hamil tidak menunjukkan perbedaan respons imun terhadap stimulasi PPD dibandingkan dengan ibu hamil sehat.

Introduction: Predominant immunoregulatory state in pregnancy is associated with higher risk of infection, including parasitic infection. One of the most common intestinal parasites found in developing country is Blastocystis-which mainly found in immunocompromised population. It is not yet known whether Blastocystis infection could influence cellular immune response to other pathogens. Therefore, this research aims to discover the association between Blastocystis infection in pregnancy with cellular immune response to tuberculosis infection, which is modelled by purified protein derivative (PPD) stimulation. Method: This is a cross-sectional study which uses data from primary research that has been done in a Blastocystis-endemic area. Study samples consist of 98 pregnant women in their third trimester. Blastocystis infection was determined from microscopic examination of stool specimen. The cellular immune response is assessed by measuring serum level of IFN-γ and IL-10 as pro- and anti-inflammatory cytokine, respectively. The serum is obtained from a whole blood culture, and its cytokine level will further be measured with Luminex assay.
Result: IFN-γ and IL-10 level with PPD-stimulation is higher in healthy pregnant women compared to Blastocystis-infected subjects, but this difference is not statistically significant for IFN-γ (p=0.356) and significant for IL-10 (p=0.001). The PPD-stimulated/basal ratio of both IFN-γ and IL-10 is also higher in healthy pregnant women, but it is not statistically significant (p=0.428 for IFN-γ ratio and p=0.564 for IL-10 ratio). Although not statistically significant, the pro- and anti-inflammatory cytokine balance (IFN-γ ratio/IL-10 ratio) after PPD stimulation is higher in pregnant women infected with Blastocystis (p=0.741).
Conclusion: There is no difference in the cellular immune response to PPD stimulation in pregnant women infected with Blastocystis compared to healthy pregnant women."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Juanputra
"Latar Belakang: Salah satu bidang kedokteran adalah kedokteran darurat atau emergency medicine. Bidang kedokteran ini memiliki fokus penanganan pasien pada keadaan darurat. Salah satu kedokteran darurat menangani bagian saraf pasien atau sering disebut sebagai neuroemergensi. Pada kasus neuroemergensi, dibutuhkan penilaian awal untuk menentukan prognosis pasien dan prioritas penanganan yang diperlukan. Namun, sistem-sistem yang ada sering tidak bisa dilakukan karena kurangnya sumber daya sehingga membuat sistem-sistem tersebut kurang efektif. Riset ini akan melihat hubungan tanda vital dengan prognosis pasien neuroemergensi. Alasan tanda vital digunakan adalah karena tanda vital mudah diukur dengan sumber daya terbatas. Selain itu, riset ini juga akan melihat apakah tanda vital yang selama ini digunakan secara luas untuk penilaian awal segala kasus darurat relevan untuk kasus darurat dengan penyakit saraf sebagai penyebab yang spesifik.
Tujuan: Tujuan utama riset ini adalah mencari alternatif yang lebih mudah terhadap parameter yang sudah standard dalam keadaan neuroemergensi.
Metode: Pasien dengan tanda vital berupa denyut nadi, laju respirasi, temperatur, saturasi oksigen, dan tekanan darah sistolik dan diastolik variabel independen dikategorikan sebagai normal dan abnormal. Lalu, hasilnya dibandingkan dengan status discharge pasien dari unit gawat darurat RSCM berupa dilepas langsung ke rumah, masuk bangsal umum, mendapat perawatan intensif, meninggal, atau dirujuk ke spesialis lain sebagai variabel dependen. Jumlah pasien pada kategori tertentu lalu dianalisis asosiasi nya. Selain itu, nilai New Early Warning Score (NEWS) juga diasosiasikan ke discharge status untuk mengecek apakah sistem ini bisa dipakai di kasus neuroemergensi.
Hasil: Denyut nadi, laju respirasi, MAP, saturasi oksigen, temperature, dan skor GCS mempengaruhi status discharge pasien neuroemergensir yang juga mewakili prognosis pasien dengan nilai signifikansi masing-masing p<0,05.
Kesimpulan: Penilaian awal respiratory rate, heart rate, tekanan darah diastolik dan sistolik, temperatur, saturasi oksigen, dan skor GCS bisa digunakan untuk memprediksi prognosis pasien neuroemergensi.  Tanda vital yang lebih baik berarti prognosis yang lebih baik bagi pasien neuroemergensi. Nilai NEWS juga ditemukan memiliki asosiasi signifikan pada kasus neuroemergensi.

Background: One of the fields of medicine is emergency medicine. This medicine focuses on patients' management during emergency setting. One of the available emergency medicine is neuroemergeny, which is emergency treatment with neurological diseases as the main cause. In neuroemergency cases, early assessment is required to predict patient's prognosis and determine patient's treatment priority. However, existing systems often cannot be done due to lack of resources. This research will check the association of vital signs and neuroemergency patient prognosis. Vital signs measurement is used vital signs can be measured with limited resources. Also, this research will also check whether vital signs which have been used to date for emergency assessment is relevant for neuroemergency cases specifically.
Objective: To find easier alternatives to standardized parameters in determining prognosis in neuroemergency setting.
Method: Vital signs of patients such as heart rate, respiratory rate, GCS score, oxygen saturation, systolic and diastolic blood pressure in the form of mean arterial pressure (MAP), and temperature as independent variable were categorized as normal or abnormal. Then the result was associated with patient discharge status from the emergency unit in RSCM such as direct-discharged home, general ward, intensive care, deceased, or referred to other specialist(s) as a dependent variable. After that, National Early Warning Score (NEWS) score associated with discharge status was also checked to know whether this system could be used to assess neuroemergency cases.
Result: Heart rate, respiratory rate, MAP, oxygen saturation, GCS score, and temperature affect neuroemergency discharge status which represents patients prognosis with significance p<0.05.
Conclusion: Initial assessment of heart rate, respiratory rate, systolic blood pressure, diastolic blood pressure, body temperature, oxygen saturation, and GCS score can be used to predict patient's prognosis in neuroemergency cases. Better vital signs indicate better prognosis in neuroemergency cases. NEWS score is also associated well with discharge status."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maghffira Maura R. A. Dunda
"Epilepsi masih menjadi masalah neurologis pada anak, dengan pertambahan kasus sebesar 75%-80% setiap tahunnya di negara-negara berkembang. Sudah terdapat banyak pilihan Obat Anti Epilepsi (OAE) yang tersedia. Sayangnya, mencapai 30% pasien anak yang menjalani pengobatan tidak mencapai bebas kejang, dan berkembang menjadi epilepsi dengan kejang tidak terkontrol, atau disebut dengan epilepsi intraktabel. Perjalanan pengobatan sangat penting pada keadaan epilepsi anak usia di bawah tiga tahun, yang masih dalam masa perkembangan otak, namun belum banyak penelitian yang melihat evolusi faktor risiko dalam memprediksi kejadian epilepsi intraktabel. Penelitian ini melihat perubahan atau evolusi faktor risiko pasien epilepsi anak usia di bawah tiga tahun pada 3 lokasi penelitian di Jakarta, dengan melakukan studi kasus-kontrol.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengidentifikasi peran evolusi faktor risiko untuk memprediksi epilepsi intraktabel anak usia di bawah tiga tahun. Penelitian dilakukan secara retrospektif, menggunakan data sekunder, dengan melihat rekam medis pasien epilepsi anak usia di bawah tiga tahun yang diperoleh dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, RS Puri Cinere Depok, dan Klinik Anakku Pondok Pinang Center, Jakarta Selatan. Total subjek sebanyak 102 rekam medis pasien, dengan perbandingan kasus:kontrol yaitu 1:1. Hasil analisis pearson chi-square memperoleh 3 evolusi faktor risiko yang signifikan terhadap kejadian epilepsi intraktabel, yaitu: evolusi kelumpuhan motorik kasar (p<0,001; OR 7,86; IK95% 3,142-19,659); evolusi status neurologis (p<0,001; OR 9,84; IK95% 3,934-24,614); dan evolusi gelombang epileptiform EEG (p<0,001; OR 23,25; IK95% 7,657-70,599). Evolusi tipe kejang menunjukkan hasil tidak bermakna terhadap kejadian epilepsi intraktabel anak. Hasil analisis multivariat kemudian menunjukkan bahwa evolusi gelombang epileptiform EEG baik/buruk memiliki peran paling kuat dalam memprediksi kejadian epilepsi intraktabel (p<0,001; OR 0,075; IK95% 0,022-0,253). Evolusi gelombang epileptiform EEG buruk merupakan faktor prediktor epilepsi intraktabel anak usia di bawah tiga tahun yang paling berpengaruh.

Epilepsy is still a neurological problem among children, with an increase in cases of 75% -80% annually in developing countries. There are already many choices of Anti-Epileptic Drugs (AED) available. Unfortunately, up to 30% of pediatric patients who undergo treatment do not achieve seizure-free, and develop epilepsy with uncontrolled seizures, also known as intractable epilepsy. The course of treatment is very important in the epilepsy of children under three years of age, who are still in the process of brain development, but not many studies have looked at the evolution of risk factors in predicting the incidence of intractable epilepsy. This study looked at changes or evolution of risk factors for epilepsy patients under three years of age in 3 study locations in Jakarta, by conducting a case-control study. The objective of this research is to Identified the evolution of risk factors role in predicting intractable epilepsy in children under three years of age. The study was conducted retrospectively, using secondary data, by looking at the medical records of epilepsy children under three years of age obtained from RSUPN Cipto Mangunkusumo, Central Jakarta, Puri Cinere Hospital Depok, and Klinik Anakku Pondok Pinang Center, South Jakarta. The total subjects were 102 patient medical records, with a case: control ratio of 1: 1. The results of the Pearson chi-square analysis obtained three significant evolution of risk factors for the incidence of intractable epilepsy, namely: the evolution of gross motor paralysis (p<0.001; OR 7.86; 95% CI 3.142-19.659); evolution of neurological status (p<0.001; OR 9.84; CI95% 3,934-24.614); and EEG epileptiform wave evolution (p<0.001; OR 23.25; IK95% 7,657-70,599). The evolution of seizure types showed no significant effect on the incidence of intractable epilepsy in children. The results of multivariate analysis then showed that the evolution of epileptiform EEG waves good/bad had the strongest role in predicting the incidence of intractable epilepsy (p<0.001; OR 0.075; CI95% 0.022-0.253). The bad evolution of EEG epileptiform waves was the most influential predictor of intractable epilepsy among children under three years of age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>