Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fransisca Novi Handayaning
"Latar belakang: Program Keluarga Berencana (KB) merupakan metode dalam menekan angka pertumbuhan penduduk serta meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Indonesia sebagai salah satu negara dengan populasi terbesar masih memiliki angka penggunaan kontrasepsi yang rendah. Pengetahuan mengenai kontrasepsi merupakan salah satu faktor yang penting dalam menentukan penggunaan kontrasepsi.
Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan kontrasepsi dan unmet need pada wanita usia subur di Indonesia.
Metode: Penelitian analitik komparatif tidak berpasangan dengan metode potong lintang dilakukan pada data sekunder yang didapatkan dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 dan 2017. Subjek pada penelitian ini adalah semua wanita usia subur usia 15-49 tahun. Subjek dengan data tidak lengkap dieksklusi dari penelitian. Pengetahuan tentang kontrasepsi dinilai baik apabila subjek mengetahui minimal salah satu metode kontrasepsi modern. Unmet need didefinisikan sebagai wanita usia subur yang tidak menggunakan kontrasepsi tapi tidak menginginkan anak lagi atau ingin menjarangkan kehamilan. Dilakukan analisis chi-square pada data kategorik dan analisis Mann-Whitney U untuk data numerik. Penelitian ini telah disetujui oleh Komite Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo dengan nomor surat lolos kaji etik KET-1252/UN2.F1/ETIK/PPM.00.02/2020.
Hasil: Sebanyak 45.607 WUS pada data SDKI 2012 dan 29.627 WUS pada data SDKI 2017 diikutsertakan dalam penelitian. pada data SDKI 2012, faktor yang menjadi risiko kurangnya pengetahuan mengenai kontrasepsi adalah daerah tempat tinggal pedesaan (p = 0,004), pendidikan rendah (p < 0,0001), pendidikan suami rendah (p < 0,0001), tidak adanya kepemilikan listrik (p < 0,0001), dan ketidakmauan diskusi pubertas dengan anak perempuan (p = 0,001). Pada data SDKI 2017, faktor yang menjadi risiko kurangnya pengetahuan mengenai kontrasepsi adalah usia muda (p < 0,0001), daerah tempat tinggal pedesaan (p = 0,011), pendidikan rendah (p < 0,0001), pendidikan suami rendah (p < 0,0001), tidak memiliki pekerjaan (p < 0,0001), dan tidak memiliki radio, televisi, internet, handphone (p < 0,0001), dan internet (p = 0,002). Pada data SDKI 2012, faktor yang berpengaruh terhadap unmet need adalah usia (p = 0,023) dan paritas (p < 0,0001). Pada data SDKI 2017, faktor yang berpengaruh terhadap unmet need adalah daerah tempat tinggal (p = 0,003), pendidikan (p = 0,008), pendidikan suami (p < 0,0001), status pekerjaan (p = 0,03), kepemilikan listrik (p = 0,001), dan kepemilikan televisi (p = 0,01)
Kesimpulan: Faktor yang berpengaruh terhadap pengetahuan mengenai kontrasepsi adalah usia, daerah tempat tinggal, pendidikan, pendidikan suami, dan kepemilikan berbagai fasilitas. Faktor yang berpengaruh terhadap unmet need adalah usia, paritas, daerah tempat tinggal, pendidikan, pendidikan suami, status pekerjaan, kepemilikan televisi, dan kepemilikan listrik.

ackground: The Family Planning Program is a method of controlling in population growth rates and also improving maternal and child health. Indonesia as one of the largest countries has abysmally low contraceptive coverage. Knowledge about contraception is an important factor in determining the use of contraception. This study aims to determine the factors that influence contraception and the unmet need of women of childbearing age in Indonesia.
Method: An unpaired comparative analytic study with a cross-sectional method was conducted on secondary data obtained from 2012 and 2017 Indonesian Demographic and Health Surveys (IDHS). The subjects in this study were all women of childbearing age (15-49 years). Subjects with incomplete data were excluded from the study. Knowledge of contraception was defined as knowing at least one method of modern contraception. Unmet need was defined as childbearing age woman who did not use contraception but did not want any more children or wanted to space pregnancies. Chi-square analysis was performed on categorical data and Mann-Whitney U analysis on numerical data.
Result: A total of 45,607 childbearing age women in the 2012 IDHS data and 29,627 childbearing age women in the 2017 IDHS data were included in the study. In the 2012 IDHS data, the risk factors for poor knowledge about contraception were rural areas (p = 0.004), low education (p <0.0001), low partner education (p <0.0001), lack of electricity ownership ( p <0.0001), and unwillingness to discuss puberty with daughter (p = 0.001). In the 2017 IDHS data, the risk factors for poor knowledge about contraception were young age (p <0.0001), rural areas (p = 0.011), low education (p <0.0001), low partner education (p < 0.0001) , did not have a job (p <0.0001), did not have radio, television, internet, mobile phones (p <0.0001), and internet (p = 0.002). In the 2012 IDHS data, factors influencing unmet needs were age (p = 0.023) and parity (p <0.0001). In the 2017 IDHS data, factors influencing unmet needs were the area of residence (p = 0.003), education (p = 0.008), partner education (p <0.0001), employment status (p = 0.03), electricity ownership (p = 0.001), and television ownership (p = 0.01)
Conclusion: Factors affecting knowledge about contraception were age, area of residence, education, partner education, and ownership of various facilities. Factors that influence unmet needs are age, parity, area of residence, education, partner education, employment status, ownership of television, and ownership of electricity
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Carissa Putri Moegandi
"Latar belakang: Layanan kontrasepsi dalam program keluarga berencana merupakan bentuk pelayanan kesehatan reproduksi yang memiliki objektif dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI). AKI yang masih tinggi serta pemakaian kontrasepsi yang rendah di provinsi Papua menandakan taraf kesehatan reproduksi yang masih belum optimal. Meskipun demikian, pemilihan penggunaan kontrasepsi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Oleh karena itu, penelitian ini menganalisis mengenai hubungan faktor-faktor sosiodemografis serta penggunaan media massa dan internet dengan kejadian unmet need kontrasepsi di provinsi Papua.
Metode: Desain penelitian ini berupa studi potong lintang menggunakan data sekunder dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017. Subjek penelitian ini adalah wanita usia subur dalam rentang 15-49 tahun yang berdomisili di Papua serta memiliki data kuesioner yang lengkap. Unmet Need kontrasepsi didefinisikan sebagai perempuan yang fertil dan aktif secara seksual dengan keinginan untuk menunda atau mencegah kehamilan, tetapi tidak menggunakan kontrasepsi. Analisis data dilakukan dengan uji Chi-Square dikarenakan data bersifat kategorik serta dilanjutkan dengan analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Terdapat 458 total subjek yang digunakan dalam penelitian ini. Faktor yang memiliki hubungan dengan kejadian unmet need kontrasepsi di papua adalah tingkat pendidikan suami (p < 0.001), frekuensi membaca surat kabar/majalah (p = 0.017), frekuensi mendengar radio (p = 0.027), kepemilikan televisi (p = 0.005; OR = 0.443), frekuensi menonton televisi (p = 0.005), dan kepemilikan telepon seluler (p < 0.001; OR = 0.356).
Kesimpulan: Faktor yang berpengaruh dengan kejadian unmet need kontrasepsi di Papua adalah tingkat pendidikan suami, frekuensi membaca surat kabar/majalah, frekuensi mendengar radio, kepemilikan televisi, frekuensi menonton televisi, dan kepemilikan telepon seluler.

Introduction: Contraception in family planning program is one of the health care services delivered to lower the number of Maternal Mortality Rate (MMR). High MMR in Papua, Indonesia, reflected the need to optimize reproductive health care in the region. Despite that, the use of contraception itself is affected by numerous factors. This research aims to analyze sociodemographical factors and also the use of mass media and internet in affecting unmet need for contraception in Papua.
Method: This cross-sectional study used the secondary data obtained from 2017 Indonesia DHS (IDHS). Subjects in this study included all women of childbearing age (15-49 years old) in Papua with complete data from the survey. Unmet need for contraception was defined as fertile and sexually active women of childbearing age with the intention to postpone or limit their pregnancy without using any contraception method. Since all data were categorical, analysis were performed using Chi-Square test and logistic regression.

Result: A total of 458 subjects were included in this study. The factors that were found to affect unmet needs in Papua are husband’s educational level, (p < 0.001), frequency of reading newspaper/magazine (p = 0.017), frequency of listening to radio (p = 0.027), television ownership (p = 0.005; OR = 0.443), frequency of watching television (p = 0.005), and mobile phone ownership (p < 0.001; OR = 0.356).
Conclusion: Factors which were found to affect unmet need for contraception in Papua are husband’s educational level, frequency of reading newspaper/magazine, frequency of listening to radio, television ownership, frequency of watching television, and mobile phone ownership.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marsadhia Rafifa Amira Wiweko
"Latar belakang: Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sebesar 230 per 100.000 kelahiran hidup merupakan salah satu angka tertinggi di ASEAN dan masih jauh dari target yang telah ditetapkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Kontrasepsi merupakan komponen penting dalam upaya penurunan AKI karena merupakan pilar pertama dalam safe motherhood.  Saat ini angka unmet need kontrasepsi di Indonesia mencapai 10,6%, kondisi ini diperkirakan berkontribusi terhadap tingginya AKI. Bahkan, Jakarta sebagai pusat ibu kota masih menunjukkan angka unmet need yang cukup tinggi sebesar 15,60%. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kejadian unmet need kontrasepsi di DKI Jakarta. 
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional berdasarkan data sekunder dari hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017. Subyek pada penelitian ini adalah wanita usia subur (15-49 tahun) yang berdomisili di DKI Jakarta. Data yang tidak terisi lengkap dilakukan eksklusi pada subyek. Analisis data dilakukan secara bivariat dengan uji chi-square serta uji Fisher sebagai uji alternatifnya. Selanjutnya, analisis multivariat juga dilakukan dengan metode regresi logistik.
Hasil: Analisis dilakukan pada 1128 dari 1815 subyek yang berdomisili di Jakarta. Berdasarkan analisis bivariat, frekuensi menonton televisi merupakan faktor yang memberikan hasil yang bermakna pada kejadian unmet need kontrasepsi (p=0,019). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa subyek yang tidak pernah menonton televisi memiliki kecenderungan untuk mengalami unmet need kontrasepsi sebesar 1,926 (IK 95%; 1,163-3,187). 
Kesimpulan: Frekuensi menonton televisi merupakan faktor yang memengaruhi kejadian unmet need kontrasepsi di DKI Jakarta.

Introduction: Maternal mortality rate (MMR) in Indonesia counts as one of the highest in ASEAN region reaching 230 death occurs for every 100 00 live births and still behind from the target set in National Middle Term Development 2020-2024. Contraception is one of the most important components in safe motherhood pillars to reduce maternal mortality rate. Currently, unmet need for contraception in Indonesia reaches 10.6% and is estimated in contributing to the high maternal mortality rate. In fact, Jakarta as the capital of Indonesia still shows a high number in unmet need contraception about 15.60%. Therefore, this study aims to examine factors that influence the incidence of unmet need for contraception in Jakarta.
Method: This study uses a cross-sectional design based on secondary data from the 2017 Indonesian Demographic and Health Survey (IDHS). The subjects in this study were women of childbearing age (15 – 49 years) who live in DKI Jakarta. Incomplete data were excluded. Chi-square and Fisher's exact test were performed for bivariate analysis. Furthermore, multivariate analysis was also carried out using the logistic regression method.
Result: The analysis was carried out on 1128 out of 1815 subjects domiciled in Jakarta. Based on bivariate analysis, the frequency of watching television is a factor that gives significant results in the incidence of unmet need for contraception (p = 0.019). Result in multivariate analysis showed that subjects who never watched television had a tendency in unmet need for contraception by 1.926 (95% CI:1.163 – 3.187).
Conclusion: Frequency of watching television is a factor influencing the incidence of unmet need for contraception in DKI Jakarta.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wael Oemar Al Jaidy
"Latar belakang: Infertilitas merupakan gangguan dalam sistem reproduksi berupa tidak tercapainya kehamilan secara klinis setelah hubungan seksual dilakukan secara reguler selama minimal 12 bulan tanpa menggunakan kontrasepsi. Salah satu pilihan tatalaksana adalah fertilisasi in vitro. Dalam melakukan FIV, salah satu tahap yang menunjang keberhasilan adalah stimulasi ovarium terkendali dengan menggunakan gonadotropin seperti rekombinan FSH atau human menopausal gonadotropin.
Tujuan: Mengetahui hubungan stimulasi ovarium terkendali yang mendapatkan sediaan gonadotropin berupa rFSH dan hMG dengan luaran FIV berupa jumlah oosit, jumlah embrio, dan fertilization rate pada periode 2013– 2019
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang menggunakan data rekam medis yang menjalani program FIV di Klinik Melati Harapan Kita tahun 2013 – 2019. Data yang digunakan adalah data pasien yang menjalani program dengan protokol rFSH dan hMG dibandingkan dengan luaran jumlah oosit, fertilization rate, dan jumlah embrio.
Hasil: Dari 454 pasien yang memenuhi kriteria, 309 pasien menggunakan rFSH sebagai obat stimulasi ovarium dan 145 pasien menggunakan hMG sebagai obat stimulasi ovarium. Hasil uji non parametrik lebih tinggi pada kelompok pengguna rFSH dengan ketiga variabel yang diteliti ditemukan bermakana secara signifikan dengan hasil p < 0,05.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah oosit, fertilization rate, dan jumlah embrio pada kelompok rFSH dan hMG (P < 0,05) dengan rata-rata oosit, fertilization rate, dan jumlah embrio kelompok rFSH lebih besar daripada kelompok hMG

Background: Infertility is a reproductive disorder characterized by inability of a married couple to be clinically pregnant after regular sexual intercourse of 12 months duration without using any contraceptive method. One of the therapeutic options to solve the problem is in vitro fertilization. Controlled ovarian stimulation is one of the most important steps which determine the success of the procedure. Gonadotropin has been used as the drug which stimulates the ovary to produce egg. Recombinant FSH and human menopausal gonadotropin are extensively used as the drug of choice.
Aim: This research aimed to explore the relationship between gonadotropin which is used in the process of controlled ovarian stimulation, rFSH and hMG, and the in vitro fertilization outcome, which are oocyte number, embrio number, and fertilization rate during the period of 2013 – 2019.
Methods: This research was a cross sectional study. Data from medical record of patients who underwent the in vitro fertilization procedure at Melati Clinic, Harapan Kita Child and Mother Hospital were obtained. This research collected the oocyte number, embryo number, and fertilization rate of eligible patients who received rFSH or hMG stimulation.
Results: 454 patients were eligible for the research, further divided into 309 patients who received rFSH and 145 patients who received hMG. Non-parametric test revealed that patients who belong to the rFSH group had a statistically significant oocyte number, embryo number, and fertilization rate compared to hMG group with p < 0.05.
Conclusion: Significant difference of oocyte number, embryo number, and fertilization rate exists between rFSH and hMG group (p < 0.05) with the mean oocyte number, embryo number, and fertilization rate are consistently observed higher in the rFSH group compared to hMG group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Upik Anggraheni Priyambodo
"

Latar belakang: Suplementasi mikronutrien untuk wanita pada masa prakonsepsi, khususnya zinc dan kalsium, terbukti penting untuk maturasi oosit dan ovulasi. Namun, peran zinc dalam mempromosikan kualitas oosit dan potensi perkembangannya belum diketahui secara jelas. GDF9, anggota superfamili TGF b yang disekresikan dari oosit selama proses folikulogenesis, terbukti dapat menjadi biomarker maturasi nuklear oosit dan kualitas embrio. Tujuan: Studi potong lintang ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kadar zinc dan kalsium dalam serum dan cairan folikel dengan ekspresi GDF9 terhadap maturasi oosit. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah kadar zinc dan kalsium dalam serum dapat mewakili kadar zinc dan kalsium dalam cairan folikel. Metode: Studi ini dilakukan pada 25 subjek penelitian yang menjalani program fertilisasi in vitro di Poliklinik Yasmin RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana. Darah vena sebanyak 6 cc diambil pada hari ovum pick up (OPU) dan kemudian dianalisis di laboratorium untuk mengetahui kadar zinc, kalsium, dan protein GDF9. Cairan intrafolikuler dan sel granulosa juga akan diambil dan diperiksa kadar zinc dan kalsium dari cairan intrafolikuler serta ekspresi mRNA GDF9 dari sel granulosa. Hasil:  Dari 25 subjek penelitian, 12 subjek (48%) di antaranya dikategorikan ke dalam kelompok angka maturasi oosit baik (berdasarkan indikator oosit matur dari konsensus Vienna) serta 13 (52%) sisanya dikategorikan ke dalam kelompok angka maturasi oosit buruk. Dari uji korelasi antara kadar zinc dan kalsium dalam serum dengan cairan folikel, kadar zinc folikel terbukti berkorelasi secara signifikan dengan kadar zinc serum (p = 0,019). Kadar GDF9 serum juga terbukti berkorelasi secara signifikan dengan ekspresi GDF9 (p = 0,047). Tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara kadar zinc dan kalsium serum dengan kadar GDF9 serum serta ekspresi mRNA GDF9 dari sel granulosa terhadap angka maturasi oosit (p > 0,05). Kesimpulan: Kadar GDF9 serum dapat menjadi pengganti biomarker untuk kualitas oosit. Tidak didapatkan hubungan antara kadar zinc dan kalsium dalam serum atau cairan folikel terhadap kadar GDF9 serum atau ekspresi mRNA GDF9 dari sel granulosa terhadap angka maturasi oosit.


Background:  Micronutrient supplementation for women during preconception, especially zinc and calcium, is critical for oocyte maturation and ovulation. However, the role of Zinc in promoting quality of oocytes has not yet been elucidated. GDF9, one of oocyte sereting factor, has been proven to be a biomarker of maturation of nuclear oocyte and quality of embryo. Aim: to investigate any relationship between zinc and calcium levels in serum and follicular fluid and GDF9 expression towards maturation of oocytes. In addition, this study also aimed to determine whether zinc and calcium levels in serum could represent zinc and calcium levels in follicular fluid. Method: This cross-sectional study was conducted on 25 subjects who underwent IVF programs at the Yasmin Policlinic, RSCM Kencana. Six mililiters of venous blood was taken on the day of the ovum pick up (OPU) and then analyzed in the laboratory to determine the levels of zinc, calcium, and protein GDF9. In addition to venous blood, intrafollicular fluid and granulosa cells will also be taken and examined zinc and calcium levels from intrafollicular fluid and GDF9 mRNA expression from granulosa cells. Result: 12 (48%) out of 25 subjects were categorized into high oocyte maturation rate (based on Vienna consensus on oocyte maturation rate), and the other 13 (52%) were categorized into low oocyte maturation rate. Follicular zinc levels were significantly correlated with serum zinc levels (p = 0,019). Serum GDF9 levels were also significantly correlated with expressions of GDF9 mRNA (p = 0,047). No significant correlation was found between serum levels of zinc and calcium and serum GDF9 levels or GDF9 mRNA expression towards maturation of oocytes (p > 0,05). Conclusion: Serum GDF9 might substitute for follicular GDF9 as a biomarker of oocyte quality. There is no relationship between serum or follicular zinc/calcium levels and serum GDF9 levels or GDF9 mRNA expression from granulosa cells towards oocyte maturation rates.

 

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Addina
"Latar Belakang: Sejalan dengan kemajuan terapi agresif kanker, angka kesintasan hidup pasien kanker juga meningkat. Namun, peningkatan kesintasan hidup ini tidak berjalan paralel dengan peningkatan kualitas hidup, khususnya fungsi reproduksi. Sebanyak 68 survivor kanker usia reproduksi pasca kemoterapi atau radiasi menderita amenorrhea, pengurangan cadangan ovarium dan kegagalan ovarium dini. Namun, apakah fungsi reproduksi pasien kanker usia reproduksi sebelum mendapat terapi memang sudah menurun, masih terus diperdebatkan. Saat ini, salah satu untuk menilai fungsi reproduksi adalah dengan mengukur cadangan ovarium. Sedangkan, parameter terbaik untuk mengukur cadangan ovarium adalah dengan pengukuran kadar serum Anti Mullerian Hormone AMH . Selain mendapatkan prediksi cadangan ovarium, kadar AMH juga dapat digunakan untuk mengetahui usia biologis seseorang, dimana fungsi reproduksi lebih dipengaruhi oleh usia biologis. Tujuan: Mengetahui cadangan ovarium pasien kanker usia reproduksi sebelum mendapat terapi Metode: Penelitian potong lintang, dilakukan di tiga tempat, Poliklinik Ginekologi, Poliklinik Hematologi Onkologi - Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Cipto Mangunkusumo, dan Poliklinik Ginekologi dan Unit Rawat Inap RS Kanker Dharmais, pada bulan Juni 2015 hingga Desember 2017. Sebanyak 88 subyek penelitian, terdiri dari 44 pasien kanker usia reproduksi sebelum mendapat terapi dan 44 pasien non-kanker berhasil direkruit pada penelitian ini. Pada subyek penelitian dilakukan pengambilan serum darah dan kemudian diperiksakan kadar AMH-nya. Hasil: Dari 88 subyek penelitian yang berhasil dikumpulkan. Rerata usia pada kedua kelompok didapatkan sama, yaitu 28 tahun. Kadar AMH kelompok kanker sebelum mendapat terapi didapatkan lebih rendah dibanding kelompok non kanker, yaitu 1.11 0.08-4.65 ng/ml vs 3.99 1.19-8.7 ; p: Background:.

In line with advance cancer therapy, survival rate of cancer patients is also increase. Unfortunately, this condition doesn rsquo;t run parallel with increase quality of life, especially reproductive function. Sixty-six per cent cancer survivors in reproductive age suffered from amenorrhea, premature ovarian failure and decreased ovarian reserved, after cancer therapy. But, does ovarian reserve in cancer patient already decreased before treatment, still being debated. Nowadays, the best parameter to measure ovarian reserve is by measuring serum Anti Mullerian Hormone AMH . Therefore, we can also predict biological age, that is more crucial to assess reproductive function. Objective:To study whether AMH level in cancer patient in reproductive age is already decreased before cancer therapy.Method:This cross-sectional study was conducted in Gynecology Policlinic, Hematology-Oncology Policlinik Departement of Internal Medicine Cipto Mangunkusumo Hospital and Dharmais Hospital, from June 2015 to December 2017. We enrolled 88 subjects, consist of 44 cancer patients in reproductive age before cancer treatment and 44 non-cancer patients. Blood serum was collected and level of AMH was measured.Results:The median age in both groups were 28 years. AMH level in the cancer group patients before cancer treatment were found significantly lower than the non-cancer group, 1.11 0.08-4.65 ng / ml vs 3.99 1.19- 8.7 ; p: "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57608
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwiyanarsi Yusuf
"Latar Belakang: Insiden infetilitas semakin meningkat setiap tahunnya. Salah satu usaha untuk menangani infertilitas adalah dengan melakukan Fertilisasi In Vitro (FIV), namun angka keberhasilan FIV saat ini khususnya di Indonesia masih rendah. Salah satu penyebab rendahnya keberhasilan FIV adalah adanya aneuploidi, sehingga menurunkan kualitas dari embrio yang dihasilkan.
Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif untuk mengetahui hubungan antara berbagai faktor risiko dengan kejadian 3PN secara morfologi dan status kromosom. Data pasien yang mengikuti FIV di Klinik Yasmin RSCM diambil dari 1 Januari 2013 sampai 31 Desember 2016, kemudian sebanyak 33 blastokista diambil untuk dilakukan pengujian preimplantasi genetic testing for aneuploidi (PGT-A). Data kemudian dianalisis menggunakan SPSS.
Hasil: Dari 1644 pasien yang melakukan FIV di Klinik Yasmin selama 4 tahun, diperoleh sebanyak 827 pasien yang memenuhi kriteria inklusi, dengan total 741 (89,6%) pasien dengan morfologi 2PN dan 86 (10,4%) pasien dengan morfologi 3PN. Nilai tengah usia maternal berturut-turut untuk 2PN dan 3PN, 36 (26-46) dan 35 (21-48). Sebanyak 55 subjek penelitian dengan usia > 35 tahun dengan morfologi 3PN (laju fertilisasi 56,1%) dan 31 dengan usia < 35 tahun (laju fertilisasi 56,5%). Didapatkan hubungan bermakna antara usia maternal dengan kejadian morfologi 3PN (p<0,05), sedangkan pada faktor pria, riwayat keguguran, riwayat gagal FIV, indikasi wanita dan indikasi pria tidak didapatkan hubungan yang bermakna. Sebanyak 33 blastokista dengan morfologi 3PN dari 15 pasien diambil dan dilakukan pengujian dengan PGT-A menggunakan metode NGS. Didapatkan 11 (33,3%) blastokista dengan hasil euploid dan 22 (66,7%) dengan hasil aneuploidi (monosomi, trisomi, mozaik dan chaotic). Dilakukan anilisi data, didapatkan hubungan antara usia maternal dengan kejadian aneuploidi pada blastokista (p<0,05), namun untuk faktor yang lainnya tidak didapatkan hubungan bermakna.
Kesimpulan: Usia maternal menjadi faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian 3PN yang dilihat secara morfologi maupun dengan teknik PGT-A.

Background: The incidence of infertility is increasing every year. One effort to deal with infertility is by conducting In Vitro Fertilization (IVF). Somehow, the current success rate of IVF especially in Indonesia is still low. One of the causes of the low success of IVF is the presence of aneuploidy, which decreases the quality of the embryo produced.
Methods: Design of this study was a retrospective cohort to determine the relationship between various risk factors with the incidence of 3PN morphologically and chromosomal status. Data on patients who took IVF at the Yasmin Clinic in RSCM were taken from January 1st, 2013 to December 31st, 2016. A total of 33 blastocysts were taken for preimplantation genetic testing for aneuploidy (PGT-A) testing. Data was analyzed using SPSS.
Results: 1644 patients who conducted FIV at Yasmin Clinic for 4 years, 827 patients met the inclusion criteria, with a total of 741 (89.6%) patients with 2PN morphology and 86 (10.4%) patients with 3PN morphology. Median of maternal age for 2PN and 3PN, 36 (26-46) and 35 (21-48) respectively. As many as 55 subjects aged more than 35 years old with the morphology of 3PN (fertilization rate was 56.1%) and 31 with age under 35 years old (with fertilization rate was 56.5%). There was a significant relationship between maternal age and 3PN morphological events (p <0.05); whereas for male factors, history of miscarriage, history of failed IVF, female and male indications had no significant relationship found. 33 blastocysts with 3PN morphology from 15 patients were taken and tested with PGT-A using NGS method. There were 11 (33.3%) blastocysts with euploidy results and 22 (66.7%) with aneuploidy results (monosomy, trisomy, mosaic and chaotic). Data was analyzed, the relationship between maternal age and the incidence of aneuploidy in the blastocyst was found (p <0.05) but for other factors no significant relationship was found
Conclusion: The maternal age is a risk factor associated with the incidence of 3PN which is seen with morphology and with the PGT-A technique."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dwi Wicaksono
"Latar belakang: Operasi sesar merupakan salah satu tindakan yang paling sering
dilakukan dibidang obstetrik bahkan hingga dalam satu rumah sakit. Angka kejadian
infeksi daerah operasi sesar sangat bervariasi pada seluruh dunia berkisar pada 3-15%.
Proses terjadinya IDO merupakan suatu proses multifaktorial yang meliputi mulai dari
persiapan perioperatif, kondisi pasien, jenis operasi, jenis kuman dan lain-lain.
Tujuan: Mengetahui karakteristik pasien, pola kuman, dan faktor risiko kejadian
infeksi daerah operasi (IDO) di RSCM tahun 2016-2018.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode cohort
retrospective. Subyek penelitian ini merupakan pasien yang menjalani operasi sesar di
RSCM pada tahun 2016-2018 yang direkrut menggunakan metode consecutive
sampling. Dari data yang didapatkan dilakukan analisis bivariat dan multivariat untuk
menentukan faktor risiko terjadinya IDO pasca operasi sesar
Hasil: Didapatkan sebanyak 2.052 kasus yang memenuhi kriteria inklusi penelitian.
Sebanyak 85 kasus infeksi daerah operasi (IDO) didapatkan dari 2.052 tindakan yang
dilakukan (4,14%). Sebanyak 85 kelompok kasus IDO dan 1.967 kelompok kasus
kontrol diikutsertakan dalam analisis faktor risiko. Kuman paling sering didapatkan
pada kultur kasus infeksi daerah operasi pasca operasi sesar adalah Staphylococcus
aureus (16,5%), Klebsiella pneumoniae (12,9%), Escherischia coli (9,4%),
Enterococcus faecalis (9,4%), dan lainnya (21,2%). Variabel yang berpengaruh
terhadap kejadian IDO pasca secar adalah gawat janin (p=0,002 ;AOR = 2,265 IK95
% 1,350-3,801) dan IMT ≥30 kg/m2 (p=0,028; AOR 1,824 IK95% 1,066-3,121).
Kesimpulan: Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian IDO pasca SC adalah gawat
janin (p=0,002 ;AOR = 2,265 IK95 % 1,350-3,801) dan IMT ≥30 kg/m2 (p=0,028;
AOR 1,824 IK95% 1,066-3,121).

Background: Caesarean section is one of the most performed operations in the field
of obstetrics and even in hospital. The incidence of infections in cesarean section varies
greatly around the world at 3-15%. Surgical site infection is a multifactorial process
that starts from the perioperative preparation, the patient, the type of surgery, the type
of germ and other factors.
Objective: To determine the characteristics of patients, bacterial patterns, and risk
factors for the incidence of surgical site infection (SSI) in Cipto Mangunkusumo
National General Hospital in 2016-2018.
Method: This study was an observational study using a retrospective cohort method.
The subject of this study were patients undergoing cesarean section in Cipto
Mangunkusumo National General Hospital in 2016-2018 recruited using consecutive
sampling method. Based on the data obtained, bivariate and multivariate analysis were
conducted to determine the factors affecting after caesarean section SSI
Result: A total of 2.052 subjects were included in the study. There were 85 cases of
surgical site infection (SSI) out of 2.052 operations (4.14 %). A total of 85 SSI case
groups and 1.967 control groups were included in the risk factor analysis. Bacteria
most commonly found in surgical site infection culture were Staphylococcus aureus
(16,5%), Klebsiella pneumoniae (12,9%), Escherischia coli (9,4%), Enterococcus
faecalis (9,4%), and others (21,2%). Variable associated with SSI in this study is fetal
distress (p=0,002 ;AOR = 2,265 CI 95 % 1,350-3,801) and BMI ≥30 kg/m2 (p=0,028;
AOR 1,824 CI 95% 1,066-3,121).
Conclusion: Factors influencing the incidence of SSI after SC was fetal distress
(p=0,002 ;AOR = 2,265 CI 95 % 1,350-3,801) and BMI ≥30 kg/m2 (p=0,028; AOR
1,824 CI 95% 1,066-3,121)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59132
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agatha Pradana
"Latar belakang: Endometriosis merupakan kelainan medis yang menimbulkan beberapa komplikasi biologis, psikologis, dan sosial. Tingkat perawatan yang optimal untuk pasien endometriosis disebut sebagai perawatan yang berpusat pada pasien, namun sangat jarang. ENDOCARE adalah kuesioner yang dikembangkan secara sistematis yang menilai semua aspek perawatan endometriosis yang berpusat pada pasien. Kuesioner ini belum banyak digunakan oleh para klinisi di Indonesia. Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan terjemahan bahasa Indonesia dari kuesioner ENDOCARE. Metode: Dari Juli 2020 hingga Desember 2020, 108 pasien endometriosis dari klinik Dr. Cipto Mangunkusumo di Jakarta, Indonesia, berpartisipasi dalam studi cross-sectional ini. Pasien dengan masalah komunikasi dikeluarkan dari berpartisipasi dalam penelitian ini. Kuesioner ENDOCARE versi bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah dan ahli di bidang kebidanan dan ginekologi sosial, dan kemudian kembali ke bahasa Inggris. Pendekatan PLS-SEM digunakan untuk mengevaluasi validitas dan reliabilitas ENDOCARE versi Indonesia. Hasil: Sebanyak 108 individu berpartisipasi dalam penelitian. Pada 27 dari 38 indikator, nilai outer loading test lebih dari 0,708 7 dari 10 dimensi mencapai Cronbach's Alpha lebih besar dari 0,7 dan reliabilitas komposit antara 0,7 dan 0,95. Tujuh dimensi menunjukkan validitas konstruk dan determinan. Kuesioner ENDocare versi bahasa Indonesia berisi 21 pertanyaan yang mencakup tujuh topik berbeda. Kesimpulan: Kuesioner ENDOCARE versi bahasa Indonesia merupakan instrumen yang valid dan reliabel untuk menilai perawatan endometriosis yang berpusat pada pasien.

Background: Endometriosis is a medical disorder resulting in several biological, psychological, and social complications. The optimal level of care for endometriosis patients is referred to be patient-centered care, however it is extremely uncommon. The ENDOCARE is a systematically developed questionnaire that assesses all facets of patient-centered endometriosis care. This questionnaire has not yet been utilized by Clinicians in Indonesia. Purpose: The purpose of this study is to develop the Indonesian translation of the ENDOCARE questionnaire. Methods: From July 2020 to December 2020, 108 endometriosis patients from Dr. Cipto Mangunkusumo's clinic in Jakarta, Indonesia, participated in this cross-sectional study. Patients with communication problems were excluded from participating in the study. The English version of the ENDOCARE questionnaire was translated into Indonesian by sworn translators and experts in social obstetrics and gynecology, and then back into English. The PLS-SEM approach was utilized to evaluate the validity and reliability of the Indonesian version of ENDOCARE. Results: A total of 108 individuals participated in the research. On 27 of 38 indicators, outer loading test values were more than 0.708 7 of the 10 dimensions attained a Cronbach's Alpha greater than 0.7 and a composite reliability between 0.7 and 0.95. Seven dimensions demonstrated construct and determinant validity. The Indonesian version of the ENDocare questionnaire contains 21 questions covering seven different topics. Conclusion: The Indonesian version of the ENDOCARE questionnaire is a valid and reliable instrument for assessing patient-centered endometriosis care."
Jakarta: Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raymond Surya
"Latar belakang: Setiap tahun, lebih dari 135.000 orang di bawah usia 45 tahun didiagnosis kanker. Deteksi dan penatalaksanaan yang baik pada pasien kanker membuat angka harapan hidup meningkat. Kemajuan teknologi di bidang preservasi fungsi reproduksi menjawab permasalahan fungsi reproduksi pada pasien kanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil pengetahuan, sikap, dan perilaku dokter yang melayani pasien kanker mengenai preservasi fungsi reproduksi.
Metode: Studi deskriptif dengan metode potong lintang dilaksanakan di RSUD tipe D di Jakarta dan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sejak 1 November 2017 hingga 31 Agustus 2019. Penelitian ini melibatkan dokter yang melayani pasien kanker. Kami mengeksklusi jika kuesioner tidak lengkap atau tidak dikembalikan kepada peneliti. Penelitian ini dimulai dari translasi, validasi kuesioner, hingga pengambilan subjek penelitian. Data ditampilkan secara deskriptif. Penelitian ini sudah lolos kaji etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dengan nomor 926/UN2.F1/ETIK/2017.
Hasil: Sebagian besar dokter umum, spesialis, dan subspesialis yang berpartisipasi dalam penelitian ialah 26-30 tahun (65,4%), 31-35 tahun (70,4%), dan 31-40 tahun (53%). Dokter umum paling mengetahui fertilisasi in vitro dengan preservasi beku embrio (12,1%). Dokter spesialis paling mengetahui preservasi beku sperma (25,4%). Sementara itu, dokter subspesialis paling mengetahui fertilisasi in vitro dengan preservasi beku embrio, preservasi beku sperma, dan penanganan sebelum tatalaksana kanker (pre-treatment) dengan agonis GNRH (seperti suntikan depot leuprolide) dengan presentase 13%. Preservasi kesuburan sebagai prioritas penting pada pasien kanker yang baru didiagnosis paling banyak menunjukkan sikap positif dari dokter umum (72,0%), dokter spesialis (73,3%), dan dokter subspesialis (100%). Dokter umum paling banyak memiliki perilaku untuk merujuk pasien yang memiliki pertanyaan tentang kesuburan ke spesialis fertilitas (44,4%). Dokter spesialis (54,9%) maupun dokter subspesialis (67%) paling banyak menunjukkan perilaku untuk mediskusikan kemungkinan dampak kondisi pasien dan/ atau penanganan terhadap kesuburan mereka di masa mendatang.
Kesimpulan: Preservasi fungsi reproduksi yang paling diketahui dokter umum berbeda dengan dokter spesialis maupun subspesialis. Sikap positif baik pada dokter umum, spesialis, dan subspesialis sama. Perilaku pada dokter umum berbeda dengan dokter spesialis dan subspesialis.

Introduction: More than 135,000 people under 45 years old diagnosed cancer annually. Good detection and management of cancer patients increases the quality of life. Technology advancement in fertility preservation is the answer for cancer patients. This study aims to determine knowledge, attitude, and practice of practitioners providing health cancer patients about fertility preservation.
Methods: Descriptive study with cross-sectional study was conducted in type D government hospital and Dr. Cipto Mangunkusumo hospital in Jakarta between 1st November 2017 and 31st August 2019. This study involved practitioners providing cancer patients. We excluded whether incomplete questionnaire or not submitted to author. Data were described descriptively. It has been verified by ethical committee of Medical Faculty Universitas Indonesia under 926/UN2.F1/ETIK/2017.
Results: Most of general practitioners, specialists, and subspecialists participated in this study were 26-30 years old (65.4%), 31-35 years old (70.4%), and 31-40 years old (53%); respectively. General practitioners knew in vitro fertilization (IVF) with embryo cryopreservation (12.1%) at most. Specialists knew most widely sperm cryopreservation (24.5%). Meanwhile, subspecialists knew IVF with embryo cryopreservation, sperm cryopreservation, and cancer pre-pretreatment with GnRH agonist (such as leuprolide injection) with percentage of 13%. Positive attitude of fertility preservation as important priority on cancer patients was showed among general practitioners (72.0%), specialists (73.3%), and subspecialists (100%). General practitioners mostly referred patients to fertility specialist (44.4%). In the meantime, specialists (54.9%) and subspecialists (67%) discussed the possibility of patient condition and/ or treatment to fertility in future at most.
Conclusion: The knowledge of fertility preservation is different among general practitioners, specialists, and subspecialists. Positive attitudes among them were similar. Practice between general practitioners and specialists also subspecialists was different.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>