Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wangnerud, Lena
"Gender serves as a lens that makes visible important issues in the field of representation: Whom do elected politicians represent? What is at stake in the parliamentary process? What do we know about the interplay between parliaments and the everyday lives of citizens? It is widely understood that women's presence in government matters but we need to understand the conditions under which it matters more clearly. Using Sweden as a case study, a country where the number of women elected to the national parliament has steadily risen since the 1970s, Lena Wängnerud presents a novel approach on wh"
New York: Routledge, 2015
328.082 WAN p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Fatmawati
Depok: Badan Penerbit FHUI, 2017
328.598 FAT p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Lidya
"Keberadaan kader Golkar wanita di DPR berhubungan erat dengan pelaksanaan fungsi rekrutmen politik Golkar. Rekrutmen politik dimaksudkan sebagai proses pencalonan kader-kader untuk menduduki jabatan politik di DPR. Seorang kader wanita dapat menjadi anggota DPR bila ia mampu menempatkan namanya di urutan posisi "nomor jadi" dalam daftar calon tetap anggota DPR.
Penelitian ini mencoba untuk mengungkapkan rekrutmen politik anggota DPR Wanita Fraksi Karya Pembangunan (FKP) tahun 1992. Ada beberapa pertimbangan untuk membatasi masalah pada persoalan rekrutmen anggota DPR Wanita FKP. Pertama, jumlah anggota DPR wanita FKP selalu lebih banyak dari fraksi-fraksi lainnya. Kedua, sejak Golkar mengikuti pemilu (tahun 1971), kader wanita di FKP jumlahnya terus meningkat walaupun Golkar mengalami penurunan perolehan kursi DPR. Ketiga, Golkar memberikan perhatian serius pada masalah peningkatan peranan wanita di bidang politik yang tercantum dalam program umum Golkar sejak 1978 (hasil MUNAS II). Keempat, peningkatan jumlah kader-kader Golkar wanita di FKP pada pemilu 1992 tidak sebesar periode sebelumnya.
Dalam menghadapi pemilu 1992, Golkar melakukan beberapa perubahan. Kader-kader yang memperoleh nomor urut pertama sampai dengan nomor yang diperkirakan masuk sebagai anggota DPR kini langsung menjadi anggota DPR sehingga tidak lagi ditemui kader kader yang mengundurkan diri. Istilah Vote Getter yang selama ini dilekatkan pada kader-kader tertentu dan dipasang pada nomornomor awal di daftar caleg sekarang tidak lagi ditemukan karena semua kader yang masuk sebagai caleg tetap seluruhnya merupakan Vote Getter. Akibatnya, terjadi perubahan dalam mengisi keanggotaan MPR. Biasanya dari posisi nomor urut dapat diperkirakan kader-kader yang akan masuk sebagai anggota MPR, tetapi karena terjadi perubahan susunan nomor urut maka terdapat skala prioritas bagi kader yang akan duduk sebagai anggota MPR.
Walaupun Golkar telah mencoba meningkatkan jumlah kader wanita di FKP sebagaimana yang terjadi pada pemilu 1982 dan 1987, tetapi peningkatan itu tidak berlanjut pada pemilu berikutnya. Dalam keanggotaan DPR periode 1992-1997 prosentase pertambahan kader wanita di FKP mengalami penurunan sebesar 31,25 % dari periode sebelumnya. Pada 2 periode sebelumnya prosentase pertambahan anggota DPR wanita di FKP sebanyak 33,33% sementara pada pemilu 1992 hanya 2,08%. Rendahnya pertambahan kader wanita di FKP pada tahun 1992 tidak dapat dilepaskan dari rekrutmen politik Golkar.
Penelitian ini mencoba mengungkapkan bagaimana rekrutmen politik anggota DPR wanita FKP periode 1992-1997. Diasumsikan bahwa ada beberapa pertimbangan tertentu yang diambil Golkar dalam memberikan "nomor jadi" pada kader wanita di dalam daftar calon tetap anggota DPR pada pemilu 1992. Pertimbangan yang dianggap amat menentukan keberadaan kader wanita di DPR yaitu menyangkut kebijakan Golkar terhadap pencalonan kader wanita, pemenuhan kriteria yang ditetapkan Golkar terhadap calon anggota DPR wanita dan pertimbangan unsur primordial. Untuk menjawab permasalahan penelitian dikumpulkan 2 macam data yaitu data kepustakaan dan data lapangan. Data lapangan didapat melalui wawancara mendalam dengan para informan yang dianggap mengetahui persoalan rekrutmen kader wanita sebagai anggota DPR pada pemilu 1992 dengan menggunakan pedoman wawancara.
Hasil penelitian menunjukan bahwa rekrutmen kader Golkar wanita untuk dicalonkan sebagai anggota DPR tahun 1992-1997 dilandasi oleh suatu kebijakan yang mentargetkan jumlah kader wanita sebesar 15%, walaupun kenyataannya sejak pemilu 1987 jumlah mereka di DPR telah mencapai 16,05%. Akibatnya, laju pertambahan kader wanita pada pemilu 1992 menjadi tertahan bahkan dapat dikatakan dibatasi oleh kebijakan 15%. Pertambahan 2,08% kader wanita di FKP pada tahun 1992 tidak memiliki arti bila dibandingkan dengan pertambahan yang terjadi pada periode sebelumnya yaitu 33,33%. Rekrutmen anggota DPR wanita FKP tahun 1992 secara tidak langsung ditentukan juga oleh unsur kemampuan dan pengaruh yang ditetapkan Golkar. Walaupun unsur ini dapat berdiri sendiri-sendiri namun kader wanita yang akan menduduki kursi DPR dituntut memiliki perpaduan keduanya. Mereka merupakan kader-kader yang memiliki nilai lebih sehingga dianggap istimewa. Jumlahnya amat terbatas sehingga mereka sesungguhnya hanya mewakili sekelompok kecil kaum wanita Indonesia. Secara eksplisit memang tidak dinyatakan pentingnya pertimbangan unsur primordial dalam rekrutmen kader Golkar sebagai anggota DPR, tetapi dari hasil penelitian terungkap bahwa unsur agama dan suku/daerah ternyata sangat berperan dalam penempatan seorang kader wanita terutama yang berdomisili di Jakarta untuk masuk sebagai caleg di suatu daerah pemilihan tertentu. Ini disebabkan karena unsur suku/daerah atau agama yang melekat dalam diri seseorang dapat digunakan sebagai strategi untuk mempengaruhi masyarakat dan secara politis berdampak pada perolehan suara Golkar di daerah pemilihan tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T3929
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinar Safa Anggraeni
"Kemenangan perempuan atas seluruh kursi di Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) Tahun 2019 merupakan fenomena baru dalam
sejarah masyarakat Sumsel. Ini merupakan anomali di tengah budaya patriarki yang
masih melekat di Sumsel, perempuan bisa menguasai kursi DPD daerah Sumsel. Terlebih,
mereka semua merupakan wajah baru dan tidak memiliki pengalaman politik
sebelumnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui iklim politik perempuan di Sumsel,
dengan mencari tahu faktor apa yang mendukung kemenangan keempat anggota
perempuan DPD terpilih Sumsel tahun 2019. Penelitian ini menggunakan Teori Modal
Politik dari Piere Bordeu (1986) untuk mengetahui modal yang dimiliki kandidat DPD
RI terpilih daerah Sumsel. Selain itu, penelitian ini ingin mengungkap strategi pemasaran
politik keempat kandidat tersebut dengan Teori Pemasaran Politik Lees-Marshment
(2001). Penelitian ini menganalisa peningkatan peran gender dalam kehidupan sosial
politik di Sumatera Selatan. Penelitian ini menggunakan studi kasus untuk menjelaskan
kemenangan perempuan di DPD RI daerah Sumsel. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa hubungan meritrokasi atau keluarga dengan pejabat daerah dan partai politik
masih menjadi modal terbesar perempuan bisa memenangkan suara legislatif. Dalam hal
pemasaran politik, strategi Market Oriented Party (MOP) terbukti menghasilkan suara
terbanyak dalam kandidasi ini. Isu kesejahteraan perempuan, rumah tangga, kesehatan
dan anak menjadi narasi andalan yang mereka sampaikan saat berkampanye. Penelitian
ini juga menemukan bahwa faktor yang mempengaruhi meningkatnya jumlah
keterpilihan perempuan di kursi legislatif di Sumsel meliputi kebijakan kuota 30 persen
untuk perempuan, meningkatnya jumlah tenaga kerja perempuan dan jumlah perempuan
yang menempuh pendididikan tinggi, serta budaya yang semakin moderat. Sehingga,
faktor yang berkontribusi atas kemenangan perempuan di kursi DPD Sumsel adalah
modal politik yang kuat dengan pejabat daerah atau partai politik, menggunakan strategi
pemasaran politik yang tepat, serta adanya peningkatan peran gender dalam kehidupan
sosial politik dan berkembangnya budaya moderat.

The victory of women overall seats in the Regional Representative Council (DPD) of the
Province of South Sumatra (Sumsel) 2019 is a new phenomenon in the history. This is an
anomaly in the midst of the patriarchal culture that is still attached to South Sumatra,
women can dominate the DPD seats in the South Sumatra region. Moreover, they were
all new faces and had no previous political experience. The research aims to examine the
political climate in Sumsel during the 2019 general elections, in particular the elected of
the four female members of the DPD in Sumsel. This work uses the Political Capital
Theory from Piere Bordeu to see the strengths of the elected DPD candidates in the
Sumsel region. This study also reveals political marketing strategies that use Lees-
Marshment's political marketing theory. This study examines the increasing gender roles
in social and political life in Sumsel. This research uses a case study to explain the
women's victory over the DPD in the South Sumatran area. The results of this study
suggest that the relationship between meritrocracy or family with regional officials and
political parties is the biggest force for women who can win legislative. In terms of
political marketing, the Market Oriented Party (MOP) strategy proved to produce the
highest number of voters in this candidacy. This research also determine factors that also
affect the number of women elected to legislative seats in Sumsel are the 30 percent quota
policy for women, the number of women workers and adult females who get high
education, also an increasingly moderate culture. So, the factors that contributed to the
victory of women in DPD seats in the South of Sumatra were political capital of political
officials or political parties, using the correct political marketing strategy, increasing
gender roles in socio-political life and growing moderation of culture"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Ilmi Utami Irwan
"Riset ini berangkat dari fakta mendominasinya kekerabatan politik dalam representasi anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan di setiap periode, termasuk anggota perempuan. Representasi anggota perempuan terpilih pada Pemilu 2019 mencapai 30 persen, akan tetapi mayoritas merupakan keluarga penguasa ataupun pimpinan partai politik. Di tengah mendominasinya anggota parlemen dari lingkaran keluarga politik, terdapat dua anggota perempuan yang terpilih, meskipun tanpa dukungan kekerabatan politik dan baru pertama kali mengikuti pemilihan umum. Penelitian ini menganalisis dua anggota perempuan DPRD berlatarbelakang non-kekerabatan politik dalam memanfaatkan modal sosial dan politik yang mereka miliki untuk memenangkan Pemilu 2019. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan studi kasus. Penelitian ini menggunakan teori modal sosial dari Robert D. Putnam, mengenai analisis jaringan, norma dan kepercayaan terkait kepemilikan modal sosial. Temuan studi menunjukkan bahwa kandidat perempuan terpilih meskipun tanpa latar belakang kekerabatan politik memanfaatkan pendekatan silaturahmi kepada tokoh masyarakat, tokoh agama, dan memanfaatkan jaringan keluarga besar yang mampu mendorong keterpilihan mereka. Meskipun baru terlibat dalam pemilihan legislatif tetapi kedua kandidat mampu membangun koneksi dengan tokoh politik untuk memudahkan pencalonan. Kemampuan kandidat memanfaatkan identitas religius baik melalui kedekatan dengan kelompok sosial berlatar belakang agama Islam serta kendaraan partai politik turut berperan dalam keterpilihan. Selain penempatan nomor urut pada surat suara, modal ekonomi juga tidak memberi pengaruh signifikan dalam keterpilihan kedua kandidat tersebut.

This research has based on the fact in the domination of kinship politics in the member’s representation of of kinship politics in the member’s representation of Regional People‘s Representative Council (DPRD) of South Sulawesi Province in each period, including women members. The elected women member’s representation in the Pileg (Legislative Election) of 2019 reached 30 percent, however, the majority were the ruling family or leader of the political party. In the dominating of parliament members from the political family, there were two elected women members even without the support of kinship politics and the first time following the election. This research analyzed two women member's non-kinship-based politics of DPRD in utilizing their social and political capital to win the  Pemilu of 2019. The used research method is qualitative with the case study. This research uses Robert D. Putnam’s social capital theory about the analysis of networks, norms, and beliefs related to social capital possession. The study findings show that the elected women candidates even without political kinship background, utilized silaturahmi (hospitable relationship) approach to the community leaders, religious leaders, and utilizing big family networks that can encourage their electedness. Even just involved in the legislative election, but both candidates can build connections with political figures to ease the candidacy. The candidate’s ability to utilize religious identity through the proximity with Islam-based social community and political party motor has also a role in the electedness. Besides the placement of ballot number in ballot paper, economical capital has not also given significant effects on the electedness of both candidates."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Erlyska Octaviany
"Meningkatkan jumlah perempuan di panggung politik merupakan isu yang banyak diperdebatkan sepanjang masa Pemilu tahun 2004 ini terutama menjelang Pemilu 5 April 2004 yang lalu untuk memilih calon legislatif. Inti perdebatan terfokus pada masalah kemampuan perempuan dalam berpolitik dan tidak terpenuhinya kuota 30 %.
Partisipasi perempuan dalam dunia politik masih kurang terwakili. Hal ini disebabkan bukan karena kecilnya represcntasi kaum wanita tetapi karena lambatnya proses perubahan. Hal ini dikarenakan adanya pendapat bahwa keikutsertakan kaum perempuan di kancah dunia politik akan membahwa dampak buruk yaitu ketidakstabilan dalam keluarga sehingga kaum pria enggan untuk memberikan tempat bagi wanita di dunia politik
Sebagai penelitian kualitatif dengan perspektif kritis, dalam tesis ini digunakan metode analisis wacana dengan paradigma kritis. Yaitu, model wacana critical discourse analysis (CDA) dari Norman Fairclough. Teori ini menggabungkan tiga dimensi dalam communicative events, yaitu teks, praktik wacana (discourse practice) dan praktik sosial budaya (sociocultural practise). Selanjutnya analisis teks yang digunakan berdasar teori Pan dan Konsicki.
Hasilnya dari frame yang ditemukan bahwa Metro TV, stasiun televisi yang mengukuhkan diri sebagai Election Channel menonjolkan bahwa keterwakilan perempuan dalam politik perlu mendapatkan perhatian lebih. Sanyak caleg perempuan yang berkualitas dengan visi dan misi yang jelas harus terhadang dengan kendala-kendala yang disebabkan oleh budaya patriaki.
Penelitian ini juga memakai paradigma kritis. Dalam ilmu komunikasi dan kajian media, paradigma kritis sering dipakai dalam penelitian terutama dalam mengungkapkan bagaimana suatu teks muncul di masyarakat. Di dalam paradigma kritis terdapat cultural study, the critical theory. feminism, reception theory dan semiotic. Data ideologi sendiri merupakan kata yang penting dalam teori kritis. Definisi ideologi adalah sekelompok ide yang menjadi struktur dasar sebuah grup, sebuah sistim representasi bagaiman suatu grup atau individual melihat keadaan di sekelilingnya. Produksi teks yang diteliti mencerminkan bagaimana ideologi pengelola Metro TV yang berfungsi sebagai perpanjagnan tangan dari sekelompok pemegang kckuasaan. Maka isi media itu tentu tidak bertentangan dengan kepentingan mereka.

The main issue in 2004 election, especially in the upcoming of the last . July 5th, 2004 legislative candidate election was how to increase the number of women in politics. The debates were focused on the women's performance in politics and unfulfilled quota of 30%.
Women's participation in political world is still not well represented, not because of the small number of representation, but merely in view of the fact that changing the opinion that women's participation in politics will bring instability in their family's life. That is the reason why men are not eager to give place to women in political world.
As a qualitative research with crisis perspective, this thesis will use critical discourse analysis (CDA) from Norman Fairclough. This theory combines three dimensions in communicative events which are text, discourse practice and sociocultural practice. Next, the text analysis that will be use is based on Pan and Konsicki theory.
The result from the frame the has been discovered by Metro TV, TV station that proclaimed as the Election Channel, was women's representation in politics needs more attention, since many women candidates the have a quality vision and a clear mission stumbled by patriarchal culture.
This research was also using a critical paradigm, in communication science and media presenting is use to discover how a text emerge in society. Inside critical' paradigm there are cultural study, the critical theory, feminism, reception theory and semiotic. The word ideology it self is an important word in critical theory. Definition of ideology is a group of ideas that become a base of a group, a representing system or how a group or individual see their surrounding. The researched on the text production reflects on how Metro TV ideology functions as the helping hand from the people in power, so they would not go against their interest."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T 13909
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library