Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arina Nurul Ihsani
"Minimum dietary diversity (MDD) merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur densitas gizi mikro dari makanan anak berusia 6 – 23 bulan, yang dapat digunakan juga sebagai prediktor kegagalan indikator antropometri. Penelitian ini bertujuan menganalisis determinan yang berhubungan dengan ketidaktercapaian Minimum Dietary Diversity (MDD) pada anak usia 6 – 23 bulan di Indonesia. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah potong lintang (cross sectional) dengan jumlah sampel sebanyak 10.800 anak yang didapatkan dari total sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi dengan menggunakan data sekunder dari Riset Kesehatan Dasar 2018. Hasil analisis bivariat didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara usia anak (p < 0,0005), usia ibu (p = 0,01),tingkat pendidikan ibu (p < 0,0005), tingkat pendidikan ayah (p < 0,0005), frekuensi ANC (p < 0,0005), tempat persalinan (p < 0,0005), pelayanan PNC (p < 0,0005), tempat tinggal (p < 0,0005), dan pemantauan pertumbuhan anak (p < 0,0005) terhadap ketidaktercapaian MDD anak usia 6-23 bulan. Sementara hasil analisis multivariat diketahui bahwa faktor paling dominan dari ketidaktercapaian MDD yaitu usia anak dengan nilai p < 0,0005 (aOR = 2,762, 95% CI: 2,507 – 3,043). Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai evidence based dalam penyusunan kebijakan dan program gizi khususnya terkait dengan PMBA.
.....Minimum dietary diversity (MDD) is an indicator to measure the micronutrient density of children aged 6-23 months, which can also be used as a predictor of anthropometric failure. This study aims to analyze the determinants of not meeting the criteria of Minimum Dietary Diversity (MDD) in children aged 6 – 23 months in Indonesia. The design used in this study was cross sectional with a total sample of 10,800 children obtained from total sampling based on inclusion and exclusion criteria using secondary data from the Riskesdas 2018. The results of bivariate analysis showed a significant association between children's age (p < 0.0005), mother’s age (p = 0,01), mother's education level (p < 0.0005), father's education level (p < 0.0005), ANC frequency (p < 0.0005), place of delivery (p < 0.0005), PNC services (p < 0.0005), place of residence (p < 0.0005), and monitoring of children's growth (p < 0.0005) on MDD in children aged 6-23 months. Meanwhile, the results of the multivariate analysis showed that the most dominant factor in the achievement of MDD was the age of the child with p value < 0.0005 (aOR = 2.762, 95% CI: 2.507 – 3.043). The results of this study are expected to provide benefits as evidence based in the formulation of nutrition policies and programs, especially those related to IYCF."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriarni
"Di era globalisasi ini banyak terjadi masalah gizi ganda. Masalah ini terutama banyak terjadi di negara berkembang dan negara miskin. Masalah gizi ganda adalah munculnya masalah gizi lebih dengan gizi kurang juga masih menjadi masalah di negara tersebut. Masalah gizi lebih ini terjadi karena makanan murah yang dikonsumsi banyak mengandung tinggi gula, tinggi lemak, tinggi garam dan tinggi kalori yang dapat menyebabkan kegemukan terutama pada anak-anak. Kegemukan pada anak-anak akan menyebabkan menyebabkan timbulnya risiko penyakit degeneratif seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, dan lain-lain kelak jika mereka dewasa nanti.
Masa anak-anak merupakan masa yang penting untuk proses tumbuh kembangnya, untuk itu sangat diperlukan konsumsi makanan yang mengandung zatzat gizi yang diperlukan oleh tubuh anak-anak sesuai dengan kebutuhannya. Jika berlebihan akan menimbulkan dampak yang buruk bagi anak-anak. Konsumsi makanan pada anak-anak ditentukan dari apa yang mereka konsumsi sejak dini. Makanan yang pertama kali dikonsumsi oleh anak-anak adalah air susu ibu (ASI). ASI diketahui banyak mengandung gizi penting yang dibutuhkan oleh bayi, untuk itu pemerintah dan World Health Organization (WHO) merekomendasikan untuk memberikan ASI eksklusif selama enam bulan kehidupan pertama bayi. ASI juga diketahui memiliki efek protektif terhadap kegemukan pada anak. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji mengenai hubungan antara konsumsi ASI eksklusif dan faktor lainnya dengan kejadian kegemukan pada anak usia 6-23 bulan.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data sekunder Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Desain penelitian Riskesdas 2010 adalah cross sectional (potong lintang). Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis univariat, bivariat dan multivariat. Variabel dependen yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah status kegemukan pada anak usia 6-23 bulan berdasarkan IMT/U.
Dalam penelitian ini didapatkan hasil proporsi kegemukan pada anak usia 6-23 bulan adalah 22,6% dan proporsi ASI eksklusif sebesar 19,9%. Dari hasil uji chisquare diketahui tidak ada hubungan bermakna antara ASI eksklusif dengan kegemukan, sedangkan hubungan yang bermakna ditemukan pada variabel berat lahir, pekerjaan ibu dan pengeluaran keluarga. Faktor yang paling berhubungan dari semua variabel independen yang diteliti adalah berat lahir.

Globalization era has make a double burden on nutrition problem. This problems happened in the develeloped and poor country. Double burden on nutrition is a problem with overnutrition has come while the undernutrition still become a problem. Overnutrition arise because a children consume cheap food that contain of high sugar, high fat, high salt and high calory that can cause a degenerative diseases such as cardiovaskuler, diabetes mellitus when they grow up later.
Children period plays an important role for their development and growth, and for that they need the food that contain of nutrition that they need. If it more than they need, it will become a bad impact for the child. For babies, the first food that they consume is breastmilk. Breastmilk has been known as an important nutrition for the baby so that the World Health Organization has recommend to give breastmilk only for the first six months of their early life. Breastmilk has a protective effect for overweight on child. Based on that reason, the writer interested to analyze the association between breastfeeding and other factors with overweight on children ages 6-23 months in Indonesia 2010.
This research is a quantitative research using a secondary data from health research 2010 (Riskesdas 2010). Riskesdas 2010 design is a cross sectional. Data analysis are univariat, bivariat and multivariat. The dependent variable is an overweight status based on Basal Metabolism Index per Age (BMI/Age).
This research has found that overweight proportion is 22,6% while the breastfeeding proportion is 19,9%. Chi-Square test has found that there is no relationship between breastfeeding with overweight while the significant relationship has been found on birth weight, mother occupation and family expenses.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T29791
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Chita Yumina Karissima
"Dua tahun pertama kehidupan adalah adalah periode kritis yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak. Kekurangan gizi selama periode ini dapat menyebabkan perkembangan kognitif yang terhambat, pencapaian pendidikan yang rendah, dan menurunkan produktivitas ekonomi. WHO merekomendasikan bayi diberikan MPASI kaya zat besi untuk menutupi kesenjangan kenaikkan kebutuhan zat besi. Banyak faktor yang telah diyakini mempengaruhi pemberian MPASI, namun masih sangat sedikit penelitian yang mengeksploarasi faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian MPASI kaya zat besi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pemberian MPASI ASI kaya zat besi dan faktor determinannya yang berhubungan dengan pemberian MPASI kaya zat besi pada bayi usia 6-23 bulan di Indonesia tahun 2017. Desain penelitian yang digunakan ialah cross-sectional dengan besar sampel sebanyak 2400 ibu yang memiliki bayi berusia 6-23 bulan di Indonesia. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (random sampling) untuk memilih sampel yang diperlukan. Analisis data dilakukan menggunakan SPSS versi 25. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 73,7% bayi berusia 6–23 bulan menerima MPASI kaya zat besi. Tingkat pendidikan ibu [OR = 1,38; 95% CI: 1,035-1,831], akses media digital [OR = 1,44; 95% CI: 1,079-1,922], usia anak [OR = 1,76; 95% CI: 1,453-2,132], tingkat kesejahteraan keluarga [OR = 1,80; 95% CI: 1,409-2,310], dan postnatal care (PNC) [OR = 1,37; 95% CI: 1,117-1,679] berpengaruh signifikan terhadap pemberian MPASI kaya zat besi. Tingkat kesejahteraan keluarga merupakan prediktor terkuat dalam memberikan MPASI kaya zat besi. Kementerian Kesehatan terus mengoptimalkan program intervensi gizi, khususnya pemberian MPASI kaya zat besi. Kementerian Pertanian disarankan menggalakkan program Rumah Pangan Lestari untuk menjamin ketersediaan makanan kaya zat besi. Fasilitas pelayanan kesehatan disarankan memberikan pelayanan edukasi gizi dan membuat media informasi digital terkait praktik pemberian makan bayi dan anak yang mudah diakses, dipahami, dan menarik untuk dibaca oleh ibu. Ibu sebagai pengasuh utama bayi disarankan untuk meningkatkan pemahaman tentang MPASI kaya zat besi melalui media digital ataupun berkonsultasi dengan tenaga kesehatan

The first two years of life are critical periods that determine the growth and development of the child. Malnutrition during this period can lead to impairment of cognitive development, lower educational attainment, and decreased economic productivity. WHO recommends infants should be given iron-rich complementary foods to cover the gap in iron demand. Many factors have been believed to influence the practice of complementary feeding, but there are still very few studies that explore factors related to the practice of iron-rich complementary foods. The purpose of this study is to know the proportion of iron-rich complementary foods and its determinant factors related to the practice of iron-rich complementary foods in infants aged 6-23 months in Indonesia in 2017. The research design used is cross-sectional with a sample size of 2400 mothers who have infants aged 6-23 months in Indonesia. Sampling techniques are done with random sampling to select the necessary samples. Data analysis is performed using SPSS version 25. Based on the results of the study, as many as 73.7% of infants aged 6-23 months received iron-rich complementary foods. Maternal education [OR = 1,38;95% CI: 1,035-1,831], digital media access [OR = 1,44; 95% CI: 1,079-1,922] child age [OR = 1,76; 95% CI: 1,453-2,132], family welfare rate [OR = 1,80; 95% CI: 1,409-2,310], and postnatal care (PNC) [OR = 1,37; 95% CI: 1,117-1,679] significantly affect the administration of iron-rich complementary foods. The level of family welfare is the strongest predictor in providing iron-rich complementary foods. The Ministry of Health continues to optimize nutrition intervention programs, especially the provision of iron-rich complementary foods. The Ministry of Agriculture suggests promoting the Sustainable Food House program to ensure the availability of iron-rich foods. Health care facilities are recommended to provide nutrition education services and create digital information media related to infant and child feeding practices that are easily accessible, understood, and interesting to read by mothers. Mothers as the baby's primary caregivers are advised to improve their understanding of iron-rich complementary foods through digital media or consult with a health professional."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eunike Bunga Putriani
"ABSTRAK
Stunting atau pendek untuk anak seusianya, didefinisikan sebagai PB/U <-2 SD dari median standar pertumbuhan anak milik WHO. Stunting memiliki dampak jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor dominan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Kecamatan Babakan Madang tahun 2019. Penelitian ini merupakan analisis data sekunder Gizi dan Kesehatan Balita Babakan Madang dengan jumlah sampel 283 anak yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, serta memiliki data yang lengkap. Variabel dependen yang digunakan yaitu stunting, sementara variabel independennya adalah pendapatan keluarga, tingkat pendidikan ibu, usia ibu saat hamil, tinggi badan ibu, pemberian kolostrum, usia mulai pemberian MPASI, dan kerutinan kunjungan ke posyandu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi stunting pada anak usia 6-23 bulan mencapai 33,2 persen, yang termasuk dalam kategori tinggi menurut klasifikasi WHO pada tahun 1995. Hasil analisis bivariat dengan uji chi square menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kerutinan kunjungan ke posyandu dengan kejadian stunting. Hasil analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda menunjukkan bahwa kerutinan kunjungan ke posyandu merupakan faktor dominan kejadian stunting (OR= 2,102; 95% CI 1,268-3,486). Berdasarkan hasil penelitian, saran bagi posyandu, yaitu menetapkan waktu teratur untuk pelaksanaan posyandu, rutin memberikan penyuluhan terkait gizi dan kesehatan ibu hamil, bayi, dan balita, serta melakukan kunjungan rumah pada ibu atau pengasuh bayi dan balita yang tidak rutin ke posyandu. Saran bagi masyarakat, yaitu untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan posyandu. Kemudian, saran untuk peneliti lain, yaitu melakukan penelitian dengan cakupan yang lebih luas dan mendalam."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wa Ode Dwi Daningrat
"Stunting merupakan suatu bentuk kegagalan pertumbuhan linear yang disebabkan oleh buruknya nutrisi dan kesehatan. Stunting diukur dalam tinggi badan berdasarkan umur dengan -2 Z-score dibawah referens internasional. Stunting masih cukup serius di Indonesia dengan prevalens 37,2% pada tahun 2013. BBLR merupakan determinan penting terjadinya stunting pada anak yang mana BBLR merupakan gambaran buruknya status gizi ibu sebelum dan selama kehamilan. Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Indonesia setelah dikontrol dengan variabel potensial confounder lainnya. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional study dengan menggunakan data Riskesdas 2013. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah stunting, dan variabel independen utama adalah BBLR dengan ASI eksklusif, urutan kelahiran, imunisasi, jenis kelamin, konsumsi kapsul vitamin A, usia ibu saat melahirkan, status sosial ekonomi, jumlah anggota keluarga, status stunting saat lahir, panjang badan lahir dan kepemilikan KMS sebagai variabel potensial confounder. Hasil analisis menunjukan BBLR berhubungan secara signifikan dan independen dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 Bulan di Indonesia. Anak yang lahir BBLR memiliki peluang 1,5 (95% CI: 1,14 - 2,07) kali untuk stunting dibandingkan anak yang lahir dengan berat badan normal.

Stunting is a linier growth failure caused by inadequate nutrition and health. Stunting is defined as height for age with Z-score below -2 SD according to international reference. Stunting is still a serious health problem in Indonesia with a prevalence of 37,2% in 2013. LBW is an important determinant of stunting in children as LBW represents poor maternal nutritional status before and during pregnancy. The main objective of the study is to determine the relationship between LBW and stunting in children age 6-23 months in Indonesia after controlling by other potential confounding factors. This study is a cross-sectional study of Indonesia Basic Health Research data in 2013. Stunting is a dependent variable in this study, and LBW as the main independent variable with Exclusive Breastfeeding, Birth Order, Immunization, Gender, Vitamin A Supplementation, Mother's Age At Birth, Social Economy Status, Family Size, Stunting at Birth Status, Birth Length, and Growth Chart Ownership as potential confounding factors. The results of the analysis shows that LBW are independently and significantly correlated with stunting in children age 6-23 months in Indonesia. children born with LBW has an odds 1.5 (95% CI: 1.14 - 2.07) to be stunted compared to children with normal birth weight."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
T44226
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Madinar
"ABSTRAK
Stunting adalah kondisi terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak yang merupakan dampak dari asupan anak yang tidak adekuat secara kronik, riwayat penyakit infeksi berulang atau keduanya sebagai hasil dari pola asuh anak yang tidak optimal. Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan. Penelitian ini menggunakan data primer dengan total jumlah sampel 231 anak yang diambil dengan teknik multistage random sampling dari 13 posyandu pada 6 kelurahan dari 3 kecamatan terpilih di Jakarta Pusat tahun 2019. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengukuran panjang badan anak dan melakukan wawancara dengan responden yang dilakukan oleh enumerator yang telah terlatih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Jakarta Pusat pada anak usia 6-23 bulan adalah 26%, sedangkan proporsi MAD hanya 31,6% dari total anak. Hasil analisis bivariat dengan uji chi-square menemukan bahwa faktor-faktor yang berhubungan secara bermakna dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Jakarta Pusat adalah riwayat PBLR (OR=2,176; 95% CI 1,155-4,098) dan tingkat pendapatan keluarga (OR= 0,388; 95% CI 0,201-0,749). Hasil analisis multivariat dengan analisis regresi logistik ganda menemukan bahwa capaian MAD merupakan faktor dominan dari kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Jakarta Pusat tahun 2019 setelah dikontrol oleh variabel (capaian MDD, capaian MMF, riwayat PBLR dan tingkat pendapatan keluarga) (OR= 3,29; 95% CI 1,171-9,241). Berdasarkan hasil penelitian, saran untuk Pihak Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Pusat adalah perlu dilakukan intervensi rutin terkait PMBA, monitoring dan evaluasi program TTD pada bumil dan remaja putri untuk menurunkan prevalensi PBLR yang merupakan salah satu faktor risiko stunting di kehidupan selanjutnya, memperbanyak distribusi infantometer pada posyandu dan pelatihan kader terkait pengukuran panjang badan anak sesuai prosedur disertai pemantauan rutin status gizi PB/U anak 3-4 bulan sekali. Dikarenakan peran praktik pemberian makanan pada anak yang penting, kami menyarankan penelitian yang sejenis dengan skala yang lebih besar (jumlah sampel dan cakupan wilayah penelitian) untuk mencari tahu penyebab tidak tercapainya MAD.

ABSTRACT
Stunting is a condition of retardation growth and development of children as the result of chronis inadequate childrens intake, recurrent infectious disease or both as the results of non-optimal child care. This research used cross-sectional study to determine the factors related with stunting occurence among children aged 6-23. This research used primary data of 231 children taken with a multistage random sampling technique from 13 Posyandu on 6 administrative villages of 3 sub-districts of Central Jakarta region in 2019. Data collection was done by measuring childrens length and interviews with respondents conducted by trained data collector. The results showed that the prevalence of stunting was 26%, while the MAD was only reached by 31,6% of children. The Chi-Square analysis refealed that short birth length (OR=2,176; 95% CI 1,155-4,098) and family income level have a significant association with stunting (OR= 0,388; 95% CI 0,201-0,749). Binomial regression shows that fulfillment of minimum acceptable diet as the dominant factor of stunting occurence among children aged 6-23 months in Central Jakarta region in 2019 after controlled by other variables (fulfillment of minimum dietary diversity, fulfillment of minimum meal frequency, short birth length and family income level) (OR= 3,29; 95% CI 1,171-9,241). Based on this research, the recommendations for Suku Dinas Kesehatan in Central Jakarta are to conduct a routine intervention on child feeding, monitor and evaluate TTD program in pregnants and girl adolescents to reduce the short birth length prevalence which is also a risk factor for stunting in later age, increase infantometer distribution to Posyandu, plan a training for kader Posyandu about measuring childrens lenght according to the procedure and monitor nutritional status of children regularly (once every 3-4 months). Because the role of complementary feeding is important, we recommend that to further conduct similar research on a larger scale (both in number of samples and research location) to find the reasons for unfilfulled MAD."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vahira Waladhiyaputri
"Latar belakang: Dampak malnutrisi seperti stunting, wasting, dan underweight pada 1000 hari pertama kehidupan irreversible, namun dapat dicegah dengan makanan pendamping ASI yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ketercapaian minimum dietary diversity (MDD) dengan status gizi anak usia 6-23 bulan di Jakarta Timur pada pandemi COVID-19 tahun 2020. Metode: Studi cross-sectional ini menggunakan data sekunder penelitian di Jakarta Timur, dengan jumlah sampel 102 subjek berusia 6-23 bulan. Data terkait MDD diperoleh melalui food recall 24 jam yang kemudian dimasukkan ke dalam kuesioner MDD. Data terkait usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan ibu, dan pendapatan rumah tangga juga dianalisis dalam penelitian ini. Analisis data dilakukan melalui uji chi square dan regresi logistik menggunakan aplikasi SPSS Statistics versi 25. Hasil: Mayoritas subjek penelitian berusia 12-17 bulan (39,2%) dengan proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Sebanyak 52% subjek mencapai MDD pada asupan hari sebelumnya. Stunting merupakan status gizi terbanyak (20,6%) dibandingkan dengan wasting (15,7%) dan underweight (12,7%). Tidak ditemukan hubungan signifikan antara ketercapaian MDD dan status gizi subjek, tetapi jenis kelamin dianggap berhubungan dengan stunting (p=0,003; 95% CI=1,81-19,03) dan underweight (p=0,012; 95% CI =1,54-36,73). Kesimpulan: Dalam menganalisis hubungan kualitas asupan dengan status gizi, aspek lain seperti jumlah asupan juga perlu diperhatikan.

the 1000 first days of life are irreversible, but could be prevented by giving high quality complementary feeding practice. This study aims to examine the relationship between achievement of minimum dietary diversity (MDD) with nutritional status among children aged 6-23 months in East Jakarta during the 2020 COVID-19 pandemic. Method: This cross-sectional study used secondary data from a research in Kampung Melayu Village, East Jakarta, with a total sampling of 102 subjects aged 6-23 months. Data related to MDD was obtained through a 24-hour food recall, which was then entered into the MDD achievement questionnaire. Data related to age, gender, mother's education level, and household income were also analyzed in this study. Data analysis was carried out through the chi square test and logistic regression using SPSS Statistics application version 25. Result: Majority of subjects in the study were 12-17 months (39.2%) and with an equal proportion between male and female. A total of 52% of subjects achieved MDD on the previous day's food intake. Stunting is the most prevalent nutritional status (20.6%) compared to wasting (15.7%) and underweight (12.7%). No significant relationship was found between the achievement of MDD and the nutritional status of the subjects, but gender was considered to be related to stunting (p=0.003; 95% CI=1.81-19.03) and underweight (p=0.012; 95% CI=1.54-36.73). Conclusion: In analyzing the relationship between the quality of intake and nutritional status, other aspects such as the amount of intake also need to be taken into account."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yedida Ayuningtyas
"Stunting merupakan masalah pertumbuhan dan perkembangan pada anak yang disebabkan oleh kekurangan gizi, infeksi berulang, dan kurangnya rangsangan psikososial. Stunting memiliki konsekuensi negatif baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, termasuk peningkatan kejadian penyakit, gangguan perkembangan dan keterampilan belajar yang buruk, peningkatan risiko terkena penyakit tidak menular, penurunan kemampuan kerja, serta dampak antargenerasi. Kejadian stunting dikaitkan dengan berbagai faktor, di antaranya asupan tidak adekuat, penyakit infeksi, kerawanan pangan, pola asuh yang kurang tepat, serta kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 melaporkan bahwa Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan provinsi kelima dengan prevalensi stunting tertinggi di Indonesia dan termasuk dalam masalah kesehatan masyarakat kategori sangat tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting serta faktor dominan kejadian stunting pada anak usia 6—23 bulan di Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian ini dilakukan dengan desain cross-sectional menggunakan data sekunder SSGI tahun 2021. Terdapat 600 subyek baduta yang dilibatkan dalam penelitian ini. Data dianalisis menggunakan uji kai kuadrat pada analisis bivariat dan uji regresi logistik ganda pada analisis multivariat. Hasil penelitian menunjukkan terdapat empat variabel yang secara signifikan berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6—23 bulan, yaitu usia anak, jenis kelamin, partisipasi ibu dalam kelas ibu hamil, dan berat badan lahir. Anak dengan riwayat berat badan lahir rendah diketahui sebagai faktor dominan kejadian stunting pada anak usia 6—23 bulan dengan p-value 0,001 dan OR 3,560 (CI 95%: 1,777-7,132). Saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian untuk masyarakat melakukan pencegahan dini kejadian stunting dengan memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan, memerhatikan kecukupan gizi sejak dini, menerapkan pola asuh yang sesuai, dan menggunakan akses sanitasi yang layak. Selain itu, instansi kesehatan diharapkan dapat mengoptimalkan dukungan kepada masyarakat melalui Komuikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) Gizi yang berkaitan dengan stunting. Program-program pencegahan stunting yang sudah ada perlu dioptimalkan oleh instansi kesehatan guna memberikan manfaat yang maksimal dalam mencegah stunting di masyarakat.

Stunting is a growth and development problem in children caused by malnutrition, reccurent infections, and lack of psychosocial stimulation. Stunting has negative consequences in both the short and long term, including increased incidence of disease, impaired development and poor learning skills, increased risk of non-communicable diseases, decreased ability to work, and intergenerational impacts. The incidence of stunting is associated with various factors, including inadequate intake, infectious diseases, food insecurity, inadequate caregiving practices, and inadequate environmental health and health services. According to the 2021 Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) report, it is known that Southeast Sulawesi Province is the fifth province with the highest prevalence of stunting in Indonesia and is classified under the category of very high public health problem. This study aims to analyze the factors associated with stunting incidence and identify the dominant factors among children aged 6-23 months in Southeast Sulawesi Province. This research was conducted using a cross-sectional design using secondary data from the 2021 SSGI. A total of 600 children aged 6-23 months subjects were involved in this study. Data were analyzed using chi-square test in bivariate analysis and multiple logistic regression in multivariate analysis. The results of the study show that there are four variables significantly associated with the occurrence of stunting in children aged 6-23 months, namely child age, gender, maternal participation in maternity classes, and low birth weight. Children with a history of low birth weight were identified as the dominant factor in the occurrence of stunting in children aged 6-23 months, with a p-value of 0,001 and an odds ratio (OR) of 3,560 (95% CI: 1,777-7,132). Based on the research, suggestions for the community to prevent stunting include utilizing healthcare facilities for early prevention, paying attention to early nutritional adequacy, implementing appropriate parenting practices, and using proper sanitation facilities. In addition, healthcare institutions are expected to optimize support to the community through Nutrition Communication, Information, and Education (KIE Gizi) related to stunting. Existing stunting prevention programs need to be optimized by healthcare institutions to provide maximum benefits in preventing stunting in the community."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Unversitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Firna
"Stunting adalah kondisi gagal tumbuh baik secara fisik maupun kognitif karena kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang. Anak stunting tidak akan mencapai pertumbuhan tinggi badan dan perkembangan kognitif optimal. Stunting di Provinsi Sulawesi Barat (33,8%) menempati urutan kedua tertinggi setelah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko stunting pada anak usia 6-23 bulan di Provinsi Sulawesi Barat. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan 552 sampel yang diperoleh dari total sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Data yang digunakan adalah data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Tahun 2021. Variabel independen meliputi faktor anak, faktor orang tua, dan faktor lingkungan. Analisis bivariat menggunakan uji kai kuadrat dan multivariat menggunakan regresi logistik ganda model determinan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi stunting pada anak usia 6-23 bulan sebesar 31,9%. Analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian stunting adalah usia anak (OR=1,802), berat badan lahir (OR=3,08), dan panjang badan lahir (OR=2,283). Analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor dominan yang berhubungan dengan kejadian stunting adalah berat badan lahir. Anak yang memiliki riwayat BBLR berisiko 2,6 kali lebih tinggi untuk mengalami stunting dibandingkan dengan yang tidak memiliki riwayat BBLR setelah dikontrol variabel usia anak, panjang badan lahir, dan status menyusui.

Stunting is a condition of failure to thrive both physically and cognitively due to chronic malnutrition and repeated infections. Children with stunting will not achieve optimal height growth and cognitive development. Stunting in West Sulawesi (33,8%) is the second highest after East Nusa Tenggara Province. This study aims to analyze the risk factors of stunting in children aged 6-23 months in West Sulawesi Province. The research design used was cross sectional with 552 samples obtained from total sampling based on inclusion and exclusion criteria. The data used is Indonesian Nutrition Status Survey 2021. The independent variables included child factors, parental factors, and environmental factors. Bivariate analysis used chi-squared test and multivariate used multiple logistic regression as the determinant model. The results showed that the proportion of stunting in children 6-23 months was 31,9%. Bivariate analysis showed that the variables associated with the incidence of stunting were child’s age (OR=1,802), birth weight (OR=3,08), and birth length (OR=2,283). Multivariate analysis showed that the dominant factor associated with stunting was birth weight. Children with a history of LBW are at risk of stunting 2.6 times higher than those without a history of LBW after being controlled by child’s age, birth length, and breastfeeding status.="
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Veronica Zahra Lydia Cross
"ASI eksklusif terbukti menjadi makanan terbaik yang dapat diberikan ibu kepada anaknya selama 6 bulan pertama. Rendahnya cakupan ASI eksklusif di Indonesia perlu menjadi perhatian mengingat tingginya risiko kesehatan yang dapat mengancam pertumbuhan, kesehatan, hingga menyebabkan kematian bayi jika tidak ASI eksklusif. Berbagai faktor ditemukan menjadi penentu dalam praktik pemberian ASI eksklusif. Penelitian ini dilakukan untuk melihat faktor dominan yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan pada anak usia 6-23 bulan di Indonesia. Desain yang digunakan adalah cross-sectional dengan menggunakan data sekunder IFLS-5 tahun 2014-2015 yang memiliki sampel anak usia 6-23 bulan sebanyak 1550 orang. Data dianalisis menggunakan uji chi square dan uji regresi logistik ganda. Hasil analisis menunjukkan prevalensi pemberian ASI eksklusif hingga usia minimal 5 bulan adalah sebesar 24,9%. Analisis bivariat menemukan beberapa faktor yang berhubungan signifikan dengan pemberian ASI eksklusif, yaitu usia ibu, pendidikan ibu, berat badan lahir, tempat persalinan, penolong persalinan, dan kunjungan ANC. Faktor status pekerjaan, status perkawinan, paritas, pengetahuan terkait ASI eksklusif, jenis kelamin, wilayah tempat tinggal, dan kunjungan PNC ditemukan tidak berhubungan signifikan dengan pemberian ASI eksklusif dalam penelitian ini. Hasil analisis multivariat menemukan usia ibu sebagai faktor dominan pemberian ASI eksklusif pada ibu dengan anak usia 6-23 bulan di Indonesia dengan OR 2,13. Penelitian ini menunjukkan bahwa optimalisasi praktik menyusui pada usia reproduktif dapat meningkatkan keberhasilan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan hingga 2,1 kali lebih tinggi.

Exclusive breastfeeding (EBF) is proven to be the best food a mother can give to her child during the first 6 months. The low prevalence of EBF in Indonesia needs to be a concern given the many health risk of not breastfeeding exclusively, such as delayed growth, threatened health, and infant mortality. Various factors were found to be determinants in the practice of exclusive breastfeeding. This study was conducted to identify the dominant factor associated with 6-month EBF among children aged 6-23 months in Indonesia. The design used in this study is cross-sectional using IFLS-5 2014-2015 as a secondary data with a sample of 1550 children aged 6-23 months. Data were analyzed using chi square test dan multiple logistic regression test. The result found the prevalence of 5-month EBF was 24,9%. Bivariate analysis found several factors that were significantly related to EBF, which are maternal age, maternal education, birth weight, place of delivery, birth attendant, and ANC visits. The factors of employment status, marital status, parity, knowledge related to EBF, gender, area of residence, and PNC visits were not found to be significantly related to EBF practice in this study. The result of multivariate analysis showed maternal age as the dominant factor of EBF practice in mothers with children aged 6-23 months in Indonesia with an OR of 2,13. This study shows that optimizing breastfeeding practices at reproductive age can increase the success of 6-month EBF up to 2,1 times."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>