Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Prajna Wisakha
"Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai peranan yang sangat penting dalam kelangsungan perekonomian. Ditinjau dari jenisnya, bank di Indonesia terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank dalam menjalankan usahanya, tidak lepas dari ancaman terjadinya tindak pidana pencucian uang (money laundering), termasuk juga BPR yang merupakan lembaga keuangan mikro. Tujuan dari pencucian uang adalah agar uang yang diperoleh secara ilegal dapat berubah statusnya seolah-olah menjadi uang yang legal sehingga uang hasil tindak kejahatan tersebut akan sulit dilacak keberadaannya oleh aparat penegak hukum. Sejalan dengan kompleksitas kegiatan pencucian uang, Indonesia telah mendirikan sebuah lembaga khusus yang independen yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang menangani masalah pencucian uang dan berfungsi mengumpulkan, menganalisis dan mengevaluasi informasi yang diperolehnya. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 5/23/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principle) bagi Bank Perkreditan Rakyat. Terkait masalah pencucian uang, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undangundang Nomor 15 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-undang Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Namun dalam mengimplementasikan UU TPPU ini, BPR masih menemui berbagai masalah, baik secara intern maupun ektern, yang berarti akan menghambat penerapan undang-undang tersebut sekaligus menghambat kesehatan dan perkembangan BPR itu sendiri. Dengan latar belakang tersebut, maka timbul permasalahan yaitu bagaimana implementasi UU TPPU oleh BPR, dan kendala yang dihadapi berkenaan dengan hal tersebut beserta cara penanggulangannya. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan bersumber pada data sekunder dan data primer berupa wawancara dengan narasumber, baik dengan menganalisis bahan hukum primer yang berupa undang-undang dan peraturan pendukung lainnya, serta bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku, dan dilengkapi dengan hasil wawancara dengan Direktur BPR ?ABC? dan Deputi Direktur Bidang Pengawasan BPR pada Bank Indonesia.

Bank is one of the financial institutions that have very important role in the survival of economy. Viewed from the type, the Indonesian bank consists of 2 (two) types of commercial bank and rural bank. Bank in the operations, not free from the threat of money laundering, including rural bank, which is micro-finance institutions. The purpose of money laundering is that the money was obtained illegally can change its status as if the money is legal so that the proceeds of crime will be difficult to trace its existence by law enforcement officers. In line with the complexity of money laundering activities, Indonesia has established a special independent agency of the Central Financial Transaction Reports and Analysis (INTRAC), which handles the problem of money laundering and serves to collect, analyze and evaluate information that is available. In this regard, Bank of Indonesia has issued Bank Indonesia Regulation (PBI) No. 5/23/PBI/2003 on the Implementation of Know Your Customer Principle for rural bank. Related to the problems of money laundering, the Indonesian government has issued Act No. 15 of 2002 as amended by Act No. 25 of 2003 concerning of Money Laundering. However, in implementing the Money Laundering Act, the rural bank is still encountering many problems, both internal and external, which means it will hamper the implementation of the laws as well as inhibit the health and development of rural bank itself. With this background, cause the problems: how to implement Money Laundering Act by rural bank, obstacles encountered to these things and how to overcome with it. The research method used in this thesis is a normative juridical approach by using secondary data and interviews, either by analyzing the primary legal materials in the form of law and regulations of other supports, as well as secondary legal materials in the form of books and equipped with the results of interviews with Director of rural bank ?ABC? and Deputy Director Directorate of Credit, Rural Bank and MSME at the Bank of Indonesia. Data collection tool used herein is in the form of document study with qualitative data analysis as the analysis method."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
T27400
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Kurniawan
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang rahasia bank yang diatur pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang kemudian telah diubah ke dalam Undang-Undang No. 10/1998 Tentang Perbankan yang mengartikan rahasia bank sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya, namun UU Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) menyatakan bahwa pihak bank harus melaporkan kepada PPATK apabila terjadi transaksi yang mencurigakan terhadap nasabahnya, hal ini untuk mengatasi tindak pidana pencucian uang (money laundering). Karena ada undang-undang lain yang mengatur mengenai kerahasian bank diluar UU Perbankan itu sendiri maka timbulah pokok permasalahan mengenai sinkronisasi UU Perbankan dengan UU TPPU dan seberapa jauh perlindungan nasabah bank tetap teijaga.
Berdasarkan pokok permasalahan tersebut diatas maka penulis melakukan analisis kedua undang-undang tersebut diatas dengan metode pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum dengan menggunakan data sekunder yang ada yakni membandingkan, mempelajari dan mengkaji azas-azas hukum khususnya kaidah hukum positif yang diambil dari bahan-bahan perpustakaan yang ada dalam peraturan perudang-undangan serta ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan terhadap sinkronisasi antara UU Perbankan dengan UU TPPU.
Setelah melakukan studi pustaka tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa rahasia bank hanya berlaku bagi Nasabah Penyimpan dan simpananya serta pengecualiannya terutama yang berkaitan dengan kepentingan umum/negara serta kepentingan bank dalam hal penyelesaian masalah apabila terjadi sengketa antara bank dengan nasabahnya tetapi belum termasuk pihak PPATK. Penulis berpendapat bahwa UU Perbankan perlu dilakukan revisi agar sinkron dengan undang-undang atau peraturan lainnya terutama UU TPPU.

ABSTRACT
The Thesis is regarding the banking secrecy as stipulated in Law No.7 Year 1992 on Banking which was further amended to become Law No.10/1998 on Banking interpreted banking secrecy as all things relating to the information about Creditor and their Saving or Deposits. With regard to banking secrecy, the nonsynchronization between Banking Law and Anti Money Laundering Law (UU TPPU) is existing because of Banking Law requires the bank to maintain the secrecy o f its customer, while Anti Money Laundering Law (UU TPPU) requires that the bank shall make report to PPATK when there is a suspicious transaction. Since there are other law regarding to the banking secrecy other than the Banking Law, then, there are issues of synchronization of the banking law and Anti Money Laundering Law, and how far the customer information secret will be kept.
Based on the above matters, the writer performed an analysis of the both laws by using nominative juridical, which including law research and using secondary available data by comparing, studying and examining the law principal, majoring in positive laws axiom that could be taken from literature of the law and other regulations that had relations to the synchronization of the Banking Laws and Anti Money Laundering Law.
After the literacy study, the writer has concluded that the bank secrecy is only applied for customer who have deposits and its respective deposits, and with some exception, principally, in relation to the public or the State or the bank?s interest, to solving problem between the bank and the customer, but excluded PPATK. Finally, the writer concluded that the Banking Law should be revised in order to synchronize between the laws and other regulations, such Anti Money Laudering Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T24615
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Junior B. Gregorius
"Menurut ketentuan ICUHP, ancaman pidana seorang pelaku pembantu d~kurangi sepertiga dari pidana pokok bagi pelaku utama. Sebaliknya dalam UUTPPU, pelaku pembantu diancam dengan pidana yang sama dengan pelaku utama. Ada tiga hal yang menjadi permasalahan dalam Tesis ini, pertama: apakah ratio legis pembentuk UUTPPU menentukan sanksi pidana yang sama bagi pelaku pembantu dan pelaku utama, sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (2) UUTPPU; kedua: bagaimanakah penerapan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam UUTPPU dibandingkan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam Money Laundering Act di negara-negara lain? ketiga: bagaimanakah penerapan konsep-konsep teoritis yuridis kesalahan dan pertanggungjawaban pidana dari pelaku pembantu eks Pasal 56 dan 57 KUHP dalam UUTPPU pads kasus-kasus pencucian uang?;
Penelitian yang menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif-analitis ini menghasilkan beberapa kesimpulan.
Pertama; bahwa badan legislatif menganggap UUTPPU adalah undang-undang pidana khusus yang mcngatur dan menentukan pidana secara khusus, dimana perbuatan pelaku pembantu dianggap sama akibatnyanya dengan perbuatan pelaku utama, yaitu dapat membahayakan perekonomian negara dan masyarakat, sehingga secara yuridis sanksi pidananya ditentukan same. Selain itu, Indonesia harus mengikuti model hukum pidana pencucian uang yang diberikan oleh FATF, dimana FATF berpedoman pada konvensi-konvensi internasional yang tidak mengenal pengurangan pidana terhadap pembantuan;
Kedua; Baik dalam UUTPPU maupun dalam Money Laundering Act di negara-negara lain, pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu same dengan pertanggungjawaban pidana pelaku utama, kecuali penerapan ancaman pidananya yang jauh lebih tinggi di Indonesia.
Ketiga; tanggungjawab pembantuan (penyertaan) yang dalam KUHP termasuk sebagai dasar perluasan pertanggungjawaban pidana (strafausdehnungsgrund), dalam UUTPPU, tanggungjawab pembantuan termasuk dasar perluasan tindak pidana (tatbestandaushdehnungsgrund); selain itu, penerapan kesalahan pelaku pembantu dalam UUTPPU berpedoman pada teori ilmu hukum Pasal 56 KUHP, sedangkan penerapan pertanggungjawaban pidana pelaku pembantu dalam UUTPPU berpedoman dan berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUTPPU.
Berdasarkan analisis terhadap beberapa putusan kasus pencucian uang, Penulis menyarankan supaya kemampuan teoritis dan praktis para penegak hukum terutama jaksa dan hakirn perlu ditingkatkan, sehingga dengan kemampuan yang memadai, dalam membuat dakwaan dan putusan dapat menjamin kepastian hukum.

Based on Indonesian Criminal Code, the criminal sanction against the accomplice should be reduced one-third from total criminal sanction against the principal. In the other hand, it is stated in Indonesian Money Laundering Act that the criminal sanction for accomplice is equal with the principal. There are three research questions appointed: firstly; in what legal reasoning was Legislator determine the same criminal sanction both for principal and accomplice so as stipulated in Article 3 (2) of Indonesian Money Laundering Act?;
Secondly: how is the implementation of accomplice's criminal responsibility according to Indonesian Money Laundering Act in comparison with the accomplice's criminal responsibility in other countries Money Laundering Act? thirdly: how is the implementation in Indonesian Money laundering Act relating to the legal theoretical concepts of accomplice's offence and criminal responsibility based on Article 56 and 57 of Indonesian Criminal Code?.
This research which is using qualitative descriptive interpretive method, has had the following conclusion:
Firstly, according to the Legislator, Indonesian Money Laundering Act is including one of special criminal code model, which is regulated and applied the special terms and conditions, considered therefore that the accomplice's offence has the same danger and impacts as the principal against Indonesian economic stability, so that it is legal to determine the same criminal sanction for both principal and accomplice. Beside that, Indonesia should also follow money laundering regulation guideline' prepared by Financial Action Task Force (FATF), which in this case, FATF orientated on various international conventions stipulated no differences on criminal sanction between principal and accomplice. Secondly, both in Indonesian Money Laundering Act and other countries Money Laundering Act, the implementation of accomplice's criminal responsibility is just the same, except the criminal sanction applied in Indonesia seems to be higher than other countries.
Thirdly; the accomplice's responsibility which in Indonesian Criminal Code is subject to 'an extensive basis of criminal responsibility' (Strafausdehnungsgrund); and in Indonesian Money Laundering Act, become 'an extensive basis of criminal act' (Tatbestandausdehnungsgrund). Also, the implementation of accomplice's offence in Indonesian Money Laundering Act should be referred to Article 56 of Indonesian Criminal Code, and concerning to accomplice's criminal responsibility should be based on Article 3 (2) of Indonesia Money Laundering Act.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T24299
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library