Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 38 dokumen yang sesuai dengan query
cover
New Delhi: WHO, 1998
362.178 4 WOR s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Geneva: World Health Organization, 1992
362.178 4 GUI (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Futri Anggun Yolanda
"ABSTRAK
Analisis Efisiensi Penggunaan Labu Darah Dalam Tindakan Operasi di RSUP Fatmawati Tahun 2017Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis gambaran dan efisiensipenggunaan labu darah dalam tindakan operasi di RSUP Fatmawati. Jenispenelitian ini adalah kuantitatif dengan cara mengumpulkan data pasien diinstalasi bedah sentral dan unit transfusi darah rumah sakit 709 pasien dankualitatif dengan melakukan wawancara mendalam terhadap dokter bedah dandokter obstetric gynecology, penelitian ini menggunakan pendekatan retrospektif.Menilai nilai efisiensi penggunaan labu darah dengan melihat nilai CrossmatchedTransfusion Rate CTR , Transfusion Probability TP , Transfusion Index TI ,dan Nonusage Probability NUP . Penelitian ini menunjukan bahwa nilai CTRsebanyak 2,6, TP sebanyak 44 , TI 0,95, dan NUP 0,59. Faktor-faktor penyebabpemborosan dalam penelitian ini dikarenakan antisipasi dokter dalam pemesanandarah, jenis operasi, kadar haemoglobin, faktor pengalaman dan perkiraan dokterdalam menentukan kebutuhan kantong darah.Kata kunci: Crossmatch Transfusion Rate, Transfusion Probability, TransfusionIndex, Nonusage Probability.

ABSTRACT
Analysis of the Efficiency of the Use Of Blood Bags in theOperative Action At RSUP Fatmawati In 2017This study aims to analyze the use of blood vials for transfusion in theoperation at Fatmawati Hospital. This research applied quantitative with reportfrom the operating theater and hospital blood transfusion unit as the source of data 709 patiens and qualitative methode by interview surgeon and obstetrician andgynecologist, this research using a retrospective approach. Assess the efficiencyof the use of blood bags by looking at the values of Crossmatched TransfusionRate CTR , Transfusion Probability TP , Transfusion Index TI , and NonusageProbability NUP . This study shows CTR value as much as 2.6, TP as much as44 , TI 0.95, and NUP 0.59. Factors causing blood waste are higher anticipationof doctors in ordering blood, the type of surgery, haemoglobin rate, experienceand the speed of doctors in determining the needs of blood bags.Keywords Crossmatch Transfusion Rate, Transfusion Probability, TransfusionIndex, Nonusage Probability"
2017
S69678
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firtantyo Adi Syahputra
"ABSTRAK
Salah satu komplikasi tersering PCNL adalah perdarahan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor prediktor jumlah total perdarahan PCNL, dan mengevaluasi pola transfusi darah. PCNL dilakukan acak oleh dua konsultan endourologi dan dianalisa prospektif. Pasien dewasa dengan batu ginjal pielum > 20 mm, kaliks inferior >10 mm, atau staghorn dijadikan sampel. Pasien dengan koagulopati, pengobatan antikoagulan, atau dilakukan konversi operasi terbuka dieksklusi. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan pada awal dan 12, 24, 36, 72 jam paska-operasi. Faktor-faktor seperti stone burden, jenis kelamin, luas permukaan tubuh, perubahan kadar hematokrit dan jumlah transfusi darah dianalisa regresi untuk mendapatkan prediktor total blood loss (TBL). Didapatkan rerata TBL 560,92±428,43 ml dari total 85 pasien. Stone burden merupakan faktor paling berpengaruh terhadap TBL (p=0.037). Kebutuhan transfusi darah diprediksi dengan menghitung TBL (ml) = -153,379 + 0,229 stone burden (mm2) + 0,203 baseline serum hematokrit (%). Sebanyak 87,1% pasien tidak menerima transfusi peri-operatif, 3,5% menerima transfusi intra-operatif, 7,1% menerima transfusi post-operatif, 2,3% menerima transfusi intra dan post-operatif; sehingga menghasilkan cross-matched transfusion ratio 7,72. Rerata tranfusi darah peri-operatif 356,00±145,88 ml. Stone burden menjadi faktor prediktif paling berpengaruh terhadap jumlah perdarahan. Jumlah darah yang ditransfusikan dan dilakukan cross-matched ditemukan tinggi. Formula yang kami usulkan dapat mengurangi kejadian transfusi yang tidak dibutuhkan.

ABSTRACT
The most common complication of PCNL is bleeding. We aimed to identify predictive factors of PCNL blood loss and evaluate transfusion practice. A prospective study was randomly performed by two consultants of endo-urology. Adults with kidney stones in pelvic >20mm, inferior calyx >10mm or staghorn were included; those with coagulopathy, under anti-coagulant treatment or open conversion were excluded. Full blood count was taken at baseline and during 12, 24, 36, 72-hours post-operatively. Factors such as stone burden, sex, body surface area, hematocrit level shifting and amount of blood transfused were analyzed statistically using regression to identify predictive factors of total blood loss (TBL). Mean TBL was 560.92±428.43 ml from 85 patients enrolled. Our results revealed that TBL (ml): -153.379 + 0.229xstone burden (mm2) + 0.203xbaseline serum hematocrit (%); considerably predicted the need for blood transfusion. Amount of 87.1% patients did not receive perioperative transfusion, 3.5% received intra-operative transfusion, 7.1% post-operative, 2.3% both intra and post-operative, giving a cross-matched transfusion ratio 7.72. Mean peri-operative blood transfused was 356.00±145.88 ml. Stone burden was the most influential PCNL blood loss predictive factor. Amount of blood transfused and cross-matched was relatively high. An appropriate blood order using our equation would reduce any unnecessary transfusions.;;;;"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Transfusi darah autologous (TDA) adalah jenis transfusi darah paling aman baik untuk operator maupun pasien. Sedangkan teknik donasi pre operatif merupakan salah satu teknik TDA yang telah berhasil menurunkan permintaan darah homologous dengan sukses. Transfusi darah homologous (TDH) lebih banyak mempunyai risiko terjadinya komplikasi seperti penularan penyakit, reaksi anafilaktik, reaksi hemolitik dsb. Penelitian ini merupakan suatu uji paralel, membandingkan kelompok yang memperoleh TDA dengan kelompok yang memperoleh TDH pada operasi tulang belakang. Parameter yang digunakan adalah nilai hemoglobin(Hb) dan hematokrit(Ht) pre operasi (pasca donasi pada TDA), nilai Hb dan Ht pasca transfusi dan jumlah hari perawatan pasca operasi. Penelitian ini juga untuk mengetahui keberhasilan penggunaan TDA dilihat dari jumlah pasien yang akhirnya menggunakan TDH tambahan. Sampel adalah 74 pasien orthopaedi yang akan menjalani operasi tulang belakang dengan diagnosis fraktur, spondilitis TB, scoliosis, spinal stenosis dan spondilolisthesis. Pada kelompok TDA usia pasien 33,9 ± 14 tahun, sedangkan pada TDH 29,1 ± 11,5 tahun. Berat badan pemakai TDA 55,3 ± 11,1 kg dan pemakai TDH 52,8 ± 9,7 kg. Jumlah donasi pre operatif pada pemakai TDA 798,6 ± 170 cc. Ada 12 pasien (32,4%) yang jumlah donasi pre operatifnya tidak sesuai dengan permintaan. Pada kelompok pemakai TDA, ada delapan pasien (21,6%) yang akhirnya memerlukan tambahan TDH rata-rata 550 cc. Ada tiga pasien (8,1%) dari pemakai TDA mendapatkan transfusi yang tidak sesuai dengan indikasi (perdarahan < 15% dari total blood volume). Nilai Hb dan Ht pre operasi (pasca donasi) pada pemakai TDA secara bermakna (p=0,001) lebih rendah daripada pemakai TDH. Nilai Hb pasca transfusi pada pemakai TDA secara tidak bermakna (p=0,30) lebih rendah daripada pemakai TDH. Jumlah hari perawatan pasca operasi secara bermakna (p=0,000) lebih tinggi pada pemakai TDH dibanding pemakai TDA. Dapat disimpulkan bahwa : ada 21,6% dari pemakai TDA dengan teknik donasi pre operatif yang akhirnya memrlukan TDH tambahan; tidak ada perbedaan yang bermakna Hb, Ht pre operasi dan pasca transfusi pada pemakai TDA dan TDH; jumlah hari perawatan pasca operasi secara bermakna lebih tinggi pada pemakai TDH dibanding pemakai TDA. (Med J Indones 2004; 13: 17-23)

Autologous Blood Transfusion (ABT) is the safest type of blood transfusion for the operator and the patient. The preoperative donation technique had already been reduced the homologous blood requirements successfully. Homologous Blood Transfusion (HBT) brings more risks in complications such as transmission of diseases, anaphylactic reactions, haemolitic reactions etc. This was a parallel study, comparing one group receiving ABT and a second group receiving HBT where in both groups were performed spine surgery. The parameter used was the hemoglobin(Hb) and hematocrit(Ht) content preoperatively (after donation of ABT) and after transfusion, total days in hospitalization after surgery. Another purpose of this study was also to achieve understandings in using ABT by considering the total patients who finally required additional HBT. There were 74 patients with diagnosis of spine fracture, tuberculous spondylitis, scoliosis, spinal stenosis and spondylolisthesis. In the ABT group the average age was 33,9 ± 14 years old and the HBT group was 29,1 ± 11,5 years old. Both groups consisted of 21 males and 16 females. Body weight of the ABT group was 55,3 ± 11,1 kg and the HBT group 52,8 ± 9,7 kg. Amount of donations preoperatively in ABT was 798,6 ± 170 cc. There were 12 patients (32,4%) where the donated blood amount preoperatively did not match up the requests. There were eight patients (21,6%) in the ABT group that required additional HBT of about 550 cc. Three patients (8,1%) of the ABT group received transfusion that did not match the indications (blood loss < 15% of the total blood volume). The Hb and Ht content preoperatively (after donation) of the ABT group significantly was less than the HBT group (p= 0,001). Hb content after transfusion in the ABT group was not significantly less than the HBT group (p = 0,30). Hospitalization days after surgery were significantly higher in the HBT group (p = 0,000). In conclusions : there was 21,6% of the ABT group with the preoperative donation technique that finally required additional HBT. Also there was no difference in the Hb and Ht content preoperatively and post transfusion in the ABT and HBT group, whereas hospitalization days after surgery were higher in the group receiving HBT than in the group receiving ABT. (Med J Indones 2004; 13: 17-23)"
Medical Journal of Indonesia, 13 (1) January March 2004: 17-23, 2003
MJIN-13-1-JanMar2004-17
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Phillips, Lynn Dianne
Philadelphia : F.A. Davis , 1993
615.6 PHI m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Syafitri Evi Gantini
"Pendahuluan: Transfusi darah pada hakekatnya adalah suatu proses pemindahan darah dari seorang donor ke resipien. Untuk memastikan bahwa transfusi darah tidak akan menimbulkan reaksi pada resipien maka sebelum pemberian transfusi darah dari donor kepada resipien, perlu dilakukan pemeriksaan golongan darah ABO dan Rhesus serta uji silang serasi antara darah donor dan darah resipien. Walaupun golongan darah donor dan pasien sama, ternyata dapat terjadi ketidakcocokan(inkompatibilitas) pada uji silang serasi.Sehingga perlu dilakukan analisis penyebab ketidakcocokan pada uji silang serasi antara darah donor dan pasien.
Cara kerja : Hasil pemeriksaan terhadap 1.108 sampel darah pasien yang dirujuk ke laboratorium rujukan unit transfusi darah daerah (UTDD) PMI DKI dari bulan Januari-Desember 2003 dikumpulkan, kemudian dikaji penyebab terjadinya inkompatibilitas pada uji silang serasi.
Hasil dan diskusi: Dari 1.108 kasus yang dirujuk, 677 (61.10%) kasus menunjukkan adanya inkompatibilitas pada uji silang serasi. Sisanya 431 (38.90 %) menunjukan adanya kompatibilitas (kecocokan) pada uji silang serasi. Dari 677 kasus inkompatibel, 629 (92.90%) kasus disebabkan karena pemeriksaan antiglobulin langsung (DAT-Direct Antiglobulin Test) yang positif. Sisanya yaitu 48 (7.10%) kasus disebabkan karena adanya antibodi pada darah pasien yang secara klinik berpengaruh terhadap transfusi darah dari donor ke pasien. Kasus inkompatibel yang menunjukan hasil positif pada uji antiglobulin langsung (DAT=Direct Antiglobulin Test )sebanyak 629 kasus (92.90%), dengan perincian hasil positip DAT terhadap IgG pada ditemukan sebanyak 493 kasus (78.38%), hasil positip DAT terhadap komplemen C3d sebanyak 46 kasus (7.31%), dan hasil positip DAT terhadap kombinasi IgG dan C3d sebanyak 90 kasus (14.31%)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13665
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masbimoro Waliyy Edisworo
"Latar Belakang: Penyakit thalassemia tinggi prevalensinya di Indonesia. Modalitas MRI digunakan pasien transfusion-dependent thalassemia (TDT) yang menjalani transfusi darah berkesinambungan untuk menilai tingkat zat besi di organ hati. Pemeriksan ini memerlukan biaya tinggi dan hanya tersedia di dua kota besar di Indonesia. Kandungan zat besi yang tinggi dalam waktu yang lama di hati dapat berakibat pada kerusakan hati. Modalitas yang lebih terjangkau dari segi lokasi dan biaya diperlukan dalam menilai tingkat zat besi di organ hati pada kelompok pasien ini.
Tujuan : Mengetahui kekuatan korelasi antara nilai shear wave velocity (SWV) acoustic radiation force impulse (ARFI) dengan nilai T2* MRI dalam menilai zat besi organ hati.
Metode : Data primer SWV ARFI dan nilai T2* MRI dari 29 pasien TDT dikumpulkan lalu dianalisis dengan SPSS untuk mengukur korelasi.
Hasil : Penelitian ini menunjukkan korelasi negatif dengan kekuatan yang moderat antara nilai SWV ARFI dan nilai T2* MRI hati (R = -0,383) yang bermakna secara statistik (Spearman P = 0,040).
Kesimpulan : ARFI merupakan pemeriksaan yang memiliki korelasi dengan pemeriksaan MRI dalam menilai kandungan zat besi organ hati pasien TDT. Namun demikian, penelitian ini tidak menunjukkan hubungan yang kuat, dan oleh sebab itu mungkin dibutuhkan penelitian lebih lanjut.

Background : Thalassemia has a high prevalence in Indonesia. MRI modalities used by patients with transfusion-dependent thalassemia (TDT) who undergo continuous blood transfusions to assess iron levels in the liver. This examination require high cost and is only available in two major cities in Indonesia. High iron content over a long time in the liver can result in liver damage. More affordable modalities in terms of location and cost are needed to assess iron levels in the liver in this group of patients.
Objective: Determine the correlation strength between acoustic radiation force impulse (ARFI) shear wave velocity and T2* MRI values in assessing liver iron.
Methods: ARFI SWV primary data and T2* MRI values of 29 TDT patients were collected and then analyzed with SPSS to measure correlation.
Results: This study showed negative correlation with moderate strength between ARFI SWV values and liver T2* MRI values (R = -0,383) which was statistically significant (Spearman P = 0.040).
Conclusion: ARFI has a correlation with MRI examination in assessing the iron content of TDT patients liver organs. However, the correlation is not strong and further studies might be needed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adhariana Hk
"Prematuritas merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas neonatus tertinggi. Sebagian besar prematur mendapat transfusi PRC berulang selama perawatan. Sementara itu, transfusi PRC berulang dapat meningkatkan kadar zat besi. Namun, hingga saat ini belum ada konsensus mengenai suplementasi besi pada prematur yang telah mendapat transfusi PRC berulang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status besi pada bayi prematur usia gestasi 28-32 minggu yang telah mendapat transfusi PRC berulang dan membuat rekomendasi mengenai pemberian suplementasi besi. Penelitian ini adalah penelitian kohort prospektif terhadap 70 bayi prematur yang lahir di RSCM bulan Maret 2021 – Mei 2021. Profil besi diperiksa usia kronologis 1, 2 dan 3 bulan. Hasil penelitian menunjukkan profil besi bayi prematur yang mendapat transfusi PRC > 2 kali lebih tinggi secara signifikan dibandingkan ≤ 2 kali (p<0,05). Titik potong total volume transfusi PRC yang menyebabkan status besi berlebih adalah PRC ≥ 50 mL/kgBB. Median feritin serum pada usia kronologis 1 bulan adalah 498,11 µg/L (358-885,62 µg/L), dua bulan adalah 232,66 µg/L (60,85-538,44 µg/L), tiga bulan adalah 42 µg/L (40,1-168,63 µg/L). Faktor risiko yang memengaruhi status besi berlebih pada bayi prematur adalah riwayat sepsis (OR 5,918 (IK 95%: 2,027-17,277)). Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa bayi prematur yang mendapat transfusi PRC >2 kali memiliki profil besi yang lebih tinggi dibandingkan ≤ 2 kali pada usia kronologis 1 bulan. Bayi premtur yang mendapat transfusi PRC ≥ 50 mL/kgBB memiliki status besi berlebih di usia kronologis 1 bulan sehingga suplementasi besi sebaiknya diberikan pada usia kronologis 2 bulan.

Prematurity is the most common cause of neonatal mortality and morbidity. Most of the preterm infants received multiple PRC transfusions during hospitalization. Meanwhile, multiple PRC transfusions can increase iron levels. However, to date there is no consensus regarding iron supplementation in preterm who have received multiple PRC transfusions. The objective of this study are to determine iron status in premature infants aged 28-32 weeks who have received multiple PRC transfusions and make recommendations regarding iron supplementation. This study is a prospective cohort study of 70 preterm infants born at the Cipto Mangunkusumo Hospital in March 2021 – May 2021. Iron profiles were examined chronologically age at 1, 2 and 3 months of age. The result are the iron profile of preterm infants who received PRC transfusion was > 2 times significantly higher than ≤ 2 times (p<0.05). The cut-off point for the total volume of PRC transfusion that causes iron overload status is ≥ 50 mL/kgBW. The median serum ferritin at 1 month of age was 498.11 g/L (358-885.62 g/L), two months was 232.66 g/L (60.85-538.44 g/L), three months is 42 g/L (40.1-168.63 g/L). The risk factor influencing iron overload status in preterm infants was a history of neonatal sepsis (OR 5.918 (95% CI: 2.027-17.277)). The conclusion of this study are preterm infants who received PRC transfusion >2 times had a higher iron profile than ≤ 2 times at 1 month chronological age. Preterm infants who received PRC transfusions ≥ 50 mL/kgBW had iron overload status at 1 month of chronological age and therefore iron supplementation should be given at 2 months of chronological age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>