Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 21 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pensra
"Penelitian ini akan mengkaji pemberlakuan pidana mati ditinjau dari sudut pandang Hak Asasi Manusia, dimana di Indoensia pidana mati masih diberlakuakan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang - Undang lain serta RUU KUHP yang memuat pidana mati. Pada sisi lain Indoensia pun telah merativikasi peraturan internasional yang menerapkan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dan telah memberlakuakan UU No 39 tahun I999 juga termuat dalam Pasal 28 A sampai dengan 283 Amandemen UUD 45 dan Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia, Hal ini pun terjadi perbagai pendapat balk yang pro maupun yang kontra terhadap pemberlakuan pidana mati itu sendiri.
Dengan demikian Masalah yang akan dibahas adalah :
- Apakah double sanction yang dialami terpidana coati melanggar Hak Asasi Manusia dan - Apakah telah terjadi pergeseran dari sistem hukum pidana di Indonesia mengenai pidana mati menurut RUU KUHPidana Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif dengan menekankan pada data primer yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan menggunakan data sekunder melalui studi kepustakaan.
Berdasarkan studi pustaka, akan digambarkan perkembangan Konsep HAM dalam perlindungan terhadap terpidana mati dalam hukum positif nasional dan hukum positif internasional. Penelitian ini menggunakan teori tentang Hak asasi Manusia, teori Tujuan Hukum ( teori Keadilan dan teori Utilistis atau teori Kemanfaatan ) dan Teori Pembebasan. Teori Ham digunakan untuk melihat lebih mendalam dari sisi HAM terpidana sementara Teori tujuan Hukum digunakan peneliti untuk melihat tujuan dari pemedinaan terhadap pidana mati sementara teori pemidanaan bertujuan "pembebasan". Pembebasan yang dimaksud adalah bukan dalam pengertian fisik. Tapi dalam keterbatasan ruang gerak terpidana, terpidana dibebaskan secara mental dan spiritual. Dengan tujuan bukan saja untuk melepaskan cara dan gaya hidup yang lama, tetapi juga menjadi tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk membebaskan kesalahan terpidana dan keluarga dari kesalahan yang telah dilakukan dengan mengacu pada Pancasila.
Penelitian yang telah dilakukan ini memaparkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM terpidana dalam menjalani hukuman mati dimana terpidana dalam menunggu pelaksanaan eksekusi mati dipenjara maka telah terjadi dua kali hukuman yaitu hukuman penjara dan hukuman mati. Dengan adanya perubahan dalam RUU KUHP yang memuat pidana mati dengan ancaman hukuman secara alternatif maka telah terjadi pergeseran hukum sebagai wacana dalam pemberlakuan pidana mati di Indonesia

The research means to find out the implementation of Death Penalty from Human Rights Perspective while in Indonesia still uses Law Crimes and the designing of Law Crimes which concern with Death Penalty. On the other hand Indonesia has ratified International laws which implemented the protection of Human Rights to the implementation of Laws Number 39 1999, in the Principles 28 until 28 J. Constitution 1945 and Pancasila as the basic principles of Indonesian. Therefore, there is pro and contra for the implementation of death penalty. The problems of the research is to find out whether double sanction can be categorized as human rights violations for the prisoner and to find out whether there is changing in law crimes system.
The research uses qualitative method which emphasizes primary data by in depth interview and secondary data by library research. The theories that implemented in the research are human rights theories, the aims of Law theories, and freedom theories. Human rights theories are used to see prisoners from human rights perspectives in depth.
The Purpose Law theories is used to see the penal of death penalty while the penal theories means to give freedom, The freedom doesn't mean for only physically but also spiritually and mentally.
The research describes that there is human rights violation for the prisoners during death penalty process. Dual sanctions become the problem for the prisoners. The improvement in the designing of Criminal Code with alternative punishment seems bring the changing in the implementation of death penalty in Indonesia."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20704
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edita Elda
"Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang masih menerapkan pidana mati (retentionist country), berdasarkan Pasal 10 KUHP. Permasalahan dalam tesis ini adalah: 1) Bagaimana konsep dan tujuan pengaturan pidana mati dalam Rancangan KUHP; 2) Bagaimana konsekuensi rumusan unsur-unsur Pasal 89 Ayat (1) Rancangan KUHP dan 3) Apa yang menjadi dasar pertimbangan adanya perbedaan pejabat yang berwenang dalam mengubah pidana mati menjadi pidana seumur hidup atau 20 (dua puluh) tahun dalam Pasal 89 Ayat (2) dengan Pasal 90 Rancangan KUHP. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder dan primer. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa: 1) Dalam Pasal 66 Rancangan KUHP, pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif yang bertujuan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat sebagai bentuk perlindungan masyarakat dan individu. 2) Konsekuensi rumusan Pasal 89 Ayat (1) Rancangan KUHP diterapkan secara alternatif, bukan kumulatif. 3) Dasar pertimbangan perbedaaan wewenang dalam Pasal (89) Ayat (2) dengan Pasal 90 Rancangan KUHP yaitu, Pasal 89 Ayat (2), perubahan pidana mati disebabkan karena adanya masa percobaan dan pejabat yang berwenang adalah Menteri Hukum dan HAM, karena perubahan tersebut sama dengan remisi. Pasal 90, perubahan tersebut disebabkan karena pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun setelah grasi ditolak dan pejabat yang berwenang adalah Presiden melalui Keputusan Presiden. Saran penulis, 1) Hakim harus mempertimbangkan alasan penjatuhan pidana mati didasarkan pada perlindungan masyarakat dan perlindungan individu terpidana. Apabila dalam persidangan, salah satu dari hakim tidak sepakat dengan penjatuhan pidana mati, maka sebaiknya jenis pidana yang diputus adalah pidana alternatif berupa pidana seumur hidup atau pidana paling lama 20 (dua puluh) tahun. 2) Rumusan Unsur- Unsur Pasal 89 Ayat (1) Rancangan KUHP harus diatur dengan jelas dan juga ukuran dan sisi yang berwenang untuk menilai unsur masing-masing, juga harus ada unsur suara masyarakat di dalamnya 3) Harus ada pengaturan lebih jelas agar tidak terjadi tumpang-tindih kewenangan dalam mengubah hukuman mati menjadi seumur hidup atau 20 (dua puluh) tahun antara Pasal 89 Ayat (2) dengan Pasal 90 Rancangan KUHP. Perubahan hukuman dari seumur hidup menjadi 20 (dua puluh) tahun dalam Pasal 89 Ayat (2) seharusnya menjadi kewenangan Presiden dengan Keputusan Presiden. Dalam memutuskan grasi, Presiden seharusnya juga mendengarkan pertimbangan Menteri Hukum dan HAM sebagai eksekutif yang membawahi Lapas. Dalam SPP juga harus ada koordinasi berhubungan dengan data administrasi mengenai proses hukum terpidana.

Indonesia represent one of the State in the world that still apply the death penalty (retentionist country), based on Aiticle 10 KUHP. Problems in this thesis are: 1) How is the concept and purpose of the death penalty in the draft of KUHP; 2) What consequences formula elements Article 89 Paragraph (1) draft of KUHP and 3) What is the basic consideration of differences in the authorized officials in the death penalty for life to be criminal or 20 (twenty) years in Article 89 Paragraph (2) with Article 90 draft of KUHP. Research method used was the juridical normative, with the primary and secondary data. Results of research show that: 1) In Article 66 draft of KUHP, death penalty represent main punishment which having the character of special and is always menaced in the alternative that is aimed as a last effort to protection of society as society and individuals. 2) The consequence of Article 89 Paragraph (1) draft of KUHP apply in the alternative, not cumulative. 3) Basic considerations difference of authority in Article (89) Paragraph (2) with Article 90 draft of KUHP, Article 89 Paragraph (2), death due to changes in criminal trial because of the authorities and officials is the Minister of Law and Human Rights, because the changes is equal to remisi. Article 90, the change was due to criminal death is not implemented for 10 (ten). years after grasi refused and officials denied that the President is authorized through a Presidential Decree. Author suggestions, 1) The judge must consider the reasons of relied on death penalty fallout based on the protection of society and individual punished. If in the trial, one of the judges did not agree with death penalty fallout, the criminal who should be the type of crime is an alternative punishment for a lifetime or 20 (twenty) years. 2) Elements Article 89 Paragraph (I) draft of KUHP have to be arranged clearly in article to assess each element, also there must be voice society in it 3) Arrangement there must be clearer in order not to happened overlap authority in changing death penalty decision become for a lifetime or 20 (twenty) years among Article 89 Paragraph (2) with Article 90. Change of punishment from a lifetime become 20 (twenty) years in Article 89 Paragraph (2) having to with Decision of President. In deciding grasi, president should be listen consideration of Minister Punish and Human Rights. In criminal justice system there must be coordination related to administration data order concerning process punish to be punished."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T26065
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
New York: CRC Pres, 2008
345.730 DEA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hendra Kurniawan
"ABSTRACT
This study discusses the policy of the fine payment by the Indonesian Government for the death penalty case against Indonesia's labor in Saudi Arabia. The results of this research is an analysis of description about public perception among the public case against Indonesia Diyat payment system that charged to Government of Indonesia. This study uses qualitative methods is descriptive analysis in mapping and analyzing the opinion of stakeholder, the public perception of the actor role-forming, as well as the applicable policies in some countries other related cases Diyat. This research is expected to provide policy recommendations to Government in making decisions that have a strong justification and can be accounted for on the basis of scientific research."
Jakarta: Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam (PSKTTI), 2017
300 MEIS 4: 2 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Mokoginta, Usman
"Pembinaan narapidana hukuman mati khususnya narapidana hukuman mati kasus narkoba di Indonesia selama ini tidak memiliki panduan yang jelas. Kondisi demikian mengakibatkan pembinaan terhadap narapidana hukuman mati seringkali tidak mendapatkan basil yang maksimal sesuai dengan tujuan pemidanaan. Berangkat dan fakta tersebut penelitian dalam tesis in berusaha untuk mengatahui pembinaan narapidana hukuman mati kasus narkoba yang telah dilaksanakan dan sekaligus mengajukan model yang tepat untuk dilaksanakan dalam rangka pembinaan narapidana hukuman mati kasus narkoba.
Literatur teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam tesis ini adalah teori-teori tentang pemidanaan yang pertama kali dikemukakan oleh ilmuwan sosial klasik seperti Cesare Becaria, Jheremy Bentham yang kemudian diperkaya oleh ilmuwan sosial modern lainnya. Dalam teori tentang pemidanaan tersebut dikandung maksud bahwa tujuan pemidaan pada dasarnya adalah 1) Membuat para narapidana jera (deterrence) 2) Dengan pemidanaan dan pembinaan diharapkan para narapidana menyesali perbuatannya, merasa bersalah dan tidak mengulangi perbuatannya.
Dengan metode penelitian diskriptif kualitatif, dari penelitian ini diperoleh suatu fakta bahwa pembinaan narapidana hukuman mati di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Narkoba tidak mencapai basil maksimal sesuai dengan tujuan pemidanaan. Hal ini ditandai dengan adanya kondisi dimana narapidana tidak menyesali perbuatannya, tidak merasa bersalah dan adanya narapidana hukuman mati yang masih terlibat dalam peredaran narkoba di dalam maupun di luar lapas. Dari penelitian ini juga ditemukan fakta bahwa kondisi psikologis narapidana hukuman mati kasus narkoba sangat labil. Berangkat dari temuan di atas, maka dalam tesis ini juga diajukan suatu model pembinaan yang tepat dan dapat diterapkan terhadap narapidana hukuman mati kasus narkoba.

Indonesia has no guidance in building death penalty prisoners of drug cases. This condition caused many efforts for the building and treatment for death penalty prisoners uncertain as the aims of law crimes. The research means to find out the treatment and capacity building for the death penalty for drugs cases and to propose the proper model to be implemented in building those death penalty of drug prisoners.
The theories which are used for the research are crimes theories which are said by Cesare Becaria, Jheremy Bentham and others social scientist. In the theories implied the aims that crimes theories means : 1) to make the prisoners become deterrence; 2). Realizing their mistakes and stooping doing crimes. The data is collected by depth interview, observation and library research.
The research is used descriptive and qualitative method. From the research it is known the fact that the building of death penalty prisoners of drugs cases in The Correctional Class II A For Drugs Cases still cant achieve the goals of crimes law systems. It is can bee seen by some prisoners who are still doesn't regret their crimes and still has contribution and involved with the networking of drugs cases inside and outside the Correctional area. From the research is found out that psychological condition of the death penalty prisoners of drugs cases are depressed. Thus, through the research proposed a proper building and treatment for the death prisoners of drugs cases."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20666
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diani Indramaya
"Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang masih menerapkan pidana mati dalam aturan pidananya. Padahal, hingga Juni 2008, lebih dari setengah negara-negara di dunia telah menghapuskan praktek pidana mati baik secara de jure atau de facto. Di tengah kecenderungan global akan moratorium pidana mati, praktek ini justru makin lazim di terapkan di Indonesia. Paling tidak selama empat tahun berturut-turut telah dilaksanakan eksekusi mati terhadap 9 orang narapidana. Pro-kontra penerapan pidana mati ini semakin menguat, karena tampak tak sejalan dengan komitmen Indonesia untuk tunduk kepada kesepakatan internasional yang tertuang dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Permasalahan yang muncul adalah mengapa ada pihak yang menjadi pro atau kontra terhadap pidana mati. Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain: memberikan penjelasan yang bersifat teoritis mengenai pro dan kontra peranan sanksi yang dalam hal ini adalah pidana mati, sehingga dapat memberikan pandangan dan informasi yang akurat dalam bidang pemberantasan, pencegahan dan penyalahgunaan peredaran gelap narkoba dalam mewujudkan ASEAN bebas narkoba pada tahun 2015.
Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif dengan pendekatan sosioyuridis, dimana peneliti mengadakan penelaahan dokumen dan wawancara mendalam yang dilakukan terhadap informan (keterangan ahli pemerintah, ahli hukum, tokoh masyarakat, dan terpidana mati) untuk mengetahui tanggapantanggapan mereka terhadap implementasi hukuman mati terhadap terpidana kasus narkoba dan apa kendala yang dihadapi sehubungan dengan wacana adanya pelanggaran Hak Asasi Manusia. Penelitian ini mengambil lokasi di Jakarta pada bulan November 2008. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa munculnya pro dan kontra terhadap pelaksanaan eksekusi mati dalam masyarakat luas, dikarenakan adanya isu pelanggaran hak asasi manusia, munculnya Undang-Undang bernuansa HAM, antara lain UU No.39 tahun 1999 tentang HAM yang semakin menegaskan kesenjangan yang terjadi dengan produk-produk perundang-undangan Indonesia yang mengatur hukuman mati dan pidana mati untuk kasus narkoba masih dapat dipertahankan khusus untuk para produsen dan pengedar narkoba. Untuk meminimalisir perdebatan pro & kontra dalam masyarakat, saran yang diajukan adalah baik tim perumus RUU KUHP maupun tim perumus Undang-Undang bernuansa HAM, perlu duduk bersama untuk memutuskan dari 3 pilihan, yaitu: (i) Indonesia tetap memasukkan pidana mati dalam KUHP dan non-KUHP dan konsisten dalam pelaksanaannya; (ii) Indonesia melaksanakan moratorium (de facto tidak menerapkan) praktek hukuman mati; atau (iii) Indonesia melakukan abolisi (penghapusan) hukuman mati dalam semua produk hukumnya baik dalam KUHP maupun di luar KUHP, perlu adanya peninjauan kembali terhadap pelaksanaan eksekusi mati di Indonesia oleh para pembuat hukum dan pengambil kebijakan di negeri ini dan untuk para tim perumus RUU Narkotika dan Psikotropika (dimana Badan Narkotika Nasional adalah salah satu anggotanya), perlu mengkaji prosedur pelaksanaan pidana mati agar tidak terlalu lama jeda yang terjadi antara jatuhnya vonis dengan eksekusi.

Indonesia is one of the countries that still applies the death penalty. Whereas, until June 2008, more than half of the nations in the world have revoked capital punishment de jure as well as de facto. Amidst the global tendency of a moratorium, this practice is precisely becoming customary in Indonesia. At least in four subsequent years 9 convicted prisoners have been executed. The pro?s and con?s are increasingly becoming stronger, since it seems not in line with Indonesia?s commitment to follow the international agreement in the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) and the International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR). The problems that arise are the reasons why there are some parties become pro or contra of the death penalty. This study is aimed to provide theoretical clarification on the pro?s and con?s of sanctions, in particular capital punishment, for accurate views and information in the field of prevention and eradication on drug abuse and illicit drug trafficking toward ASEAN Drug Free on 2015.
This reasearch applies the qualitative method with socio-yuridis approach, through document research and in depth interviews on informants from government and legal experts, community leader as well the convicts in order to understand their perceptions on the implementation of the death penalty on convicts of drug cases, and the constraints encountered viewed from the Human Rights perspective. The research is took place in Jakarta area on November 2008. The outcomes of this research conclude that: the existence of the pro?s and con?s to the death penalty in Indonesia is caused of the human rights issue, the existence of Human Rights Legislation, that is Law Number 39 of 1999 is clearly define the gap with the legislation that consist of the death penalty and the persistence to keep the death penalty in Narcotics and Psychotropics Laws in particular aimed to the producers and the traffickers.To minimize the controversy of the death penalty, this reasearch suggests that the formulator team of Criminal Law Legislation Draft and the formulator team of Human Rights Legislation Draft have to discuss and choose one of the three options, that is: (i) Indonesia still put the death penalty on its Criminal Law Legislation and Civil Law Legislation and being consistent on its xecution; (ii) Indonesia implement moratorium (de facto not apply) on the death penalty; or (iii) Indonesia implement abolition (eliminate) on the death penalty in all Laws and regulations both in Criminal Law and Civil Law, need to be reviewed the death penalty execution in Indonesia by the law maker, the policy maker and the formulator team of Narcotics and Psychotropics Legislation Draft (where Badan Narkotika Nasional is one of its members) in this country."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T 25470
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Triya Venisya Refsi Putri
"Penelitian ini membahas mengenai penerapan hukuman mati di Indonesia dalam kaitannya dengan implementasi norma HAM, dalam konteks hak untuk hidup. Kasus yang menjadi kajian dalam tulisan ini yaitu eksekusi terhadap Andrew Chan dan Myuran Sukumaran tahun 2015, yang meskipun mendapatkan banyak protes dari masyarakat internasional, eksekusi tersebut tetap dijalankan. Hal ini tidak sejalan dengan logika kepantasan terkait HAM, terlebih dikarenakan saat ini terdapat tren global untuk abolisi hukuman mati. Tujuan penelitian ini yaitu untuk memahami secara lebih mendalam alasan negara dalam menerapkan hukuman mati dan persepsi negara terhadap norma HAM dan hak untuk hidup. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain studi kasus. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara dan studi pustaka. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi norma HAM dan persepsi pemerintah sangat dipengaruhi oleh kontestasi situasi politik, sosial dan budaya setempat, serta kepemimpinan politik pada periode tersebut. Aspek-aspek tersebut dapat mengonstruksi suatu hal yang dianggap "benar" dan "pantas". Terkait HAM dan hak untuk hidup, Indonesia mempersepsikan hal ini sebagai suatu hal yang masih dapat dibatasi dengan mempertimbangkan kepentingan masyarakat, dan bahwa penerapan HAM merupakan urusan dalam negeri sehingga ada kecenderungan untuk menutup diri dari konteks internasional terkait hal ini.

This study discusses the use of the death penalty in Indonesia in relations to the implementation of human rights norms, in the context of the right to life. Case that is being used in this research is the execution of Andrew Chan and Myuran Sukumaran in the 2015, whom despite getting a lot of protest from international community, the execution keep going. This is not in line with the logic of appropriateness related to human rights, especially because there is a global trend towards abolition of the death penalty. The purpose of this research is to understand more deeply about the reasons behind the states application of the death penalty and the states perception about the human rights norms and the right to life. The results of this study indicate that the implementation of human rights and government perception is strongly influenced by the political contestation, social situations and cultures, as well as the political leadership in that period. These aspects can construct the things that is considered as "right" and "appropriate" . Related to human rights norms and the right to life, Indonesia perceives it as the thing that can be limited by considering the interests of society, and that the implementation of human rights is an internal affair so there is a tendency to close themselves off from the international context in this regard."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S66369
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhidayat
"Kejahatan narkoba kian hari menunjukkan peningkatan yang semakin serius. Indikasinya adalah hingga Juni 2002 jumlah narapidana narkoba sekitar 45% dari keseluruhan narapidana di LP Cipinang dan LP Wanita Tangerang. Secara nasional jumlah narapidana narkoba terus meningkat selama 2001-2002. Reaksi formalnya adalah implementasi Undang-Undang Narkotika dan Psikotropika dalam sistem peradilan pidana. Terbukti Pengadilan Negeri Tangerang telah menjatuhkan hukuman mati terhadap 20 penjahat perkara pidana narkoba. Permasalahanya adalah bagaimanakah reaksi masyarakat terhadap penjatuhan hukuman mati tersebut dan apakah dapat memberikan efek penggentarjeraan (deterrent effect) yang dapat merubah pola tingkah laku masyarakat yang memberikan arti pentingnya sebagai kontrol sosial.
Untuk mendeskripsikan reaksi non formal masyarakat, digunakan metode survey dengan pendekatan kuantitatif deskriptif, memakai teknik wawancara terstruktur dengan instrumen kuesioner. Studi kepustakaan tentang efek penjeraan (deterrent effect) pada penjeraan umum (general deterrence) dari Zimring, Fanklin E. dan Gordon J. Hawkins dipergunakan sebagai acuan untuk mengungkap reaksi masyarakat dimaksud.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, secara umum responden menyatakan setuju dengan adanya penjatuhan hukuman mati terhadap penjahat narkoba dengan berbagai alasan. Sebagaimana dikemukakan oleh Zimring dan Hawkins bahwa terdapat empat syarat agar ancaman penghukuman menjadi efektif; hasilnya responden yang mengetahuinya lebih terpengaruh dan melakukan perubahan tingkah laku secara terbatas. Penggentarjeraan yang dirasakan adalah takut terkena perkara pidana narkoba. Pola-pola prevensi terhadap diri dan keluarga merupakan upaya penangkalan (deterrence) agar kejahatan narkoba tidak meluas dalam masyarakat. Efek penggentarjeraan yang terjadi dalam masyarakat merupakan reaksi sosial dan realitas yang subjektif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12121
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Sayadi
"Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan pidana mati, sebagaimana yang diatur dalam pasal 10 KUHP lama. Pidana mati merupakan salah satu pidana pokok sekaligus hukuman terberat bagi pelaku tindak pidana. Dalam pembaharuannya berdasarkan Undang-Undang No.1 tahun 2023 tentang KUHP baru. Pidana mati tidak lagi masuk dalam kategori pidana pokok, melainkan pidana khusus yang selalu diancamkan secara alternatif dan dijatuhkan dengan masa percobaan 10 (sepuluh) tahun. Pasal 100 KUHP 2023 merupakan salah satu pasal yang lahir dari pembaharuan KUHP baru yang menjadi polemik di tengah masyarakat. Pasalnya ketentuan ini menyebutkan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dengan memperhatikan ketentuan adanya perilaku terpuji dan harapan untuk diperbaiki. Jika dalam menjalani masa percobaan terpidana menunjukkan sikap perilaku terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi penjara seumur hidup. Namun sebaliknya jika dalam masa percobaan tersebut terpidana tidak menunjukkan sikap perilaku terpuji dan harapan untuk diperbaiki maka pidana mati dapat dijatuhkan atas perintah jaksa agung berdasarkan Keputusan presiden dengan memperyimbangkan putusan Mahkamah Agung. Dengan adanya ketentuan penilaian tersebut, demikian timbul pertanyaan bagaimanakah kriteria perilaku terpuji dan harapan untuk diperbaiki yang dimaksud? Sebagai suatu dasar pertimbanagan hakim dalam memutus layak atau tidaknya terpidana memperoleh perubahan hukuman.

Indonesia is one of the countries that still maintains the death penalty, as stipulated in article 10 of the old Criminal Code. Death penalty is one of the main punishments as well as the heaviest punishment for criminal offenders. Meanwhile, based on its renewal based on Law No.1 of 2023 concerning the new Criminal Code. Death penalty is no longer included in the category of main punishment, but a special punishment that is always threatened alternatively and imposed with a probation period of 10 (ten) years. Article 100 of the new Criminal Code is one of the articles born from the reformation of the new Criminal Code which has become pros and cons in the community. The reason is that this provision states that the judge can impose the death penalty with a probation period of 10 (ten) years by taking into account the provisions of commendable behavior and hope for improvement. If during the probation period the convict shows commendable behavior, then the death penalty can be changed into life imprisonment. On the other hand, if during the probation period the convict does not show commendable behavior and hope for reparation, then death penalty can be imposed by order of the attorney general based on presidential decree by considering the decision of the Supreme Court. Thus, the question arises as to what are the criteria for commendable behavior and hope for improvement. As a basis for the judge's consideration in deciding whether or not the convict deserves a change in sentence."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kim Myung Jong
"Selama lima puluh tahun terakhir semakin banyak negara didunia yang telah menghapuskan hukuman mati Sekarang ini lebih dari setengah dari negara negara di dunia telah menghapuskan hukuman mati dari hukum di negara mereka untuk kejahatan seperti pembunuhan Penggunaan hukuman mati sangat kontroversial dan secara teratur menciptakan ketegangan politik antara negara negara dengan perspektif yang berbeda tentang masalah ini Selanjutnya penghapusan hukuman mati dilakukan pada dua sikap yang berbeda dalam analisis ini seperti penghapusan semua kejahatan atau sebagai penghapusan untuk kejahatan biasa yang terutama melibatkan bahwa negara negara dapat mempertahankan hukuman mati untuk kejahatan perang Tulisan ini membahas bagaimana dan sejauh mana larangan hukuman mati memainkan peran di Korea Selatan Berbeda sekali dengan tren perbudakan di seluruh dunia hukuman mati tetap paling bercokol di Asia di mana lebih dari 90 persen dari semua eksekusi berlangsung Mengapa norma menentang hukuman mati yang tampaknya sangat penting bagi sebagian besar belahan dunia tampaknya memiliki dampak minimum pada negara negara Asia khususnya di Asia Timur Makalah ini menguraikan perubahan yang penulis telah diamati dalam perdebatan hukuman mati dalam Korea Akademisi dan kalangan peradilan selama beberapa dekade terakhir Ini berusaha untuk menunjukkan bahwa perdebatan tersebut telah pindah dari sikap yang mula mula defensif menjadi sikap kearah yang bersedia untuk merangkul keberatan berbagai pihak dari segi hak asasi manusia untuk hukuman mati dan langkah langkah baru yang dinamis dan berakar pada instrumen dan konvensi hak asasi manusia internasional Menganalisis dan menilai apakah hukuman mati dianggap relevan di dunia apalagi di masyarakat Korea Selatan dan dalam proses melihat ke depan untuk membantu membentuk kebijakan hukuman mati baru di wilayah ini.
During the past fifty years, more and more countries have abolished the death penalty. Today, more than half of the countries of the world have abolished capital punishment from their laws for crimes such as murder. The use of the death penalty is highly controversial, and regularly creates political tension between countries with differing perspectives on the issue. Furthermore, abolition of the death penalty is carried on two different manners in this analysis, as abolition for all crimes or as abolition for ordinary crimes, which mainly involves that countries may retain the death penalty for wartime crimes. This paper discusses how and to what extent the prohibition of the death penalty plays a role in South Korea. In stark contrast to the worldwide abolitionist trend, the death penalty remains most entrenched in Asia, where more than 90 percent of all known executions take place. Why does the norm against the death penalty, which is apparently so important for most parts of the world, seem to have least impact on Asia especially in East Asia? How do international leaders and government contribute to the rejection of the universally promoted human rights norm? This paper outlines the changes that the author has observed in the debate of death penalty within Korean Academics and judicial circles over the past decades. It seeks to show that the debate has moved from a defensive posture to one which is willing to embrace to a degree the human rights objections to capital punishment that have been created by a ‘new dynamic’ rooted in international human rights instruments and conventions. Analyzing and assess if capital punishment is considered relevant in the world, moreover in South Korean society, and in the process is looking forward to helping to shape new death penalty policy in this region."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S59927
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>