Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ani Oktarina
"Stroke atau cerebrovascular accident(CVA) merupakan penyebab kematian nomor tiga di Amerika Serikat dan salah satu penyebab kematian dan kecacatan neurologis yang utama di Indonesia. Stroke merupakan penyakit kronis yang bersifat menetap dan tidak dapat pulih secara total yang disebabkan oleh adanya gangguan peredaran darah otak (GPDO) (Mansjoer et al, 2000; Taylor, 1999). Efek yang ditimbulkan dari CVA beragarn, tergantung pada daerah otak yang terganggu. Selain kelumpuhan, kesulitan berbicara, dan memori yang terganggu, gangguan yang sering rnuncul adalah afasia yaitu gangguan pada kemampuan menggunakan kata-kata (Davison & Neale, 1996).
Gangguan bahasa (Afasia) merupakan salah satu akibat dari kerusakan hemisfer kiri pada pasien stroke yang kinan. Salah satu alat diagnostik untuk melakukan pengukuran dalam bidang neuropsikologi yaitu TADIR (Tes afasia, diagnosa, inforrnasi, dan rehabilitasi). Melalui TADIR dapat dilihat sindrom afasia yang diderita oleh pasien. Pembagian sindrom-sindrom afasia dalam TADIR menggunakan klasiiikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass dan Kaplan. Atas dasar aspek-aspek penamaan, kelancaran, peniruan dan pernahaman auditif, maka
Goodglass 3: Kaplan (dalam Dharmaperwira-Prins, 2002) menyusun klasifikasi sindrom-sindrom afasia. Setiap sindrom afasia dihubungkan dengan suatu tempat kerusakan tertentu di otak. Salah satu tujuan pemeriksaan ialah menenlukan letak kerusakan. Penelitian yang dilakukan oleh Kertesz (dalam Dharmaperwira-Prius, 2002) dengan menggunakan CT-scan, secara garis besar membenarkan lokalisasi sindrom afasia klasifikasi Boston (Dharmaperwira-Pnns, 2002).
Sementara itu dibidang kedokteran, khusuanya secara neurologis, untuk diagnostik lebih lanjut yang menunjukkan tempat kerusakan di otak dapat dimanfaatkan teknologi tertentu seperti penggunaan CT-scan dan MRI.
Hasil penelitian yang telah dilakukan di luar negeri dengan menggunakan CT-scan, secara garis besar telah membenarkan lokalisasi sindrom afasia yang klasifikasi Boston. Sedangkan pembagian sindrom-sindrom afasia dalam TADIR menggunakan klasifikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass dan Kaplan. Hal ini yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti kembali hasil penelitian itu, terutama di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otak dengan
sindrom afasia yang diderita pasien berdasarkan hasil tes TADIR.
Di dalam penelitian ini digunakan data sekunder dari bagian Fungsi Luhur, Neurologi RSCM selama tahun 2003. Untuk menghitung korelasi antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otak dengan sindrom afasia yang diderita pasien berdasarkan hasil tes TADIR, digunakan teknik Cramer Coejicient C dan diolah dengan menggunakan program SPSS 10.0 for Windows.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara hasil CT-scan/MRI tentang lokasi kerusakan di otalc dengan sindrom afasia yang diderita pasien berdasarlcan hasil tes TADIR. Dengan demikian hasil penelitian ini akan memperkuat teori klasifikasi Boston yang dibuat oleh Goodglass & Kaplan (dalam Dharmapenvira-Prius, 2002) yang menyusun klasifikasi sindrom-sindrom afasia dimana tiap sindrom afasia dihubungkan
dengan suatu tempat kerusakan tertentu di otak. Selain itu hasil penelitian ini juga
mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan Kertesz (dalam Dharmaperwira-Prins, 2002) dengan menggunakan CT-scan yang secara garis besar membenarkan lokalisasi sindrom afasia berdasarkan klasifikasi Boston.
Sebagai penutup, diberikan saran-saran untuk penelitian selanjutnya. Untuk penelitian lanjutan dapat memperbanyak sampel, hal ini terkait dengan generalisaai hasil pada populasi. Selain itu secara statistik, dengan sampel besar diharapkan agar semua kategori dalam perhitungan dapat diolah dan tidak ada kategori yang hilang. Perlunya penelitian lanjutan akan afasia terkait dengan aspek psikososial yang ditimbulkannya, dimana seseorang yang terkena afasia akan mempunyai kesulitan besar atau kecil dalam penggunaan bahasanya. Dampak dari perubahan itu tidak hanya dirasakan oleh pasien tetapi juga keluarga dan lingkungan sekitarnya. Perlunya kerjasama lebih lanjut antara bidang neurologi, psikologi, logopedi dan Iinguistik dalam menangani gangguan bahasa atau afasia. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan informasi bagi para dokter, perawat, psikolog, terapis wicara, dan pihak lain yang terkait bahwa selain CT-scan dan MRI, tes TADIR dapat digunakan untuk mendeteksi lokasi kerusakan di otak, serta merupakan salah satu pilihan dari alat diagnostik gangguan bahasa (Afasia) dengan biaya yang relatif tenjangkau dan pelaksanaannya tidak memakan banyak waktu."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T38382
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Eka Soniawati
"style="text-align: justify;">Ketelisan dan referensi waktu yang ditandai dengan konstelasi afiks dan verba dilaporkan sulit bagi penutur agrammatik dalam lintas bahasa fleksi (Platonov & Bastiaanse, 2015). Dengan demikian, PAst DIscourse Linking Hyphothesis (PADILIH; Bastiaanse et al, 2011) mengklaim bahwa referensi waktu mengacu pada bentuk lampau menjadi kendala dan Aspect Assingment Model (AAM; Bastiaanse & Platonov, 2015) mengklaim bahwa kombinasi struktur argumen (transitivitas & ketelisan) dan referensi waktu sulit bagi penutur agrammatik. Diperkirakan bahwa fenomena serupa diamati dalam bahasa Indonesia aglutinatif (Larasati et al., 2011; Bahasa Indonesia / BI). Selanjutnya, mengisi celah pada metode rehabilitasi di TADIR (Tes Afasia untuk Diagnosis, Informasi, dan Rehabilitasi; Dharmaperwira-Prins, 1996), yang saat ini belum memiliki pedoman standar, menarik untuk memeriksa ketelisan dan referensi waktu pada penutur agrammatik. Ketelisan dalam BI mengacu pada dua parameter meliputi kedinamisan dan keduratifan (Nurhayati, 2011), sementara referensi waktu ditandai oleh adverbia aspektual dan leksikal temporal (Sneddon, 1996). 14 partisipan terbagi menjadi tujuh penutur agrammatik sebagaimana ditentukan berdasarkan TADIR dan tujuh penutur normal diuji dengan Sentence Production Priming Verbal (SPP-verbal; Bastiaanse & Platonov, 2015) dan Test for Assessing Reference of Time (TART; Bastiaanse et al., 2008). Kalimat penyusun instrumen yang divalidasi berpola subjek + verba (transitif & taktransitif) dalam bentuk turunan (Alwi et al., 2010). Hasil analisis kuantitatif dalam tugas produksi dan pemahaman ketelisan menunjukkan bahwa verba telis adalah sulit bagi penutur agrammatik dibandingkan verba atelis. Verba transitif meN--kan lebih terkendala dibandingkan verba transitif meN- dan verba taktransitif meN-. Sementara performa terhadap verba atelis menunjukkan bahwa verba transitif meN--i lebih sulit daripada verba transitif meN- dan verba taktransitif ber-. Secara kualitatif, umumnya kendala didominasi oleh omisi afiks. Kemudian, berdasarkan analisis kuantitatif dalam tugas produksi dan pemahaman referensi waktu, kinerja penutur agrammatik terutama mengacu pada bentuk lampau dan perfektif terhitung lebih rendah dibandingkan future dan imperfektif. Kendala tersebut secara kualitatif didominasi oleh subtitusi referensi waktu dan kesalahan verba. Hasil penelitian, sejalan dengan hipotesis PADILIH baik dalam tugas produksi dan pemahaman, menunjukkan bahwa referensi waktu terutama merujuk ke masa lalu yang membutuhkan penghubungan wacana cenderung sulit. Kinerja penutur agrammatik lebih rendah daripada kelompok kontrol dalam tugas adverbia aspektual dan leksikal temporal. Namun, hipotesis AAM tidak dapat sepenuhnya digeneralisasi, sebab ketelisan dan referensi waktu dalam BI tidak saling melengkapi (Montolalu, 2003). Kontribusi klinis untuk TADIR, adalah evaluasi terhadap kesulitan verba turunan dan referensi waktu, dan metode adaptif dengan memanipulasi serangkaian tes yang melibatkan tiga kerangka kewaktuan dan penekanan verba turunan sebagai upaya membangun keutuhan kalimat (lihat Webster & Whitwort, 2012).

style="text-align: justify;">Telicity and time reference marked by the constellation of affixes and verbs are reported to be difficult for agrammatic speakers in cross-inflectional-language (Platonov & Bastiaanse, 2015). Thus, the PAst DIscourse Linking Hyphothesis (PADILIH; Bastiaanse et al, 2011) claims that time reference referring to past is difficult and the Aspect Assingment Model (AAM; Bastiaanse & Platonov, 2015) claims that the combination of argument structure (transitivity & telicity) and time reference is relatively difficult for agrammatic speakers. It is predicted that a similar phenomenon is observed in the agglutinative Indonesian (Nurhayati, 2011; Bahasa Indonesia/BI). Furthermore, filling in the gap on rehabilitation method in TADIR (Aphasia Test for Diagnosis, Information and Rehabilitation; Dharmaperwira-Prins, 1996), which currently has no standard guidelines, it is interesting to examine telicity and time reference in agrammatic speakers. BI verbs have the potential to indicate telicity through inherent meaning by referring to the two semantic parameters including dynamism and durativity (Nurhayati, 2011), while time reference is simultaneously marked by adverbial and temporal adverbs (Sneddon, 1996). Fourteen participants divided into seven agrammatic speakers as determined based on the TADIR, and seven speakers without language impairment were tested with Test for Assessing Reference of Time (TART; Bastiaanse et al., 2008) and Verbal Sentence Production (SPP-verbal; Bastiaanse & Platonov, 2015). The validated sentences have the patterns of subject + verb (transitive & intransitive) in basic and derived verb forms (Alwi et al., 2010). The results of quantitative analysis in the task of production and comprehension of telicity show that telic verbs are more difficult for agrammatic speakers than atelic verbs. The most difficult are transitive verbs with meN--kan. Futhermore, examination on atelic verbs show that transitive verbs with meN-i are more difficult than transitive verbs with meN- and intransitive verbs with ber-. Qualitatively, difficulties are generally demonstrated by affix omissions. Then, based on quantitative analysis in production and comprehension of time reference, the performance of agrammatic speakers referrings to past and perfective forms are lower than imperfects and futures. These difficulties are qualitatively dominated by time reference substitutions and verb errors. The results of the study, in line with the PADILIH hypothesis both in production and comprehension tasks, show that referring to the past that requires discourse linking tends to be difficult. The performance of agrammatic speakers is lower than that of the control group in both temporal and lexical adverb tasks. However, the AAM hypothesis cannot be fully generalized, because telicity and time reference in BI are not complementary (Montolalu, 2003). As regards the clinical contribution for TADIR, an evaluation of the difficulty of derived verbs and time reference, and an adaptive method by manipulating a series of tests that involves three time frames and stresses on especially the forms of derived verbs as an effort to build sentence integrity are proposed (see Webster & Whitwort, 2012)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
T54731
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library