Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Meissa Riani
"Tanah yang tercemar minyak bumi tergolong limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3), maka dari itu tidak dapat dibuang langsung ke lingkungan. Salah satu metode yang digunakan untuk mengolah tanah yang tercemar minyak bumi adalah dengan teknik bioremediasi. Skripsi ini membahas mengenai kelebihan dan kelemahan yang ditunjukkan oleh proses bioremediasi dengan metode landfarming yang terlebih dahulu diberi tambahan dua jenis surfaktan yang berbeda, yaitu surfaktan petrokimia dan surfaktan oleokimia.
Surfaktan petrokimia yang digunakan adalah Linear Alkyl Benzene Sulfonate Acid (LABSA) sedangkan surfaktan oleokimia yang digunakan adalah Sodium Laureth Sulfate (SLS). Surfaktan SLS memiliki kelebihan yaitu bersifat terbarukan dan dapat didegradasi secara alami. Pada penelitian ini dilihat kinerja surfaktan SLS dibandingkan dengan kinerja surfaktan LABSA dalam menurunkan konsentrasi pencemar. Parameter pencemar yang diukur adalah kandungan Total Petroleum Hydrocarbons (TPH) dan metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental.
Dari data penurunan kandungan TPH terhadap waktu didapatkan bahwa sampel dengan penambahan surfaktan SLS mengalami penurunan kandungan TPH paling tinggi yaitu sekitar 64.41% dari kandungan TPH awal, diikuti dengan sampel yang diberi tambahan surfaktan LABSA yang mengalami penurunan kandungan TPH sebesar 58.56%, dan yang terakhir atau dengan kata lain kinerja yang paling rendah adalah sampel yang sama sekali tidak diberi tambahan surfaktan yaitu sebesar 38.14% dari kandungan TPH awal.

Soil that contamined by petroleum is classified as toxic and hazardous waste, and therefore can not be directly discharged into the environment. One of methods that can be used to treat petroleum-contaminated soil is bioremediation. This study discussed about the strengths and weaknesses of the bioremediation process with landfarming method where two different types of surfactants are added, that are petrochemical surfactant and oleochemical surfactant.
Petrochemical surfactant used is the Linear Alkyl Benzene Sulfonate Acid (LABSA) whereas oleochemical surfactant used is Sodium Laureth Sulfate (SLS). Surfactant SLS has the advantages that they are renewable and can be degraded naturally. In this study viewed the performance of SLS compared with the performance of LABSA in lowering the pollutant concentration. Parameter of pollutant that measured is the content of Total Petroleum Hydrocarbons (TPH) and research method used was experimental method.
From the decreasing in TPH content versus time, data showed that the samples with the addition of SLS had the highest TPH content decreased to about 64.41% of the initial TPH content, followed by the samples that were given the additional surfactant LABSA that decreased TPH to 58.56%, and the last or the lowest performance is the sample that was not given any additional surfactant that reduced TPH content to 38.14% of the initial TPH content.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
S50485
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Desti Andani
"Surfaktan merupakan bahan utama dalam pembuatan bahan pembersih dan kosmetik, seperti sabun, sampo, pasta gigi, pelembab kulit, dan pembersih muka. Berdasarkan bahan baku pembuatannya, surfaktan dapat dibedakan menjadi surfaktan petrokimia yang berasal dari gas dan minyak bumi, dan surfaktan oleokimia yang berasal dari minyak nabati. Surfaktan SLS merupakan salah satu jenis surfaktan oleokimia yang memiliki muatan negatif pada gugus antarmuka hidrofobiknya. Keunggulan Surfaktan SLS ini antara lain bersifat terbarukan (renewable resources) dan secara alami mudah terdegradasi.
Surfaktan ini dibuat dengan mengunakan bahan baku minyak kelapa murni dan melalui proses sebagai berikut: reaksi transesterifikasi untuk mengkonversi minyak menjadi metil ester; pemisahan metil laurat dari metil ester; reaksi hidrogenasi metil laurat menggunakan katalis Ni; reaksi sulfatasi dengan menambahkan H2SO4; serta netralisasi dengan NaOH.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan pemisahan metil laurat dari metil ester berdasarkan perbedaan titik leleh menggantikan pemisahan menggunakan kolom distilasi yang membutuhkan biaya besar; serta mendapatkan kondisi optimum yang meliputi suhu, laju alir gas hidrogen, dan persen berat katalis pada reaksi hidrogenasi metil laurat menggunakan katalis Ni untuk menghasilkan senyawa yang akan diproses lebih lanjut menjadi Surfaktan SLS analog. Pengujian terhadap produk hidrogenasi tersebut dilakukan dengan mengukur kemampuan menurunkan tegangan permukaan air serta menstabilkan emulsi minyak dalam air.
Hasil penelitian menunjukkan kondisi operasi optimum rekasi hidrogenasi metil laurat terjadi pada suhu 270°C, laju alir gas H2 1 ml/s, dan 30% berat katalis. Kemampuan SLS analog yang dihasilkan mampu menurunkan tegangan permukaan air hingga mencapai 44,5 mN/m penambahan 25% berat sedangkan tegangan permukaan tanpa penambahan surfaktan adalah 74 mN/m. Berdasarkan hasil uji stabilitas emulsi minyak dalam air, surfaktan yang dihasilkan mampu menstabilkan emulsi selama 1.235 detik, atau dengan kata lain dapat menaikkan kestabilan emulsi hampir enam kali lipat lebih lama.

Surfactant is known as a basic material in detergent and cosmetic manufacturing process, for products such as soap, shampoo, toothpaste, and facial foam. Based on its raw material, there are petrochemical surfactant which is produced from petroleum based material and oleochemical surfactant which is produced from natural based material. SLS surfactant is a type of surfactant which has a negative pole charge in its hydrophobic interface (hydrophobic surface-active). One major advantage of this surfactant is its renewable and degradable properties regarding environmental issue.
This surfactant is made using coconut oil as raw material, the process are as follows: trans-esterification reaction to converse virgin coconut oil to methyl ester, followed by methyl laurate separation from methyl ester based on melting point difference (not distillation which has such a high production cost), methyl laurate hydrogenation by using nickel catalyst, sulfatation reaction, adding H2SO4, and neutralization by using NaOH.
The goals of this research are to find out the effectivity of the separation based on different melting point between methyl laurate and methyl ester and to obtain the optimum reaction condition in aspects of several variables, such as temperature, hydrogen gas flow rate, and percent weight of catalyst in the hydrogenation reaction to produce substance as a based material for an analogue SLS surfactant. This research shows that the optimum operating conditions are 270°C of temperature, 1mL/s of H2 gas flow rate, and 30% wt of catalyst. Testing of these surfactants are done by measuring their ability to reduce the surface tension of water and stabilize the oil in water emulsion.
Its results show that adding 25 wt % of surfactants has surface tension of 44.5 mN/m compared to 74 mN/m or pure water. Based on the stabilizing emulsion test, surfactants can stabilize emulsion for 1,235 seconds or six times longer than mixed oil-water without surfactant.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S49680
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library