Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nasution, Yushfi Munif
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S6318
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arlene Agustina
"Penelitian ini membahas mengenai Pembatalan Persetujuan Suami Isteri/Spousal Consent terhadap pengikatan Jaminan Perseorangan atau yang dikenal sebagai Personal Guarantee dalam perjanjian kredit. Pada kasus ini suami isteri menikah setelah tahun 1974 tanpa adanya perjanjian kawin sehingga tunduk pada Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak. Sehingga ketika pembuatan Personal Guarantee diperlukan Persetujuan Suami Isteri/Spousal Consent. Permasalahan yang diangkat adalah keabsahan pembatalan Persetujuan Suami Isteri/Spousal Consent dalam perjanjian kredit; dan akibat hukum dari pembatalan Persetujuan Suami Isteri/Spousal Consent pada pengikatan jaminan dalam perjanjian kredit bagi para pihak dalam Putusan Nomor 210/PDT/2016/PT.DKI. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum yuridis-normatif atas sistematika hukum, dengan menggunakan data sekunder yang dikumpulkan melalui studi pustaka yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pembatalan spousal consent dalam putusan ini adalah sah karena dalam melakukan perbuatan hukum perkawinan suami isteri yang tidak terikat dalam suatu perjanjian kawin dan salah satu pihak ingin mengikatkan diri dengan pihak ketiga yang memiliki dampak terhadap pembebanan/penjaminan harta bersama, maka harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan tertulis dari suami/isteri tersebut. Pihak yang akan dibebani kewajiban hukum oleh orang lain harus secara tegas diberitahukan tentang hal tersebut dan kemudian ia harus menyetujui dan menandatangani, baru kemudian dia dapat dipertanggungjawabkan apabila terjadi kesalahan.

This research discusses about the cancellation of Spousal Consent on the binding of Personal Guarantees in credit agreements. In this case, the husband and wife married after year of 1974 without having a prenuptial agreement so that according to Articles 35 and 36 of Marriage Law No. 1 of 1974, the property acquired during marriage becomes joint property and regarding joint property, husband and wife can act based on the agreement between both sides, so that Spousal Consent is required when creating Personal Guarantee. The issues raised are the validity of the cancellation of Spousal Consent in the credit agreement; and the legal consequences of the cancellation of the Spousal Consent on binding Personal Guarantee in the credit agreement for the parties under the case number 210/PDT/2016/PT.DKI. To answer these problems, a juridical-normative legal research method on legal systematics is used. The results of the study conclude that in carrying out legal acts of husband and wife marriage who are not bound by a prenuptial agreement and if one of the parties wants to bind themselves with the third party which has an impact on the imposition of joint property, it must first obtain written approval from the husband/wife. The party who will be under a legal obligation by another person must be expressly notified about it and then must agree and sign, only then he can be held accountable if something goes wrong."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mirsal Bahar
Universitas Indonesia, 1987
page 73
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Mustika Sari
"Kehadiran Perseroan Terbatas sebagai suatu bentuk badan usaha dalam kehidupan sehari hari tidak lagi dapat diabaikan Dalam ketentuan Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas diatur bahwa Perseroan Terbatas dididirikan oleh dua orang atau lebih berdasarkan perjanjian yang dituangkan dalam akta pendirian yang dibuat oleh Notaris Apabila Perseroan Terbatas didirikan oleh dua orang atau lebih dan dapat dimungkinkan pemegang saham dari sebuah Perseroan terbatas adalah sepasang suami isteri Apabila Perseroan Terbatas didirikan oleh suami isteri maka mereka harus membuat perjanjian kawin agar memiliki harta terpisah sehingga masing masing bertindak sebagai subjek hukum yang mandiri dengan harta kekayaan sendiri sendiri secara terpisah Sesuai Pasal 29 Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan perjanjian perkawinan berlaku bagi pihak ketiga setelah disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan dalam hal ini setelah dicatatkan di kantor catatan sipil Sebaliknya apabila mereka tidak membuat perjanjian kawin maka mereka sebagai suami isteri merupakan satu pihak karena terjadi persatuan harta sebagaimana yang diatur dalam Pasal 119 KUH Perdata Analisis dilakukan terhadap keabsahan PT YZ yang didirikan oleh pasangan suami isteri yang menikah dengan perjanjian kawin yang tidak didaftar dan tanggung jawab Notaris X dalam pembuatan akta pendirian PT YZ Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dan analisis dengan menggunakan data sekunder dan hasil wawancara Dengan terpenuhinya persyaratan pendirian Perseroan Terbatas maka PT YZ sah sebagai sebuah badan hukum Perseroan Terbatas tetapi karena perjanjian kawin para pendiri tidak didaftar mengakibatkan tanggung jawab para pendiri menjadi tidak terbatas yang secara otomatis bentuknya menjadi persekutuan Dari hasil analisa dapat diketahui bahwa keabsahan PT YZ adalah sah sebagai dan tanggung jawab notaris X hanya sebatas perbuatan formil karena tanggung jawab Notaris dalam pembuatan akta perseroan secara umum telah ditentukan oleh undang undang dan instansi yang terkait Kata kunci Perseroan Terbatas Suami Isteri Perjanjian Perkawinan Notaris

The existence of limited liability Company in the form of business entity in daily lives is prevalent Under Law No 40 Year 2007 Limited liability Company is formed by two or more person by an agreement incorporated in a notary's deed There is a chance that shareholders of a company are spouses If the company is formed by spouses they need to have prenuptial agreement to separate their assets so both act as independent legal entity having its own asset In accordance to Article 29 on Law No 1 Year 1974 on Marriage prenuptial agreement is in force and binds third party if the agreement is validated by marriage registry in this case after the agreement is registered in civil registry Oh the other hand if they do not make a prenuptial agreement then both of the spouses are considered one entity as there is a mix of assets as governed under article 119 of Civil Code This thesis will analyze whether PT YZ's establishment is legal considering it is established by spouses with an unregistered prenuptial agreement This research will also analyze the notary X's responsibility in writing the deed of PT YZ This research is literature based using secondary data and interview result Since PT YZ fulfilled all the requirement as a legal entity thus PT YZ is valid as a legal entity of limited liability Company However since the prenuptial agreement of the founder of PT YZ is unregistered automatically PT YZ can only be considered as an association From the analysis and the notary X's responsibility is limited to formal activity From the analysis we will find out that PT YZ is valid as a legal entity and the notary X's responsibility is limited to formal activity as Notary's responsibility in forming Company's need is set out under the law and related agency Keywords Limited Liability Company Spouses Prenuptial Agreement Notary"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T43334
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nissa Sabrina
"Pada pendirian persekutuan komanditer terdapat persyaratan yang harus dipenuhi oleh pendiri. Pendiri dalam hal ini merupakan perorangan yang tentunya cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Suami isteri merupakan perorangan yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum khususnya mendirikan persekutuan komanditer. Namun terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan apabila suami isteri akan mendirikan persekutuan komanditer karena mereka tunduk pula pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tantang perkawinan yang menyangkut harta bersama mereka. Maka timbul permasalahan bagaimana pendirian persekutuan komanditer yang didirikan suami isteri tanpa adanya perjanjian kawin, bagaimana pendirian persekutuan komanditer yang didirikan suami isteri tanpa adanya perjanjian kawin apabila terdapat utang dalam persekutuan komanditer, bagaimana peran notaris apabila terdapat suami isteri yang akan mendirikan persekutuan komanditer.
Penulis meneliti permasalahan tersebut dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Suami isteri tidak dapat mendirikan persekutuan komanditer karena terdapat syarat yang tidak terpenuhi yaitu didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih. Selain itu apabila terdapat utang dalam persekutuan komanditer maka pihak yang menjadi sekutu pasif ikut bertanggung jawab terhadap utang. Dalam hal ini definisi persekutuan komanditer tidak terpenuhi. Dalam hal ini peran notaris sangat penting karena notaris wajib membuat akta dengan seksama dan melakukan penyuluhan atas aktanya itu. Suami isteri yang akan mendirikan persekutuan komanditer dapat membuat perjanjian kawin terlebih dahulu, hal ini dapat dilakukan karena sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015 perjanjian kawin dapat dibuat setelah perkawinan.

In the establishment of a limited partnership, there are requirements that must be fulfilled by the founder. The founder in this case is an individual who is certainly capable to perform legal acts. Husbands and wives are capable individuals to perform legal acts especially establishing a limited partnership. But there are things that need to be considered if the husband and wife will establish a limited partnership because they are also obey the Law No. 1 Year 1974 about Marriage concerning their community property. Then some issues will arises, how the establishment of limited partnership established by husband and wife without any prenuptial agreement, how the establishment of limited partnership established by husband and wife without any prenuptial agreement if there is a debt in the limited partnership, how the role of a notary if there are husband and wife who will establish a limited partnership.
The author examines these issues using normative juridical research method. Husband and wife cannot establish a limited partnership because there are unfulfilled conditions to establish a limited paertnership. Limited partnership is established by 2 (two) people or more. In addition, if there is a debt in a limited partnership then the party that becomes the passive ally involved in the debt. In this case the definition of limited partnership is not fulfilled. The role of notary is very important because the notary must make a notarial deed carefully and do counseling about their notarial deed. Husband and wife who will establish a limited partnership can make the prenuptial agreement in advance, this can be done because in accordance with the Decision of the Constitutional Court Number 69 / PUU-XII / 2015 that prenuptial agreement can be made after marriage."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49445
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miwa Patnani
"Setiap pasangan menikah biasanya menginginkan untuk memiliki anak sebagai keturunan. Namun tidak semua pasangan memiliki anak meskipun telah menikah bertahun-tahun dengan berbagai penyebab. Ketidakhadiran anak dalam perkawinan menimbulkan berbagai dampak baik dampak positif maupun negatif. Riset empiris menunjukkan bahwa pasangan yang tidak memiliki anak memiliki kualitas perkawinan yang rendah, namun sebagian riset lain menunjukkan kebalikannya. Perbedaan tersebut diasumsikan karena adanya perbedaan individu dalam memaknai pengalamannya. Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam
bagaimana pengalaman pasangan tanpa anak dalam menjalani perkawinannya, dan bagaimana peranan konteks dalam mempengaruhi pengalamannya tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi fenomenologi yang menekankan pada pengalaman partisipan. Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 11 orang yang telah menikah minimal selama 3 tahun dan belum pernah memiliki anak. Metode pengambilan data dilakukan dengan
wawancara mendalam. Hasil wawancara kemudian dianalisis dengan menggunakan Interpretative Phenomenology Analysis (IPA) yang menghasilkan 8 tema pengalaman partisipan, yaitu pengalaman positif, pengalaman negatif, penerimaan, relasi dengan pasangan, relasi dengan lingkungan, relasi dengan Tuhan, konflik, dan penilaian pada perkawinan.
Kesimpulan dari penelitian menunjukkan bahwa pasangan tanpa anak merasakan pengalaman positif maupun negatif terkait dengan kondisinya. Dengan interaksi yang positif dan dukungan sosial dari lingkungan terdekat memudahkan penerimaan terhadap ketidakhadiran anak dalam perkawinan yang pada akhirnya mempengaruhi penilaian yang positif terhadap kualitas perkawinannya.

It is such a common thought to every married couple to have children as heirs, especially in pro natalist country. Unfortunately, not every married couple could have children due to some condition, mainly infertility related. The absence of children causing both positive and negative impact to the couple. Some empirical studies showed that childless couple have a high quality married, but some studies showed the opposite result. The contradictive result assumed to be caused by the individual differences in their experiences. This study aimed to explore how involuntary childless’ experience and how these experiences affected by context. Qualitative
approached using phenomenological study is considered to be the best approach to answer these research questions. Participants of this study were 11 individuals who considered as involuntary childless, have been married for at least 3 years and never have biological children. Data was gathered by in depth interview, and analyzed using Interpretative Phenomenological Analysis.
Result showed 8 themes including positive experience, negative experience, acceptance, spousal relation, external relation, religious relation, conflict and marital evaluation. As a conclusion, this study suggest that involuntary childless have both positive and negative
experience due to their condition. Along with positive interaction and social support, involuntary childless develop a good coping strategies to cope and lead to an acceptance to the absence of children. Furthermore, it will affect to the evaluation of the high quality of marriage.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library