Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Sanusar
"Primary saturator coil dipasang pada Pusri 11 berfungsi untuk meningkatkan temperatur uap-air pada sisi masuk ± 195 °C dan sisi keluar t 205 °C dengan tekan cat operasi 140 kg/cm, naiknya temperatur tersebut didapat dengan memanfaatkan panas sisa gas buang pada sisi masuk f 215 °C dan sisi keluar t 208 ' yang didapatkan dari pembakaran dapur primary reformer. Primary saturator coil 101-B P-PP difabrikasi oleh SEB dengan desain aleh FOSTER WHEELER UK London Inggris tahun 1990. Bahan saturator coil Austeniti c stainless steel sesuai ASTM SA 312 IF 304.
Primary saturator coil P-II yang telah beroperasi selama 2 tahun, diketahui bocor pada saat paneriksaan rutin tahun 1995. Kebocoran tersebut ditenuci pada baris ke-3 dari arah brava dan kolom ke-3 dari samping kanan, yang berjarak f 50 an. dari carter line hider, yang dilakukan saat test hydrostatis dengan tekanan t 75 kg/an, selama 45 menit.
Analisis kegagalan yang dilakukan pada saturator coil 101-B P-11 dengan memotong 125 an pada tube yang mengalami kebocoron. Disarming pemeriksaan visual pada tube saturator coil yang bocor, diambil sampel pada posisi melintang dan menumjang Untuk pengamataa metalograffi, perneriksaan yang lain adalah naicrohardness serta Energi Dispersi Spektrometer (EDS), untuk mengamati pengaruh proses High Frequency Resitance Welding (IIFRW) pads tube dan,in, dari tube saturator coil.
Dari hasil analisis dapat diduga bahwa penyebab kegagalan adalah Stress Corrosion Craciding (SCC), karena adanya residual stress, sensitasi akibat pengelasan dan adanya unsur dorida (Cl)."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1996
T8932
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Stress-Corrosion Cracking details the many conditions under which SCC can occur, the parameters which control SCC, and methodologies for mitigating and testing for SCC, plus information on the mechanism of SCC with experimental data on a variety of materials. It contains information about the environmental, mechanical, microstructural and chemical aspects of SCC to help predict and prevent component failure.
Chapters include coverage of SCC for materials and SCC in different environments: carbon and low-alloy steels; high-strength steels; stainless steels; nickel-base alloys; copper alloys; aluminum alloys; magnesium alloys; titanium alloys; zirconium alloys; uranium alloys; amorphous alloys; glasses and ceramics; and weldments in boiling water reactor service."
Materials Park, Ohio: ASM International, 1999
e20442472
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Indra
"ABSTRAK
Baja paduan rendah berkekuatan tinggi dapat diperoleh dengan perlakuan panas (normalisasi, quench--temper) dan penambahan unsur paduan penghalus butir. Kekuatan tinggi tersebut dapat dicapai tetapi ketangguhan akan berkurang dan rentan terhadap korosi retak tegang. Banyak kegagalan telah terjadi dalam penggunaan baja tersebut dan pada daerah sambungan las diperkirakan sebagai bagian kritikal terjadinya pertumbuhan retak. Menurut beberapa referensi, penggunaan baja dengan kekuatan luluh dibawah 135 KPsi secara umum imun terhadap lingkungan yang merusak seperti terjadinya korosi retak tegang. Kepekaan material getas maupun tangguh terhadap korosi retak tegang tergantung pada penerapan tegangan dan lingkungan yang dilayaninya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kelayakan penggunaan pipa baja berkekuatan tinggi terhadap lingkungan H2S/CO2 dari ikutan senyawa kondensat (sour corrosion) dan mekanisme terjadinya kegagalan korosi retak tegang.
'Metode yang digunakan adalah dengan melakukan pemeriksaan visual (pengukuran dimensi), uji NDT, uji sifat mekanis, uji metallografi dan uji korosi pada setiap specimen serta daerah yang mengalami kegagalan.
Hasil observasi menunjukkan bahwa telah terjadi retak patah getas prematur pada pipa yang berorientasi tegangan, diperkirakan hoop stressnya 85% SMYS (specified minimal yield strength) atau masih dibawah desain Hoop stress 90% SMYS dan tidak dijumpai adanya retak pada bagian yang mengalami kompressi. Material pipa tersebut sebenarnya masih layak untuk dioperasikan dengan keberadaan kekuatan pipa sisa (perbandingan antara tebal pipa dengan kedalaman korosi sumuran) sekitar 3,83% atau masih dibawah 10% dari yang diizinkan. Menurut beberapa sumber acuan umumnya material yang mempunyai tingkat kekerasan 200 HB (248 HV) rentan untuk terjadinya korosi retak tegang. Hasil pengujian kekerasan pada logam induk A 182 HV, HAZ A 181 HV, las A 171 HV. Selanjutnya pada logam induk B dan C (279 HV dan 256 HV), daerah HAZ B dan C (234 HV dan 219 HV), las B dan C (227 HV dan 213 HV). Berarti material pipa daerah upstream (B) dan downstream (C) rentan untuk terserang korosi retak tegang. Sedangkan hasil pengamatan metalografi mengindikasikan bahwa penjalaran retak diawali dari batas butir.
Lingkungan H2S mudah melepaskan H+ terhadap material tersebut sehingga dapat menyebabkan penggetasan hydrogen (hydrogen emrittlement,).
"
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Badaruddin
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh prestrain terhadap perilaku korosi retak tegang stainless steel AISI 304 dalam larutan H2SO4 konsentrasi 10% dengan pembebanan kantilever statis (ASTM E-1681). Prestrain dilakukan dengan meregangkan spesimen hingga mencapai regangan merata 5% dan 10% diatas tegangan luluh bahan, menggunakan servopulser UTM 9506 dengan kontrol kecepatan 0,3 mm/sec.
Hasil pengujian menunjukan bahwa spesimen dengan 5% prestrain lebih cepat mengalami kegagalan daripada spesimen 10% prestrain dan tanpa prestrain. Hal ini disebabkan menurunnya keuletan dan periode inkubasi yang singkat. Perubahan defleksi hanya dapat diamati pada pembebanan 20% tegangan luluh bahan. Retak intergranular ditemukan pada spesimen 10% prestrain pada pembebanan statis 616 MPa. Sedangkan pada specimen 10% prestrain ditemukan retak transgranular pada pembebanan statis 554,4 MPa. Retak kombinasi ditemukan pada specimen 5% prestrain pada pembebanan statis 369,6 MPa. Semakin tinggi densitas dislokasi pada lapisan permukaan akibat deformasi plastis, semakin sulit difusi hidrogen pada ujung retak. Konsekuensinya, periode inkubasi dapat diperlama.

Stress Corrosion Cracking Behavior of Stainless Steel 304 in the Sulfuric Acid Environment Due to Prestrain. The aim of research is to investigate the effect of prestrain on the stress corossion cracking behavior of AISI 304 stainless steel in the sulfuric acid of 10% concentration under the static cantilever loading according to ASTM E-1681 standart. The specimen of 304 Stainless steel was strain up over the yield strength until reaching the uniform strain of 5% and 10% using servopulser UTM 9506 under the displacement control of 0,3 mm/sec.
The results of test show that the prestrain of 5% specimen is faster failure than both of the prestrain of 10% and unprestrain specimen. It was caused by both of the decrease of ductility and the short incubation period. The change of deflection could be only recorded under the loading 20% of yield strength. Intergranular crack was the prestrain of 10% specimen under the static loading of 616 MPa. Whereas, for the prestrain of 10% specimen transgranular crack was found under the static loading of 554,4 MPa. The prestrain of 5% specimen was mixed crack under the static loading of 369.6 MPa. Higher dislocation density on the layer surface due to plastic deformation with increasing the percentage of pre-strain, so more difficult hydrogen diffused into the crack tip. Consequently, The incubation period can be prolonged."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2006
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Vicky Indrafusa
"ABSTRAK
Kerentanan dan perilaku korosi retak tegang baja SAE 1086 dalam larutan
simulasi tanah dengan pengaruh tegangan aplikasi diinvestigasi dengan
menggunakan pengujian bent beam korosi retak tegang. Selain itu, pada pengujian
ini akan dicari tahu mekanisme korosi retak tegang yang terjadi pada baja SAE
1086 dalam larutan simulasi tanah. Kerentanan korosi retak tegang ditentukan
dengan menghitung densitas pit yang dihasilkan pada permukaan baja SAE 1086.
Kehadiran pit pada permukaan baja SAE 1086 dapat bertindak sebagai tempat
inisiasi retak. Sedangkan mekanisme korosi retak tegang diamati dengan
polarisasi linear, polarisasi potensiodinamik (linear sweep voltammetry), dan
perubahan sifat mekanis. Peningkatan tegangan aplikasi akan menghasilkan
jumlah pit yang semakin banyak, dimana untuk tegangan aplikasi 55 % YS
dihasilkan 40 pit/mm2, 60 % YS dihasilkan 179 pit/mm2, dan 65 % YS dihasilkan
413 pit/mm2. Jadi kerentanan korosi retak tegang baja SAE 1086 dalam larutan
simulasi tanah akan meningkat seiring dengan semakin besar tegangan yang
diaplikasikan. Baja SAE 1086 dalam larutan simulasi tanah akan mengalami
korosi retak tegang dengan mekanisme pelarutan anodik.

Abstract
The stress corrosion cracking susceptibility and behavior of SAE 1086 steel
in simulated soil solution under the effect of applied stress was investigated by
bent beam stress corrosion test. Furthermore, in this paper would be found out the
mechanism of stress corrosion cracking SAE 1086 steel in simulated soil solution.
Stress corrosion cracking susceptibility was determined by calculate the density of
pits on the surface of SAE 1086 steel. The presence of pits on the surface of SAE
1086 steel can act as crack initiation sites. While the mechanism of stress
corrosion cracking was observed by linear polarization, potentiodynamic
polarization (linear sweep voltammetry), and changes in mechanical properties.
Increasing applied stress will increase amount of pit produced, where at applied
stress 55 %, 60 %, and 65 % referred to YS (yield strength) would be produced 40
pits/mm2, 179 pits/mm2, and 413 pits/mm2 sequentially. So, the stress corrosion
cracking susceptibility of SAE 1086 steel in simulated soil solution will increase
with greater applied stress. In simulated soil solution, SAE 1086 steel will
encountered stress corrosion cracking by anodic dissolution mechanism."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S43569
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rendi Fajar Binuwara
"ABSTRAK
Aluminium Alclad 2014 memberikan kekuatan tinggi dan ketahanan korosi yang
baik pada lingkungan yang korosif untuk diaplikasikan pada industri pesawat
terbang. Pengaruh proses penuaan terhadap ketahanan korosi retak tegang dengan
parameter waktu (5 jam, 8 jam, dan 10 jam) ditinjau dengan standar Bent-Beam
ASTM G39 dalam lingkungan salt spray NaCl 5% sesuai dengan ASTM B117
selama 10 hari. Perilaku korosi sampel dengan menggunakan salt spray
menujukkan tidak adanya korosi retak tegang pada semua kondisi, tetapi korosi
lubang yang cukup parah pada kondisi penuaan alami (T4). Ketahanan korosi
yang lebih baik dalam lingkungan Cl- diperoleh pada semua kondisi penuaan.
Dalam aluminium paduan Al-Mg-Si (seri 6xxx), yang berfungsi sebagai lapisan
clad dari aluminium 2014, endapan MgSi2 menjadi tempat terserangnya korosi
karena endapan ini bersifat anodik dibandingkan matriks Al. Ketahanan tertinggi
hingga paling rendah terhadap korosi lubang dan korosi retak tegang dari
aluminium Alclad 2014 berturut-turut adalah kondisi penuaan 8 jam, 5 jam, 10
jam, dan T4 akibat distribusi fasa intermetalik.

ABSTRACT
Aluminum Alclad 2014 is used when high strength with good resistance to
corrosion are required, include in aircraft industry. Effect of artificial aging time
parameters ( 5 hour, 8 hour, and 10 hour) on improvement stress corrosion
cracking was investigated using Bent-Beam Test Method with ASTM G39 in salt
spray contain 5% NaCl according to ASTM B117 within 10 days. Corrosion
behavior of specimen using salt spray showed no stress corrosion cracking
occurred, but severe pitting corrosion was introduced in natural aging (T4)
condition. Greater corrosion resistance in Cl- containing environment achieved in
artificial aging process. In Al-Mg-Si alloy (6xxx series) as cladding of aluminum
2014, MgSi2 precipitate are reported to activate corrosion process in which MgSi2
acts as anode and dissolve preferentially than matrix Al cathode. Sequence of
pitting and stress corrosion resistance with anodic dissolution for the specimen is
8 hour, 5 hour, 10 hour, and T4 due to distribution of intermetallic phase."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S42180
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ardiles
"ABSTRAK
SS 304 adalah material yang saat ini banyak digunakan sebagai pipeline
dan juga material coloumm vessel. Namun, pada pengaplikasiannya material ini
banyak mengalami kegagalan SCC dalam lingkungan NaCl.Pengaruh tegangan
terhadap kerentanan korosi retak tegang SS 304 dalam Lingkungan NaCl
dilakukan dengan metode bent beam dengan variasi tegangan 30%, 40%, dan 50%
dari tegangan luluh ( yield stress ). Pengujian dilakukan dengan salt spray selama
4 minggu dan dilakukan dye penetrant test untuk melihat keberadaan retak.
Pengamatan mikrostruktur dilakukan untuk verifikasi hasil pengujian dye
penetrant test. Perilaku korosi diamati melalui polarisasi linear dan metode weight
loss. Retak tidak terjadi pada setiap aplikasi tegangan. Namun, kerentanan
terhadap korosi retak tegang ditentukan dengan densitas pitting pada setiap
tegangan aplikasi. Semakin besar tegangan aplikasi maka densitas pitting akan
semakin meningkat dan kerentanan terhadap korosi retak tegang juga semakin
meningkat. Korosi yang terjadi pada SS 304 adalah pitting corrosion yang
ditandai dengan hasil polarisasi linear dan weight loss yang laju korosinya sangat
kecil.Pengamatan struktur mikro menunjukkan terdapatnya pitting pada setiap
tegangan aplikasi.

ABSTRACT
SS 304 is material that mostly used as pipeline and coloumn vessel. This
material mostly failed because SCC when it is aplicated in NaCl environment.
Effect of applied stress on stress corrosion cracking susceptibility can be
examined with two point loaded bent beam method with variation of applied
stress are 30%, 40%, and 50% of yield stress. Sample is examined in salt spray for
4 weeks and dye penetrant test is done to see existance of retak. Beside that,
microstructure examination is done to verificate the result of dye penetrant test.
Corrosion behavior can be observed with linear polarisation and weight loss
method.Based on examination result, crack is absence in each applied stress.
Susceptibility of stress corrosion cracking can be determined with density of
pitting. Pit morfology show high density when SS 304 subject to high applied
stress. Type of corrosion in SS 304 is pitting corrosion. Linear polarisation and
weight loss show low corrosion rate. Microstructure observation show existence
of pitting in each applied stress."
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2012
S42185
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfy Faluthi Firdaus
"ABSTRAK
Peralatan penukar panas tipe shell and tube merupakan peralatan yang berfungsi untuk mentransfer panas di antara dua atau lebih fluida. Di industri pengolahan minyak, peran peralatan ini sangatlah penting. Kegagalan pada alat penukar panas akan berdampak terhadap keandalan, ketersediaan, dan keamanan peralatan secara keseluruhan, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerugian finansial. Oleh karena itu, penyelidikan perlu dilakukan untuk mengetahui akar penyebab kegagalan tabung penukar panas, sehingga kegagalan yang serupa tidak terulang kembali di kemudian hari. Penyelidikan dilakukan pada bagian shell dan tube yang meliputi pengamatan lapangan, pengukuran dimensi, pengamatan visual, serta melakukan pengujian tidak merusak menggunakan die penetran.
Dari pengamatan pada bagian shell, tidak tampak ada tanda kerusakan pada bagian luar maupun dalam, sedangkan pengamatan pada bagian tube tampak tanda kerusakan sehingga dilakukan pengujian metalografi dengan mikroskop optik dan pemindaian mikroskop elektron, dan analisis komposisi kimia.
Hasil analisis menyimpulkan bahwa akar penyebab kegagalan pada tube adalah karena retak korosi retak tegang (stress corrosion cracking), yang disebabkan oleh kombinasi dari lingkungan kerja asam dan tegangan tarik.

ABSTRACT
Shell and tube type heat exchanger is the equipment that functioned to transfer heat between two or more fluids. In the oil processing industry, the role of this equipment is very important. Failure of the heat exchanger will have an impact on the overall reliability, availability and safety of the equipment, which in turn can cause financial losses. Therefore, an investigation needs to be carried out to find out the root cause of the failure of the heat exchanger tube, so that similar failures do not recur in the future. Investigations were carried out on the shell and tube sections which included field observations, dimensional measurements, visual observations, as well as non-destructive testing using die penetrants.
From observations on the shell, there were no visible signs of damage either on the outside or inside, while observations on the tube showed signs of damage so metallographic testing with optical microscop and scanning electron microscop, and chemical composition analysis were carried out.
The results of the analysis concluded that the root cause of failure in the tube is due to stress corrosion cracking, which is caused by a combination of acid working environment and tensile stress."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmana Putra Leuvinadrie
"Lapangan-X merupakan salah satu penyumbang gas terbesar di Jawa Barat, dimana
pelanggan gasnya merupakan perusahaan-perusahaan yang memberikan konstribusi
terhadap keberlangsungan perekonomian di pulau Jawa. Gas alam lapangan-X memiliki
kandungan CO2 dengan konsentrasi tinggi sebesar 23%, pengoperasian pemisahan CO2
removal dimaksudkan untuk mengurangi kandungan CO2 sehingga memiliki heating
value yang tinggi. Hal ini karena CO2 dengan kadar > 5% dapat mempengaruhi heating
value gas, toxicity dan sangat korosif khususnya pada pelanggan untuk memproses lebih
lanjut produknya. Pada proses pemurnian gas di lapangan-X, bejana tekan Absorber, LP
Flash Column dan Rich Solution heater memiliki peranan utama dalam proses absorbsi
CO2. Hasil analisa menunjukkan mekanisme kerusakan aktual bejana tekan dengan
standard amine treating pada API RP 571 memiliki perbedaan, khususnya mekanisme
kerusakan amine corrosion pada ketiga bejana tekan dan chloride stress corrsion cracking
pada LP Flash Column. Nilai corrosion rate tertinggi sebesar 0,604 mm/year pada tahun
2020 karena adanya peningkatan jumlah HCO3- dalam bentuk kondensasi asam (HSAS)
yang dapat bereaksi dengan Fe akibat perubahan temperatur proses melalui model
corrosion rate Y = -0,0556x + 4,6359 (head) dan Y = -0,0161x + 1,3682 (shell) pada
bejana tekan. Dari matriks kekritisan didapatkan 2 bejana tekan pada peringkat resiko
medium dan 1 bejana tekan medium high, sehingga respon inpeksi/maintenance yang
perlu dilakukan adalah bersifat corrective maintenance dengan interval setiap 6 tahun
sekali dan ruang lingkup inspeksi pada kategori medium. Model polynomial Y =
0,0007X2 – 0,0099X + 3,7452 (head) dan Y = 0,0005X2 – 0,0842X + 3,3876 (shell)
sebagai model prediksi amine corrosion rate pada temperatur rentang 40 s/d 1300C
menunjukkan perbedaan grafik antara aktual dan standard API RP 581, hal ini disebabkan
karena pada standard prediksi corrosion rate digunakan untuk amine treating pada sistem
H2S dan CO2 sedangkan pada grafik polynomial aktual digunakan untuk prediksi
corrosion rate untuk amine treating pada sistem CO2 tanpa adanya H2S.

Field-X is one of the largest gas contributors in West Java, where gas customers are
companies that contribute to the sustainability of the economy in Java. X-field natural
gas has a high CO2 content of 23%, the CO2 removal operation is intended to reduce the
CO2 content so that it has a high heating value. This is because CO2 with levels> 5% can
affect the heating value gas, toxicity and is very corrosive, especially for customers to
further process the product. In the gas purification process in field-X, the Absorber
pressure vessel, LP Flash Column and Rich Solution heater have a major role in the CO2
absorption process. The analysis results show that the actual damage mechanism of the
pressure vessel with the standard amine treating on API RP 571 has a difference,
especially the damage mechanism of amine corrosion in the three pressure vessels and
chloride stress corrosion cracking on the LP Flash Column. The highest corrosion rate value
is 0.604 mm / year in 2020 due to an increase in the amount of HCO3- in the form of acid
condensation (HSAS) which can react with Fe due to changes in process temperature
through the corrosion rate model Y = -0.0556x + 4,6359 (head) and
Y = -0.0161x + 1.3682 (shell) in the pressure vessel. From the criticality matrix, there
are 2 pressure vessels at the risk rating for medium and 1 pressure vessel for high medium,
so that the inspection / maintenance response that needs to be done is corrective
maintenance at intervals every 6 years and the scope of the inspection is in the medium
category. Polynomial model Y = 0.0007X2 - 0.0099X + 3,7452 (head) and
Y = 0.0005X2 - 0.0842X + 3,3876 (shell) as a prediction model for amine corrosion rate
at temperatures ranging from 40 to 1300C shows the difference in the graph between the
actual and the API RP 581 standard is because the prediction standard of corrosion rate
is used for amine treating in H2S and CO2 systems while the actual polynomial graph is
used for prediction of corrosion rate for amine treating in CO2 system without H2S.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Setiawan
"Korosi retak tegang merupakan proses korosi yang dihasilkan dari kombinasi sinergis antara tegangan, lingkungan yang korosif serta karakteristik dari material. Pengujian ini mengamati fenomena korosi pada material baja sponge rotary kiln X dan Y yang memiliki komposisi yang berbeda, dimana material X memiliki kandungan nikel dan kromium yang lebih tinggi dibandingkan Y. Metode bentbeam spesimen digunakan untuk melihat ketahanan korosi kedua material pada tegangan aplikasi dan lingkungan yang berbeda dimana lingkungan yang digunakan mengandung ion klorida.
Hasil penelitian menunjukkan terbentuknya lubang pada permukaan material. Pengamatan terhadap fenomena korosi material dilakukan dengan menghitung diameter dan kedalaman lubang yang terbentuk dan perubahan berat yang terjadi setelah pengujian. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan peningkatan tegangan dan kadar NaCl, diameter dan kedalaman lubang yang terbentuk semakin bertambah. Selain itu pengurangan berat dan laju korosi juga semakin meningkat. Hasil secara umum menunjukkan bahwa material X memiliki ketahanan korosi yang lebih baik daripada Y.

Stress corrosion cracking is a corrosion process caused by a synergy combination between stress, corrosive environment and material characteristic. This experiment observed corrosion phenomena of sponge rotary kiln steel X and Y whose different compositions, which X has higher nickel and chromium contents than Y do. Bent-beam specimen method used here to observe those two material corrosion resistances in different application stresses and chloride ions-containing environments.
The experimental results showed pits in material surface. Observations of material corrosion phenomena were done by measuring pit diameter and depth and weight loss of the material after exposure. The results showed that pit diameter and depth increased as stress and sodium chloride concentration increased. Besides that, weight loss and corrosion rate of material increased. The common results showed that X has better corrosion resistance than Y.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S41724
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library