Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
Daffa Wibisono Krisrashmansyah
"Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuat media berpotensi untuk memengaruhi pola pikir dan kebudayaan masyarakat. Kekuatan visual diandalkan oleh media untuk menarik perhatian pengguna serta mempermudah dalam penyampaian pesan. Hal tersebut telah menyebabkan terbentuknya realitas baru yang tidak berkaitan dengan dunia nyata atau disebut dengan hiperrealitas. Hiperrealitas sendiri merupakan suatu kondisi di mana realitas dengan hal-hal fiksi menjadi sulit untuk dibedakan. Penelitian ini menganalisis bagaimana film Suzume no Tojimari (2023) membentuk hiperrealitas. Studi ini juga meninjau bagaimana keterkaitan hiperrealitas yang dibentuk dengan konteks peningkatan pemahaman dan kesadaran audiens terhadap bencana alam. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, serta menggunakan teori hiperrealitas dan simulakra oleh Jean Baudrillard untuk memahami apa saja kumpulan simulakra (elemen-elemen fantasi) yang dapat memungkinkan timbulnya hiperrealitas pada film Suzume no Tojimari. Penelitian berargumen bahwa anime ini berpotensi menimbulkan hiperrealitas karena adanya pembauran antara elemen-elemen fantasi dengan simbol-simbol replikasi dari dunia nyata. Hiperrealitas yang dibentuk dalam Suzume no Tojimari juga berkemungkinan untuk menjadi alat bantu jika benar-benar dikaitkan dengan tujuan Shinkai Makoto selaku pembuat anime ini yaitu meningkatkan pemahaman dan kesadaran penonton terhadap bencana alam. Hiperrealitas terjadi ketika elemen-elemen fantasi seolah-olah menjadi lebih nyata dan berpotensi untuk memengaruhi realitas itu sendiri, dan representasi dari bencana alam pada anime ini dibalut oleh elemen-elemen fantasi tersebut.
The development of Information and Communication Technology has given media a powerful influences in changing societal mindsets and culture. Media often relies on strong visual elements to grab attention and make messages easier to understand. This influence has led to the creation of a new kind of reality that is not connected to the real world, known as hyperreality. Hyperreality itself is a condition where reality and fiction become difficult to distinguish. This study analyses how hyperreality that related to the causes of natural disasters is constructed in the Suzume no Tojimari (2023) movie. It also examines how this portrayal can help improve viewers in understanding and awareness of natural disasters. This study using a descriptive qualitative approach and also applies Jean Baudrillard’s theory of hyperreality and simulacra to identify the various fantasy elements in Suzume no Tojimari that can shape a sense of hyperreality. This study finds that this anime has the potential to shape hyperreality due to the blending of fantasy elements with symbol that replicated from reality. The hyperreality that constructed in Suzume no Tojimari also has the potential to be an effective tool if the movie if it aligns with Shinkai Makoto’s Goal of increasing audience understanding and awareness of natural disasters. Hyperreality is shaped when fantasy elements seem more real than reality itself, and the natural disasters that represented in Suzume no Tojimari are wrapped in these fantasy elements."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Mecca Yumna Ning Prisie
"Iklan tidak dapat lepas dari hiperrealitas, karena iklan merupakan penggambaran dari realitas sosial dengan simbol dan makna yang sudah diubah sedemikian rupa agar sesuai dengan kebutuhan korporasi. Dengan mengetahui realitas sosial masyarakat, pengiklan seringkali mengeksploitasi masyarakat lewat persuasinya melalui celah berupa kurangnya literasi media masyarakat. Misinterpretasi sering terjadi karena kurangnya kemampuan literasi media. Untuk mengatasi hal ini diperlukan adanya kemampuan literasi media oleh kedua belah pihak. Pengiklan dapat menyampaikan pesan yang dapat membujuk konsumen tanpa harus mengorbankan etika periklanan, dan masyarakat dapat memahami pesan iklan tersebut dengan konteks yang sesuai.
Advertisement is always tied to hyperreality, since advertisement mirrors the social reality within a society, but with its symbols and meanings altered to fit the corporation's needs. By acknowledging the social reality, advertisers often exploit the society through its persuasion, through the gap which is their target's lack of media literacy. Misinterpretation is a common case because of the absence of this skill. As a solution to this, it is important to possess media literacy, be it the advertisers or the people. Advertisers can convey messages without sacrificing the ethics, while the people can comprehend the advertisement's message with the proper context. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Varinnia
"Penelitian ini menguji apakah penggunaan teknologi digital pada karya seni membuat adanya perubahan strategi pada penyajian karya seni lukis di galeri seni peringkat atas di Uni Eropa terutama di kala pandemi COVID-19 terjadi. Penelitian ini ingin membuktikan bahwa dengan adanya perubahan strategi tersebut terjadi adanya aksesibilitas tinggi dari masyarakat dan penikmat seni, bukan hanya di Eropa tapi juga di dunia, akan karya seni lukis bentuk digital di galeri seni peringkat atas di Uni Eropa. Penelitian ini mengemukakan bahwa dengan adanya penggunaan teknologi digital pada karya seni lukis maka membuat adanya aksesibilitas yang memudahkan pengunjung atau penikmat seni dalam mengakses dan menikmati karya seni lukis di galeri seni tersebut, hingga menimbulkan kebiasaan baru dalam menikmati karya seni lukis digital. Penelitian ini menggunakan konsep Simulakra dari Jean Baudrillard untuk membuktikan bahwa kemajuan teknologi merupakan pergeseran bentuk karya seni ke arah yang lebih modern, menggunakan teori distingsi (pembedaan) dari Pierre Bourdieu untuk menjelaskan mengenai selera individu penikmat seni lukis lewat konsep estetika yang menentukan minatnya, serta menggunakan pendekatan studi sosiologi urban dari Georg Simmel yang menjelaskan keterkaitan subkultur di daerah perkotaan, serta struktur internal segmen masyarakat yang berhubungan dengan minat masyarakat ke galeri seni.
This study examines whether the use of digital technology in paintings results in a change in strategy for presenting paintings in high-ranking art galleries in the European Union, especially during the COVID-19 pandemic. This research wants to prove that with this change in strategy, there is high accessibility for the public and art lovers for digital paintings in top-ranked art galleries, not only in Europe but also in the world. This study argues that the use of digital technology in paintings creates accessibility that makes it easier for visitors or art lovers to access and enjoy paintings in the art gallery, thus creating new habits in enjoying digital paintings. This study uses the Simulacra concept from Jean Baudrillard to prove that technological progress is a shift in the form of art to a more modern direction, also uses the distinction theory from Pierre Bourdieu to explain the individual tastes of painting lovers through aesthetic concepts that determine their interests, and uses Georg Simmel's approach to urban sociology studies that explains the interrelationships of subcultures in urban areas, as well as the internal structure of community segments related to public interest in art galleries."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Rafli Syahrizal
"Wacana Pandemi Covid-19 mengilhami pengarang untuk merefleksikannya ke dalam bentuk karya sastra. Cerpen “Simuladistopiakoronakra” karya Seno Gumira Ajidarma hadir sebagai kritik sosial di tengah kondisi pandemi ini. Cerpen itu menghadirkan tema dunia distopia dan simulakra, serta hiperrealitas yang relatif baru dan menarik dalam khazanah kesusastraan Indonesia. Tulisan ini bertujuan menguraikan gambaran narasi distopia yang dibangun oleh pengarang, serta membedah fakta dan citra yang membentuk realitas simulakra dan hiperrealitas masa depan dunia yang distopik. Penelitian ini menggunakan pendekatan posmodernisme sastra melalui teori distopia Tom Moylan dan simulakra serta hiperrealitas Jean Baudrillard. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analitis (kualitatif) melalui studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dunia distopia dalam cerpen “Simuladistopiakoronakra” dicirikan dengan hadirnya elemen puitika distopia, perkembangan sains dan teknologi yang ekstrem, serta narasi wacana politik yang memengaruhi terciptanya dunia distopia. Dunia distopia cenderung destruktif dan penggambarannya suram serta pesimistik. Sementara itu, simulakra hadir dalam narasi pengabaian otoritas kekuasaan terhadap kehadiran Covid-19, narasi kebodohan manusia, dan narasi citra kekuasaan. Hiperrealitas hadir dalam narasi kekuasaan yang lewah dan ekstremitas teknologi persilangan antara manusia dan hewan. Simulakra dan hiperrealitas yang berkelindan dalam cerpen, menciptakan kondisi dehumanisasi yang mendorong terjadinya dunia distopia.
The discourse of the Covid-19 pandemic has inspired authors to reflect on it in the form of literary works. The short story “Simuladistopiakoronakra” by Seno Gumira Ajidarma is present as a social critique amid this pandemic condition. The short story presents the theme of the world of dystopia and simulacra, as well as hyperreality that is relatively new and interesting in Indonesian literary treasures. This paper aims to describe the description of the dystopian narrative built by the author, as well as to dissect the facts and images that form the simulacra reality and the future hyperreality of the dystopic world. This study uses a postmodern literary approach through Tom Moylan's dystopia theory and the simulacra as well as Jean Baudrillard's hyperreality. The research method used is descriptive- analytical (qualitative) through literature study. The results show that the dystopian world in the short story "Simuladistopiakoronakra" is characterized by the presence of dystopian poetic elements, extreme developments in science and technology, and political discourse narratives that influence the creation of a dystopian world. The world of dystopia tends to be destructive and its depiction is gloomy and pessimistic. Meanwhile, simulacra are present in the narrative of the neglect of power authorities to the presence of Covid-19, the narrative of human stupidity, and the narrative of the image of power. Hyperreality is present in the narrative of excessive power and the technological extremity of a cross between humans and animals. Simulacra and hyperreality that are intertwined in short stories, create conditions of dehumanization that encourage the occurrence of a dystopian world."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Adhitya M. Maheswara
"Video game merupakan salah satu bentuk seni digital yang sering dijadikan hiburan alternatif oleh banyak orang. Inovasi dan ide-ide kreatif menjadi elemen penting dalam penciptaan produk video game hingga saat ini. Assassin’s Creed yang merupakan waralaba unggulan dari sebuah pengembang video game asal Prancis, Ubisoft, dianggap sebagai video game yang memiliki konsep yang sangat baik dalam merepresentasikan identitas nasional sejumlah negara Eropa. Melalui penggambaran arsitektur, tokoh bersejarah, hingga kebudayaan Eropa, Assassin’s Creed mampu menarik minat masyarakat untuk mempelajari lebih dalam lagi peristiwa sejarah yang disajikan di dalam seri Assassin’s Creed. Berlandaskan teori Simulakra dari Jean Baudrillard dan teori Ekonomi Kreatif dari John Howkins, penelitian ini menganalisis mengapa dunia virtual Eropa yang dihadirkan di dalam Assassin’s Creed sangat menarik bagi para pemainnya dan mengapa seri Asssassin’s Creed sejauh ini masuk ke dalam komponen-komponen ekonomi kreatif. Penelitian ini menunjukkan bahwa seri Assassin’s Creed, meskipun berupa video game, memiliki nilai edukasi yang tinggi berupa representasi sejarah Eropa yang dikemas dengan sangat menarik. Hiperrealitas dunia virtual yang diciptakan di dalamnya juga memiliki nilai interaktivitas tinggi, sehingga membuat pemain senang berlama-lama mengeksplorasi dunia virtual tersebut. Selanjutnya, terbukti juga bahwa Assassin’s Creed mampu menciptakan multiplier effect terhadap beberapa industri, seperti industri media, digital, dan pariwisata.
Video games are digital art frequently used by many people as an alternative form of entertainment. As a matter of fact, innovation and creative ideas have been important elements in video games creation. Assassin's Creed, the most outstanding franchise of French developer, Ubisoft, has the best concept of representing national identity of a number of European countries. Through architectural portrayal, historical figures, and European culture representation in its series, Assassin's Creed succeeds in enhanching public interest eager to learn more about history of Europe. Using Simulacra theory from Jean Baudrillard and Creative Economy theory from John Howkins, this study analyzes the reasons behind the success of virtual Europe represented in Assassin's Creed in attracting the huge number of players and how far the series can cover the creative economic components. This study shows that Assassin's Creed series, even though it is only a video game, has a high educational value as it represents European history in a very attractive way. Hyperreality world created in the game also has a high interactive value, giving the players the enjoyment and even addiction spend hours exploring the virtual world. Furthermore, the study proves that Assassin's Creed is able to create a multiplier effect on several industries, such as the media, digital, and tourism industries."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library