Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andi Ade Wijaya Ramlan
"ABSTRAK
Pemakaian obat anestetika inhalasi sevofluran terbukti meningkatkan angka kejadian delirium emergens terutama pada anak. Delirium emergens yang terjadi pascapajanan dengan anestesia inhalasi merupakan kejadian tidak diharapkan yang dapat membahayakan keselamatan pasien dan pada akhirnya meningkatkan biaya perawatan. Mekanisme kerja sevofluran pada sel saraf menyebabkan kadar kalsium intrasel meningkat. Penelitian ini adalah penelitian invitro yang meneliti kejadian delirium emergens pada hewan coba dan invivo dengan mengkaji fisiologi kelistrikan sel, konsentrasi kalsium intrasel dan peran magnesium.Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Penelitian FKUI, anak tikus Sprague-Dawley berusia 2 ndash;5 minggu yang memenuhi kriteria penerimaan diberikan pajanan dengan obat anestetika sevofluran. Satu kelompok mendapatkan suntikan magnesium sulfat intraperitoneal setelah induksi anestesia. Setelah pajanan anestesia dihentikan diamati kejadian hipereksitasi yang terjadi, kemudian tikus didekapitasi dan dibuat sediaan irisan jaringan otak tikus untuk diperiksa menggunakan patch clamp dengan metode cell-attached current clamp dan voltage clamp. Sebagian irisan jaringan otak tikus juga diberikan pewarna sensitif kalsium Fura-Red AM, yang memiliki sifat rasiometri sehingga memungkinkan untuk dilakukan pengukuran kadar kalsium intrasel secara kuantitatif. Sisa jaringan otak tikus diproses menjadi homogenat untuk pemeriksaan reaksi inflamasi NF?B dan stress oksidatif Malondialdehyde.Angka kejadian perilaku eksitasi pascapajanan sevofluran pada hewan coba sebesar 9 dari 15 ekor tikus dan tidak terdapat perilaku eksitasi pada kelompok yang mendapatkan magnesium sulfat. Hasil pemeriksaan reaksi inflamasi dan stres oksidatif menunjukkan nilai rerata normal. Hewan coba yang mengalami delirium emergens memiliki kadar kalsium sitosol yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mengalami delirium emergens dan kelompok yang mendapat magnesium sulfat, namun perbedaannya tidak memiliki kemaknaan statistik. Hasil perekaman dengan menggunakan patch clamp metode cell attached current clamp dan voltage clamp memperlihatkan angka yang lebih tinggi pada kelompok yang mengalami delirium emergens, walaupun masih dalam rentang normal.Terdapat peningkatan konsentrasi Ca2 sitosol sel neuron neokortikal anak tikus Sprague-Dawley dengan potensial membran istirahat yang lebih tinggi pada saat pajanan dengan gas anestetika sevofluran dihentikan dan mengalami delirium emergens. Pemberian magnesium sulfat terbukti mencegah terjadinya delirium emergens pada hewan coba.
Sevoflurane has been proven to increase the event of emergence delirium. The increase in cytosol calcium level post sevoflurane anaesthesia may play role in emergence delirium. This study reviews the level of intracellular calcium in rats experiencing hyperexcitatory behaviour after being exposed to sevoflurane; also the role of magnesium in preventing hyperexcitatory behaviour after sevoflurane exposure in rats.After ethical approval, 2 ndash;5 week old Sprague-Dawley mice were insufflated with sevoflurane in a modified anaesthesia chamber. A group of rats were randomnly chosen to receive MgSO4 administration intraperitoneally. After the exposure to sevoflurane was stopped, we observe the event of hyperexcitation. Preparations from the rats rsquo; brain tissue were done for measurement of its cell membrane electricity using patch clamp method, intracellular calcium level quantitatively using Fura Red AM, and the presence of inflammation or oxidative stress reaction using NF?B and MDA.The incidence of hyperexcitatory behaviour post sevoflurane exposure was 52.6 in the observation group and none in the group receiving MgSO4. The assay for inflammation and oxidative stress were averaging normal. Rats showing hyperexcitation showed a statistically significant higher level of cytosol calcium concentration compared to other groups. The recording for cell attached patch clamp method showed a higher resting membrane potential in group with hyperexcitatory behaviour, though still within normal range.There is an increase in neurocortical neurons calcium concentration with a higher resting membrane potential in Sprague-Dawley rats experiencing hyperexcitatory behaviour after being exposed to sevoflurane. The administration of MgSO4 can prevent the event of hyperexcitation in experimental animals. "
2018
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pardede, Dimas Kusnugroho Bonardo
"Latar belakang. Emergence agitation (EA) merupakan gangguan perilaku sementara yang sering terjadi pascaanestesia inhalasi dan berpotensi membahayakan pasien. Pemberian propofol 1-3 mg/kg di akhir anestesia inhalasi mencegah EA tetapi memperpanjang waktu pindah ke ruang pulih. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas propofol dosis 0,5 mg/kg di akhir anestesia untuk menurunkan kejadian EA pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi. Propofol dinilai efektif jika dapat menurunkan kejadian EA tanpa memperpanjang waktu pindah.
Metode. Penelitian uji klinik acak tersamar ganda terhadap anak usia 1-5 tahun yang menjalani anestesia umum inhalasi di RSCM pada bulan Mei – Agustus 2018. Sebanyak 108 subjek didapatkan dengan metode konsekutif yang dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok propofol (n=54) mendapat propofol 0,5 mg/kg di akhir anestesia, sedangkan kontrol (n=54) tidak mendapat propofol. Kejadian EA, waktu pindah, hipotensi, desaturasi dan mual-muntah pascaoperasi dicatat. EA dinilai dengan skala Aono dan Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED). Analisis data menggunakan uji chi-square dan t tidak berpasangan.
Hasil. Kejadian EA pada kelompok propofol sebesar 25,9% sedangkan kontrol 51,9% (RR = 0,500; IK 95% 0,298-0,840; p=0,006). Rerata waktu pindah kelompok propofol lebih lama (9,51 ± 3,93 menit) dibandingkan kontrol (7,80 ± 3,57 menit) (selisih rerata 1,71 menit; IK 95% 0,28-3,14; p=0,020). Hipotensi didapatkan pada satu pasien (1,9%) pada kelompok propofol sedangkan pada kontrol tidak ada. Mual-muntah terjadi pada lima pasien (9,3%) pada kelompok propofol dan delapan pasien (14,8%) pada kontrol. Tidak ada desaturasi pada kedua kelompok.
Simpulan. Pemberian propofol dosis 0,5 mg/kg di akhir anestesia secara statistik tidak efektif namun secara klinis efektif menurunkan kejadian EA pasien anak yang menjalani anestesia umum inhalasi.

Background. Emergence agitation (EA) is a common transient behavioral disturbance after inhalational anesthesia and may cause harm. Propofol 1-3 mg/kg administration at the end of inhalational anesthesia prevents EA but prolongs transfer time to recovery room. This study evaluated the effectivity of propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia to reduce the incidence of EA in children undergoing general inhalational anesthesia. Propofol was considered effective if could reduce the incidence of EA without prolonging transfer time.
Method. This was a double-blind randomized clinical trial on children aged 1-5 years old underwent general inhalational anesthesia in Cipto Mangunkusumo Hospital. One hundred eight subjects were included using consecutive sampling method and randomized into two groups. Propofol group (n=54) was given propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia while control group (n=54) was not. Incidence of EA, transfer time, postoperative hypotension, desaturation and nausea-vomiting were observed. Aono and Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED) scale were used to assess EA. Statistical tests used were chi square and unpaired t test.
Result. Incidence of EA in propofol group was 25,9% while in control group was 51,9% (RR = 0,500; 95% CI 0,298-0,840; p=0,006). Mean transfer time in propofol group was longer (9,51 ± 3,93 minute) than control group (7,80 ± 3,57 minute) (mean difference 1,71 minute; 95% CI 0,28-3,14; p=0,020). Hypotension was found in one patient (1,9%) in propofol group while in control group there was none. Nausea-vomiting was found in five patients (9,3%) in propofol group and eight patients (14,8%) in control. There was no desaturation in both groups.
Conclusion. Administration of propofol 0,5 mg/kg at the end of anesthesia statistically ineffective but clinically effective in reducing the incidence of EA in children undergoing general inhalational anesthesia."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2018
T58605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Rahmatisa
"ABSTRAK
Latar Belakang. Nitrous oxide merupakan gas anestesia inhalasi yang sering
ditambahkan pada saat induksi anestesia inhalasi pada anak. Kontroversi
penggunaan N2O sendiri masih ada hingga saat ini. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui perbedaan laju induksi anestesia, respons hemodinamik, dan
komplikasi yang timbul selama menggunakan N2O saat induksi inhalasi anestesia
pada pasien anak.
Metode. Delapan puluh orang anak usia 1-5 tahun ASA 1 dan 2 yang menjalani
anestesia umum, dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan secara acak. Kelompok A
sevofluran 8 vol% ditambah oksigen, dan kelompok B sevofluran ditambah
oksigen dan N2O 50%. Hasil utama yang diukur adalah laju induksi, dan hasil
lainnya adalah respons laju nadi, tekanan darah sistolik, diastolik, serta insidens
komplikasi desaturasi, eksitasi, laringospasme, dan breath holding..
Hasil. Laju induksi kelompok B yaitu 35+8.13 detik, lebih cepat dibandingkan
kelompok A yaitu. 54.12+5.89 detik Respons laju nadi, tekanan darah sistolik,
tekanan darah diastolik tidak berbeda bermakna di antara kedua kelompok.
Insidens komplikasi desaturasi dan laringospasme tidak terjadi pada penelitian ini.
Eksitasi terjadi lebih sedikit pada kelompok B yaitu 10.3% dibandingkan 26.8%
pada kelompok A, namun tidak bermakna secara statistik. Breath holding terjadi
pada 2 orang (4.9%) di kelompok A, dan tidak terjadi di kelompok B, insidens
breath holding tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok.
Kesimpulan. Laju induksi inhalasi pada anak menggunakan sevofluran ditambah
oksigen dan N2O lebih cepat dibandingkan tanpa N2O Respons hemodinamik dan
insidens komplikasi tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok.

ABSTRACT
Background. Nitrous oxide is an anesthetic agent that are often added during
inhalation induction of anesthesia in pediatric patients. Controversy over the use
of N2O is still there to this day. The purpose of this study was to determine
differences in the induction time of anesthesia, hemodynamic response, and the
complications that arise during the use of N2O inhalation induction of anesthesia
in pediatric.
Methods. Eighty children aged 1-5 years old ASA 1 and 2 who underwent
general anesthesia, were divided into 2 treatment groups at random. Group A was
8 vol% sevoflurane plus oxygen, and group B was oxygen plus sevoflurane and
50% N2O. We measured the induction time, hemodynamic response heart rate,
systolic and diastolic blood pressure, and also the incidence of complications
desaturation, excitation, laryngospasm, and breath holding.
Result. Induction time of group B was 35+8.13 seconds, faster than group A
54.12 +5.89 seconds. The response of heart rate, systolic blood and diastolic
blood pressure was not significantly different between the two groups.
Desaturation and laryngospasm did not occur in this study. Excitation occurs less
in group B that was 10.3% compared to 26.8% in group A, but that was not
statistically significant. Breath holding occurred in 2 patients (4.9%) in group A,
and did not occur in group B, breath holding incidence also did not differ
significantly between the two groups.
Conclusion. Inhalation induction time in children using sevoflurane, oxygen and
N2O was faster, than without N2O. Hemodynamic response and the incidence of
complications was not significantly different between groups."
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mega Halida
"Latar Belakang. Pembiusan dengan sevofluran untuk pemasangan jalur intravena pada anak merupakan hal yang sering dilakukan. Namun belum diketahui waktu optimal pemasangan kanulasi vena setelah induksi sevofluran 8 vol% pada pasien anak dan belum diketahui apakah metode Dixon dapat digunakan untuk hal ini.
Metode. Penelitian ini adalah uji prospektif intervensi dengan metode Dixon: up and down sequenece pada usia 1-3 tahun dengan ASA 1 dan 2 yang menjalani operasi elektif di kamar operasi RSCM Kirana. Kanulasi dinilai berhasil jika tidak ada gerakan, batuk, atau laringospasme. Kanulasi pada pasien pertama dilakukan 2 menit setelah hilangnya refleks bulu mata dan waktu untuk kanulasi intravena ditentukan oleh metode Dixon Up and Down dengan menggunakan 15 detik sebagai ukuran langkah. Tes Probit digunakan untuk menganalisis penelitian ini.
Hasil. Sebanyak 22 anak terdaftar secara berurutan selama waktu penelitian. Dengan sevofluran 8vol%, fraksi oksigen 100%, dan aloran udara 6 L/menit didapatkan waktu optimal untuk 50% dan 95% sebesar 27,25 detik dan 31,60 detik.
Kesimpulan. Kami merekomendasikan waktu kanulasi intravena 32 detik pada pasien usia 1-3 tahun setelah hilangnya refleks bulu mata dengan induksi sevofluran 8 vol%, fraksi oksigen 100%, dan aliran udara 6 L/menit.

Background. Intravenous cannulation is usually done in children after inhalational induction with volatile anesthetic agents. However, it is not yet known the optimal time for intravenous cannulation after induction of sevoflurane induction 8 vol% in pediatric patients and it is not yet known whether the Dixon method can be used for this.
Method.. This is a prospective intervention study with Dixon Up-and-Down sequential allocation study in ASA grade 1 and 2 children aged 1-3 years undergoing elective surgery in RSCM Kirana. The timing of cannulation was considered adequate if there was no movement, coughing, or laryngospasm. The cannulation attempt for the first child was set at 2 minutes after the loss of eyelash reflex and the time for intravenous cannulation was determined by the up-and-down method using 15 seconds as step size. Probit test was used to analyze the up-down sequences for the study.
Results. A total of 22 children were enrolled sequentially during the study period. The adequate time for effective intravenous cannulation after induction with sevoflurane 8 vol% in 50% and 95% of patients were 27,25 second and 31,60 second respectively.
Conclusions. We recommend waiting 32 second for attempting intravenous placement following the loss of the eyelash reflex in children after receiving an inhalation induction with sevoflurane 8 vol%,, oxygen fraction 100%, and flow 6 L/min.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jacky Desfriadi
"Latar belakang: Emergence agitation (EA) merupakan gangguan perilaku sementara yang sering terjadi pascaanestesia dengan sevoflurane dan berpotensi membahayakan pasien. Pemberian magnesium sulfat 10 % 20 mg/kg bolus IV selama 15 menit, dilanjutkan 10 mg/kg/jam secara infus kontinyu selama pembedahan diketahui mencegah EA. Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas magnesium sulfat 10% 20 mg/kg bolus IV selama 10 menit pada 10 menit sebelum anestesia selesai dalam mencegah EA pada anak yang menjalani anestesia dengan sevoflurane. Magnesium sulfat dinilai efektif jika dapat menurunkan kejadian EA.
Metode: Penelitian uji klinik acak tersamar ganda pada anak usia 1,5-12 tahun yang menjalani anestesia dengan sevoflurane di RSCM pada bulan September-Oktober 2018. Sebanyak 108 subjek didapatkan dengan metode konsekutif yang dirandomisasi menjadi dua kelompok. Kelompok Magnesium (n=54) mendapat magnesium sulfat 10% 20 mg/kg bolus IV selama 10 menit dengan pompa syringe pada 10 menit sebelum anestesia selesai, sedangkan kontrol (n=54) mendapat NaCl 0,9% 0,2 ml/kg bolus IV selama 10 menit dengan pompa syringe pada 10 menit sebelum anestesia selesai. Kejadian EA, waktu pulih, hipotensi pascaoperasi dicatat. EA dinilai dengan Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED). Analisis data menggunakan uji multivariat regresi logistik.
Hasil: Kejadian EA pada kelompok magnesium sebesar 25,9% sedangkan kontrol 16,7% (OR = 0,786; IK 95% 0,296-2,091; p=0,63). Waktu pulih memiliki nilai rerata 8,2 + 4,74 menit untuk kelompok magnesium dibandingkan kontrol 10,87 + 6,799 menit (OR = 2,667; IK 95% 0,431-4,903; p=0,02). Pada kedua kelompok, tidak didapatkan kejadian hipotensi.
Simpulan: Pemberian magnesium sulfat 10% 20 mg/kg bolus IV selama 10 menit pada 10 menit sebelum anestesia selesai secara statistik tidak efektif mencegah kejadian EA pada anak yang menjalani anestesia dengan sevoflurane.

Background: Emergence agitation (EA) is a common transient behavioral disturbance after anesthesia with sevoflurane and may cause harm. Magnesium sulphate 10% 20 mg/kg as a slow intravenous bolus over 15 minutes, followed by 10 mg/kg/h as a continous intravenous infusion during surgery can prevent EA. This study evaluated the effectivity of magnesium sulphate 10% 20 mg/kg as a slow intravenous bolus over 10 minutes at 10 minutes before anesthesia ended to prevent the incidence of EA in children undergoing anesthesia with sevoflurane. Magnesium sulphate was considered effective if could reduce the incidence of EA.
Method: This was a double-blind randomized clinical trial on children aged 1,5-12 years old underwent anesthesia with sevoflurane in RSCM on September until Oktober 2018. One hundred eight subjects were included using consecutive sampling method and randomized into two groups. Magnesium group (n=54) was given magnesium sulphate 10% 20 mg/kg as a slow intravenous bolus over 10 minutes at 10 minutes before anesthesia ended while control group (n=54) was given NaCl 0,9% 0,2 ml/kg as a slow intravenous bolus over 10 minutes at 10 minutes before anesthesia ended. Incidence of EA, recovery time and postoperative hypotension were observed. Pediatric Anesthesia Emergence Delirium (PAED) scale was used to assess EA. Statistical tests used were logistic regresssion multivariate analysis.
Result: Incidence of EA in magnesium group was 25,9% while in control group was 16,7% (OR = 0,786; 95% CI 0,296-2,091; p=0,63). Mean recovery time in magnesium group was 8,2 ± 4,74 minutes and control group was 10,87 ± 6,799 minutes (OR = 2,667; 95% CI 0,431-4,903; p=0,02). Hypotension was not found in both groups.
Conclusion: Administration of magnesium sulphate 10% 20 mg/kg as a slow intravenous bolus over 10 minutes at 10 minutes before anesthesia ended was not effective to prevent the incidence of EA in children undergoing anesthesia with sevoflurane."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tjues Aryo Agung Wibowo
"Latar Belakang: TCI propofol dan sevofluran merupakan agen pemeliharaan anestesi umum yang sering digunakan, termasuk pada transplantasi ginjal dan memiliki pengaruh terhadap hemodinamik intra-operatif, khususnya kardiovaskular.
Tujuan: Membandingkan pengaruh TCI propofol dan sevofluran terhadap profil hemodinamik kardiovaskular intra-operatif resipien transplantasi ginjal.
Metode: Uji klinis prospektif tersamar tunggal terhadap 46 resipien transplantasi ginjal di RSCM selama bulan Juli-Desember 2017. Parameter hemodinamik diukur saat pasca-induksi, pasca-insisi, intra-operatif dan pascareperfusi. Hasil dianalisis menggunakan uji general linear model untuk pengukuran berulang, uji t tidak berpasangan Mann-Whitney U.
Hasil: Indeks kardiak intra-operatif p = 0,216 , pasca-induksi 4,20 vs 3,10 L/mnt/m2, p = 0,056 dan pascareperfusi 4,77 vs 4,07 L/mnt/m2, p = 0,077 kelompok TCI propofol lebih tinggi dibandingkan sevofluran. Tekanan rerata arteri intra-operatif hampir sama pada kedua kelompok p = 0,480, nilai pasca-induksi 80,74 vs 80,61 mmHg, p = 0,980 dan pascareperfusi 89,30 vs 92,52 mmHg, p = 0,359 lebih tinggi pada kelompok sevofluran. Indeks volume sekuncup hampir sama pada kedua kelompok p = 0,086, dengan nilai pasca-induksi lebih tinggi 54,35 vs 49,56 mL/m2, p = 0,335 dan pascareperfusi lebih rendah 62,52 vs 62,78 mL/m2, p = 0,962 pada kelompok TCI propofol. Indeks resistensi vaskular sistemik intra-operatif p = 0,054, pasca-induksi 1786 vs 1426 dynes.detik/cm-5/m2, p = 0,077 dan pascareperfusi 1523 vs 1404 dynes.detik/cm-5/m2, p = 0,223 lebih tinggi pada kelompok sevofluran.
Simpulan: Tidak terdapat perbedaan pengaruh hemodinamik yang signifikan secara statistik intra-operatif antara TCI propofol dengan sevofluran pada resipien transplantasi ginjal.

Background: TCI propofol and sevoflurane are common agents for general anesthesia, including for renal transplantation procedure. They have intraoperative hemodynamic effect, especially cardiovascular. Aim. Comparing the effect of TCI propofol and sevoflurane to intraoperative cardiovascular hemodynamic profile in renal transplant patients.
Methods: Single blinded prospective study in 46 renal transplant patients at Cipto Mangunkusumo National Hospital between July-December 2017. Hemodynamic parameters were measured at postinduction, postincision, intraoperative, and postreperfusion. Data were analyzed using general linear model for repeated measurements, unpaired t-test, Mann-Whitney U.
Results: Intraoperative cardiac index p = 0,216, postinduction 4,20 vs 3,10 L/mnt/m2, p = 0,056 and postreperfusion 4,77 vs 4,07 L/mnt/m2, p = 0,077 TCI propofol group were higher than sevoflurane group. Mean arterial pressure intraoperatively similar in both groups p = 0,480, postinduction 80,74 vs 80,61 mmHg, p = 0,980 and postreperfusion 89,30 vs 92,52 mmHg, p = 0,359 were higher in sevoflurane group. Stroke volume index were similar in both groups p = 0,086, and higher during postinduction 54,35 vs 49,56 mL/m2, p = 0,335 but lower during postreperfusion 62,52 vs 62,78 mL/m2, p = 0,962 TCI propofol group. Systemic vascular resistance index were higher during intraoperative p = 0,054, postinduction 1786 vs 1426 dynes.detik/cm-5/m2, p = 0,077 and postreperfusion 1523 vs 1404 dynes.detik/cm-5/m2, p = 0,223 in sevoflurane group.
Conclusion: Intraoperative hemodynamic effects were statisticaly similar between TCI propofol and sevoflurane group in renal transplant recipients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library