Intonasi merupakan salah satu aspek yang perlu dikuasai seorang pemelajar bahasa asing karena jika intonasi tidak dituturkan secara tepat, hal itu akan berakibat pada kesalahpahaman (Penny, 1991). Begitu pula pemelajar Korea yang belajar bahasa Indonesia. Penelitian ini menginvestigasi bagaimana intonasi tuturan deklaratif dan interogatif bahasa Indonesia dituturkan oleh pemelajar Korea. Penelitian ini menggunakan subjek penelitian pemelajar BIPA dari Korea yang berada pada tingkat pemula, madya, dan tinggi. Data penelitian berupa tiga tuturan bahasa Indonesia yang terdiri atas dua kalimat tunggal dan satu kalimat majemuk dalam percakapan yang diperankan sebanyak tiga kali. Penelitian ini mengaplikasikan pendekatan IPO dengan tiga kegiatan utama: eksperimen produksi ujaran, analisis akustik ujaran, dan eksperimen uji persepsi ujaran. Kajian ini menunjukkan bahwa ciri akustik yang menandai ketiga tingkat pemelajar adalah kontur intonasinya. Tinggi nada tidak memiliki keterkaitan dengan tingkat pemelajar. Tinggi nada secara khusus hanya menandai kontras tuturan deklaratif dan interogatif. Ciri akustik tuturan tingkat pemula dan madya masih menunjukkan adanya kesamaan dengan pola intonasi bahasa Korea, sedangkan pola intonasi tuturan tingkat tinggi tidak sama dengan bahasa Korea maupun bahasa Indonesia. Hanya kontras tinggi nada tuturan dekalaratif dan interogatif tingkat tinggi yang cenderung sama dengan bahasa Indonesia. Meskipun demikian, semua tuturan dari semua tingkat diterima dengan baik oleh orang Indonesia.
Intonation is one of the aspects that need to be mastered by a foreign language learner because if intonation is not spoken correctly, it will result in misunderstanding (Penny, 1991). The idea is applied to Korean who learns Bahasa Indonesia. This study investigates how Korean learners make use of intonation to express declarative and interrogative utterances of Bahasa Indonesia. The subject of this study is native Koreans who study BIPA at the beginner, intermediate, and advance levels. The data of this study are three utterances in Bahasa Indonesia consisting of two single sentences and one compound sentence which then each subject needed to utter for three times. IPO approach is applied with three main activities: speech production experiment, speech acoustic analysis, and speech perception test experiment. This study showed that there is a particular relation between intonation contour and the learners level of comprehension. However, it failed to prove any relationships between pitch and the level of the learners. Regardless, the study found that pitch only marks the contrast of declarative and interrogative speech. The acoustic characteristics of beginner and intermediate speech levels still show similarities with the Korean intonation patterns, while the high-level speech intonation patterns are not the same as Korean and Indonesian. Only the high contrast of high-level declarative and interrogative speech tones tends to be the same as Indonesian. Nevertheless, all speeches from all levels were well received by Indonesians.
Keywords: Indonesian intonation pattern; Korean intonation pattern; Indonesian language learners level; declarative sentence; interrogative sentence
"
Hakim sebagai bagian dari sistem peradilan, memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan jaminan kepastian hukum kepada masyarakat dalam bentuk pengambilan keputusan pada suatu peradilan perkara. Namun, acap kali keputusan yang diambil hakim memberikan ketidakpastian hukum seperti disparitas pidana. Disparitas pidana dapat diartikan sebagai ketidak samaan putusan yang dijatuhkan pada perkara-perkara yang memiliki kesamaan. Sehingga, ketidaksamaan ini bisa memberikan rasa ketidak adilan kepada narapidana. Salah satu teori yang membahas disparitas pidana adalah teori legal realism. Para pendukung teori ini berpendapat bahwa dalam pengambilan suatu keputusan, hakim tidak hanya mendasarkan pada fakta-fakta hukum yang disajikan dalam persidangan, tetapi hakim juga mempertimbangakn faktor psikoligi, politik dan sosial. Dengan kata lain, hakim bisa saja menggabungkan faktor legal dan non-legal tersebut untuk menarik suatu keputasan suatu perkara peradilan. Disparitas pidana dan teori legal realism mendorong penulis melakukan suatu penelitian untuk melihat hubungan antara faktor legal dan non-legal terhadap durasi penahanan pada narapidan anak, dan juga untuk menguji coba beberapa hipotesa guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi masa tahanan narapidana anak di Indonesia. Dengan menggunakan metode model regresi Ordinary Least Square, penelitian ini menemukan adanya suatu hubungan beberapa faktor legal dan non legal terhadap masa penahanan narapidana anak. Dari delapan faktor yang diuji, hanya terdapat dua faktor yaitu lokasi peradilan dan tingkat kejahatan yang secara signifikan mempengaruhi hakim dalam menentukan masa penahanan. Hasil dari penelitan ini bisa digunakan sebagai salah satu dasar dalam pengambilan keputusan oleh pihak terkait dalam rangka mengurangi disparitas pidana terutama untuk narapidana anak.
Kata kunci: disparitas, faktor legal, faktor extralegal, narapidana anak, putusan hakim,
The judge as the main actor in the justice system, plays a significant role in providing justice and legal certainty for the society through every decision made in court. However, in practice, the judges decision often leads to legal uncertainties such as the disparity in sentencing. Disparity in sentencing is defined as the application of an unequal sentencing to similar offenses in practice of the court, specifically with regard to the duration of the final sentence. Hence, it may bring a sense of inequality in justice for the defendants. One legal theory discussing disparity in sentencing is the legal realism theory. Legal realists argue that not only rational application of laws, but also psychological, political, and social factors need to be considered by the judges in making the final sentence. In other words, the judges may combine legal and extra-legal elements to derive final decision for the cases. Sentencing disparity and legal realism theory inspired the author to conduct a research to examine the correlation between legal-extralegal factors and the duration of the final sentence, and also hypotheses testing to figure out the influencing factors on that affect the duration set for juvenile defendants in Indonesia. Applying quantitative methods with Ordinary Least Square regression model, this research found the correlation of some legal and extralegal factors to the length of incarceration among juvenile defendants. In addition, among eight factors examined in this research, only two factors, namely the location of the court and seriousness level of crime were found to significantly influence the judges on sentencing. The findings of the study can be used to set legal policy to reduce the disparity in the final sentence especially for juvenile defendants.
Keywords: disparity, final sentence juvenile defendant, legal-extralegal factors, legal realist
"