Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
Rebecca Fajar Elizabeth
"Dalam hukum pidana, setiap pihak yang menjalankan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) wajib memperhatikan asas legalitas. Terkait dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia, maka hak kostitusional seluruh warga Indonesia dilindungi dengan Undang-Undang Dasar 1945. Jika hak-hak konstitusional terlanggar, seorang warga negara dapat mengajukan permohonan judicial review suatu undang-undang atau pasal dalam undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi (MK). MK memang bertugas menjaga konstitusi Indonesia agar tidak menjadi alat kesewenang-wenangan penguasa. Salah satu hak yang dilindungi UUD 1945 adalah hak sebagaimana tercantum dalam pasal 28F. Hak ini dalam suatu peristiwa dianggap melanggar pasal 134 dan 136 bis KUHP tentang Penghinaan dengan Sengaja terhadap Presiden. Namun, beberapa ahli hukum berpendapat bahwa pasal Penghinaan dengan Sengaja terhadap Presiden tidak lagi relevan dengan perkembangan demokrasi. MK sendiri melalui putusannya akhirnya menyatakan pasal 134 dan 136 bis KUHP bertentangan dengan UUD 1945. Walaupun pasal-pasal KUHP tersebut sudah dinyatakan bertentangan dengan UUD, namun bukan berarti tidak bisa dijadikan landasan dari suatu pemeriksaan persidangan. Hal ini bukanlah sebuah pelanggaran asas legalitas, jika tempus delicti dari suatu tindak pidana terjadi sebelum putusan MK."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S22601
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Azura Zuhria
"Kemajuan teknologi dan globalisasi mendorong perubahan di berbagai bidang, salah satunya di bidang perekonomian. Namun, perubahan tidak selalu membawa dampak positif, tetapi juga dampak negatif. Salah satu dampak negatif yang dari perubahan ini adalah timbul kejahatan lintas batas dan kejahatan terorganisir, seperti kejahatan pencucian uang. Sehingga, negara perlu membentuk suatu perjanjian bantuan hukum timbal balik antar negara untuk memberantas dan menanggulangi kejahatan yang terjadi yang disebut MLAT. MLAT mengatur berbagai bantuan hukum, salah satunya menyita, merampas, dan membekukan aset hasil kejahatan. Negara menggunakan asas retroaktif dalam MLAT yang menyebabkan bantuan hukum berlaku secara surut sebagai upaya menanggulangi dan memberantas kejahatan, seperti MLAT Indonesia-Swiss. Sedangkan, Pasal 28 VCLT menyatakan bahwa perjanjian berlaku secara non-retroaktif, kecuali ditentukan lainnya dalam perjanjian. Perjanjian yang berlaku surut juga berpotensi melanggar hak seseorang untuk tidak dihukum oleh hukuman yang berlaku surut. Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan mengkaji mengenai kedudukan hukum asas retroaktif dalam MLAT serta melakukan perbandingan dengan MLAT yang telah diratifikasi Indonesia. Kesimpulannya, asas non-retroaktif dalam Pasal 28 VCLT tidak mutlak. Asas retroaktif dalam MLAT Indonesia-Swiss tidak menyimpangi hukum perjanjian internasional. Walupun begitu, akan lebih baik MLAT berlaku secara non-retroaktif. Apabila MLAT bersifat retroaktif, maka penerapan harus dilaksanakan dengan hati-hati.
Advances in technology and globalization have driven changes in various fields, one of which is in the economy. However, change does not always bring positive impacts, but also negative impacts. One of the negative impacts of this change is the emergence of cross-border crime and organized crime, such as money laundering. Thus, States needs to form a mutual legal assistance agreement among them to eradicate and overcome crimes that occur. MLAT regulates various legal assistance, one of which is confiscation, seizure, and freezing of assets resulting from crimes. States includes the retroactive principle in MLAT which causes legal assistance to apply retroactively as an effort to tackle and eradicate crime, such as Indonesia-Swiss MLAT. Meanwhile, Article 28 of the VCLT states that an international agreement applies non-retroactively, unless established otherwise in the treaty. A retroactive treaty also has the potential to violate a person's right not to be punished by a retroactive penalty. This research is normative, by examining the legal position of the retroactive principle in MLAT and compare MLATs which has been ratified by Indonesia. In conclusion, the principle of non-retroactivity in Article 28 of the VCLT is not absolute. The retroactive principle in the Indonesia-Swiss MLAT does not deviate from law of treaties. Even so, it would be better for MLAT to apply non-retroactively. If the MLAT is retroactive, it must be implemented with caution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Joko Sasmito
Malang: Setara Press, 2017
345 JOK k
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Neneng Indriani
"
ABSTRAKUndang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris berlaku sejak tanggal 6 Oktober 2004, telah memuat norma hukum yang mengatur bahwa guna kepentingan peradilan penyidik, penuntut umum dan hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah Notaris yang dibentuk di setiap kota/kabupaten berwenang melakukan penegakan hukum pidana notaris berkaitan dengan pelaksanaan jabatannya. Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 49/PUU-X/2012 yang dibacakan dalam sidang yang terbuka untuk umum pada tanggal 28 Mei 2013, telah menyatakan ketentuan persetujuan Majelis Daerah Notaris bertentangan dengan Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 28 d ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Periodisasi berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris sampai dengan tanggal Putusan Mahkamah Konstitusi diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum, mutlak diperlukan persetujuan kasus-kasus berkaitan dengan pelaksanaan jabatan notaris yang terjadi sebelum putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dilanjutkan kembali pasca putusan Mahkamah Konstitusi tanpa mengindahkan penolakan Majelis Pengawas Daerah Notaris yang telah diberikan sebelumnya. Melalui penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kasus berkaitan dengan pelaksanaan jabatan notaris dalam bentuk dokumen hukum, dikaji dari asas retroaktif. UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) menganut suatu asas hukum tidak boleh berlaku surut (asas non retroaktif), yang kemudian dalam hukum pidana materil diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana yang memuat asas legalitas (asas non retroaktif) serta asas non retroaktif yang diatur dalam KUH Pidana (Pasal 284) dan Undang-Undang tentang komisi pemberantasan korupsi (Pasal 68). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-X/2012 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan tidak memberikan pengecualian pemberlakuan berlakunya prosedur penegakan hukum pidana terhadap notaris berdaya surut (tidak berlaku asas retroaktif).
ABSTRACTUndang-Undang No 30 of 2004 concerning the Incumbency of Notary since October 6, 2004, contains the norms of the law which explains the interests of judicial investigators, prosecutors, and judges with the approval of the Majelis Pengawas Daerah (MPD) formed in each city/county authority to perform law enforcement relating to the implementation of the criminal notary office. Mahkamah Konstitusi through its decision of No. 49 / PUU-X / 2012 which was read in the session that was open to the public on May 28, 2013, has declared the provisions of the approval of the MPD on the contrary to Pasal 27 ayat 1 and pasal 28 d ayat 1of the Undang- Undang Dasar 1945 and did not have legally binding force. Periodization enactment of Undang-Undang Jabatan Notaris until the date of the Decision of the Mahkamah Konsitusi was pronounced the hearings are open to the public, is positively needs approval of cases relating to the implementation of the office of the notary that occurred before the decision of the Mahkamah Konsitusi, which will be resumed after the Mahkamah Konsitusi decision regardless of the refusal from the MPD who has been given previously. Through research with a normative juridical approach of the case related to the implementation of the post of notary in the form of legal documents, it examined based on the retroactive principle. Undang-Undang 1945 Pasal 28 I ayat 1 adheres to a principle of law should not be retroactive (principle of non-retroactivity), which was then under criminal law material provided for in Pasal 1 ayat (1) of the KUHPidana which contains the principle of legality (principle of nonretroactivity) and principles non-retroactivity set out in the KUHPidana (Pasal 284) and Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 68). Mahkamah Konstitusi Decision No. 49 / PUU-X / 2012 and Undang-Undang No. 2 of 2014 concerning Amendment to Undang-UNdang No 30 of 2004 concerning Notary and no exceptions enforcement procedures apply criminal enforcement against notary helpless downs (not applicable principle retroactivity)."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T45006
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Arfi Pramusintho
"Penelitian ini mengkaji keberlakuan asas non-retroaktif dalam kewenangan penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) terkait tindak pidana asal pencucian uang yang baru diberikan kewenangan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 15/PUU-XIX/2021. Asas non-retroaktif merupakan prinsip dalam hukum pidana yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dikenakan sanksi pidana jika pada saat dilakukan belum diatur sebagai tindak pidana oleh peraturan perundang-undangan. Akan tetapi belum secara jelas menerangkan apakah penerapan asas non-retroaktif dapat pula berlaku terhadap kewenangan PPNS. Skripsi ini bertujuan untuk memahami dan mengevaluasi penerapan asas tersebut, khususnya dalam konteks tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode penelitian doktrinal yang merupakan kumpulan dan analisis dari aturan, asas, norma, atau panduan penafsiran, dan nilai-nilai. Penelitian ini dimulai dengan identifikasi sumber hukum yang akan diteliti, kemudian dilanjutkan dengan penafsiran dan analisis terhadap sumber hukum tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asas nonretroaktif dapat diterapkan terhadap PPNS berdasarkan ketentuan yang ada dalam KUHP dan KUHAP. Selain itu, penelitian ini mengungkapkan adanya tantangan dalam penerapan asas non-retroaktif bagi PPNS dan juga saran membangun dalam penerapan asas non-retroaktif secara teori maupun praktik.
This research examines the applicability of the non-retroactive principle in the authority of Civil Servant Investigators (PPNS) related to the predicate crime of money laundering, which has just been given authority based on the Constitutional Court Decision (MK) Number 15/PUU-XIX/2021. The principle of non-retroactivity is a principle in criminal law which states that an act cannot be subject to criminal sanctions if at the time it is committed it has not been regulated as a criminal offense by statutory regulations. However, it has not been clearly explained whether the application of the non-retroactive principle can also apply to the authority of PPNS. This thesis aims to understand and evaluate the application of this principle, especially in the context of money laundering crimes in Indonesia. The research method conducted is doctrinal research method which is a collection and analysis of rules, principles, norms, or guidelines for interpretation, and values. This research begins with the identification of legal sources to be studied, then continued with the interpretation and analysis of the legal sources. The results show that the principle of non-retroactivity can be applied to PPNS based on existing provisions in the Criminal Code and Criminal Procedure Code. In addition, this research reveals the challenges in applying the non-retroactive principle for PPNS and also constructive suggestions in applying the non-retroactive principle in theory and practice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library