Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 63 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S8111
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zamzami
"ABSTRAK
Dukuh Jeruk dan Mundu adalah dua desa dalam wilayah kecamatan Karangampel yang kondisi penduduknya dari segi profesi lebih kurang menunjukkan adanya ketimpangan. Jumlah buruh tani di desa Dukuh Jeruk adalah empat kali lipat lebih banyak dibanding petani pemilik lahan sawah. Sedangkan di desa Mundu, perbandingannya hampir mencapai 2: 1.

Struktur sosial ekonomi yang cenderung timpang itu beserta akibat-akibat sosial yang mengikutinya pada masa lalu juga telah memberi kontribusi terbentuknya budaya kekerasan (culture ofviolence) di wilayah ini. Akan tetapi, pada masa lalu budaya kekerasan itu -berkat kearifan lokal, terwadahi dalam kesenian rakyat seperti: (a) pertujukan adu jawara (centeng) pasca panen; (b) satron atau tradisi perang antar kelompok tani pasca panen menjelang musim tanam dan (b) sampyong, tradisi adu kekuatan kaki dengan sa ling mencambukkan rotan dalam bentuk duel satu lawan satu sebagai sarana mencari pemuda tangguh, jujur dan gagah berani. Kearifan lokal ini merupakan sistem budaya yang ada di masyarakat untuk mengembalikan konflik pada isu yang sesungguhnya yang bersifat realistik yaitu sumber-sumber ekonomi, seperti terpenuhinya aliran air ke lahan sawah dan kesempatan untuk menggarap sawah milik petani bagi para buruh tani.

Akan tetapi, ketimpangan sosial ekonomi yang tetap terjaga serta semakin berkembangnya kebutuhan ekonomi warga Dukuh Jeruk dan Mundu sejalan dengan arus industrialisasi (terutama paska beroperasinya Pertamina di kedua desa tersebut sejak 1972, mengakibatkan terkikisnya kesenian yang berbasiskearifan lokal tersebut. Karena masalah perebutan sumber-sumber ekonomi (resources) semakin kompleks, maka bakat-bakat "kekerasan" sebagian kelompok masyarakat disalurkan pada bentrok fisik setiap kali terjadi pertentangan di antara mereka. Awalnya perseteruan yang terjadi bersifat individual tetapi kemudianberkembang menjadi konflik antar kelompok.

Masalah pertanian yang cukup kompleks yang dialami oleh warga kedua desa (sebagaimana umumnya masyarakat petani Jawa) ditambah dengan keengganan para pemuda untuk bergelut di bidang pertanian tidak didukung oleh kapasitas mereka untuk beralih ke sektor industri, menyebabkan kelompok ini mengalami dislokasi dan disorientasi. Beroperasinya Pertamina sejak 1972 di kedua desa ini tidak menjadi tidak berarti apa-apa bagi mereka dan malah mendorong minat mereka untuk bermigrasi atau bekerja di sektor-sektor lain semakin tinggi, meskipun hanya menjadi buruh.

Hubungan masyarakat Dukuh Jeruk dan Mundu tidak lepas dari berbagai konflik yang sering melibatkan kekerasan fisik, baik dalam konteks antar individu maupun tarwuran antar kelompok (desa). Pemicunya adalah masalah-masalah sederhana seperti perebutan sumber air di sawah, perebutan simpati kaum perempuan di kalangan para pemuda atau sekedar perasaan tersinggung akibat permintaan tak terkabul melalui pemalakan yang dilakukan oleh sebagian pemuda yang membiasakan diri dengan perilaku menyimpang.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa, akumulasi masalah sosial ekonomi dan legitimasi budaya yang berasal dari kesenian adu jawara, sampyong dan satron yang bentuk dan nilai estetiknya sebagai sebuah kesenian telah memudar -sementara masalah-masalah perebutan resources tidak pernah berhenti, merupakan faktor yang melatar belakangi kekerasan. Yang pertama memberi basis realistik pada konflik sedangkan yang kedua memberi basis non realistik. Kolaborasi basis ini melahirkan komunalisasi pada saat pemicu konflik hadir di tengah-tengah masyarakat. Inilah yang kemudian mendorong kekerasan terjadi dalam konflik.

Tawuran yang terjadi selama 1998-2000 antara warga kedua desa tersebut merupakan peristiwa fundamental di mana terjadi pergeseran dalam faktor-faktor tersebut, sehingga berakhirnya peristiwa tersebut menandai perubahan yangberarti di masyarakat. Meningkatnya kesadaran masyarakat akan kerugian-kerugian konflik serta peluang pengembangan usaha kecil dan menengah, termasuk pertanian yang terbuka pasca krisis 1997 mendasari lahirnya situasi kondusif resolusi konflik. Sehingga, sejak berkhirnya tawuran tiga tahun terse but, konflik-konflik yang terjadi tidak bisa lagi membangkitkan komunalisme buta. Adapun temuan di lapangan menunjukkan, faktor langsung yang berperan dalam meredakan konflik besar itu adalah: (1) strategis dan efektifnya pendekatan keamanan; (2) peran dan aksi simpatik para tokoh masyarakat dan pemerintah setempat; serta (3) rasionalitas dan penguatan sosial ekonomi.

Di atas semua itu, sesungguhnya dinamika konflik antara warga Dukuh Jeruk dan Karangampel merupakan masalah pergeseran masyarakat dari sektor pertanian ke sektor industri modern. Oleh sebab itu, sejauh mana kekuatankekuatan sosial dan kultural masyarakat mampu beradaptasi dengan tuntutan-tuntutan industrialisasi, maka sejauh itu pula kekerasan-kekerasan dalam konflik bisa dieliminasi menjadi kompetisi yang wajar.

"
2007
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Supomo
"Pada saat ini patent sensor kemiringan dari tahun 1965 s/d 2009 menggunakan metoda: element, ball, diffracting, dan electrode.
Pada Tesis ini dilakukan rancang bangun suatu prototip sensor kemiringan dengan menggunakan metoda matrix array photodiode dengan sarana cairan sebagai pengaturan penyinaran.
Dengan susunan matrik 8 baris x 8 kolom dapat dipergunakan untuk mendeteksi perubahan sudut kemiringan yang linier dari 20o sampai 50o dengan resolusi 5o, respon 14.298 μS serta arah posisi kemiringan kanan, kiri, depan, dan belakang dapat ditentukan."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2010
T27886
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
S5869
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Barron, Patrick
Jakarta, Indonesia : World Bank Office Jakarta, 2004
301.099 BAR v (1);301.099 BAR v (2)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Fadhilah Eryananda
"Kepuasan pernikahan berperan penting dalam kehidupan. Sebelum menjadi pasangan suami istri, individu memiliki faktor personal yang dibawa dan mempengaruhi dinamika pernikahan dan bagimana pandangan individu terkait pernikahannya. Penelitian ini akan melihat apakah human values sebagai faktor personal dapat secara signifikan mempengaruhi kepuasan pernikahan, lebih lanjut juga melihat apakah jenis strategi resolusi memoderasi pengaruh human values terhadap kepuasan pernikahan. Sebanyak 329 partisipan yang merupakan generasi Y dan sudah menikah selama 1 tahun terlibat dalam penelitian ini. Setiap partisipan diminta untuk mengisi Portrait Values Questioner (PVQ), Conflict Resolution Inventory (CRI) dan Quality Marriage Index (QMI).
Hasil penelitian ini menemukan bahwa human values merupakan prediktor yang signifikan terhadap kepuasan pernikahan, dimana nilai self-enhancement dan openness to change memiliki hubungan negatif terhadap kepuasan pernikahan (B= -3.253, p.01; B=-1.802, p.01) sementara nilai selftranscendence (B=5.789, p.01) memiliki hubungan positif terhadap kepuasan pernikahan. Selain itu juga ditemukan jenis strategi resolusi positive problem solving memoderasi hubungan self-transcendence dan kepuasan pernikahan (B=-0.448, p05). Hasil penelitian ini bermanfaat untuk praktisi psikolog dan calon pasangan suami istri agar dapat mempertimbangkan peran human values dan melatih teknik positive problem solving. Penelitian lanjutan dapat dilakukan dengan melibatkan pasangan atau pada populasi bercerai untuk melihat peran nilai dan strategi resolusi konfliknya.

Marriage satisfaction plays an important role in life. Before becoming a husband and wife, individuals have personal factors that are brought and influence the dynamics of marriage and how the individual views related to marriage. This study purpose to found out whether human values as a personal factor can significantly influence marital satisfaction, and also look at whether the type of conflict resolution strategy moderates the influence of human values on marital satisfaction. A total of 329 participants who were generation Y and had been married for at least a year were involved in this study. Each participant was asked to fill in the Portrait Values Questioner (PVQ), Conflict Resolution Inventory (CRI) and Quality Marriage Index (QMI).
The results of this study found that human values are a significant predictor of marital satisfaction, where self-enhancement and openness to change values have a negative relationship with marital satisfaction (B = -3,253, p .01; B = -1.802, p .01 ) while the value of self-transcendence (B = 5.789, p .01) have positive relationship with marital satisfaction. It also found positive problem solving strategies moderate the relationship between self-transcendence and marital satisfaction (B = -0.448, p .05). The results of this study are useful for practitioners and potential couples to consider the role of human values and practice positive problem solving techniques. Further research can be done by involving partners or divorced populations to see the role of values and conflict resolution strategies.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T55218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Tenri Faradiba
"[ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara kepribadian dan resolusi konflik
interpersonal yang dialami oleh remaja (N=227). Uji hipotesis satu arah antara
variabel kepribadian dan resolusi konflik dilakukan dalam penelitian ini. Kepribadian
dijelaskan menurut teori kepribadian Five Factor Model (McCrae & Costa, 2006)
yang terdiri dari faktor openness to experience, conscientiousness, extraversion,
agreeableness, dan neuroticism sedangkan resolusi konflik dijelaskan sebagai upaya
penyelesaian konflik yang terbagi atas tiga kategori, yaitu resolusi konflik power
assertion, negotiation,dan disengagement (Jensen-Campbell, Graziano & Hair, 1996).
Semakin tinggi neuroticism remaja, semakin tinggi kemungkinan menggunakan
resolusi konflik power assertion, negotiation, dan disengagement. Semakin tinggi
conscientiousness remaja, semakin rendah kemungkinan menggunakan resolusi
konflik power assertion dan disengagement. Remaja yang memiliki agreeableness
tinggi cenderung tidak menggunakan resolusi konflik power assertion.

ABSTRACT
The aim of this research is to examine correlations between personality and
interpersonal conflict resolution in adolescents (N=227). One tail hypothesized
between personality and interpersonal conflict resolution is verified. Personality is
explained by Five Factor Model (McCrae & Costa, 2006) and measured using NEOFive
Factor Inventory: openness to experience, conscientiousness, extraversion,
agreeableness, conscientiousness. Conflict resolution is explained as an effort to
resolve conflict: power assertion, negotiation, and disengagement (Jensen-Campbell,
Graziano, & Hair, 1996). Adolescents with high neuroticism tend to use power
assertion, negotiation, and disengagement. On the other hand, adolescents with high
conscientiousness tend to avoid power assertion and disengagement. Low-agreeable
adolescents tend to implement power assertion, The aim of this research is to examine correlations between personality and
interpersonal conflict resolution in adolescents (N=227). One tail hypothesized
between personality and interpersonal conflict resolution is verified. Personality is
explained by Five Factor Model (McCrae & Costa, 2006) and measured using NEOFive
Factor Inventory: openness to experience, conscientiousness, extraversion,
agreeableness, conscientiousness. Conflict resolution is explained as an effort to
resolve conflict: power assertion, negotiation, and disengagement (Jensen-Campbell,
Graziano, & Hair, 1996). Adolescents with high neuroticism tend to use power
assertion, negotiation, and disengagement. On the other hand, adolescents with high
conscientiousness tend to avoid power assertion and disengagement. Low-agreeable
adolescents tend to implement power assertion]"
2015
T28996
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifdah Lathifah
"Tesis ini disusun menggunakan perspektif feminisme poskolonial untuk menganalisa dokumen Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1325. Penulis melihat bahwa Resolusi 1325 merupakan solusi yang tidak tepat dalam menangani dampak dari konflik bersenjata terhadap perempuan. Resolusi 1325 diadopsi pada tahun 2000 dan dilihat sebagai suatu perangkat yang lebih mengakomodasi Barat dan perempuan kulit putih untuk berpartisipasi dalam pembangunan perdamaian dibandingkan untuk mengikutsertakan semua perempuan dari berbagai macam latar belakang dan identitas dalam pembangunan perdamaian pasca konflik. Terdapat 1,322 kata dalam dokumen ini, namun tidak ada satu katapun yang menggambarkan nuansa ras etnisitas, agama, maupun latar belakang sejarah.
Konflik bersenjata memberikan dampak yang berbeda terhadap perempuan dan laki-laki. Perbedaan dampak ini yang kemudian akan menghasilkan diskriminasi terhadap perempuan. Resolusi 1325 hanya melihat diskiriminasi seksual sebagai bentuk diskriminasi yang paling buruk yang didapatkan perempuan saat konflik. Banyaknya bentuk diskriminasi yang didapatkan perempuan pasca konflik bersenjata menjadikan Resolusi 1325 menjadi alat yang kontraproduktif dalam mendorong perempuan untuk mendapatkan haknya pasca konflik. Hilangnya unsur interseksionalitas dalam Resolusi 1325 ini juga menjadikan Resolusi ini sebagai sesuatu yang hanya bersifat solutif sehingga akan memungkinkan kembali terjadinya konflik dan diskriminasi terhadap perempuan, terutama perempuan negara Dunia Ketiga dimana konflik rentan terjadi.

This Graduate Thesis is developed using a postcolonial feminist perspective to conduct an interpretative document analysis on the United Nations Security Council Resolution UNSCR 1325. The author argues that Resolution 1325 is not an appropriate solution to address the impacts of armed conflicts on women and girls. This Graduate Thesis finds that Resolution 1325 accommodates the Western and white women perspective to participate in peace building table. Therefore, it fails to include all women in peace building. There are 1,322 words contained in this document, not even one of them reflected the nuances of race, ethnicity, religion, and or historical background.
Armed conflicts give different impacts to women and men. These differences result in the discrimination against women. Resolution 1325 acknowledged that sexual discrimination is the worst form of discrimination against women. However, many other forms of discrimination against women are missing from the narrative of Resolution 1325, making it counter productive in achieving women's rights in the aftermath of armed conflicts. The lack of intersectionality renders Resolution 1325 as a solution but not a prevention to armed conflict and discrimination against women, especially women in Third World countries where conflicts are prone to happen.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zia Ul Haramein
"Penelitian ini didasari pada interaksi diplomasi antara dua tokoh besar Perang Salib III dan V, yaitu Salahuddin al-Ayyubi dan Santo Fransiskus terhadap rival perangnya masing-masing. Semangat memperjuangkan perdamaian yang mereka upayakan dilandasi latar belakang agama dan sosial yang kuat. Ketika sebagian orang beranggapan bahwa agama menjadi alasan berperang, mereka justru sebaliknya. Dan penelitian yang berbasis studi pustaka ini bertujuan untuk menangkal anggapan tersebut. Dengan teori Segitiga ABC ala Johan Galtung dan teori Shopkeeper milik Harold Nicolson, penelitian ini mengkaji bahwa sikap dan perilaku seorang diplomat menentukan hasil dari resolusi konflik. Segitiga ABC ialah elemen penting dalam mengupayakan resolusi berbasis diplomasi; (A) untuk Attitude dan (B) untuk Behavior dan (C) untuk Contradiction. Ketiganya menempati ruang diplomasi yang signifikan. Begitu juga kepiawaian mereka bernegosiasi turut menjadi andil dalam menentukan akhir konflik, sebagaimana paparan teori Nicolson. Alhasil, dua tokoh abad pertengahan tersebut menunjukkan sikap-sikap bijaksana dan diplomatis yang tidak ditemui padanannya. Misi perdamaian yang sama dari dua keyakinan berbeda secara faktual mampu meredam kobaran api konflik Perang Salib menjadi kesepakatan atau perjanjian damai yang menguntungkan kedua belah pihak.

This research is based on the actions of two great figures, Saladin al-Ayyubi and Saint Francis, who used diplomatic interactions to reach peace agreements with their respective rivals in Crusades III and V. Their enthusiasm in fighting for peace was based on their strong religious and social backgrounds. Many people consider that religion is a reason for going to war, but these two men showed just the opposite, and so this library-based study aims to counteract the assumption that religions lead to war. Using the ABC Triangle theory of Johan Galtung and Harold Nicolson`s Shopkeeper theory, this study examines how the attitude and behavior of a diplomat can determine the outcome of conflict resolution efforts. The ABC Triangle theory is an important element in seeking a diplomacy-based resolution; (A) for Attitude, (B) for Behavior, and (C) for Contradiction. All three elements occupy significant diplomatic space. Likewise, a diplomat`s expertise in negotiating will contribute to determining the end of the conflict, as explained by Nicolson`s theory. As a result, we can see that the two medieval figures mentioned above showed wise and diplomatic attitudes that were not demonstrated by their counterparts. The same peace mission from two different religious beliefs was able to reduce the flames of the Crusade and create a peace agreement or an agreement that benefited both parties."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T54391
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7   >>