Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitri Astriana Lestari
"Sikap kesehatan reproduksi remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah jenis sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan sikap kesehatan reproduksi siswa antara SMA negeri dan SMA berbasis agama. Penelitian ini menggunakan desain kuantitatif komparatif dengan pendekatan cross sectional. 104 responden dari SMA di Depok diperoleh dengan menggunakan teknik cluster random sampling. Hasil analisis chi square menunjukkan ada perbedaan yang signifikan antara sikap kesehatan reproduksi siswa SMA negeri dan SMA berdasarkan agama (p = 0,000, CI 95%). Perbedaan tersebut dapat terjadi karena pengaruh tingkat religiusitas, lingkungan sekolah dan teman sebaya. Hasil ini merekomendasikan adanya peningkatan program pendidikan kesehatan reproduksi di sekolah menengah atas melalui pendekatan pendidikan agama.
The attitude of adolescent reproductive health is influenced by several factors, one of which is the type of school. This study aims to determine the differences in the reproductive health attitudes of students between state high schools and religion-based high schools. This study used a comparative quantitative design with a cross sectional approach. 104 respondents from SMA in Depok were obtained using cluster random sampling technique. The results of the chi square analysis showed that there was a significant difference between the reproductive health attitudes of public high school and senior high school students based on religion (p = 0.000, 95% CI). These differences can occur due to the influence of the level of religiosity, school environment and peers. These results recommend an increase in reproductive health education programs in senior secondary schools through the religious education approach."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toni M. Arman
"Interaksi sosial merupakan sarana pembelajaran sosial bagi remaja dimana diperlukan upaya untuk menyesuaikan diri antara tuntutan sosial dengan kebutuhan dalam diri sendiri. Keberhasilan remaja dalam relasi antarpribadi memperlihatkan tingkat kompetensi yang dimiliki remaja untuk menjalin dan mengembangkan interaksi antarpribadi tersebut. Hambatan dalam menguasai kompetensi relasi antarpribadi menjadikan remaja mengalami kesulitan untuk bertindak secara efektif daiam bermasyarakat dan dapat berkembang menjadi hambatan psikologis di masa mendatang.
Ford (1992) mengungkapkan bahwa interaksi sosial dan relasi antarpribadi merupakan domain untuk menguasai kompetensi sosial. Penguasaan, kompetensi relasi antarpribadi pada remaja diperoleh melalui proses sosialisasi di antara teman dan kelompok sebaya, institusi sekolah serta media massa. Dalam penguasaan kompetensi relasi antarpribadi ini melibatkan pula upaya-upaya menampilkan diri di hadapan oranglain (Argyle, 1980). Upaya untuk menampilkan diri ini merupakan sarana untuk meningkatkan gambaran diri dan penerimaan sosial. Bagi remaja, penerimaan sosial di kalangan sesama teman dan kelompok sebaya pada lingkungannya merupakan tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi remaja dalam masa perkembangannya.
Menurut Snyder (dalam Briggs, Cheek & Buss, 1980), upaya menampilkan diri di hadapan orang Iain dipengaruhi oleh pemantauan diri (self-monitoring) yang terbagi atas pemantauan diri yang tinggi dan pemantauan diri yang rendah. Pemantauan diri yang tinggi berdasarkan situasi eksternal dan perilaku orang lain. Sedangkan pemantauan diri yang rendah berdasarkan disposisi internal yang terdapat dalam diri seorang - seperti belief, sikap, dan norma - dan kurang memperhatikan kesesuaian dengan lingkungan disekitamya. Oieh karena itu, pemantauan diri yang tinggi diharapkan tingkat kompetensi relasi antarpribadi akan tinggi mengingat bahwa perilaku yang ditampilkan di hadapan orang lain sesuai dengan konteks sosial yang menyertainya. Sedangkan pemantauan diri yang rendah diharapkan akan lebih rendah kemampuan menjalin relasi antarpribadi karena cenderung lebih memperhatikan disposisi pribadi dan kurang memperhatikan kesesuaian dengan konteks sosial yang ada.
Pendekatan yang dikembangkan untuk menilai tingkat penguasaan kompentensi relasi antarpribadi mencakup pendekatan interpersonal task. Menurut Buhrmester, dkk., (1988), konteks sosial yang ada membutuhkan beragam kompetensi sosial, dan setiap individu memiliki kompetensi yang beragam. Seseorang rnungkin berhasil dalam satu konteks sosial namun kurang berhasil dalarn konteks sosial yang lain. Lebih Ianjut, Buhrmester, dkk., (1988) mengajukan 5 ranah komponen kompetensi relasi antarpribadi yaitu initiation competence, negative assertion, self-disclosure, emotional support dan conflict management. Pemahaman terhadap masing-masing ranah membantu untuk menentukan perilaku yang paling sesuai dengan konteks sosial yang dihadapi. Melalui pendekatan ini, disusunlah alat ukur yang bernama "Interpersonal Competence Questionnaire" (ICQ) untuk mengetahui gambaran menyeluruh mengenai penguasaan kompetensi relasi antarpribadi pada remaja.
Adapun untuk mengukur pemantauan diri, dikembangkan alat ukur yang bernama Self-Monitoring Scale? (SMS) dari Snyder versi tahun 1974 (dalam Briggs, Vheek, & Buss, 1980). Pengukuran didasarkan atas kesesuaian dengan situasi eksternal dan disposisi internal, sehingga hasil yang diperoleh menunjukkan pemantauan diri yang tinggi atau pemantauan diri yang rendah. Alat ini diperlukan untuk mengetahui gambaran menyeluruh mengenai kemampuan remaja dalam menampilkan diri di hadapan orang Iain berdasarkan kategori pemantauan diri yang tinggi aiau pemantauan diri yang rendah.
Penelitian ini merupakan upaya untuk menambah pengetahuan teoritis mengenai kaitan antara pemantauan diri dengan kompetensi relasi antarpribadi pada remaja. Di samping itu, manfaat praktis yang diharapkan adalah untuk memperoleh langkah-Iangkah yang sesuai dalam tindakan preventif dan kuratif terhadap gejala yang menyimpang dari perilaku sosial remaja.
Subjek penelitian ini adalah siswa SMU kelas III, dimana mereka diharapkan telah mengalami relasi antarpribadi dengan teman dalam Iingkungan sekoIah dan cukup mampu untuk memberikan penilaian terhadap pemantauan diri dan penguasaan kompetensi relasi antarpribadi. Pengambilan sampel penélitian ditempuh dengan cara accidental sampling.
Melalui pengolahan data dan analisis diperoieh hasil bahwa tingkat kompetensi relasi antarpribadi di kalangan remaja menunjukkan taraf yang tinggi. Demikian pula degan kelima komponen kompetensi relasi antarpribadi yang mernperlihatkan tingkat kompetensi yang tinggi. Sedangkan pemantauan diri pada remaja cenderung agak rendah dan tergolong dalam pemantauan diri yang rendah. Kaitan yang terjadi antara pemantauan diri dengan kompetensi relasi antarpribadi pada remaja menunjukkan hasil yang signifikan sehingga peningkatan dalam pemantauan diri remaia akan meningkatkan pula kompetensi relasi antapribadi remaja. Penelitian ini memperlihatkan kesesuaian dengan pandangan yang dikemukakan oleh Argyle (1980) bahwa upaya menampilkan diri di hadapan orang Iain akan mempengaruhi pula kompetensi relasi antarpribadi.
Hasil penelitian ini akan semakin baik apabila memperhatikan faktor-faktor di luar kondisi yang dipakai dalam penelitian ini, seperti penilaian dilakukan pula oleh guru, teman atau orang tua. Generalisasi akan semakin akurat jika subjek penelitian diperoleh dan strata pendidikan yang berbeda atau usia yang beragam. Upaya untuk memperluas daerah penelitian yang meliputi perkotaan dan pedesaan, atau lingkungan sekolah yang beragam seperti STM dan madrasah, akan menambah pula nilai keakuratannya.
Penelitian lanjutan mengenai kompetensi relasi antarpribadi dan pemantauan diri dalam kaitannya dengan persoalan sehari-hari atau dalam kasus-kasus klinis semakin dirasakan keperluannya dalam memahami kompetensi relasi antarpribadi dan dalam kaitannya dengan pemantauan diri seseorang."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
S2610
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luciana Kabang
"ABSTRAK
Depresi yang sering tidak terdeteksi apabila berlangsung secara menetap dan lama dapat menimbulkan masalah yang serius bagi remaja salah satunya upaya bunuh diri. Stres sebagai awal terjadinya depresi biasanya berkaitan dengan hubungan interpersonal remaja dengan orang terdekatnya. Di sisi lain, dukungan sosial yang diperoleh dari remaja dari orang terdekatnya merupakan faktor protektif terhadap terjadinya depresi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan sosial dengan tingkat depresi pada remaja di Kecamatan Putussibau Utara. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah total sampling dengan total responden 724 orang. Instrumen yang digunakan adalah CASSS dan PHQ-9. Data dianalisis dengan menggunakan Spearman Correlation. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan dukungan sosial dengan tingkat depresi pada remaja dengan arah korelasi negatif. Semakin tinggi dukungan sosial yang diterima remaja, maka tingkat depresi semakin rendah. Peningkatan dukungan sosial serta pengadaan pelatihan manajemen stres direkomendasikan untuk mencegah depresi pada remaja.

ABSTRACT
Depression that goes undetected for a long period of time may cause serious problems for adolescents such as suicide. Stress that leads to such depression is commonly associated with their interpersonal relation with their closest ones. Moreover, social support provided from their closest people is protective factor which mitigates depression in adolescents. This study aimed to identify relationship between social support and depression level among high school students in North Putussibau District. 724 respondens were select by total sampling method. CASSS and PHQ 9 were employed as instrument. Data were analyzed by Spearman Correlation. The analysis suggested that there was significant correlation between social support and level of depression among adolescents with negative direction of relationship. The higher social support which adolescents perceived, the lower their depression level would be. It is recommended to improve social support and conduct a training of stress management in order to prevent stress in adolescents."
2017
S67257
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melanie Widjaja
"Latar Belakang : Penggunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) pada usia remaja menjadi salah satu masalah sosial besar yang kita hadapi dalam masyarakat dan memberikan dampak negatif.
Tujuan: Mengetahui karakteristik dan faktor yang memengaruhi perilaku berisiko tinggi penggunaan NAPZA pada remaja sekolah menengah, serta memperkenalkan kuesioner CRAFFT sebagai instrumen penyaring awal terhadap penggunaan narkoba dan alkohol.
Metode: Studi kuantitatif (kuesioner yang divalidasi) terhadap 514 subjek usia 12-18 tahun yang dipilih secara konsekutif. Kuesioner CRAFFT digunakan untuk mendeteksi perilaku berisiko tinggi penggunaan narkotika, psikotropika dan alkohol. Faktor-faktor risiko diperoleh melalui kuesioner yang diisi secara mandiri oleh responden. Analisis statistik menggunakan analisis bivariat (uji kai kuadrat atau uji Fischer) dan multivariat (uji regresi logistik).
Hasil: Sebesar 19,6% subjek terlibat dalam perilaku berisiko tinggi penggunaan NAPZA dan sebagian besar adalah laki-laki 12,4%. Perilaku berisiko tinggi penggunaan NAPZA, terdiri dari perilaku merokok (23,8%), minum minuman beralkohol (15,8%), dan penggunaan obat-obatan terlarang dan zat adiktif lainnya (13,6%). Sebagian besar subjek (18,9%) mencoba rokok pertama kali saat usia remaja awal (10-13 tahun), sedangkan minum minuman beralkohol (12,6%) dan menggunakan obat terlarang dan zat adiktif lainnya (9,1%) dimulai saat remaja menengah menengah (14-16 tahun). Jenis obat terlarang yang digunakan, antara lain ganja (52,7%), tramadol (15,2%), dekstrometorfan (10,7%), dan shabu-shabu (6,3%). Kuesioner CRAFFT memiliki reliabilitas yang baik dengan Cronbach’s α sebesar 0,73. Tingkat pendidikan (RO 9,56; p= 0,000), pola asuh otoriter (RO 27,25; p= 0,000), orangtua tidak harmonis (RO 4,00; p= 0,001), tekanan atau ancaman teman sebaya (RO 3,26; p= 0,006), dan kegiatan ekstrakurikuler (RO 2,04; p= 0,048) merupakan faktor yang memengaruhi perilaku risiko tinggi penggunaan alkohol dan narkoba pada remaja.
Simpulan: Remaja memiliki risiko besar terlibat dalam perilaku berisiko tinggi penggunaan NAPZA, sehingga dibutuhkan deteksi dini, penanganan yang komprehensif yang melibatkan multidisiplin, serta intervensi terhadap faktor risiko yang ada. CRAFFT dapat digunakan sebagai salah satu instrumen penyaring terhadap penggunaan penggunaan narkotika, psikotropika, dan alkohol pada remaja.

Background: Narcotics, psychotrophics and addictive substances (NPA) used in adolescents becomes one of the major social problems we are facing in society and gives a negative impact.
Objective: To determine the characteristics and factors that influence high risk behavior of NPA used in adolescents in middle and high school, also introducing CRAFFT questionnaire as an early screening tool for alcohol and illicit drugs use.
Method: Quantitative study (validated questionnaire) was conducted among 514 subject aged 12-18 years old using a consecutive sampling. CRAFFT questionnaire was used to detect a high risk behavior of alcohol and illicit drugs use and self-reported questionnaire used to determine the risk factors of NPA. Statistical analysis was done using bivariate (Chi-square or Fischer tests) and multivariate (logistic regression) analysis.
Results: Most participants (19,6%) were involved in high risk behavior of alcohol and illicit drugs, with the majority of males (12,4%). The high risk behavior, consisted of smoking (23,8%), drinking alcohol (15,8%) and illicit drugs use (13,6%). Majority of the participants (18,9%) started to smoke in early adolescence (10-13 years old), while drinking alcohol (12,6%) and illicit drugs use (9,1%) started in mid adolescence (14-16 tahun). The type of drugs being used were cannabis (52,7%), tramadol (15,2%), dextromethorphan (10,7%) and methamphetamine (6,3%). CRAFFT questionnaire has a good internal consistency with Cronbach’s α 0,73. Education level (OR 9,56; p= 0,000), authoritarian parenting style (OR 27,25; p= 0,000), parents not harmonious (OR 4,00; p= 0,001), peer pressure or threat (OR 3,26; p= 0,006) and extracurricular activities (OR 2,04; p= 0,048) were factors that influenced high risk behavior of alcohol and illicit drugs use in adolescents.
Conclusion: Adolescents have a high risk behavior of alcohol and illicit drugs usage, therefore, early detection, comprehensive treatment involving multidisciplinary and intervention of risk factors are needed. CRAFFT can be used as one of the screening tools for detecting alcohol and illicit drugs use in adolescents.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Azizah Nur Utami
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara keterlibatan ayah dan motivasi berprestasi remaja. Pengukuran keterlibatan ayah dilakukan dengan menggunakan alat ukur Father Involvement Reported Scale yang dibuat oleh Finley dan Schwartz (2004), sedangkan pengukuran motivasi berprestasi dilakukan dengan menggunakan alat ukur motivasi berprestasi yang dibuat oleh Widyasari (2005). Partisipan pada penelitian ini adalah 266 remaja kelas 2 SMP di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan, berusia 13-15 tahun, dan memiliki ayah. Hasil penghitungan Pearson Correlation menunjukkan terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara keterlibatan ayah dan motivasi berprestasi remaja kelas 2 SMP, sehingga semakin tinggi keterlibatan ayah maka akan semakin tinggi pula motivasi berprestasi remaja kelas 2 SMP.

The purpose of this research is to examine the relationship between father involvement and achievement motivation in adolescents. Father involvement was measured using Father Involvement Reported Scale (Finley & Schwartz, 2004), whereas the achievement motivation was measured using Achievement Motivation Scale (Widyasari, 2005). The participants of this research were 266 adolescents currently attending 2nd grade junior high school in East Jakarta and South Jakarta, with the age of 13-15 years old, and has a father. The Pearson Correlation obtained shows that there is a positive and significant relationship between father involvement and achievement motivation among 2nd grade junior high school adolescents. Thus, higher father involvement would indicate a higher achievement motivation among 2nd grade junior high school adolescents.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S57622
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rinda Saski Kurnia
"Studi ini memiliki hipotesis bahwa kematangan karir memiliki korelasi yang positif dan signifikan dengan keterlibatan ayah pada remaja. Untuk keperluan penelitian ini, peneliti telah melakukan studinya terhadap 248 responden di Jakarta. Alat ukur Career Development Inventory (CDI) digunakan untuk mengukur kematangan karir dan alat ukur Father Involvement Scale - Reported (FIS-R) untuk keterlibatan ayah. Melalui teknik statistik Pearson Correlation, ditemukan bahwa kematangan karir berkorelasi secara positif dan signifikan dengan keterlibatan ayah. Berdasarkan hasil dari studi ini, peneliti menyarankan agar para ayah di Indonesia dapat lebih terlibat lagi dalam pengembangan karir remaja.

This study hypothesized that career maturity correlates positively and significantly with father involvement. There are 248 adolescents in Jakarta involved in this study. Career maturity is measured with Career Development Inventory (CDI). On the other hand, father involvement is measured with Father Involvement Scale - Reported. The Pearson Correlation indicates that career maturity correlates positively and significantly with father involvement. Therefore, it is suggested that fathers in Indonesia should be more involved in their adolescents’ development, especially in their career development so that they can have career maturity.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S55429
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvyna Trinanda Daeng
"Remaja merupakan kelompok berisiko mengalami berbagai masalah fisik psikologis dan sosial. Salah satu masalah psikososial yang terjadi pada remaja adalah merupakan bentuk bullying yang dilakukan secara tidak langsung yaitu melalui dunia maya internet. Dampak cyberbullying pada remaja diantaranya menimbulkan rasa malu depresi hingga bunuh diri. Tujuan penelitian ini mengetahui kejadian cyberbullying yang terjadi pada remaja SMA Negeri di Jakarta Timur. Metode penelitian kuantitatif deskriptif dengan pendekatan desain cross sectional dengan teknik sampling accidental sampling n 105
Hasil penelitian menemukan angka kejadian cyberbullying 30.5 dengan 20 terlibat sebagai pelaku dan 17 sebagai korban dan 8.6 sebagai pelaku sekaligus korban. Media yang paling banyak digunakan adalah chatrooms 35.2. Lama korban mengalami kejadian cyberbullying beragam dari satu atau dua minggu 10.5 hingga beberapa tahun 7.6. Remaja perempuan berpeluang 2.7 kali terlibat dalam kejadian cyberbullying dibandingkan laki laki.

Teenagers are a group in the society at high risk of experiencing a number of problems such as physical psychological and social problems. One of the psycho social problems among teenagers is cyberbullying. Cyberbullying is a form of bullying that takes action indirectly through virtual world like the internet. Negative impacts of cyberbullying can be shyness depression and suicide. The purpose of this research was to know the phenomenon of cyberbullying that happened to teenagers in State High School in East Jakarta. Method used was quantitative descriptive with cross sectional approach and sampling technique was accidental sampling 105.
The result shows that the incidence of cyberbullying reached the number of 30.5 with 20 claimed to be perpetrators 17.1 victims and 8.6 both. The media that commonly used are chatrooms 35.2 The length of the period of teenagers being victimized varies from a couple of weeks 10.5 up to a few years 7.6. There is a relation between gender and the incidence of cyberbullying where girls are 2.7 times more risky of being involved in cyberbullying compared to boys.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
S61385
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hayuning Zaskya Nugrahani
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara prestasi akademik dan keterlibatan ayah pada remaja Sekolah Menengah Pertama. Prestasi akademik diukur melalui nilai rapor semester I yang diperoleh responden dari sekolah, sedangkan pengukuran keterlibatan ayah dilakukan melalui the Father Involvement Scale (Reported) yang disusun oleh Finley dan Schwartz (2004). Responden pada penelitian ini berjumlah 263 remaja kelas VIII Sekolah Menengah Pertama yang berusia 13 hingga 15 tahun dan memiliki sosok ayah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara prestasi akademik dan keterlibatan ayah pada remaja Sekolah Menengah Pertama (r = -.026; n = 263; p > 0,05, two-tailed). Walau hasil penelitian tidak menunjukkan hubungan yang signifikan antara prestasi akademik dan keterlibatan ayah, namun tidak berarti ayah tidak memiliki peran pada prestasi akademik anak remaja. Di masa tersebut remaja masih memerlukan keterlibatan ayah guna mendukung pencapaian prestasi akademik yang optimal di sekolah.

This study examined the relationship between academic achievement and father involvement among junior high school students. Academic achievement was measured by students’ official school records, whereas the father involvement was measured by the Father Involvement Scale (Reported) (Finley & Schwartz, 2004). The participants of this study were 263 8th grade junior high school students who have a father and encompassing the age between 13 and 15 years old.
The result of this study indicates that there is no significant relationship between academic achievement and father involvement among junior high school students (r = -.026; n = 263; p > 0,05, two-tailed). Furthermore, although the result of the study indicates no significant relationship between father involvement and academic achievement among junior high school students, but it does not mean that father does not have any role at all in student’s academic achievement, because during that period, adolescents still need father involvement in order to support the optimum academic achievement in their school.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S56383
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library