Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sansan Hasanudin
"ABSTRAK
Untuk menjadi pemenang pada kontestasi politik elektoral, para kandidat kepala daerah harus memiliki kekuatan politik yang kuat. Kekuatan politik ini dapat berasal dari berbagai mesin politik, diantaranya institusi pesantren yang memiliki jaringan sosial di masyarakat. Pertanyaan artikel ini yaitu mengapa pesantren dapat menjadi basis massa politik elektoral di suatu daerah dan bagaimana mekanisme keterlibatannya. Penulis memakai konsep religio-politik untuk melihat keterlibatan pesantren pada politik elektoral dan konsep jaringan sosial sebagai kerangka analisa mekanisme keterlibatannya. Objek penelitian artikel ini adalah kasus Pilkada tahun 2011 dan 2016 di Kabupaten Tasikmalaya karena penulis melihat adanya peran dari jaringan sosial institusi pesantren sebagai kekuatan politik. Penulis berargumentasi bahwa kemenangan Uu Ruzhanul Ulum ndash; Ade Sugianto pada Pilkada tahun 2011 dan 2016 merupakan hasil dari kekuatan politik jaringan sosial pesantren bernama Himpunan Alumni Miftahul Huda Hamida . Kebaruan konsep artikel ini ialah kekuatan politik dapat berasal dari jaringan informal yang berintegrasi dengan jaringan formal. Teknik pengumpulan data penelitian ini bersifat kualitatif melalui snowball indepth-interview.

ABSTRACT
To be a winner in the electoral political contestation, the regional head candidates must have a strong political force. These political forces can come from a variety of political machines, including boarding institutions that have a social network in the community. This article question is why boarding institutions or pesantren can be a mass base of electoral politics in an area and how the mechanism of involvement. The author used the concept of religio political to see the involvement of pesantren in electoral politics and the concept of social networks as an analytical framework involvement mechanisms. The research object of this article is the case of the elections in 2011 and 2016 in Tasikmalaya regency as the author sees the role of social networks pesantren as a political force. The author argues that the victory Uu Ruzhanul Ulum Ade Sugianto in the elections of 2011 and 2016 is the result of the political power of social networking pesantren named Himpunan Alumni Miftahul Huda Hamida . Novelty concept of this article is the political power can come from informal networks that integrate with formal network. This research data collection techniques are qualitative snowball depth interview. "
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Muh. Bahruddin
"Masifnya individu atau kelompok yang membawa pemahaman Islam di Indonesia dalam dua dekade terakhir, menarik perhatian masyarakat, termasuk sineas. Mereka ingin mengekspresikan gagasannya untuk merespon masalah kerakayatan, sosial, politik, dan agama. Ada dua permasalahan yang menjadi perhatian dalam penelitian ini: pertama, kehadiran individu atau kelompok yang membawa ideologi Islamisme yaitu membawa misi penegakan syariat Islam dalam menyelesaikan persoalan dan pembentukan tatanan sosial. Ideologi agama-politik ini kerap memicu benturan, konflik, dan tindakan yang mengarah pada radikalisme. Kedua, keyakinan agama yang dijadikan sumber tindakan politik oleh individu atau kelompok Islamis (yang membawa ideologi Islamisme) dijadikan sebagai dasar untuk melakukan tindakan sosial. Dua permasalahan inilah yang diinterpretasikan oleh sineas, kemudian direpresentasikan melalui teks film. Untuk menjawab dua permasalahan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi proses dialektik antara individu atau kelompok di masyarakat yang direpresentasikan melalui teks film. Identifikasi ini untuk mengetahui jejak memori yang dijadikan dasar tindakan sosial agen di masyarakat. Dalam teori strukturasi, Giddens berpendapat bahwa struktur (praktik sosial berulang) hanya ‘ada’ dan tertanam dalam jejak memori agen sebagai dasar tindakan sosial. Sementara penelitian ini berpendapat bahwa ada unsur lain yaitu keyakinan agama-politik yang tertanam dalam jejak memori agen sebagai dasar melakukan tindakan sosial. Metode penelitian ini bersifat kualitatif interpretatif dengan menggunakan analisis wacana kritis model van Dijk untuk mengkaji teks, kognisi, dan konteks sosial yang melingkupi sineas. Untuk memperoleh pemaknaan teks, penelitian ini menggunakan logika semiotika Saussure yang digabungkan dengan perangkat shot dan teknik kamera Arthur Asa Berger. Teori substantif yang digunakan adalah mensitesiskan teori strukturasi dengan konsep Islamisme. Paradigma yang digunakan adalah kritis konstruktivis untuk ‘memperjuangkan’ nilai-nilai universal berdasarkan realitas yang direpresentasikan dalam film. Unit analisisnya adalah film-film Indonesia bertema Islam dan antiradikalisme yaitu 3 Doa 3 Cinta (2008), Khalifah (2011), Mata Tertutup (2011), dan Bid’ah Cinta (2017). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pertama: keempat film Indonesia yang dikaji memperlihatkan, tokoh agen (agensi) yang melakukan tindakan radikal merujuk pada pemahaman Islamisme. Persoalan di masyarakat seperti ketidakadilan, ketimpangan sosial, tidak adanya persamaan hak, serta sulitnya mengakses pendidikan dan kesehatan, menjadi pemicu individu atau kelompok Islamis untuk melakukan tindakan radikal. Kedua, tindakan agen (yang direpresentasikan melalui tokoh Islamis) dalam masyarakat Muslim Indonesia didasarkan pada keyakinan agama-politik yang tertanam dalam jejak memori. Hasil ini sekaligus membantah teori strukturasi Giddens yang hanya melihat struktur sebagai bagian dari jejak memori, yang mengarahkan tindakan agen.

The massive numbers of individuals and groups bringing a particular understanding of Islam in Indonesia in the last two decades has garnered attention from the public, including filmmakers. They desire to express their ideas to respond to societal, social, political and religious issues. Two issues are at the center of this study: first, the presence of individuals or groups bringing an Islamist ideology with a mission of upholding Islamic sharia in attempting to resolve issues and engineer social structure. This religio-political ideology often gives rise of tensions, conflicts, and acts leading towards radicalism. Second, religious beliefs used as a source for political actions by individuals or Islamist groups (those professing Islamism ideology) that are used as basis for social action. These two issues are interpreted by filmmakers, and then represented through film texts. In order to respond to those two issues, this study intends to identify the dialectic processes between individuals or groups in society that are represented through film texts. This is to identify the memory traces used as the basis for action by agents in society. In structuration theory, Giddens opines that structure (patterns of social practices) only exist and are lodged within memory traces of agents as basis for social action. However, this study holds that there is another element, namely religio-political beliefs lodged in the memory traces of agents as basis for social action. This study is an interpretive qualitative study, using van Dijk’s critical discourse analysis model to study text, cognition and social context of filmmakers. In order to obtain the meaning of text, this study uses Saussure’s semiotical logic, combined with Arthur Asa Berger’s ideas on camera shot and camera techniques. The substantive theory used synthesizes structuration theory with the concept of Islamism. The paradigm used is critical constructivist, to ‘fight for’ universal values based on realities represented in films. The unit of analysis is Islamic and antiradicalism Indonesian films, namely 3 Doa 3 Cinta [Three Prayers, Three Loves] (2008), Khalifah [Caliph] (2011), Mata Tertutup [Eyes Shut] (2011), and Bid’ah Cinta [Love Heretic] (2017). Results of this study show that first, the four Indonesian film studied show that the agent character (agency) who carried out radical actions referred to Islamist understanding. Societal issues such as injustice, social inequality, lack of equal rights, and the difficulty of accessing education and health, triggered individuals or Islamist groups to take radical actions. Second, the actions of agents (represented through Islamist figures) in Indonesian Muslim society are based on religio-political beliefs embedded in memory traces. This result also refutes Giddens’ structuration theory, which only sees structure as part of a memory trace that directs the actions of agents."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library