Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putut Wisanggeni
"Sebagai makhluk sosial manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya dan salah satu akibatnya adalah mereka membentuk keluarga dengan perkawinan. Sebagai subyek hukum, setiap perbuatan yang dilakukannya akan menimbulkan tanggung jawab hukum termasuk perkawinan baik terhadap suami isteri itu sendiri, anak-anak yang dilahirkan, harta yang didapat selama perkawinan dan masyarakat sekitar dimana pasangan suami isteri itu menetap. Namun adakalanya perkawinan tersebut berakhir karena perceraian, sehingga menimbulkan masalah hukum terhadap keempat hal tersebut di atas, terutama akibatnya terhadap kedudukan harta perkawinan, pengurusannya menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Kemudian bagaimana pandangan badan peradilan terhadap kedudukan harta perkawinan tersebut apabila terjadi perceraian, karena ternyata UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur hal ini dengan menyerahkan pengurusannya kepada hukumnya masing-masing, yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya, yang mempunyai perbedaan satu dengan lainnya, sehingga untuk mengetahuinya dengan benar dan mendapatkan hasil yang bersifat evaluatif-analitis.
Dalam tesis ini kami menggunakan metode penelitian kepustakaan, dan didukung kasus mengenai gugatan harta gono gini mantan pasangan suami isteri Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang diperiksa dan diputus Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan mengingat pihak yang berperkara adalah Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang dianggap tunduk pada hukum perdata barat, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam memeriksa dan memutus perkara tersebut menggunakan ketentuan Pasal 128 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat yang mengatur apabila terjadi putus perkawinan karena perceraian, atas harta perkawinan tersebut harus dibagi dua antara suami isteri. Dengan demikian Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memberikan putusannya dengan benar dan tepat berdasarkan ketentuanketentuan yang diatur dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T37758
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabela Mulia Junaedi
"Putusnya perkawinan atau perceraian akan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak, yakni pembagian harta bersama. Harta bersama merupakan harta benda yang diperoleh suami dan istri selama ikatan perkawinan. Hukum positif di Indonesia menetapkan bahwa apabila terjadi perceraian, masing-masing suami dan istri berhak mendapatkan separuh bagian dari harta bersama. Ketentuan ini didasarkan pada tanggung jawab suami untuk mencari nafkah, sementara istri yang bertanggung jawab untuk mengurus rumah tangga. Akan tetapi, pembagian tanggung jawab sebagaimana dimuat dalam hukum positif telah mengalami pergeseran. Saat ini, sebagian istri tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, tetapi juga turut serta bekerja mencari nafkah. Dengan adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 266K/AG/2010 tersebut dinilai cukup penting untuk dijadikan rujukan oleh para hakim di Indonesia dalam upaya penyelesaian sengketa harta bersama, khususnya dalam hal suami tidak bekerja terlebih suami juga tidak berupaya memberikan kontribusi apapun dalam rumah tangga. Majelis Hakim dalam memutus perkara Nomor 161/Pdt.G/2020/PN.JMB seharusnya lebih mempertimbangkan pada aspek social justice, yakni mengenai kontribusi atau usaha dari para pihak, dimana Majelis Hakim tidak secara langsung membagi rata bagian yang diberikan untuk para pihak, tetapi Majelis Hakim dapat menilai terlebih dahulu bagaimana keadaan masing- masing pihak serta usaha para pihak dalam rumah tangganya. Selain itu, Majelis Hakim seharusnya membagi harta bersama sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 266K/AG/2010, yang menetapkan bahwa suami mendapatkan bagian harta lebih kecil daripada bagian milik istri, yakni 1⁄4 bagian berbanding 3⁄4 bagian harta bersama. Adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 266K/AG/2010 juga tampak bahwa Mahkamah Agung telah berupaya untuk menyeimbangkan asas keadilan dalam pembagian harta bersama atas dasar adanya suatu keadaan khusus yang apabila tetap diterapkan pembagian 50 : 50 sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 128 KUH Perdata dan Pasal 97 KHI, justru akan menimbulkan rasa ketidakadilan antara para pihak. Tulisan ini membahas mengenai pembagian harta bersama perkawinan dalam hal suami tidak bekerja menurut doktrin dan putusan pengadilan dengan menggunakan metode analisis yuridis-normatif, khususnya pada pertimbangan hukum yang diterapkan dalam Putusan Nomor 161/Pdt.G/2020/PN.JMB dan Putusan Nomor 266K/AG/2010.

The dissolution of marriage or divorce will have legal consequences for the parties involved, namely the division of joint assets. Joint assets refer to the property acquired by the husband and wife during the marriage. Indonesian positive law stipulates that in the event of divorce, each husband and wife is entitled to receive half of the joint assets. This provision is based on the husband's responsibility to provide for the family's livelihood, while the wife is responsible for managing the household. However, the allocation of responsibilities as stated in positive law has undergone a shift. Currently, some wives not only play the role of a homemaker but also contribute by working to earn a living. The existence of Supreme Court Jurisprudence Number 266K/AG/2010 is considered significant and serves as a reference for judges in Indonesia in resolving disputes over joint assets, especially when the husband is not employed and does not contribute in any way to the household. The panel of judges in case number 161/Pdt.G/2020/PN.JMB should have considered the aspect of social justice, which includes the contributions or efforts made by each party. The judges should not directly divide the assets equally between the parties but should assess the circumstances and the efforts made by each party in their respective households. In addition, the judges should divide the joint assets in accordance with Supreme Court Jurisprudence Number 266K/AG/2010, which establishes that the husband receives a smaller share of the assets compared to the wife, namely one-fourth (1⁄4) versus three-fourths (3⁄4) of the joint assets. The existence of Supreme Court Jurisprudence Number 266K/AG/2010 also shows that the Supreme Court has attempted to balance the principle of justice in the division of joint assets based on the presence of specific circumstances. If the equal division of assets (50:50) as stated in Article 128 of the Civil Code and Article 97 of the Islamic Law Compilation were applied, it would actually result in injustice between the parties. This paper discusses the division of joint marital assets when the husband is not employed according to legal doctrine and court decisions, using a juridical-normative analysis method, particularly focusing on the legal considerations applied in Case Number 161/Pdt.G/2020/PN.JMB and Supreme Court Jurisprudence Number 266K/AG/2010."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra Haqilla Bilqis
"Putusnya suatu perkawinan campuran karena perceraian dapat berakibat langsung terhadap berbagai aspek, salah satu yang paling terdampak adalah akibat perceraian terhadap anak, yaitu mengenai hak pemeliharaan anak. Pemeliharaan anak akibat putusnya perkawinan campuran tidak dapat disamakan begitu saja dengan pemeliharaan anak dalam perkawinan pada umumnya. Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memutus pemeliharaan anak dalam perkawinan campuran, salah satunya pertimbangan bahwa setelah perceraian, kedua orang tua sangat berkemungkinan tinggal di negara yang berbeda sehingga sulit bagi anak untuk dapat berhubungan langsung dengan kedua orang tuanya setelah perceraian. Berdasarkan hal tersebut, Penulis tertarik untuk membahas mengenai bagaimana akibat perceraian dalam perkawinan campuran terhadap hak pemeliharaan anak serta penerapannya dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 804K/PDT/2016. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif serta tipologi yang bersifat deskriptif untuk memecahkan masalah. Dari penelitian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor 804K/PDT/2016 kurang tepat karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dimana hakim seharusnya mempertimbangkan pemberian hak pemeliharaan anak dalam perkawinan campuran dengan lebih matang dan berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak. Untuk mencegah pemberian hak pemeliharaan anak yang kurang dipertimbangkan dengan matang oleh hakim, diharapakn adanya pedoman pengaturan dari Pemerintah khususnya Mahkamah Agung mengenai pemeriksaan putusan perkara hak pemeliharaan anak terutama hak pemeliharaan anak dalam perkawinan campuran.

Divorce in a mixed marriage can cause direct consequences on various aspects, one of the most affected aspects is the consequence to the children, namely regarding child custody. Child custody due to a divorce in mixed marriages can’t be equated with child custody in general marriages. There are some things that need to be considered when deciding child custody in mixed marriages, one of the consideration is that after the divorce, both parents are likely to live in different countries so that it will be difficult for the child to be able to have direct contact with both parents after the divorce. Based on those explanations, the author is interested in discussing how is child custody due to a divorce in mixed marriages and its application in the Supreme Court Verdict Number 804K/PDT/2016. This research was conducted using normative juridical research methods and descriptive typology to solve the problems. From this research, it can be concluded that the Supreme Court Verdict Number 804K/PDT/2016 was not correct because it was not complying with the regulations, especially Law Number 23 of the year 2002 on Child Protection which has been amended by Law Number 35 of the year 2014 on Amendments to Law Number 23 of the year of 2002 on Child Protection, where the judge supposed to considers granting the child custody in mixed marriages more carefully and always refers to the best interests of the child. To prevent the not well-considered granting of child custody for children by the judges, it is hoped that the Government, especially the Supreme Court, can conduct regulatory guidelines regarding the examination of the verdict on the case of child custody in mixed marriages."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aryani Try Juniarti
"Tesis ini membahas mengenai harta bersama perkawinan suami isteri yang tidak dilakukan pembagian setelah putusnya perkawinan karena kematian suami, yang mengakibatkan timbulnya kerancuan terhadap status harta kekayaan pada harta pribadi milik isteri dan harta bersama milik para ahli waris atas harta peninggalan/ warisan bagian suami. Oleh karena hal tersebut, timbul sengketa waris yang diajukan oleh beberapa ahli waris terkait jual beli tanah dan bangunan antara orang tua dan anak setelah salah satu orang tua meninggal dunia. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai status harta perkawinan setelah putusnya perkawinan karena kematian, pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam memutus perkara pada Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 265/PDT.G/2017/PN.Bdg, dan tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah pada proses pengalihan hak milik atas tanah dan bangunan melalui jual beli. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif dengan dengan tipe penelitian deskriptif analisis, jenis data yang digunakan adalah data sekunder, dengan alat pengumpulan data melalui studi kepustakaan dan selanjutnya dianalisis melalui pendekatan secara kualitatif. Hasil penelitian menyatakan bahwa terhadap harta perkawinan yang belum dibagi disebabkan meninggalnya suami maka menjadi harta bersama para ahli waris, oleh karenanya untuk pengalihan harta bersama tersebut memerlukan persetujuan seluruh para ahli waris, serta PPAT bertanggung jawab terhadap kelalaian-nya yang mengakibatkan kerugian terhadap para ahli waris.

This thesis discusses joint husband and wife property which is not distributed after the marriage is terminated due to the death of the husband, which results in confusion about the status of assets in the wifes personal assets and the joint property of the beneficiary of the husbands inheritance. Because of this, inheritance disputes were raised by several beneficiary related to the sale and purchase of land and buildings between parents and children after one parent died. The issues raised in this study are regarding the status of marital property after the marriage is terminated due to death, the legal considerations of the Panel of Judges in deciding cases in the Bandung District Court Decision Number 265 / PDT.G / 2017 / PN.Bdg, and the responsibility of the Land Deed Makers Officer in the process of transferring ownership rights to land and buildings through the sale and purchase. The research method used in this thesis is normative juridical research with descriptive analysis type of research, the type of data used is secondary data, with data collection tools through literature study which then analyzed through a qualitative approach. The results of the study stated that the marital assets that have not been divided due to the death of the husband will become joint property of the heirs, therefore the transfer of shared assets requires the approval of all heirs, and the PPAT is responsible for his negligence resulting in losses to the heirs.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54913
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Ramdani
"ABSTRAK
Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 mengatur mengenai putusnya perkawinan yang disebabkan oleh 3 hal, yaitu: a kematian salah satu pihak, b perceraian, c keputusan pengadilan. Tidak seperti putusnya perkawinan karena kematian saah satu pihak dan karena keputusan pengadilan yang biasanya tidak banyak menimbulkan masalah hukum, putusnya perkawinan karena perceraian justru banyak menimbulkan masalah-masalah hukum pada masyarakat. Salah satunya ialah timbul hasrat ingin bersatu kembali dalam satu perkawinan yang sah setelah terbitnya akta cerai. Yang menjadi permasalahan pokok dalam hal ini ialah realisasi atas hasrat tersebut ialah dengan cara mengajukan pembatalan perceraian ke pengadilan mengingat bagi non Muslim tidak dikenal istilah rujuk dan bagi yang beragama Kristen tidak dikenal cerai, sementara Penjelasan Pasal 72 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2003 mengatur bahwa alasan boleh diajukannya pembatalan akta ialah karena akta cacat hukum sebab dalam proses pembuatannya didasarkan pada keterangan yang tidak benar dan tidak sah. Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini adalah hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan atau ditujukan pada peraturan tertulis dan bahan-bahan hukum lainnya yang bersifat data sekunder yang ada di perpustakaan maupun jurnal hukum lainnya. Kesimpulan: walaupun tidak ada istilah rujuk dan istilah cerai, namun perceraian telah dinyatakan sah sejak putusan pengadilannya didaftarkan di Kepaniteraan. Pembatalan perceraian tidak dapat diajukan dengan alasan masih saling mencintai dan sepakat untuk mengakhiri perceraian karena hal tersebut tidak termasuk dalam kriteria Penjelasan Pasal 72 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2006. Hal yang dapat dilakukan seharusnya ialah melakukan perkawinan kembali sesuai dengan prosedur perkawinan yang berlaku.

ABSTRACT
Article 38 of Law no. 1 Year 1974 regulates the marriage breakup caused by 3 things, namely a death of one party, b divorce, c court decision. Unlike the breakup of marriage due to the death of one party and because the court decision which usually does not cause many legal problems, the breakup of marriage due to divorce actually raises many legal problems to the community. One of them is the desire to re unite in a legitimate marriage after the issuance of the divorce certificate. The main problem in this case is the realization of the desire is by filing the cancellation of divorce to the court considering the non Muslims are not known terms of reference and for the Christian is not known divorce, while the Elucidation of Article 72 paragraph 1 of Law no. 23 Year 2003 stipulates that the reason for the cancellation of the deed is due to the legal deed because in the process of making it based on invalid and unauthorized information. The research method that writer use in this thesis writing is normative law, that is research conducted or aimed at written regulation and other legal materials that is secondary data exist in libraries and journals of other law. Conclusion although there is no term references and divorce terms, the divorce has been declared valid since the court 39 s decision was registered in the Registrar 39 s Office. The cancellation of a divorce can not be filed on the grounds of still loving and agreeing to end the divorce because it is not included in the criteria of Elucidation of Article 72 paragraph 1 of Law no. Act No. 23 Year 2006. What can be done should be to re marry in accordance with the applicable marriage procedure."
2017
S68485
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delicia Gemma Syah Marita
"Perkawinan menimbulkan akibat hukum bagi harta kekayaan yang diperoleh diantara mereka baik sebelum maupun selama perkawinan berlangsung. Permasalahan yang menjadi fokus kajian dalam tesis ini adalah: Bagaimanakah menggolongkan harta yang diperoleh setelah putusnya perkawinan, Bagaimana akibat hukum dari hata bersama yang belum dilakukan penyelesaian pembagian setelah putusnya perkawinan, dan Bagaimana pertimbangan hukum hakim di dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 290/Pdt.G/2013/PN.Mdn. Penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif analitis dengan metode pendekatan yuridis normatif.
Hasil penelitian diketahui bahwa:
1. Dalam menggolongkan harta yang diperoleh setelah putusnya perkawinan wajib memperhatikan ruang lingkup harta bersama, diantaranya yaitu harta yang dibeli selama perkawinan, harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta bersama, harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama masa perkawinan, penghasilan harta bersama dan harta bawaan, segala penghasilan pribadi suami istri.
2 Akibat hukum dari harta bersama yang belum dilakukan penyelesaian pembagian setelah putusnya perkawinan adalah, apabila terdapat harta yang tidak dapat dibuktikan perolehannya maka akan tergolong menjadi harta bersama.
3. Dalam hal ini hakim telah mengadili sesuai dengan hukum yang berlaku. Walaupun tanah sengketa dibeli oleh istri setelah suaminya meninggal, tetapi tanah tersebut dibeli dengan menggunakan hasil keuntungan yang didapat dari usaha bersama dengan suaminya. Maka dari itu harta tersebut otomatis tergolong sebagai harta bersama. Disarankan perlu adanya putusan yang memberikan kepastian hukum mengenai pemilikan harta perkawinan yang diperoleh setelah pasangan hidup meninggal dunia.

A marriage creates a legal implication to the property that is obtained between the two before and throughout the period of marriage. The problem that will be the research focus of this thesis is how to classify the property that is obtained after the end of a marriage What is the legal implication of a community property, which division has not been settled after the end of a marriage And what were the Judge rsquo s legal considerations in the Medan District Court verdict number 290 Pdt.G 2013 PN Mdn This research is a descriptive analytic research with an approach method of yuridis normative.
The result of this research finds that:
1. In classifying property that is obtained after the end of a marriage, it is compulsory to pay attention to the scope of the community property, such as a property that is purchased throughout the marriage a property that is purchased and built after the end of a marriage that is sponsored by a community property a property that can be validated to be acquired throughout the period of marriage income from a community property and innate property all private property of husband and wife.
2 The legal implication of a community property, which division has not been settled after the end of a marriage, if consisted of a property of which acquisition cannot be validated, is to be classified as a community property.
3. In this case, judge has ruled according to the law. Even though the land of dispute was purchased by the wife after her husband was deceased, the land was purchased using the profit obtained by a business that was started together with the husband. Therefore, the property is consequently classified as a community property. It is advised that there should be a ruling, which gives a legal certainty of the ownership of the marital property after the decease of a spouse."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49241
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nashir Achmad
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S20011
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library