Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 47 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lemu, Sheikh Ahmed
Beirut: Saadawi Publications, 1992
242 LEM b
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
At-Thayyar, Abdullah Muhammad
Jakarta : Griya Ilmu, 2011
297.53 THA st
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sethi, Mohini
"SECTION I : INTRODUCTION
SECTION II : FASTING, RELIGIOUS FASTS, SOCIAL FACTS, CIRCUMSTANTIAL FASTS, FASTING AND HEALTH
SECTION III : FEASTING, CULTURAL FEASTS, SOCIAL FEASTS, CIRCUMSTANTIAL FEASTS, FEASTING AND HEALTH, THE WAY TO PEACE
SECTION IV : RECIPES FOR FASTING"
New Delhi: New Age International, 2008
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arfah Lalang
"Studi tentang kedisiplinan telah banyak dilakukan oleh para ahli, salah satunya adalah Foucault yang studinya menggambarkan kedisiplinan dapat terbentuk ketika seseorang terikat oleh aturan yang mengekang. Ia mengambil contoh institusi militer atau institusi pendidikan sebagai mode disiplin, yang dimana didalamnya terdapat “kekuasaan” yang mengatur segala bentuk gerak gerik seseorang. Demikian juga dengan Puasa dawud yang dilakukan oleh para jamaah Wadah Nun, kedisiplinan dapat diperoleh dari berpuasa dawud bagi para jamaah. Penelitian ini adalah penelitian Antropologi yang mengharuskan turun lapangan untuk menggali fakta-fakta dan keterlibatan peneliti dalam jamaah wadah nun. Penelitian ini hendak memahami bagaimana puasa dawud yang diamalkan oleh para jamaah sebagai model pendisiplinan. Bagaimana amalan sunnah seperti puasa dawud dianggap sebagai kewajiban para jamaah namun tidak mengikat, bagaimana gambaran relasi kuasa yang ada pada jamaah wadah nun, bagaimana porsi kekuasaan yang dilakukan oleh para jamaah dan Mursyid, bagaimana para jamaah membentuk kekuasaan dalam dirinya dan mempengaruhi lingkungan sosialnya. Penelitian ini lebih besar menggunakan Wacana “Disiplin Tubuh” oleh Foucault, namun tidak menghilangkan wacana disiplin yang disajikan oleh Saba Mahmood dan para ahli lainnya yang dimana penelitian ini berusaha untuk dapat menganalisis faktor yang melatarbelakangi kedisiplinan para jamaah, apa tujuan dan sasaran para jamaah untuk berdisplin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, kegiatan yang dilakukan oleh para jamaah seperti berpuasa dawud, dzikir, dan beberapa amalan sunnah lainnya dapat membentuk kedisiplinan dalam diri jamaah, peran mursyid yang besar dalam membentuk karakter para jamaah, dan proses kaderisasi yang diterapkan oleh para jamaah, dimana saling mengingatkan dan sharing pemahaman menjadi kunci dalam pendisiplinan. Teknik dan metode yang digunakan pun dapat berupa kegiatan interaktif, pengawasan, dan penyeragaman amalan. Dengan teknik dan metode tersebut dapat menghadirkan jamaah yang dapat selalu memperbaiki diri, membentuk mental yang kuat, pengetahuan yang luas, mempertebal keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan, dan yang paling utama adalah dapat mendisiplinkan diri (Self Discipline).

The study of the discipline has been carried out by the experts, one of whom was Foucault, whose work illustrates the discipline can be formed when a person is bound by rules that curb. He took the example of military institutions or educational institutions as a mode of discipline, that in which there are "power" which regulates all form of movement of a person. Likewise, “fasting dawud” performed by congregations Wadah Nun, discipline can be obtained from fasting dawud for the congregations. This research is anthropological research that requires down the field to dig up the facts and the involvement of researchers in the wadah nun congregations. This research seeks to understand how fasting dawud put into practice by the congregation as a model of discipline. How to practice sunnah fasting dawud regarded as an obligation of the congregations, but not binding, how the image of power relations that exist in the wadah nun congregations, what portion of power committed by congregations and Murshid, how the congregations formed a power in itself and affect the social environment. This study is greater use of discourse "Disciplinary Body" by Foucault, but does not eliminate the discourse of the discipline presented by Saba Mahmood and other experts where this research seeks to be able in analyze the factors underlying the discipline of the congregation. What the goals and objectives of the congregations for the disciplined , From the analysis obtained, activities performed by congregations as fasting dawud, dhikr, and some practice sunnah other can form a discipline within the congregation, role of murshid hight in shaping the character of the congregations, and the regeneration process is implemented by the congregation, where each reminds and sharing understanding is the key to discipline. Techniques and methods used can be in the form of interactive activities, supervision, and uniformity of practice. With the technique and the method can bring congregations to always improve themselves, forming a strong mental, extensive knowledge, strengthen faith and piety towards God, and the main thing is able to discipline yourself (Self Discipline)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damayanti Angelina
"Stres oksidatif merupakan kondisi ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang dapat memicu timbulnya berbagai penyakit. Peran puasa sebagai upaya pencegahan stres oksidatif telah terbukti, tetapi tidak dengan durasi yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pengaruh puasa dan durasi puasa optimal dalam meningkatkan kadar glutation (GSH), antioksidan endogen nonprotein terbanyak tubuh. Penelitian dilakukan pada jaringan hati dan plasma kelinci new Zealand white. Subjek dibagi ke dalam tiga kelompok perlakuan, yakni (1) kelompok kontrol dengan asupan makanan normal, (2) kelompok puasa intermittent, yakni siklus puasa 16 jam dan makan delapan jam, serta (3) kelompok puasa berkepanjangan, yakni siklus puasa 40 jam dan makan delapan jam, selama satu minggu. Setelah itu, dilakukan pengukuran kadar GSH plasma serta jaringan hati dengan metode Ellman. Data kemudian dianalisis dengan uji Anova untuk jaringan hati serta uji Kruskal-Wallis untuk sampel plasma.
Pada jaringan hati didapati rerata kadar GSH kelompok kontrol 0,73 ± 0,026 μmol/mg, kelompok puasa intermittent 1,03 ± 0,023 μmol/mg, dan kelompok puasa berkepanjangan 0,91 ± 0,059 μmol/mg yang memperlihatkan perbedaan signifikan (p<0,05). Sedangkan, pada plasma didapati median kadar GSH kelompok kontrol 2,08 ± 0,056 μmol/mL, kelompok puasa intermittent 2,35 ± 0,158 μmol/mL, dan kelompok puasa berkepanjangan 2,15 ± 0,060 μmol/mL yang memperlihatkan perbedaan tidak signifikan (p>0,05). Didapatkan hasil dan kesimpulan puasa intermittent dan berkepanjangan meningkatkan kadar GSH jaringan hati secara signifikan, tetapi tidak berpengaruh secara signifikan pada plasma kelinci new Zealand white.

Oxidative stress is a condition of imbalance between oxidants and antioxidants that may trigger various diseases. The role of fasting to prevent oxidative stress has been proven, but the optimal fasting duration remains unknown. This study aims to find the impact of fasting and optimal fasting duration in increasing glutathione (GSH) concentration, the body's most abundant non-protein endogen antioxidant. This study observed GSH concentration on liver tissue and plasma of New Zealand white rabbits. Subjects were divided into three treatment groups, a control group with usual food intake, an intermittent fasting group with 16-hour of fasting and eight hours of eating, and a prolonged fasting group with 40-hour of fasting and eight hours of eating, for one week. After that, GSH levels were measured in plasma and liver tissue using Ellman’s method.
In liver tissue, the mean GSH level in the control group is 0.73 ± 0.026 mol/mg, in the intermittent fasting group is 1.03 ± 0.023 mol/mg, and in the prolonged fasting group is 0.91 ± 0.059 mol/mg with significant differences (p<0, 05). Meanwhile, in plasma, the median GSH level in the control group is 2.08 ± 0.056 mol/mL, in the intermittent fasting group is 2.35 ± 0.158 mol/mL, and in the prolonged fasting group is 2.15 ± 0.060 mol/mL, which means the difference is not significant (p > 0.05). In conclusion, Intermittent and prolonged fasting significantly increase liver GSH concentration. However, fasting has an insignificant impact on the plasma of New Zealand white rabbits.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emha Anun Nadjib
Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2012
297.53 EMH t (1);297.53 EMH t (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Mizan , 1979
297.362 MER
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Anis Adinizam
"Kapitalisasi dan komersialisasi nampakya sudah menjadi hal yang tidak bisa dihindari lagi dalam kehidupan saat ini. Kapiltalisasi dan komersialisasi bahkan sudah merasuk dalam sendi-sendi kehidupan beragama. Salah satunya terlihat dengan menjamumya acara-acara "berbau" Islam di televisi ketika memasuki bulan Ramadhan. Alih-alih peduli dengan dakwah Islam, acara-acara Ramadhan di televisi ini justru menciptakan jarak yang semakin lebar dengan dakwah Islam yang ideal karena pihak televisi lebih berorientasi pada keuntungan kapital. Skripsi ini berusaha mengungkapkan bagaimana strategi kapitalisme memanfaatkan ritual puasa ramadhan dan dakwah Islam untuk kepentingan akumulasi modal industri televisi dalam konteks masyarakat Indonesia. Selanjutnya, skripsi ini juga berusaha menunjukkan bahwa strategi-stategi kapitalisme yang bekerja di balik industri televisi tersebut, secara tidak langsung, turut melanggengkan pemahaman umat Islam Indonesia mengenai makna dakwah nilai-nilai ajaran Islam yang belum menyeluruh. Strategi kapitalisme yang umum dipakai adalah komodifikasi, yaitu proses merubah nilai guna menjadi nilai tukar.Dalam konteks penelitian ini, nitai guna ideal televisi yang memiliki potensi yang besar untuk merubah pemahaman masyarakat Indonesia terhadap Islam ke arah yang lebih baik-tidak verbalis dan simbolik semata dengan sadar dirubah menjadi sarana transaksi antara televisi dengan industri-industri prL~duk konsumsi dan gaya hidup hanya untuk mencari keuntungan kapital saja. Peneliitian dengan pendekatan kualitatif dan perspektif kritis ini mengambi! tiga episode program Ramadhan Sahur Kita di SCTV sebagai unit analisis. Alasannya, SCTV dengan program Sahur Kita-nya adalall stasiun televisi di Indonesia yang mempelopori acara ramadhan di televisi dengan format full hiburan dan komedi namun masih terus bertahan tiap tahunnya .sampai saat ini Metode analisis utama yang akan dipakai untuk membedah tiap epsode Sahur Kita adalah analisis kritis wacana. Dengan kerangka Analisis Kritis Wacana Norman Fairclough skripsi ini berusaha mengaitkan konteks mikro yang dilihat melalui konstruksi yang terjadi dalam teks acara Sahur Kita dengan konteks makro masyarakat yang lebih luas Padci level mikro, teks acara Sahur Kita akan dianalisis menggunakan teknik semiotika pendekatan Ferdinand de Saussure. Teknik ini dipilih penulis karena dapat melihat keterkaitan tanda-tanda simbolis di luar bahasa tertulis, dalam hal ini citra visual yang menjadi karakter program televisi. Selanjutnya. pada level praktik wacana akan dianalisis berdasarkan data yang diperoleh dart wawancara mendalam tak berstruktur dengan pihak pembuat teks dan data-data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka. artikel dan internet. Sedangkan level praktik sosial budaya akan dianalisis berdasarkan studi kepustakaan. Analisis intertekstualitas terhadap acara Kopi Darat 103 FM SCTV juga dilakukan untuk melihat adanya kesinambungan idiologis dari pembuat teks pada program televisi yang lain. Hasil analisis dan intepretasi menunjukkan bahwa strategi kapitalisme umum SCTV untuk merubah nilai guna dakwah ritual Ramadhan menjadi nilai tukar (komodifikasi) adalah melalui penope'1gan komoditas (fefishm of commodifies) dan pembentukan kesadaran palsu (false conciousness) yang bekerja lewat strategi pengemasan acara. promosi dan iklan. lsi acara Sahur Kita di kemas menjadi penuh hiburan yang memanfaatkan komedi. musik. video klip. kuis yang semuanya didukung oleh selebriti (komedian). Komodifikasi ini di latar belakangi oleh jumlah penganut Islam Indonesia yang sangat besar sehingga menjadi sumber yang potensial bagi SCTV untuk meraup keuntungan kapital yang besar di tengah-tengah persaingan antar televisi yang semakin ketat. Secara sosial budaya. proses konstruksi dan komodtfikasi dakwah ritual Ramadhan juga bersumber dari pemahaman masyarakat Islam di Indonesia yang masih sangat partikularis. tik simbolik dan patemalistik sehingga acara-acara Ramadhan yang dibuat pembuat teks adalah program Ramadhan yang penuh nilai partikularistik simbolik, dan paternalistik. Lalu, program Ra~adhan yang seperti ini ditangkap khalayak sebagai suatu yang selalu dianggap wajar dan benar (commonsense) Kesimpulannya, televisi di Indoenesia telah sengaja mengeksploitasi rasa- rasa keberagamaan dan ritual-ritual agama Islam-yang notabenenya rnemilki jumlah penganut yang sang at besar-seperti Ramadhan untuk menghasilkan keuntungan kapital yang besar dan memastikan keberlangsungan usahanya. Eksploitasi dan komodifikasi terhadap ritual-ritual Ramadhan ini justru semakin memantapkan struktur pemahaman mengenai dakwah dan nilai-nilai Islam yang tidak komprehensif pada masyarakat Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S3754
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Gittanaya Anindyanari
"Latar belakang: Ketidak seimbangan dalam kadar antioksidan dan level radikal bebas dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Puasa sudah terbukti dapat meningkatkan kadar antioksidan dan menurunkan produksi radikal bebas, yang akan menghasilkan penurunan stres oksidatif. Selain itu, durasi waktu puasa juga mempengaruhi dampak puasa dalam menurunkan stres oksidatif. Banyak penelitian yang sudah membahas efek puasa tersebut, namun, belum diteliti pada jaringan jantung. Oleh sebab itu, penelitian ini ditujukan untuk meneliti perbedaan efek durasi puasa terhadap kadar katalase pada jaringan jantung kelinci New Zealand White. Metode: Sampel dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan perlakuan yang dilakukan selama satu minggu. Kelompok pertama, kelompok kelinci dengan pemberian pakan yang normal. Kelompok kedua, kelompok puasa intermiten dengan 16 jam periode puasa dan 8 jam periode makan. Kelompok terakhir, kelompok puasa berkepanjangan dengan 40 jam periode puasa dan 8 jam periode makan. Selanjutnya, absorbansi aktivitas katalase dan kadar protein diukur dengan spectrofotometer. Pembagian aktivitas katalase dengan kadar protein dilakukan untuk mendapatkan aktivitas spesifik katalase. Hasil: Rata-rata dari aktivitas spesifik katalase pada kelompok kontrol adalah 1,104 ± 0,244 UI/mg protein, rata-rata pada kelompok puasa intermiten adalah 0,892 ± 0,093 UI/mg protein, dan rata-rata pada kelompok puasa berkepanjangan adalah 1,126 ± 0,098 UI/mg protein dengan perbedaan yang tidak signifikan (p > 0,05). Kesimpulan: Perlakuan puasa intermiten dan puasa berkepanjangan selama satu minggu tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas spesifik enzim katalase pada jantung kelinci New Zealand White.

Introduction: An imbalance in the antioxidant and free radical levels will develop oxidative stress. Fasting has increased antioxidant levels and decreased free radical production, ultimately reducing oxidative stress. Furthermore, the duration of fasting is also known to have a role in decreasing oxidative stress. Previous studies have been done on the effect of fasting on oxidative stress, however, none has been done on the heart. Hence, this study is aimed to discover the difference of fasting duration on its effect towards catalase level in New Zealand White rabbits. Method: Samples are divided into three groups based on their treatment for a week. First, the control group with a regular feeding schedule. Second, intermittent fasting group with 16 hours of the fasting period and 8 hours of the feeding period. Lastly, prolonged fasting with 40 hours of fasting and 8 hours of feeding periods. Then, a spectrophotometer is used to calculate the catalase activity and protein level. A division of catalase activity by protein level is done to obtain specific catalase enzyme activity. Result: The mean of specific catalase activity in the heart of the control group sample are 1.104 ± 0.244 UI/mg protein, the mean in the intermittent fasting group are 0.892 ± 0.093 UI/mg protein, and the mean in the prolonged fasting group is 1.126 ± 0.098 UI/mg protein with an insignificant difference (p > 0.05). Conclusion: Neither intermittent nor prolonged fasting conducted in a period of one week will have significant effect on the specific catalase activity level in the heart of New Zealand White rabbit."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Maurina Singal
"[Latar Belakang: Lama puasa prabedah mempengaruhi outcome pascabedah. Saat ini, pasien bedah anak masih dipuasakan lebih lama dari yang direkomendasikan. Sementara itu, belum ada rekomendasi dimulainya pemberian nutrisi enteral pascabedah.
Metode: Dilakukan penilaian pada pasien anak yang menjalani pembedahan intraabdomen. Hal yang dinilai meliputi skrining gizi dengan berbagai metode, status gizi prabedah, lama puasa prabedah, jenis pembedahan, dimulainya nutrisi enteral pascabedah, pencapaian kalori total dan asupan protein, serta perbaikan kapasitas fungsional.
Hasil: Pembedahan terdiri atas nonreseksi dan reseksi usus, masing-masing 2 kasus. Status gizi prabedah pasien pertama dan kedua malnutrisi ringan, sementara pasien ketiga dan keempat malnutrisi sedang. Rerata lama puasa prabedah berturut-turut 16 dan 7,5 jam untuk nonreseksi usus serta 17 dan 7 jam untuk reseksi usus. Semua pasien berada memiliki ASA 2. Pemberian nutrisi enteral dimulai berturut-turut 6 dan 4 jam pascabedah pada nonreseksi, serta hari ke-3 pascabedah pada kasus reseksi usus. Asupan kalori total tercapai berturut-turut pada hari ke-5 dan ke-9 pascabedah pada kasus nonreseksi, serta hari ke-5 dan ke-7 pada reseksi usus. Kebutuhan protein para pasien tercapai berturut-turut pada hari ke-3, 5, 7, dan 9 pascabedah untuk pasien terakhir. Perbaikan kapasitas fungsional pasien terjadi berturut-turut pada hari ke-6, 3, 6, dan ke-8 pascabedah pada pasien pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Kesimpulan: Dengan tatalaksana komprehensif terapi medik gizi klinik perioperatif pasien bedah anak, dapat mencegah komplikasi bedah dan mempercepat pemulihan kapasitas fungsional.
Background: Presurgery fasting time affects the surgery outcome. Nowadays, fasting in pediatric surgery patients are longer than recommended. However, there is no recommendation of the enteral feeding initiation after surgery.
Method: The serial case assessed pediatric intarabdominal surgery patients. They were reviewed for nutritional scorings, presurgery nutritional status, presurgery fasting time, type of surgery, the time the enteral feedings intiatiation, the time to meet the requirement of total calories and protein intake, and the improvement of functional capacity.
Results: Four cases were divided to non- and intestinal resection, 2 cases each. The nutritional status of the first and second patient were mild malnutrition, while the third and the fourth were moderate malnutrition. Mean fasting time were 16 and 7.5 hours in nonresection, while the other were 17 and 7 hours. All patients had 2 ASA scores. The enteral feeding were initiated at 6 and 4 hours after surgery in nonresection, and at day 3 and 4 after surgery in resection case. The total calories were fulfilled at day 5 and 9 after surgery in nonresection, at day 5 and 7 in the other case. The protein intake met total requirement in patients at day 3, 5, 7, and 9 after surgery, respectively. The improvement of maximal functional capacity occured at day 6, 3, 6, and, respectively.
Conclusion: Comprehensive perioperative medical clinical nutrition management results in improving wound healing process and the functional capacity.;Background:
Presurgery fasting time affects the surgery outcome. Nowadays, fasting in
pediatric surgery patients are longer than recommended. However, there is no
recommendation of the enteral feeding initiation after surgery.
Method:
The serial case assessed pediatric intarabdominal surgery patients. They were
reviewed for nutritional scorings, presurgery nutritional status, presurgery fasting
time, type of surgery, the time the enteral feedings intiatiation, the time to meet
the requirement of total calories and protein intake, and the improvement of
functional capacity.
Results:
Four cases were divided to non- and intestinal resection, 2 cases each. The
nutritional status of the first and second patient were mild malnutrition, while the
third and the fourth were moderate malnutrition. Mean fasting time were 16 and
7.5 hours in nonresection, while the other were 17 and 7 hours. All patients had 2
ASA scores. The enteral feeding were initiated at 6 and 4 hours after surgery in
nonresection, and at day 3 and 4 after surgery in resection case. The total
calories were fulfilled at day 5 and 9 after surgery in nonresection, at day 5 and
7 in the other case. The protein intake met total requirement in patients at day 3,
5, 7, and 9 after surgery, respectively. The improvement of maximal functional capacity occured at day 6, 3, 6, and, respectively., Background:
Presurgery fasting time affects the surgery outcome. Nowadays, fasting in
pediatric surgery patients are longer than recommended. However, there is no
recommendation of the enteral feeding initiation after surgery.
Method:
The serial case assessed pediatric intarabdominal surgery patients. They were
reviewed for nutritional scorings, presurgery nutritional status, presurgery fasting
time, type of surgery, the time the enteral feedings intiatiation, the time to meet
the requirement of total calories and protein intake, and the improvement of
functional capacity.
Results:
Four cases were divided to non- and intestinal resection, 2 cases each. The
nutritional status of the first and second patient were mild malnutrition, while the
third and the fourth were moderate malnutrition. Mean fasting time were 16 and
7.5 hours in nonresection, while the other were 17 and 7 hours. All patients had 2
ASA scores. The enteral feeding were initiated at 6 and 4 hours after surgery in
nonresection, and at day 3 and 4 after surgery in resection case. The total
calories were fulfilled at day 5 and 9 after surgery in nonresection, at day 5 and
7 in the other case. The protein intake met total requirement in patients at day 3,
5, 7, and 9 after surgery, respectively. The improvement of maximal functional capacity occured at day 6, 3, 6, and, respectively.]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5   >>