Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Greco, Monica
London: Routledge, 1998
616.08 GRE i
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Dina Elita
"Latar belakang : Pandemi COVID-19 mempengaruhi kesehatan fisik dan mental. Pasien LES juga rentan mengalami gangguan psikosomatik yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien LES. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan psikosomatik pada pasien LES pada masa pandemi COVID-19. Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien LES wanita dewasa di poliklinik Alergi Imunologi dan poliklinik Reumatologi RS Cipto Mangunkusumo pada bulan September hingga Oktober 2021. Data mengenai gangguan psikosomatik menggunakan kuesioner SCL-90, kemudian dilanjutkan pengumpulan data mengenai faktor demografis (usia, tingkat pendidikan, persepsi kondisi COVID-19, persepsi stres dengan PSS, dan stresor psikososial dengan skor Holmes dan Rahe) serta faktor klinis (derajat aktivitas penyakit dengan MEX-SLEDAI, terapi kortikosteroid, dan riwayat terinfeksi COVID-19 pada pasien dan keluarga). Analisis bivariat menggunakan uji Chi-square. Variabel dengan nilai p < 0,25 dianalisis lebih lanjut dengan regresi logistik, dengan nilai p < 0,05 dianggap signifikan. Hasil : 200 pasien wanita dewasa dengan SLE direkrut dalam penelitian. Lebih dari separuh subjek penelitian (54%) mengalami gangguan psikosomatik. Dari analisis multivariat diperoleh tingkat pendidikan tinggi, stresor psikososial risiko sedang-tinggi, serta derajat aktivitas penyakit sedang-sangat berat berhubungan secara signifikan dengan gangguan psikosomatik pada pasien LES di masa pandemi COVID-19 Kesimpulan : Tingkat pendidikan, stresor psikososial, dan derajat aktivitas penyakit berhubungan secara signifikan dengan terjadinya gangguan psikosomatik pada pasien LES di masa pandemi COVID-19.

Background : The COVID-19 pandemic affects physical and mental health. SLE patients are also prone to psychosomatic disorders which could decrease quality of life. This study aimed to find out the factors that were associated with psychosomatic disorders among SLE patients during the COVID-19 pandemic. Method : This was a cross sectional study of adult female SLE patients from outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, from September to October 2021. Data regarding psychosomatic disorders using SCL-90 questionnaires, then demographic factors (age, education level, perception of COVID-19 conditions, perception of stress using PSS, psychosocial stressors using Holmes and Rahe scores) and clinical factors (disease activity using MEX-SLEDAI, corticosteroid, and history of being infected with COVID-19 in patients or their family) were collected. Bivariate analysis was conducted with Chi-square test. Variables with a p-value <0.25 were further analyzed with logistic regression, a p-value <0.05 was considered significant. Results : There were 200 female SLE patients recruited. More than half of the subjects (54%) experienced psychosomatic disorders. From multivariate analysis, high education level, moderate to high psychosocial stressors, and moderate to very severe disease activity level were significantly associated with the occurrence of psychosomatic disorders in SLE patients during the COVID-19 pandemic. Conclusion : Education level, psychosocial stressors, and disease activity level were significantly associated with the occurrence of psychosomatic disorders in SLE patients during the COVID-19 pandemic."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Doei Eng Tie
"

Dalam tahun 1674 Antony van Leeuwenhoek di Leiden menemukan lensa jang dapat memperbesar pandangan pada benda jang amat ketjil jang samar atau sama sekali tidak dapat dilihat oleh mata biasa.

Kemudian tertjiptalah mikroskop jang lambat laun diperbaiki hingga sekarang kita mengenal fase-contrast dan elektronntikroskop jang dapat memperbesar pandangan sampai 200.000 kali.

Demikianlah, semendjak terbentuknja mikroskop itu, manusia beladjar kenal dengan apa jang dinamakan cellula dalam bahasa Latin atau dalam bahasa Indonesia sel".

Dengan penemuan sel jang dianggap pada waktu itu merupakan satuan jang terketjil dan terachir pada sctiap machluk, berubahlah djuga pandangan manusia terhadap penjakit. Kalau didjaman kuno ilmu ketabiban sebagian besar dipengaruhi oleh haluan religieus-magis-mystik dan humeral, maka semendjak ditemukan sel", perhatian ditudjukan pada sel itu.

Demikianlah pada tahun 1855 tertjiptalah patologi selluler jang dipelopori oleh Robert Virchow. Terdengarlah pada waktu itu sembojan jang berbunji :

"Qmnis cellula e cellula" (tidak mungkin terbentuknja sel tanpa adanja sel). Singkatnja dan maknanja jalah : semua peristiwa jang bersangkut-paut dengan penghidupan terletak pada integritet daripada sel jang membentuk tubuh manusia. Ilmu ketabiban beralih kedjurusan ilmiah exact (exacta wetenschap). Penjakit hanja dapat dibuktikan dan dipastikan, kalau dapat dilihat perubaban pada se1 tubuh dan/atau ditemukan sel" kuman jang patologis atau dapat dinjatakan kelainan pada tjairan tubuh. Memang benar, pada sebagian benar daripada penjakit dapat ditemukan kelainan' di sel atau tjairan tubuh.

Tetapi lambat laun ditemukan djuga keadaan penjakit jang tidak disertai oleh kerusakan strukturil atau djika ada terdapat kerusakan strukturil, keluhan ternjata tidak selalu berimbang dengan deradjat kerusakan itu. Maka timbullah aliran baru dikalangan kedokteran untuk melihat penjakit tidak hanja dari sudut organis-humoral, tetapi djuga dari sudut psikik atau kedjiwaan jang dipelopori oleh sardjana terkenal seperti Alexander, Saul, French, Weiss, Dunbar, Binger d.l.l. dan di kalangan kita di Indonesia ini oleh Professor Aulia.

Sebetulnja tjara melihat dan merawat penderitaan seseorang dengan memperltatikan sudut ,psikologi atau kedjiwaan ini, tidaklah merupakan aliran fikiran baru. Tjara ini telah dipraktekkan oleh ilmu ketabiban klassik hingga sekarang, terutama oleh ,,familie-dokter" jang mengetahui riwajat hidup serta tindak-tanduk pasiennja dari masa ketjilnja didalam lingkungan keluarga dan masjarakat disekitarnja, walaupun tidak dengan tjara teratur dan sering tidak diinsafi oleh dokter itu sendiri.

Dengan memperhatikan sudut psikologi dalam hal mempeladjari penjakit, tidaklah berarti kita mengurangi perhatian terhadap kelainan atau kerusakan somatis atau ketubuhan, tetapi kita lebih banjak daripada dulu mempeladjari pengaruh djiwa terhadap penjakit itu.

Tidak lagi seorang dokter akan merawat sesuatu anggota tubuh, seperti djantung, kulit, alat pernafasan, alat pentjernaan d.s.b., tetapi jang diperhatikan jalah sipenderita keseluruhannja, tidak hanja sendi lahirnja, tetapi djuga sendi batinnja.

Demikianlah, berbagai djenis keluhan dapat timbul pada seseorang. tidak hanja oleh karena menderita kerusakan atau gangguan somatis (ketubuhan), tetapi oleh karena penderitaan psikik (kedjiwaan), penderitaan batin, atau oleh karena kedua-duanja.

Sering ditemukan gangguan fungsi pada sesuatu anggota tubuh jang hanja merupakan „spreckbuis" atau pembitjara daripada penderitaan batin.

Aliran baru ini, jang mempeladjari hubungan diantara penderitaan batin, emosi dan fungsi anggota tubuh dinamakan ,,psychosomatic medicine" atau ilmu kedokteran kedjiwa-ragaan.

"
Jakarta: UI-Press, 1961
PGB Pdf
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Dika Iyona Sinulingga
"Latar Belakang: COVID-19 dapat menimbulkan konsekuensi kesehatan jangka panjang yang serius, yang disebut Post-COVID-19 Syndrome (SPC). Saat ini, bukti dan pemahaman yang tersedia tentang manajemen SPC masih terbatas. Oleh karena salah satu gejala SPC dikaitkan dengan gejala psikis, maka psikoterapi dipercaya memiliki peran dalam penatalaksanaan SPC. Tujuan: Mengetahui efektivitas psikoterapi suportif pada pasien SPC di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian klinis acak tersamar tunggal menggunakan kontrol sebelum-setelah intervensi. Peserta secara acak dibagi menjadi dua kelompok: kelompok psikoterapi yang terdiri dari 40 peserta dan kelompok edukasi yang terdiri dari 37 peserta. Setiap kelompok diberikan psikoterapi atau edukasi berbasis internet tiga kali seminggu dalam bentuk kelompok yang terdiri dari 6-8 peserta. Kuesioner Symptom Checklist-90 digunakan untuk mengevaluasi gejala psikis dan somatik. Variabilitas Denyut Jantung (VDJ) dan Rasio Limfosit Neutrofil (RNL) juga dinilai. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney atau uji T tidak berpasangan. Hasil: Perbaikan skor SCL-90 ditemukan sebesar 17,51 (SD 30,52) pada kelompok psikoterapi dan 19,79 (SD 35,11) pada kelompok edukasi (p = 0,771). Baik psikoterapi maupun edukasi meningkatkan RNL sebanyak 0,03 (IQR -0,17 – 0,27) pada kelompok psikoterapi dan 0,085 (IQR -0,385 – 0,41) pada kelompok edukasi (p = 0,534). Baik psikoterapi maupun edukasi juga menurunkan VDJ sebesar 3,83 (RIK -7,245 – 5,605) pada kelompok psikoterapi dan 0,705 (RIK -6,49 – 4,462) pada kelompok edukasi (p = 0,827). Simpulan: Baik psikoterapi suportif kelompok dan edukasi berbasis internet memperbaiki secara bermakna gejala psikis dan somatik pasien SPC, meskipun tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok psikoterapi dan edukasi. Baik psikoterapi suportif kelompok dan edukasi berbasis internet tidak memperbaiki RNL dan VDJ. Saran dilakukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan penambahan frekuensi sesi psikoterapi kelompok berbasis internet kepada pasien SPC dan dilaksanakan pada pagi hari untuk mencapai hasil yang lebih optimal.

Background: COVID-19 can have serious long term health consequences, which is called Post-COVID-19 Syndrome (PCS). Currently, the available evidence and understanding of PCS management is limited. Because one of the symptoms of PCS is associated to psychological symptoms, psychotherapy is believed to have a role in the management of PCS. Objective: To identify the effectiveness of supportive psychotherapy in PCS patients at Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Methods: This study was a single blind randomized clinical trial using a pre-and post-test with control group study design. Participants were randomly divided into two groups: a psychotherapy group with 40 participants and an education group with 37 participants. Each group was given internet-based psychotherapy or education three times a week in a form of group consisting of 6-8 participants. Symptom Checklist-90 questionnaire was used to evaluate somatic and psychological symptoms. Heart rate variability and neutrophil lymphocyte ratio were also investigated. Data analysis was performed using either the Mann-Whitney test or the independent T test. Results: An improvement in the SCL-90 score was found to be 17.51 (SD 30.52) in the psychotherapy group and 19.79 (SD 35.11) in the education group (p = 0.771). Both psychotherapy and education increased NLR by 0.03 (IQR -0.17 – 0.27) in the psychotherapy group and 0.085 (IQR -0.385 – 0.41) in the education group (p = 0.534). Both psychotherapy and education also decreased HRV by 3.83 (RIK -7.245 – 5.605) in the psychotherapy group and 0.705 (RIK -6.49 – 4.462) in the education group (p = 0.827). Conclusion: Both internet-based group supportive psychotherapy and education improved psychological and somatic symptoms in PCS patients, although there was no significant difference between supportive psychotherapy and education groups. Both internet-based group supportive psychotherapy and education did not improve NLR and HRV. Suggestions for further research regarding adding frequency of internet-based group psychotherapy in PCS patients and held in the morning to achieve more optimal results."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library