Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Buku ini membahas perkembangan reformasi intelijen di Indonesia pada periode Reformasi (1998-sekarang). Apa saja perubahan yang berlangsung dalam komunitas telik sandi pada era pasca Orde Baru? Bagaimanakah dinamika politik memengaruhi proses reformasi intelijen? Mengapa praktik penyalahgunaan kekuasaan dan politisasi terus berlangsung dalam badan intelijen meski demokratisasi telah berlangsung selama dua dekade lebih? Buku ini berupaya menjawab pelbagai pertanyaan penting tersebut dengan membahas tiga aspek strategis reformasi intelijen, yaitu: relasi presiden dan kepala badan intelijen negara; politisasi serta depolitisasi intelijen, dan; operasi intelijen Indonesia di luar negeri. Karya ini penting untuk dibaca oleh kalangan akademisi, peneliti, pengambil kebijakan, mahasiswa, dan masyarakat umum yang memiliki perhatian terhadap masa depan demokrasi di Indonesia."
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2022
355.34 MEM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Indriyanto Seno Adji
Jakarta: Multimediametrie, 2001
345.05 IND p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mahpudin
"Kelemahan regulasi yang mengatur tentang pengelolaan anggaran daerah membuka peluang terjadinya praktik politisasi anggaran untuk kepentingan elektoral di masa pandemi. Praktik politisasi anggaran oleh calon petahana tumbuh subur seiring hadirnya kebijakan re-focusing anggaran melalui skema pemberian bantuan sosial kepada masyarakat terdampak pandemi COVID-19. Artikel ini berusaha mendalami temuan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia atas dugaan politisasi bantuan sosial yang dilakukan oleh kepala daerah di 23 kabupaten/kota. Artikel ini menggunakan jenis penelitian kualitatif-eksploratif. Pengumpulan data dilakukan melalui kajian literatur dari berbagai bahan bacaan yang relevan berupa buku, jurnal, dan sumber berita di media online. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyelenggaraan Pemilihan di tengah pandemi menciptakan peluang yang lebih besar terhadap praktik politisasi anggaran oleh calon petahana. Argumen tersebut diperkuat oleh praktik politisasi bantuan sosial menggunakan anggaran daerah. Bantuan sosial penanganan COVID-19 dimanfaatkan oleh calon kepala daerah petahana sebagai bentuk kampanye terselubung."
Jakarta: Komisi Pemilihan Umum , 2021
320 JTKP 2:2 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dilla Namira
"Skripsi ini membahas keberhasilan politisasi identitas yang dilakukan oleh Bahujan Samaj Party (BSP) hingga menghasilkan kemenangan partai pada pemilu legislatif Uttar Pradesh tahun 2007. Kemenangan tersebut menjadi kemenangan terbesar pertama bagi BSP tanpa harus melakukan koalisi dengan partai lain. BSP merupakan partai nasional India yang membela Dalit dan kasta rendah lain yang selama ini mengalami diskriminasi dan marginalisasi di India. Berdasarkan sistem kasta Varna, Dalit adalah kasta paling rendah bahkan cenderung tidak diakui di India karena dianggap hina. Partai BSP sangat identik dengan identitas Dalit dan kasta rendah karena anggota dan ketua partai berasal dari kasta rendah. Kemenangan BSP menjadi keunikan tersendiri karena untuk pertama kalinya di India partai berbasis identitas kasta rendah dapat memenangkan pemilu di negara bagian terbesar yaitu Uttar Pradesh. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan sumber data studi literatur. Untuk melihat proses politisasi identitas, teori yang digunakan yaitu teori Politisasi Identitas oleh Ates Altinordu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemenangan BSP pada pemilu legislatif Uttar Pradesh tahun 2007 merupakan hasil akhir dari politisasi identitas yang berlangsung melalui tiga tahap, yaitu Kebangkitan (Revival) ditandai dengan munculnya Dr.Ambedkar sebagai pendiri kelompok Bahujan Samaj, Reaksi (Reaction) ditandai dengan transformasi kelompok Bahujan Samaj menjadi Bahujan Samaj Party (BSP), dan Politisasi (Politicization) ditandai dengan kemenangan BSP pada pemilu legislatif Uttar Pradesh tahun 2007.

This thesis discusses about the success of identity politicization carried out by Bahujan Samaj Party (BSP) until its victory in the 2007 legislative election in Uttar Pradesh. The victory was the first biggest victory of BSP without any coalitions. BSP is India's national party that defends Dalit and other low caste who have experienced discrimination and marginalization in India. Based on Varna Caste system in Hindu, Dalit is the lowest caste and tend not to be recognized because they considered as despicable caste. BSP party is very identical with Dalit and low caste identities because the party leaders and members are from low caste. The victory of the BSP in 2007 is unique because for the first time in India a lower caste identity-based party can win legislative election in the largest state, Uttar Pradesh. This study uses qualitative methods and literature study data sources. To see the process of identity politicization, the theory used is the theory of Identity Politicization by Ates Altinordu The results showed that the victory of BSP in the Uttar Pradesh legislative elections in 2007 was the end result of identity politicization which took place through three stages, namely Revival (reaction) marked by the emergence of Dr. Ambedkar as the founder of Bahujan Samaj, Reaction (Reaction) marked by the transformation of the Bahujan Samaj into Bahujan Samaj Party, and Politicization (Politicization) marked by BSP victory in Uttar Pradesh legislative election in 2007."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Candra Andika
"ABSTRAK
Terbukannya ruang demokrasi dalam menentukan sikap hak suara pada pemilihan kepala daerah Kota Jambi tahun 2018 membuat pihak yang berkontestasi dalam pilkada mempunyai cara masing-masing untuk merangin dukungan masyarakat termasuk dukungan kelompok birokrasi. Syarif Fasha selaku calon kepala daerah petahana Kota Jambi tahun 2018 menggunakan kekuasaan politiknya untuk mempertahankan kekuasaannya melalui politisasi birokrasi. bentuk politisasi birokrasi yang dilakukan ialah mempolitisir fasilitas negara, untuk mendukung alfiasi politik, memanfaatkan informasi birokrasi, memihak dalam kepentingan kelompok dan individu, penempatan jabatan birokrasi bedasarkan relasi politik.

ABSTRACT
The oppennes of democracy for voters to use their rigth to vote in Kota Jambi's mayoral election in 2018 made parties which competed in local election utilized various method to gain publick support. The birocracy group is among them . Syarif Fasha as on the incumbent candidate for the for fosition of mayor of kota jambi in 2018 used it political power to hold on the power through politiciting biraucracy. The from the politicization incliding approprition thourgh burauecratic networ, taking sides in conflic between Group/individuals through mobilization of of civil government apparaturses for political purposes and placing bureaucratic appointess thorugh political relations. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diyauddin
"Indonesia di bawah kepemimpinan Soeharto adalah sebuah periode sejarah bangsa dimana seluruh potensi nasional (kementerian dan lembaga) tersubordinasi dalam konteks politik saat itu. ABRI yang merupakan salah satu elemen paling vital dalam menjalankan roda pemerintahan Orde Baru dan pendukung utama Golkar dengan konsep Dwi Fungsinya akhirnya terlibat jauh dalam urusan-urusan politik. Dengan itu, seluruh institusi intelijen yang berada di bawah naungan ABRI baik secara langsung dan tak langsung terpolitisasi oleh kepentingan Soeharto sebagai pengguna intelijen (user) dan penentu kebijakan (policy maker).
Dalam sebuah negara yang dikelola secara otoriter dengan kepemimpinan yang diktator akhirnya menjadikan institusi intelijen sebagai sebuah lembaga "intelijen politik", selain itu, seluruh institusi intelijen mengalami "militerisasi" dengan tidak adanya diferensiasi intelijen yang membawa negara dalam bentuk "negara intelijen". Politisasi institusi intelijen di masa orde baru terjadi dari berbagai spektrum baik dari sudut pandang pengguna, analis, aktivitas maupun organisasi intelijen. Di periode ini, intelijen bekerja sesuai dengan preferensi politik pribadi pengguna intelijen.
Untuk menghindari politisasi dan penyalahgunaan intelijen, diperlukan sebuah mekanisme yang dapat mengatur pengawasan terhadap badan intelijen sesuai dengan prinsip-prinsip negara demokrasi. Netralitas dan penguatan struktur lembaga intelijen dapat dilakukan dengan mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh parlemen sesuai yang telah dimandatkan undang-undang. Pengawasan oleh badan pengawas intelijen akan bekerja untuk mengawasi aktivitas, operasi dan penganggaran yang terkait dengan intelijen.

Indonesia under Suharto was a historic period in which all of national potential (ministries and agencies) subordinated in the current political context. Armed Forces (ABRI) which is one of the most vital element in running the New Order regime and the Golkar major supporter of the concept of Dwi Fungsi deeply involved in political affairs. With that, the entire intelligence institutions under the auspices of the Armed Forces (ABRI), both directly and indirectly by the interests of Suharto as politicized intelligence users and policy makers.
In an authoritarian state run by a dictator leadership eventually make intelligence institutions as an institution 'political intelligence', other than that, the whole experience intelligence institutions 'militarization' in the absence of differentiation of intelligence that brings the state in the form of 'intelligence state'. Politicization of intelligence in the new order of the various spectrum occurs from the standpoint of users, analysts, and the activities of intelligence and organizations. In this period, intelligence work in accordance with the user's personal political preferences.
To avoid politicization and misuse of intelligence, we need a mechanism that can manage the oversight of intelligence services in accordance with the principles of democracy. Neutrality and strengthening the structure of the intelligence agencies can be mechanisms of control by the appropriate parliamentary legislation mandated. Supervision by the oversight body will work to oversee intelligence activities, operations and budgeting related to intelligence.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mauline Della Agnesia
"Runtuhnya rezim orde baru yang otoriter dan sentralistik menghadirkan kebijakan desentralisasi yang berpengaruh terhadap isu kebangkitan adat. Munculnya politisasi adat di Negeri Sawai menjadi menarik untuk diteliti karena isu mengenai adat menjadi signifikan. Skripsi ini bertujuan untuk memberikan sebuah gambaran mengenai kondisi politisasi adat yang saat ini tengah terjadi di Negeri Sawai. Penelitian skripsi ini dilakukan dengan metode etnografi dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi observation , observasi partisipatif participant observation , wawancara mendalam indepth interview , dan wawancara dengan focus group Focus Group Discussion.
Skripsi ini berusaha menjelaskan bahwa yang melakukan politisasi adat adalah elite adat. Cara para elite adat melakukan politisasi adat dengan membangun cerita-cerita tentang adat. Cerita-cerita yang dibangun oleh elite adat dapat menjadi kendaraan atau alat yang digunakan dalam melakukan politisasi adat. Bentuk dari politisasi adat tersebut dapat dilihat dari persaingan dan kerjasama yang dilakukan oleh para elite adat. Selain itu, skripsi ini juga menjelaskan tujuan dari politisasi adat tidak berhenti pada perebutan kepemilikan sumber daya yang sifatnya materiil saja. Ada tujuan lain yang juga ingin didapatkan, khususnya sesuatu yang non-materiil. Skripsi ini juga berusaha menjelaskan bentuk kekuasaan yang ada pada komunitas Negeri Sawai.

The fall of ldquo New Order rdquo regime that had authoritarian and centralistic characteristic, had brought decentralization policy that influences the issue of adat revival. The emergence of adat politicization in Negeri Sawai becomes interesting to be studied because the issue of adat becomes significant. This final paper aim to give an image about the condition of that adat politicization that happen currently in Negeri Sawai. This final paper research is conducted with ethnography methodology and the data collection method that been used are observation, participant observation, in depth interview, Focus Group Discussion.
This final paper try to explain who is conducted the adat politicization, that later called the elite of adat. The way they conduct that with building the narrative about the adat. The narratives that been built by the elite can become vehicle or instrument to do adat politicization. The form of adat politicization can be discovered by competition and collaboration between the elite of adat. In addition, this final paper also explains the purpose of adat politicization does not stop at the seizure of resource ownership that is only material. There are other goals that also want to get, especially something non material. This final paper also tried to explain the form of power that existed in the community of Negeri Sawai.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
S68870
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adhenna Zakia Amelia
"In 2019, the Indian parliament enacted the Citizenship Amendment Act (CAA), which gives a fast-track citizenship for immigrants of Hindu, Sikh, Buddhist, Jain, Parsi, and Christian faiths from Afghanistan, Bangladesh, and Pakistan. The BJP, a populist party with Hindutva as the ideological foundation to establish a Hindu homeland in India, propelled communal rhetoric that triggered significant protests from Muslim groups, citing discrimination against Muslim immigrants. This article explores how the BJP politicizes religious identity within the context of the CAA. It delves into the involvement of Muslim and student groups, as well as opposition parties, in Parliament to influence CAA policy dynamics. Despite massive protests, the BJP effectively utilized its popularity to implement the CAA, intensifying concerns among Hindu voters and mobilizing their political support. This article underscores that the politicization of religious identity results in majoritarian policies that pose a threat to democratic principles when populist in power.

Pada tahun 2019, parlemen India mengesahkan Amandemen UU Kewarganegaraan (CAA) yang mempercepat pemberian status kewarganegaraan bagi imigran dengan agama: Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi, dan Kristen, yang berasal dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan. Dengan retorika komunal elit politik Bharatiya Janata Party (BJP), kebijakan ini menimbulkan gelombang protes kelompok Muslim karena dianggap diskriminatif terhadap imigran Muslim di India. Artikel ini membahas bagaimana BJP sebagai partai populis dengan ideologi Hindutva yang ingin membentuk tanah air Hindu di India, melakukan politisasi identitas agama dalam konteks CAA. Lebih lanjut, penulis membahas mengenai keterlibatan kelompok Muslim dan mahasiswa hingga partai oposisi dalam parlemen dalam memengaruhi dinamika kebijakan CAA. Walaupun menimbulkan protes besar, BJP berhasil memanfaatkan popularitasnya untuk memajukan agendanya, termasuk penerapan CAA, memperburuk persepsi ancaman di kalangan pemilih Hindu, dan memicu mobilisasi politik bagi pemilih Hindu. Tulisan ini menekankan bahwa politisasi identitas religius oleh aktor politik populis membentuk kebijakan mayoritarian yang membahayakan hak-hak minoritas dan demokrasi secara keseluruhan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library