Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
S5452
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Christine Refina
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S5844
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Amalia
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
S6025
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S7679
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Soetjipto
Tangerang: PT Wahana Aksi Kritika, 2011
305.4 ANI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Umaimah Wahid
"Marjinalisasi terhadap kaum perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. bahkan jika memahami konteks sejarah keberadaan manusia dari sudut pandang agama, maka hakekatnya marjinalisasi terhadap perempuan sudah terjadi ketika manusia pertama ada dimuka bumi. Perkembangan sejarah kemudian mencatat bahwa marjinalisasi itu tidak semakin berkurang melainkan justru meningkat dan mengakar dalam bentuk budaya dan nilai-nilai estetika yang diyakini kebenaran dan keabsahannya oleh sebagan besar manusia, bahkan terkadang termasuk perempuan itu sendiri. SItuasi ini lalu melahirkan sistem budaya patriarkhis yang sangat merugikan kaum perempuan. Sistem budaya patriarkhis ini semakin kuat berakar dan seakan memiliki legalitas kebenaran ketika Negara, sebagai struktur dominan dalam masyarakat, ikut memelihara dan melakukan pembiaran terhadap nilai-nilai yang terjadi dan merugikan kaum perempuan.
Pentingnya mempengaruhi keijakan negara agar kebih berpihak kepada kaum perempuan sudah banyak dipahami oleh kaum perempuan itu sendiri. Akan tetapi Negara sendiri seringkali membutuhkan pressure guna melahirkan kebijakan-kebijakan tertentu. Dan pressure terhadap Negara hanya dapat dilakukan oleh kaum perempuan jika mereka memiliki posisi tawar (Bargaining position) yang seimbang atau lebih kuat dengan negara.
Dalam konsep Gramscy, keseimbangan posisi tawar antara gerakan peempuan, yang lalu direpresentasikan sebagai masyarakat sipil, dengan negara, yang lalu disebut sebagai masyarakat politik, akan melahirkan pertarungan ide antara keduanya. Hegemoni negara bisa saja kalah dan pertarungan ide dapat dimenangkan oleh kaum perempuan sehingga akan muncul nilai-nilai baru yang lebih berpihak kepada kaum perempuan. Pada fase ini Gramscy menyebutnya sebagai gerakan 'counter hegemoni' dimana kaum perempuan mampu tampil dan melahirkan hegemoni baru setelah memenangkan pertarungan ide melawan hegemoni lama.
Dalam upaya melakukan counter hegemoni, kaum perempuan, sebagaimana disebutkan diatas, harus memiliki posisi tawa (bargaining position) yang tinggi. Posisi tawar yang tinggi sangat dipengaruhi oleh banyak instrumen pendukung yang salah satunya adalah Media. Kebutuhan akan dukungan media industri menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan Media Industri memiliki gaung yang lebih luas dan cenderung lebih dapat diterima oleh publik dibanding media komunitas. Disamping itu media industri juga mampu menempatkan dirinya sebagai instrumen yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh hubungan saling ketergantungan yang kuat anatara media industri dengan masyarakat itu sendiri.
Marjinalisasi terhadap kaum perempuan sudah lama berlangsung dalam sejarah kehidupan manusia. bahkan jika memahami konteks sejarah keberadaan manusia dari sudut pandang agama, maka hakekatnya marjinalisasi terhadap perempuan sudah terjadi ketika manusia pertama ada dimuka bumi. Perkembangan sejarah kemudian mencatat bahwa marjinalisasi itu tidak semakin berkurang melainkan justru meningkat dan mengakar dalam bentuk budaya dan nilai-nilai estetika yang diyakini kebenaran dan keabsahannya oleh sebagan besar manusia, bahkan terkadang termasuk perempuan itu sendiri. SItuasi ini lalu melahirkan sistem budaya patriarkhis yang sangat merugikan kaum perempuan. Sistem budaya patriarkhis ini semakin kuat berakar dan seakan memiliki legalitas kebenaran ketika Negara, sebagai struktur dominan dalam masyarakat, ikut memelihara dan melakukan pembiaran terhadap nilai-nilai yang terjadi dan merugikan kaum perempuan.
Pentingnya mempengaruhi keijakan negara agar kebih berpihak kepada kaum perempuan sudah banyak dipahami oleh kaum perempuan itu sendiri. Akan tetapi Negara sendiri seringkali membutuhkan pressure guna melahirkan kebijakan-kebijakan tertentu. Dan pressure terhadap Negara hanya dapat dilakukan oleh kaum perempuan jika mereka memiliki posisi tawar (Bargaining position) yang seimbang atau lebih kuat dengan negara.
Dalam konsep Gramscy, keseimbangan posisi tawar antara gerakan peempuan, yang lalu direpresentasikan sebagai masyarakat sipil, dengan negara, yang lalu disebut sebagai masyarakat politik, akan melahirkan pertarungan ide antara keduanya. Hegemoni negara bisa saja kalah dan pertarungan ide dapat dimenangkan oleh kaum perempuan sehingga akan muncul nilai-nilai baru yang lebih berpihak kepada kaum perempuan. Pada fase ini Gramscy menyebutnya sebagai gerakan 'counter hegemoni' dimana kaum perempuan mampu tampil dan melahirkan hegemoni baru setelah memenangkan pertarungan ide melawan hegemoni lama.
Dalam upaya melakukan counter hegemoni, kaum perempuan, sebagaimana disebutkan diatas, harus memiliki posisi tawa (bargaining position) yang tinggi. Posisi tawar yang tinggi sangat dipengaruhi oleh banyak instrumen pendukung yang salah satunya adalah Media. Kebutuhan akan dukungan media industri menjadi pilihan yang tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan Media Industri memiliki gaung yang lebih luas dan cenderung lebih dapat diterima oleh publik dibanding media komunitas. Disamping itu media industri juga mampu menempatkan dirinya sebagai instrumen yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh hubungan saling ketergantungan yang kuat anatara media industri dengan masyarakat itu sendiri.
Yang menjadi masalah adalah ketika Media Industri, sebagai elemen penting untuk mengenalkan posisi tawar kaum perempuan terhadap negara,justru berperan sebagai pendukung budaya patrlarkhis yang berlaku ditengah masyarakat. Situasi menjadi semakin tidak menguntungkan bagi gerakan kaum perempuan ketika negara, yang juga memiliki kepentingan dengan media industri, memanfaatkan kekuasaannya untuk melakukan perselingkugan social (social conspiration) dengan media industri. Social conspiration antara negara dengan media Industri sangat mungkin terjadi terutama jika para pemilik media Industri itu adalah bagian dari masyarakat politik atau memiliki kepentingan dengan masyarakat politik yang berkuasa.
Media Industri, sebagai sebuah lnstitusi yang memiliki Ideology kapital, memang bukan tidak mungkin dimanfaatkan oleh gerakan kaum perempuan untuk memperjuangkan ide ide nya, terutama jlka mengingat bahwa Ideology kapilalis sangat menekankan pada orientasi financial (profit oriented). Orientasi financial ltu sendiri sangat dipengaruhi oleh seberapa banyak sebuah media Industri mampu meraih peminat dikalangan masyarakat. Masyarakat sendiri, meski dengan pola budaya patriarkhis yang mereka miliki, sangat memiliki kepentingan akan pengetahuan yang sebagian besar dapat mereka peroleh melalui media Industri.
Rasa keingintahuan masyarakat terhadap hal hal baru maupun situasi yang sedang berkembang ditengah mereka merupakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh gerakan kaum perempuan untuk ?memaksa' media Industri berperan sebagai sarana sosialisasi perjuangan mereka. Diperlukan upaya yang cerdas dan konsisten dari kaum perempuan untuk terus mengangkat lsu lsu perjuangan agar mampu bermain dalam ?arena pasar? yang laku jual agar dapat terus memaksa media Industri berperan sebagai sarana sosialisasi mereka sehingga pada akhimya dapat tercipta opini publik yang lebih mendukung Ide Ide yang mereka perjuangkan. Opini publik inilah yang lalu akan menjadi salah satu instrumen penting untuk menalkan posisi tawar mereka terhadap negara.
Perjuangan counter hegemoni kaum perempuan sangat sulit dilakukan jika perjuangan dilakukan secara parsial / terpecah. Sejarah Indonesia mencatat bahwa spirit individual Kartini maupun "fighting movement" seorang Dewi sartika ternyata tidak memiliki posisi tawar signifikan untuk mengubah nilai budaya yang ada bahkan pada tataran "melintas tembok" sekalipun. Pada konsep ini jelas bahwa ?ideologi pembebasan' ternyata tidak cukup ampuh untuk menambah daya gerakan melainkan sebuah kebersamaan visi dan misi dari seluruh elemen perjuangan yang akan mampu melahirkan energi besar kaum perempuan untuk mencapai tujuan. Dan energi besar itu adalah ?collective will' dari kaum perempuan Itu sendiri. Dari sini jelas bahwa menjadlkan "collectlve will" sebagal sebuah ideologi perjuangan merupakan sebuah keharusan agar ide ide perjuangan kaum perempuan Itu memiliki energi yang konstant dan Signifikan.
Disertasi ini menggunakan metode Analisis isi Kualitatif untuk menemukan tema-tema utama yang dikandung dalam teks Kompas dan Media Indonesia yang berhubungan dengan proses perjuangan kaum perempuan meraih kuota 30 persen di Parlemen.. Untuk memahami dan mengangkat realitas dlbalik realitas yang muncul, termasuk dalam menganalisis isi kedua Media tersebut, dl pakai paradigma kritikal dengan menggunakan teori Marxist Humanist Antonio Gramsci sepertl konsep hegemonl-counter hegemonl antara masyarakat sipll dan masyarakat politlk dengan menyimak peran media massa diantara keduanya.
Beberapa temuan yang dapat disimpulkan diantaranya :
1. Sistem budaya patriarki masih berlangsung di masyarakat dan didukung oleh negara bahkan oleh sebagian perempuan itu sendiri sehingga menciptakan realitas yang merugikan kaum perempuan.
2. Kaum Perempuan butuh Ideologl yang komunal untuk menjamin kontinultas perjuangan yang memang belum selesal, dan Ideology yang dltawarkan adalah "collective wiIl", sementara kesetaraan dan keadilan gender serta ?pembebasan' Iebih merupakan tujuan.
3. Butuh upaya cerdas dan kompromis dengan nilal nilal kapitalis Industri media untuk dapat meraih dukungan media massa bagi gerakan perjuangan kaum perempuan guna menaikan posisi tawar mereka terhadap Ideology dominan negara.
4. Perjuangan kaum perempuan belum selesai. Quota 30 % hanya merupakan affirmative action menuju situasi yang Ieblh ideal bagi kaum perempuan. Gerakan counter hegemoni kaum perempuan Indonesia baru berada pada fase awal."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
D812
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriyasni
"Lahirnya partai-partai politik lokal di Aceh merupakan realisasi dari salah satu butir Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Hadirnya enam partai politik lokal yang ikut bertarung bersama 38 partai nasional lainnya pada Pemilu Legislatif 2009 menjadi babak baru perpolitikan di Aceh, berikut menandai terbukanya peluang politik yang lebih besar untuk perempuan berpolitik. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran peluang dan kendala yang dihadapi politisi perempuan dalam meningkatkan peran dan keterwakilannya dalam parlok dan lembaga legislatif. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap sejauhmana strategi afirmasi yang diamanahkan oleh aturan perundangan politik di tingkat nasional maupun lokal di introduksi ke dalam platform, AD/ART dan program kerja parlok, bagaimana perempuan merespons peluang politis yang ada serta hambatan apa saja yang mereka hadapi di lapangan. Selain itu, sekilas saya juga menjabarkan implikasi perundang-undangan politik di tingkat pusat (UU No.2 Tahun 2008 dan UU No. 10 Tahun 2008) dan tingkat lokal (UUPA No. 11 Tahun 2006 dan Qanun No. 3 Tahun 2008) terhadap keterwakilan politik perempuan dan bagaimana sistem pemilu memengaruhi keterpilihan perempuan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berperspektif perempuan dengan menerapkan teknik pengumpulan data melalui observasi dan wawancara mendalam. Temuan penelitian ini adalah: partai politik lokal di Aceh belum serius dalam upaya meningkatkan keterwakilan perempuan dalam partai politik lokal dan lembaga legislatif. Terlihat dari (1) parlok belum memiliki komitmen yang tegas dalam mengintroduksi strategi afirmasi dalam platform, AD/ART, dan program kerja partai; (2) mekanisme rekrutmen belum ramah perempuan; (3) lemahnya dukungan dan pemberdayaan parlok terhadap caleg perempuan agar bisa lolos ke lembaga legislatif; (4) politisi perempuan masih menghadapi kuatnya hambatan-hambatan dalam bentuk politik bergaya maskulin, diskriminasi, kecurangan dalam pemilu, tidak tegaknya hukum, dan lain-lain.

The emergence of political parties in Aceh is the implementation of one of the principles in the Memorandum of Understanding between Indonesian Government and GAM (Freedom for Aceh Movement) signed on August 15, 2005 in Helsinki, Finland. The appearance of six local political parties with 38 other nation’s parties in the Legislative Election of 2009 opens a new chapter in the political history of Aceh, which aiso gives ways to more opportunities for women to participate in politics. This research is aimed at giving illustration on the opportunities and challenges faced by female politicians in order to improve their role and representativeness in local parties and the legislation.
Specifically, this research is aimed to reveal how affirmative strategy as designated by political acts in both national and local levels has been incorporated into the platform, AD/ART (constitution and bylaws) and work programs of local parties, and how women respond to political opportunities as well as how they deal with challenges. Moreover, the implications of biiis in the central (No. 2 year 2008 and No. 10 year 2008) and local (UUPA No. 11 year 2006 and No. 3 year 2008) levels on political representativeness of women and how electoral systems affect the elections of women will also be discussed. This paper implements qualitative approach ffom the perspective of women using observation and in-depth interviews for data gathering.
The results reveal that local political parties in Aceh are not thoroughly making efforts to improve the representativeness of women in local political parties and legislative institutions. This is demonstrated in that (1) local parties do not have strict commitment to incorporating affirmative strategies in their platforms, constitution & bylaws, and programs; (2) recruitment mechanism is not female-friendly; (3) weak support and empowerment from local parties to their female politicians to promote them to the legislation; (4) female politicians are still fighting against obstacles caused by masculine political style, discrimination, electoral fraud, violation of laws, and more.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2010
T26885
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Angga Laksana Tubagus
"ABSTRAK
Kebijakan pemerintah Arab Saudi tentang pemisahan antara perempuan dan laki-laki mendorong terjadinya gejolak sosial di Arab Saudi. Terutama bagi para kaum perempuan yang sangat dibatasi dalam kehidupan sosialnya. Penelitian ini menjabarkan tentang kondisi sosial politik perempuan Arab Saudi dan pergerakan sosial politik perempuan Arab Saudi tahun 2007-2017 beserta faktor-faktor pendorong yang memunculkan gerakan tersebut juga dalam penelitian ini dibahas hambatan-hambatan yang dihadapi oleh gerakan tersebut. Dalam penelitian ini juga dibahas mengenai respon pemerintah Arab Saudi terhadap gerakan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analitis. Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori gerakan sosial baru. Teori gerakan sosial baru memfokuskan pembahasan pada isu-isu kontemporer seperti: hak-hak asasi manusia. Berbeda dengan gerakan sosial lama yang cenderung fokus pada persoalan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi sosial perempuan Arab Saudi dipengaruhi oleh beberapa faktor internal seperti: kebijakan pemerintah yang diskriminatif dan tenaga kerja asing yang bekerja di Arab Saudi. kondisi sosial di Arab Saudi juga dipengaruhi juga oleh faktor politik regional seperti: revolusi Iran, perang teluk I dan perang teluk II. Pergerakan sosial politik perempuan Arab Saudi tahun 2007-2017 masih terbatas pada kampanye di media-media sosial dan hanya sedikit yang berbentuk demonstrasi. Pergerakan sosial politik tersebut berfokus pada pencabutan larangan menyetir bagi perempuan dan pencabutan sistem perwalian bagi perempuan Arab Saudi. Respon pemerintah terhadap gerakan tersebut menolak secara tegas tetapi belakangan ini mulai melunak dan mulai memberi kebijakan-kebijakan yang pro terhadap perempuan.

ABSTRACT
The Saudi Arabian government policy on separation between women and men encourages social upheaval in Saudi Arabia, especially for women who are very restricted in their social life. This study describes the socio-political conditions of Saudi Arabian women and their socio-political movements from 2007 to 2017, including the main factors that rising the movement. This study is also discussed the obstacles faced by the movement and the Saudi Arabian government's response. This research used qualitative method. The method used is analytical-descriptive. This research used new social movement theory. The new social movement theory focuses on discussion about contemporary issues such as human rights, unlike the old social movement that only tends to focus on economy issues. The results of this study show that the social condition of Saudi Arabian women was influenced by several internal factors such as discriminatory government policies and foreign workers in Saudi Arabia. The social conditions in Saudi Arabia were also influenced by regional political factors such as the Islamic Revolution of Iran, the Gulf War I, and the Gulf War II. The socio-political movements of Saudi women in 2007-2017 only focused their campaigns on social media and just a few forms of demonstrations. The socio-political movement focuses on lifting the ban on driving and the trust system for Saudi Arabian women. The Saudi Arabian government rejected the movement's demands decisively, but has recently softened and began to provide pro-women policies."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2018
T50148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>