Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Billy Kristiawan
"Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan harus diwujudkan sesuai dengan UUD RI tahun 1945. Untuk memenuhi hak tersebut, upaya pemenuhan kesehatan perlu dilakukan oleh seluruh pilar kesehatan di Indonesia, salah satunya adalah apotek. Apotek merupakan tempat pemberian pelayanan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi kepada masyarakat. Apotek dikelola oleh seorang Apoteker Pengelola Apotek (APA). Melalui apotek, pelayanan kesehatan dalam bentuk pelayanan kefarmasian dapat menjangkau ke masyarakat secara merata dan menyeluruh. Oleh karena itu, seorang Apoteker memiliki peranan penting dalam pengelolaan apotek, baik dari sisi manajerial, maupun sisi pelayanan klinik. Mengingat peranan penting apoteker dalam apotek, Praktik Kerja Profesi Apoteker perlu dilakukan di apotek oleh calon apoteker. Melalui PKPA di apotek, calon apoteker diharapkan dapat memahami peran dan tanggung jawab apoteker di apotek.

Health is a human right and should be realized according to 1945 Indonesia Constitution. To fulfill those right, healthcare fulfillment need to be done by all pillars of health in Indonesia, especially pharmacy. Pharmacy can do pharmaceutical care and public pharmaceutical preparation distribution. Pharmacy is managed by a Pharmacist. Through pharmacy, health service in the form of pharmaceutical services can reach out to community evenly and thoroughly. Therefore, a Pharmacist have an important role in the management of pharmacy, in terms of managerial and clinical service. Given the important role of pharmacist in pharmacy, internship needs to be done by pharmacist to be. Through internship, pharmacist to be is expected to understand the role and responsibilities of pharmacist in pharmacy."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yuyun Yuniar
"Indonesia is facing shortage of pharmacist in public health centers (PHCs),
therefore the local government and PHCs have to cope with this problem.
This paper aimed to describe the pharmaceutical manpower availability in
PHCs, the problems occurred and potential applied solutions. Data was
taken from National Health Facility Research 201. Quantitative data related
to pharmaceutical manpower in PHCs was analyzed descriptively based on
regions. Supporting qualitative data through in-depth interviews with the
health office staffs in Bogor and Bekasi and pharmacists in four PHCs were
conducted and being analyzed using thematic analysis. It was found that
Sulawesi had the highest percentage of PHCs having pharmacist (29.1%)
while Eastern Indonesia 51.5% of PHCs didn?t have any staff with pharma-
cy related educational background. The highest percentages of staff com-
position were pharmacy technician followed by nurse. The main problem
was due to high workload with limited manpower available. The proposed
solutions are recruitment of new pharmacists, but in case it is not possible
then placing pharmacist in certain type of PHCs with urgent needs is a
priority. Empowering pharmacy technician, all available trained staff and
other resources such as on job students are other feasible choices.
Indonesia masih menghadapi keterbatasan jumlah apoteker di puskesmas,
sehingga pihak pemerintah daerah dan puskesmas harus berupaya me-
ngatasi permasalahan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menggam-
barkan ketersediaan dan distribusi tenaga pelayanan kefarmasian di
puskesmas serta permasalahan dan alternatif pemecahannya. Data di-
ambil dari hasil Riset Fasilitas Kesehatan (Rifaskes) tahun 2011I. Data
kuantitatif tentang tenaga pelayanan kefarmasian di puskesmas dianalisis
secara deskriptif berdasarkan regional. Data kualitatif sebagai pendukung
diperoleh melalui wawancara mendalam dengan bagian kepegawaian
dinas kesehatan dan apoteker empat puskesmas di Kota Bogor dan Bekasi,
3
kemudian dianalisis dengan metode analisis tema. Hasil analisis menun-
jukkan bahwa Sulawesi memiliki persentase puskesmas dengan tenaga
apoteker tertinggi (29,1%) sedangkan Indonesia Timur memiliki persentase
puskesmas tertinggi dengan tenaga pelayanan kefarmasian tanpa latar
belakang pendidikan farmasi (51,5%). Persentase tenaga kefarmasian
terbesar di puskesmas adalah tenaga teknis kefarmasian kemudian pera-
wat. Permasalahan utama yang dihadapi puskesmas adalah beban kerja
yang berat dengan kondisi tenaga yang terbatas. Alternatif pemecahan
masalah yaitu pengangkatan apoteker baru, namun jika tidak memungkin-
kan maka penempatan apoteker pada puskesmas dengan kebutuhan men-
desak merupakan prioritas utama. Pilihan lain yang memungkinkan adalah
pemberdayaan tenaga teknis kefarmasian dan staf lain yang sudah dilatih
atau memanfaatkan tenaga siswa magang."
Depok: Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Indonesia, 2013
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Adisaputra
"Pembuatan obat serta bahan obat wajib mengacu pada pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB). Peralatan untuk pembuatan obat sebaiknya memiliki desain dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat, untuk menjamin mutu obat sesuai desain serta seragam antar batch dan untuk memudahkan pembersihan serta pemeliharaan agar dapat mencegah kontaminasi silang, penumpukan debu atau kotoran dan, hal-hal yang umumnya berdampak buruk pada mutu produk. Sebelum digunakan, peralatan untuk pembuatan obat hendaknya dikualifikasi. Kualifikasi untuk peralatan, fasilitas, sarana penunjang, dan sistem penting untuk menjamin mutu produk obat, kosmetik, makanan dan minuman (BPOM, 2018). Pengemas pada produk farmasi penting untuk diperhatikan dalam menjaga kualitas produk. Kemasan produk harus dapat melindungi produk dari pengaruh kondisi eksternal produk (Annex 9 Guidelines on packaging for pharmaceutical, 2002). Mesin Cartoning ini direkualifikasi karena adanya rekondisi mesin tersebut, kemudian mesin akan digunakan kembali untuk proses pengemasan sekunder suatu produk. Mesin Cartoning tersebut penting untuk direkualifikasi, untuk memastikan bahwa mesin tersebut telah terinstalasi, dapat beroperasi dan berkinerja sesuai dengan spesifikasi.

The manufacture of drugs and medicinal ingredients must refer to the guidelines for Good Manufacturing Practices (GMP). Equipment for the manufacture of drugs should be of appropriate design and construction, of adequate size and appropriately located and qualified, to ensure the quality of the drug according to design and uniformity between batches and to facilitate cleaning and maintenance in order to prevent cross-contamination, accumulation of dust or dirt and, things that generally have a negative impact on product quality. Prior to use, equipment for the manufacture of drugs should be qualified. Qualifications for equipment, facilities, supporting facilities, and important systems to ensure the quality of medicinal, cosmetic, food and beverage products (BPOM, 2018). Packaging in pharmaceutical products is important to pay attention to in maintaining product quality. Product packaging must be able to protect the product from the influence of external product conditions (Annex 9 Guidelines on packaging for pharmaceuticals, 2002). This Cartoning machine was requalified due to the reconditioning of the machine, then the machine will be used again for the secondary packaging process of a product. It is important for the Cartoning machine to be requalified, to ensure that the machine is installed, can operate and performs according to specifications."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sinurat, Anna Veronika
"Praktek Kerja Profesi Apoteker di Puskesmas Kecamatan Tambora Jakarta Barat dilaksanakan selama 3 minggu dari tanggal 7 Maret hingga 24 Maret 2016. Praktek Kerja Profesi ini bertujuan bagi mahasiswa untuk mampu memahami peranan, tugas dan tanggung jawab apoteker dalam praktek pelayanan kefarmasian di Puskesmas sesuai dengan ketentuan perundangan dan etika farmasi yang berlaku, dan dalam bidang kesehatan masyarakat. Secara keseluruhan dua kegiatan pelayanan kefarmasian di Puskesmas Kecamatan Tambora sudah cukup sesuai dengan PMK No. 30 Tahun 2014 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, tetapi perlu dilakukan perbaikan pada lemari narkotika dan psikotropika di ruang pelayanan obat agar sesuai dengan peraturan dan mencegah terjadinya kesalahan atau penyalahgunaan. Tugas khusus yang diberikan berjudul Pemberian Konseling Dengan Menggunakan Lembar Balik Terhadap Pasien Hiv Puskesmas Kecamatan Tambora bertujuan agar mahasiswa memperoleh pengalaman praktis dalam memberikan konseling kepada pasien HIV dengan menggunakan bantuan metode lembar balik.

Pharmacist Profession Practice at Puskesmas Tambora, West Jakarta, was held for 3 weeks from March 7th to March 24th , 2016. The profession practice aims for students to be able to understand the roles, duties and responsibilities of a pharmacist in the practice of pharmacy services at Puskesmas in accordance with legislative provisions, pharmaceutical ethics, and in the public health. Overall the two activities of pharmacy services in Puskesmas Tambora is appropriate in accordance with the PMK No. 30, 2014 About the Standards of Pharmaceutical Services at Puskesmas, but needs to be improved in narcotics and psychotropic drug storage to comply with regulations and prevent the occurrence of errors or misuse. Special assignment given titled Giving Counseling Using Flip Chart Method for HIV Patients at Puskesmas Tambora intended that students gain practical experience in providing counseling to HIV patients with a flip chart method.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sindi Fantika
"Pemilihan dan manajemen pemasok menjadi salah satu aspek kritis dalam proses pembuatan obat agar dapat memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan dalam CPOB di mana industri farmasi dapat menjamin keamaan pasien, memberikan produk yang bermutu dan efektif, serta dapat memenuhi permintaan persediaan obat oleh konsumen. Setiap permintaan akan material atau layanan dari pemasok perlu dilakukan proses seleksi dan kualifikasi terhadap pemasok. Dalam melakukan proses seleksi kualifikasi pemasok perlu juga dilakukan proses penilaian risiko (risk assessment). Risk assessment menyeluruh diperlukan untuk memastikan pengendalian risiko yang efektif. Laporan tugas khusus ini memaparkan proses pengimplementasian supplier risk assessment terhadap vendor-vendor yang telah disetujui di PT. Takeda Indonesia berdasarkan pedoman pada SOP (Standard Operating Procedure) yang masih efektif di PT. Takeda Indonesia Bekasi tentang manajemen kualitas untuk pemasok yag berperan dalam proses CPOB dan CDOB. Dari total 106 vendor yang ada di Approved Vendor List dan Approved Vendor List for Non Raw Material-related vendor diperoleh sebanyak 6 vendor termasuk ke dalam kategori risiko 1, 30 vendor merupakan kategori risiko 2, 44 vendor tergolong kategori risiko 3, dan sejumlah 26 vendor adalah kategori risiko 4.

Supplier selection and management is one of the critical aspects in the drug manufacturing process so that it can meet the quality standards set in GMP where the pharmaceutical industry can guarantee patient safety, provide quality and effective products, and be able to meet consumer demand for drug supplies. Every request for materials or services from a supplier requires a selection and qualification process for the supplier. In carrying out the supplier qualification selection process, it is also necessary to carry out a risk assessment process. A thorough risk assessment is required to ensure effective risk control. This report described the supplier risk assessment implementation process for approved vendors at PT. Takeda Indonesia based on the guidelines on SOP (Standard Operating Procedure) which was effective at PT. Takeda Indonesia Bekasi regarding quality management for suppliers in GMP and GDP processes. From a total of 106 vendors on the Approved Vendor List and Approved Vendor List for Non Raw Material-related vendors, 6 vendors were included in risk category 1, 30 vendors were in risk category 2, 44 vendors were in risk category 3, and a total of 26 vendors is risk category 4."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasya Khaerunnisa
"Apotek merupakan salah satu fasilitas pelayanan kefarmasian bagi apoteker untuk melakukan pelayanan kefarmasian. Apotek juga merupakan tempat berjalannya bisnis yang komoditasnya terdiri dari perbekalan farmasi serta perbekalan kesehatan lainnya. Apoteker berperan dalam pengelolaan perbekalan farmasi, manajemen apotek serta pelayanan kefarmasian. Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di apotek harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang aman, bermutu, bermanfaat dan terjangkau. Kementerian Kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 menetapkan standar pelayanan kefarmasian di apotek dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum tenaga kefarmasian serta melindungi pasien dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien.
Tujuan tugas khusus ini dilakukan untuk mengetahui peran apoteker dalam pengelolaan dan pelayanan kefarmasian di KFA 115 Pamulang serta mengetahui penerapan standar kefarmasian di KFA 115 Pamulang.
Berdasarkan hasil observasi yang diperoleh, peran apoteker di apotek yaitu meliputi aspek manajerial (melakukan pengawasan seluruh aspek pelayanan kefarmasian, pengelolaan perbekalan farmasi dan perbekalan kesehatan, melakukan pengelolaan dan administrasi mengenai keuangan apotek) dan aspek profesional (mengelola dan melakukan kegiatan operasional pelayanan kefarmasian di apotek, memberikan pelayanan resep, pelayanan informasi obat, home pharmacy care dan pelayanan swamedikasi kepada pasien). Secara garis besar, Apotek Kimia Farma 115 Pamulang telah mengimplementasikan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

Pharmacy is one of the pharmaceutical service facilities for pharmacists to perform pharmaceutical services. Pharmacy is also a place where business runs whose commodities consist of pharmaceutical supplies and other health supplies. Pharmacists play a role in the management of pharmaceutical supplies, pharmacy management and pharmaceutical services. The implementation of pharmaceutical services in pharmacy must ensure the availability of pharmaceutical preparations, medical devices and consumables that are safe, quality, useful and affordable. The Ministry of Health through the Minister of Health Regulation Number 73 of 2016 sets pharmaceutical service standards in pharmacy with the aim of improving the quality of pharmaceutical services, ensuring legal certainty of pharmaceutical personnel and protecting patients from irrational use of drugs in the context of patient safety.
The aim of this special task are to determine the role of pharmacists in pharmaceutical management and services at KFA 115 Pamulang and to know the application of pharmaceutical standards at KFA 115 Pamulang.
Based on the observations obtained, pharmacist operations in pharmacy include managerial aspects (supervising all aspects of pharmaceutical services, managing pharmaceutical supplies and health supplies, managing and administering pharmacy finances) and professional aspects (managing and carrying out operational activities of pharmaceutical services in pharmacies, providing prescription services, drug information services, home pharmacy care and self- medication services to patients). Broadly speaking, Apotek Kimia Farma 115 Pamulang has implemented Pharmaceutical Service Standards in Pharmacy.
"
Depok: 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fatiya Nur Afida
"Pengelolaan obat di puskesmas perlu dilakukan dengan efektif dan efisien untuk mencegah kerugian karena umunya anggaran untuk pengadaan obat daerah di Indonesia sebesar 40% dari total anggaran biaya kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesesuaian seluruh tahap pengelolaan obat. Desain yang digunakan pada penelitian ini yaitu observasional dengan pendekatan secara deskriptif-evaluatif menggunakan indikator mutu pengelolaan obat yang tersandar. Indikator terdiri atas tahap seleksi, perencanaan, permintaan dan penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, pencatatan dan pelaporan, serta pemantauan dan evaluasi. Subyek penelitian ini yaitu Puskesmas X. Data diambil secara retrospective berupa penelusuran dokumen pengelolaan obat tahun 2021 dan concurrent berupa observasi dan wawancara. Analisis data dilakukan dengan membandingkan hasil penilaian indikator terhadap standar literatur terbaru oleh Satibi. Hasil penelitian menunjukkan dari 26 indikator terdapat 8 indikator yang sesuai dan 18 indikator yang belum sesuai. Indikator pengelolaan obat yang belum memenuhi standar yaitu usulan obat ke formularium (tidak), kesesuaian item dengan fornas (68,52%), kesesuaian item dengan pola penyakit (81,82%), ketepatan item perencanaan (110,96%), ketepatan jumlah perencanaan (320,00%), kesesuaian jumlah permintaan (59,56%), kesesuaian item penerimaan (70,73%), kesesuaian jumlah penerimaan (15,52%), penyimpanan sesuai bentuk sediaan (86,28%), penyimpanan sesuai suhu (93,19%), penyimpanan narkotika (97,61%), penyimpanan sesuai FEFO (91,90%), penyimpanan high alert (63,13%), penyimpanan LASA (11,44%), ITOR (4,26 kali/tahun), item stok aman (77,16%), item stok berlebih (22,84%), obat tidak diresepkan (45,68%), nilai obat kedaluwarsa (2,18%), dan kesesuaian jumlah fisik obat (96,63%).

Drug management in needs to be carried out effectively and efficiently to prevent losses because generally the budget for regional drug procurement in Indonesia is 40% of the total health budget budget. This study aims to analyze the accuracy of all stages of drug management. The design used in this study is observational with a descriptive-evaluative approach using standardized drug management quality indicators. The indicators consist of the stages of selection, planning, request and acceptance, storage, distribution, control, recording and reporting, as well as monitoring and evaluation. The subject of this research is X Health Center. The data were taken retrospectively in the form of searching for drug management documents in 2021 and concurrently in the form of observations and interviews. Data analysis was carried out by comparing the results of the indicator assessment against the latest literature standards by Satibi. The results showed that of the 26 indicators, 8 indicators were appropriate and 18 indicators that were not. Indicators of drug management that do not meet the standards are drug proposals to the formulary (no), suitability of items with Formularium Nasional (68.52%), suitability of items with disease patterns (81.82%), accuracy of planning items (110.96%), accuracy of planning amount (320.00%), suitability of the number of requests (59.56%), suitability of receiving items (70.73%), suitability of the number of receipts (15.52%), storage according to dosage form (86.28%), storage according to temperature (93.19%), storage of narcotics according to regulations ( 97.61%), storage according to FEFO system (91.90%), suitability of high alert storage (63.13%), suitability of LASA storage (11.44%), ITOR (4,26 times/year), safe stock items (77.16%), excess stock items (22.84%), non-prescribed drugs (45.68%), expired drug value (2.18%), and the suitability of the physical amount of the drug (96.63%)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qonita Nabihah
"Pengkajian resep termasuk dalam standar pelayanan kefarmasian di apotek. Kegiatan ini dilakukan untuk menghindari kesalahan pemberian obat (medication error). Apotek Kimia Farma 202 memiliki layanan pengkajian resep yang mencakup aspek administrasi, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis. Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit metabolik kronis ketika pankreas tidak mampu memproduksi cukup insulin atau ketika tubuh tidak mampu menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif, yang menyebabkan peningkatan kadar gula darah. Terapi DMT2 didasarkan pada kondisi gula darah pasien, faktor pembiayaan, ketersediaan obat, efektivitas, efek samping, serta preferensi pasien. Pengkajian resep dilakukan pada resep yang ditebus di Apotek Kimia Farma 202 pada periode pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA), dan dipilih dua resep untuk laporan ini. Pada kedua resep tersebut, terdapat beberapa informasi yang belum tercantum seperti usia, berat badan pasien, dan SIP dokter dalam aspek administratif. Obat-obat yang diberikan tidak menunjukkan interaksi yang merugikan, baik pada resep 1 dan resep 2. Terdapat beberapa obat yang sebaiknya dihindari oleh pasien dengan riwayat hipersensitivitas, sehingga apoteker perlu melakukan konfirmasi terkait riwayat alergi ke pasien atau keluarga pasien. Informasi dari pengkajian aspek kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis dapat sangat berguna untuk disampaikan saat penyerahan obat, sehingga dapat mengoptimalkan terapi. Pelayanan yang diberikan Apotek Kimia Farma 202 telah berjalan dengan baik. Pengkajian resep perlu terus dilakukan agar kesahalan dalam pengobatan pengobatan dapat dihindari.

Prescription assessment is part of the pharmaceutical service standards in pharmacies. This activity is carried out to prevent medication errors. Kimia Farma 202 Pharmacy provides prescription assessment services that cover administrative, pharmaceutical suitability, and clinical considerations. Diabetes Mellitus (DM) is a chronic metabolic disease that occurs when the pancreas is unable to produce sufficient insulin or when the body cannot effectively use the insulin produced, leading to an increase in blood sugar levels. The therapy for T2DM is based on the patient's blood sugar condition, financial factors, drug availability, effectiveness, side effects, and patient preferences. Prescription assessment was conducted for prescriptions redeemed at Kimia Farma 202 Pharmacy during the implementation period of the Pharmacist Professional Internship Program, and two prescriptions were selected for this report. In both prescriptions, there was some missing information in the administrative aspect, such as the patient's age, weight, and the doctor's License to Practice. The medications prescribed did not show any harmful interactions, both in prescription 1 and prescription 2. Some drugs should be avoided by patients with a history of hypersensitivity, so pharmacists need to confirm allergy history with the patient or the patient's family. Information from the assessment of pharmaceutical suitability and clinical considerations can be very useful when giving the medication to optimize therapy. The services provided by Kimia Farma 202 Pharmacy have been running smoothly. Continuous prescription assessment is necessary to avoid errors in medication administration."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Rizky Shadrina
"Standar pelayanan kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Salah satu standar pelayanan kefarmasian di rumah sakit yaitu pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai. Perencanaan kebutuhan merupakan salah satu unsur penting dalam pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai. Kekosongan persediaan alat kesehatan dapat dihindari dengan cara menyusun perencanaan kebutuhan dengan baik sehingga dapat menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu, dan efisien. Apabila persediaan tidak diatur atau dikelola dengan baik, maka persediaan dapat mengalami kekurangan atau kelebihan dan akan menyebabkan kerugian pada rumah sakit. Oleh karena itu, dilakukan evaluasi perencanaan kebutuhan dengan menggunakan metode analisis ABC (Always, Better, Control). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui langkah-langkah dalam menggunakan metode analisis ABC dan Mengetahui pengelompokkan alat kesehatan yang termasuk ke dalam kategori A, kategori B, dan kategori C berdasarkan nilai investasinya terhadap pemakaian alat kesehatan pada periode bulan Juli hingga Desember 2022 di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati. Metode yang dilakukan yaitu mengumpulkan data alat kesehatan yang digunakan, menghitung jumlah dana yang dibutuhkan, melakukan pengurutan peringkat dana terbesar hingga terkecil, serta menghitung persentase biaya dan persentase kumulatif masing-masing alat kesehatan terhadap total dana yang dibutuhkan. Berdasarkan hasil analisis, alat kesehatan yang tergolong kelompok A terdapat 185 jenis (10,61%) dengan biaya pembelian sebesar Rp. 27.862.949.367,00 (69,90%), kelompok B terdapat 311 jenis (17,83%) dengan biaya pembelian sebesar Rp. 8.006.543.938,00 (20,09%), kelompok C terdapat 1248 jenis (71,56%) dengan biaya pembelian sebesar Rp. 3.991.939.719,78 (10,01%).

Pharmaceutical service standards provide crucial guidance to healthcare professionals in ensuring high-quality patient care. Within hospital settings, these standards cover diverse aspects, including the oversight of pharmaceutical preparations, medical devices, and consumable medical materials. Effective planning for these needs is a pivotal aspect of management, aiming to prevent shortages and promote efficient resource allocation. Strategic planning is essential to prevent both shortages and surpluses of medical supplies, ultimately mitigating potential losses for the hospital. To address this, an ABC (Always, Better, Control) analysis method is employed for evaluation. This approach categorizes medical devices based on their financial significance, optimizing their distribution. The study's focal point is the application of the ABC analysis method at Fatmawati General Hospital during July to December 2022. The employment of the ABC analysis method at Fatmawati General Hospital aids in categorizing and prioritizing medical devices based on their financial impact, ensuring efficient allocation of resourcees and elevating the overall healthcare provision within the hospital. The process involves gathering data on medical devices, determining required funding, prioritizing costs from highest to lowest, and calculating the relative percentage and cumulative sum of each device's expense. The analysis unveils three distinct categories, Group A encompasses 185 medical device types (10.61%), representing a substantial investment totaling Rp. 27,862,949,367.00 (69.90%). Group B involved 311 types (17.83%) with a purchase cost of Rp. 8,006,543,938.00 (20.09%), while Group C consists of 1248 types (71.56%) necessary Rp. 3,991,939,719.78 (10.01%) in funds."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>