Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Buratto, Lucio
Grove Road : SLACK , 2003
617.742 PHA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: UI Publishing, 2022
617.742 BAS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Naibaho, Robert Hotasi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Anestetik topikal telah menjadi pilihan utama dalam prosedur fakoemulsifikasi untuk ekstraksi katarak karena efeknya yang cepat, murah, aplikasi tidak nyeri, kepuasan pasien yang baik, dan menghindari risiko anestesia umum. Anestetik topikal yang paling sering digunakan adalah tetes mata tetrakain 0,5 . Obat ini aman dan efektif dalam menghilangkan nyeri, tetapi durasi kerjanya singkat sehingga seringkali harus dilakukan penambahan saat operasi. Pemberian berulang ini dapat bersifat toksik pada epitel kornea. Saat ini telah berkembang sediaan baru berupa gel lidokain 2 yang memiliki waktu kontak lebih lama dengan epitel korena dan efektivitas yang baik dalam menghilangkan nyeri. Tujuan : untuk membandingkan efektivitas gel lidokain 2 dengan tetes mata tetrakain 0,5 dalam operasi fakoemulsifikasi. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar tunggal yang dilakukan pada Maret-April 2017. Terdapat 72 subjek penelitian berusia ge; 40 tahun yang menjalani prosedur fakoemulsifikasi. Semua subjek secara acak dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok gel lidokain 2 dan kelompok tetes mata tetrakain 0,5 . Anestetik topikal diaplikasikan 5 menit sebelum operasi kemudian 5 menit setelah operasi subjek memberikan penilaian skala nyeri intraoperatif dengan menggunakan numerical rating scale dan mengisi kuesioner kepuasan subjek terhadap obat anestetik topikal yang diberikan. Dokter bedah mata juga diberikan kuesioner kepuasan terhadap obat anestetik topikal. Hasil: Skala nyeri kelompok gel lidokain lebih rendah dibandingkan kelompok tetes mata tetrakain p

ABSTRACT
Background Topical anesthetics have become the primary choice in phacoemulsification procedures for cataract extraction. Topical anesthesia is a rapid, low cost alternative with faster postoperative functional recovery, relatively painless application, improved patient satisfaction, quick anesthesia effect, and it avoids the many risks associated with general anesthesia The most common topical anesthetic drug used is tetracaine eye drops 0.5 . This drug is proven to be safe and effective in relieving pain, but the duration of action is short, so additional doses during surgery is often needed. Repeated administration of 0,5 tetracaine drops can cause corneal epithelial damage because it is toxicity. Newer drug, 2 lidocaine gel, has longer contact time with corneal epithelium and is effective in relieving pain. Objective to compare the effectiveness of 2 lidocaine gel with 0,5 tetracaine drops in phacoemulsification surgery. Method The study is a single blinded randomized clinical trial, conducted at RSUPN Cipto Mangunkusumo from March to July 2017 in patients underwent phacoemulsification cataract surgery. There were 72 subjects with age ge 40 years old who received randomization and divided into 2 groups 2 lidocaine gel group and 0,5 tetracaine eye drop group. Topical anesthetics were applied 5 minutes before surgery. Five minutes after surgery, subjects assessed the scale of pain perceived during surgery using a numerical rating scale and filled the subject satisfaction questionnaire on topical anesthetic drugs administered. The ophthalmologists were also given a satisfactory questionnaire for topical anesthetic drugs. Result The lidocaine gel group pain scale was lower than the tetracaine eye drop group p "
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Grace
"Tujuan: Mengetahui perubahan sensibilitas kornea akibat perbedaan ciri insisi pada prosedur bedah katarak insisi kecil manual dan fakoemulsifikasi serta pengaruhnya terhadap kuantitas dan kualitas lapisan air mata (LAM).
Baban dan Cara: Penelitian ini merupakan penelitian prospektif observasional, dilakukan pada 30 penderita katarak senilis yang akan menjalani tindakan pembedahan insisi kecil manual atau fakoemulsifikasi dengan lensa tanam rigid polymethylmethacrylate secara konsekutif. Tindakan insisi kecil manual dilakukan di Kabupaten Buleleng Bali Utara, sedangkan tindakan fakoemulsfikasi di RSCM Jakarta. Kriteria inklusi adalah subyek yang tidak memiliki riwayal inflamasi pada segmen anterior, operasi atau trauma, bukan pemakai lensa kontak, bukan pemakai obat-obatan yang dapat mengganggu lapisan air mata Pemeriksaan dilakukan sebelum pembedahan, setelah hari pertama, ke-7 dan ke-15. Pemeriksaan meliputi sensibilitas kornea di lima lokasi menggunakan estesiometri Cachet-Bonnet, tear meniscus , Nonivasive break up time (NIBUT) dan pola corakan lipid menggunakan Tearscope plus' , serta uji Schirmer. Keluhan subyektifdicatat menggunakan kuesioner dari Ocular Surface Disease Index (OSDO.
Hasil: Sensibilitas menurun dimulai hari pertama setelah pembedahan sampai hari ke-15 pada kelompok fakoemulsifikasi, sedangkan pada kelompok insisi kecil manual ditemukan hanya di hari pertama setelah tindakan pembedahan. Sensibilitas kornea yang menurun ini tidak hanya pada lokasi insisi tetapi juga pada lokasi lainnya terutama pada kelompok fakoemulsifikasi, perbedaan antar kedua kelompok ini signifikan (p<0.05). Penurunan sensibilitas kornea pada kelompok fakoemulsifikasi ini mempengaruhi kuantitas LAM_ Kualitas LAM menurun pada kedua kelompok di hari pertama, dengan penurunan terbesar pada kelompok insisi kecil manual, kualilas LAM ini kembali meningkat mendekati normal sampai hari ke-I5. Keluhan subyektif kelompok fakoemulsifikasi ditemukan meningkat pada hari ke-7 dak ke-15 dan berhubungan dengan produksi air mata.
Kesimpulan: Insisi kornea di temporal pada pembedahan katarak fakoernulsifikasi menimbulkan penurunan sensibilitas kornea di lokasi insisi dan lokasi lainnya sampai hari ke-15. Penurunan sensibilitas kornea ini menyebabkan perubahan kuantitas dan kualitas LAM serta menimbulkan subyektif.

Purpose: To describe corneal sensitivity changes caused by different incision method in manual-small incision cataract surgery (manual-SICS) and phacoemulsification (phaco) and its influence to the tear film quantity and quality.
Material & Methods: A prospective observational study which examined thirthy subjects who planned to underwent cataract surgery with polymelhylmethacrylate intraocular lens concequitively. The manual-SICS group was held in North Bali and phacoemulsification in Jakarta. The inclusion criteria were subject without inflammation of anterior segment, contact lens wearer, history of eye surgery or eye trauma, nerve disorder and drugs which influence the tear film stability. The examination were prior to the surgery, first, seventh and the fifteenth day after surgery, including the five sites of the corneal sensitivity using Cochet-Bonner aesthesiometry, tear meniscus, nonivasive break up time (NIBUT) and lipid pattern using Tearseope plus-m and Schirmer test also were examined. The subjective complains were reviewed based on questionaire by Ocular Surface Disease Index (OSDI).
Results: Corneal sensitivity decreased in phaco group since the first day after surgery until the fifteenth day, while in the manual-SICS group the decreasing only at first day after surgery. Corneal sensitivity decreased not only at the incision site, but also on the other sites of the cornea in phaco group, the difference between two groups was significant (p<0.05). The aquous production decreased in phaco group on the seventh and fifteen days which correlated to the corneal sensitivity. The tear film quality decreased in both groups on the first day and much lower in manual-SICS group, the recovery was shown until the fifteenth day. The increasing subjective complains on phaco group correlated to the changes of the corneal sensitivity.
Conclusion: Temporal-side incision on phacoemulsification caused decreasing corneal sensitivity in the incision site and the other sites up till the 15 day. Decreasing corneal sensitivity caused changes of the tear film quantity and quality, also the complains.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18011
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan : membandingkan efektifitas dan keamanan antara teknik fakofragmentasi dan fakoemulsifikasi yang dilakukan pada katarak senilis matur.
Metoda : penelitian ini merupakan penelitian prospektif dengan metoda tersamar ganda terhadap 32 pasien katarak senilis matur putih yang dilakukan bedah katarak insisi kecil dengan pemasangan lensa intra okular (LIO). Pasien dibagi menjadi 2 kelompok secara acak,16 pasien menjalani bedah katarak dengan teknik fakofragmentasi (kelompok I) dan 16 pasien lain dengan teknik fakoemulsifikasi (kelompok II). Parameter keamanan adalah perubahan diameter pupil sesaat sebelum pembedahan dan sesaat sebelum implantasi LIO, ketebalan kornea dan jumlah suar di bilik mata depan (BMD). Lama waktu mengeluarkan nukleus, tajam penglihatan tanpa koreksi (TPTK) dan surgically induced astigmatism (SIA) yang terjadi dipakai sebagai parameter efektifitas. Tindak lanjut dilakukan pada hari ke-1, ke-7, ke-15 dan ke-30 pasca bedah.
Hasil : tidak terdapat perbedaan bermakna pada variabel usia, tajam penglihatan, ketebalan kornea dan jumlah suar sebelum pembedahan antara kedua kelompok. Rerata diameter pupil sebelum pembedahan dan sebelum implantasi LIO tidak berbeda bermakna, serta tidak didapatkan perubahan konstriksi pupil yang signifikan pada kedua kelompok. Lama waktu mengeluarkan nukleus lebih lama pada kelompok II (4.38+2.51 mnt) dibanding kelompok I (1.98+1.61 mnt). Perbedaan bermakna hanya terjadi pada TPTK (p=0.00067) dan ketebalan kornea (p=0.0044) pada tindak lanjut hari pertama. Namun, tidak didapatkan lagi perbedaan bermakna pada tindak lanjut selanjutnya. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada variabel jumlah suar dan SIA selama tindak lanjut.
Kesimpulan : teknik fakofragmentasi dan teknik fakoemulsifikasi yang dilakukan pada katarak senilis matur memberikan hasil keamanan dan efektivitas yang sama baik. Teknik fakofragmentasi tampaknya dapat merupakan suatu alternatif bedah katarak insisi kecil dan dapat menggantikan bedah katarak konvensional, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas bedah katarak. (Med J Indones 2003; 12: 94-102)

Purpose : To compare the effectiveness and safety of phacofragmentation and phacoemulsification techniques on senile white mature cataract.
Methods : Prospective, double masked, randomized study comprises 32 eyes of senile white mature cataract randomly divided into 2 groups, 16 eyes had phacofragmentation (group I) and 16 eyes had phacoemulsification (group II). The evaluated safety parameters were pupil diameter pre surgery and prior to intra ocular lens (IOL) implantation, corneal thickness and flaremeter. Nucleus delivery, uncorrected visual acuity (UCVA) and surgically induced astigmatism (SIA) were the effectiveness parameters. Follow-up were scheduled for post-operative day 1,7,15 and 30.
Results : prior to the surgery there were no significant differences in age, visual acuity, corneal thickness and flaremeter between two groups. Pre surgical and prior to IOL implantation mean pupilarry diameters in both groups were not significantly different. There was no significant difference in pupillary constriction on both groups. The mean of time to deliver the nucleus was significantly longer in the group II (4.38+2.51 min) than in the group I (1.98+1.61 min). There was significant difference on UCVA (p= 0.00067) and corneal thickness (p=0.0044) only on the first post-operative day. However, there was no significant difference on further evaluations (p>0.05). There were also no significant difference on flaremeter and SIA during follow-up.
Conclusion : Both phacofragmentation and phacoemulsification techniques were effective and safe for cataract surgery on senile white mature cataract. Phacofragmentation technique therefore could be an alternative small incision cataract surgery. (Med J Indones 2003; 12: 94-102)
"
Medical Journal of Indonesia, 12 (2) April June 2003: 94-102, 2003
MJIN-12-2-AprilJune2003-94
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Satu uji klinik batu tunggal untuk membandingkan efektivitas biaya teknik pembedahan antara ekstraksi katarak ekstrakapsular (ECC) dan fakomuksifikasi (PEA) telah dilakukan di hospital Universiti Kebangsaan Malaysia (HUKM) antara Maret 2000 sampai Agustus 2001."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Eni Zatila
"Katarak merupakan penyebab utama kebutaan di Indonesia dan dunia pada umumnya. Diperkirakan l,5% prevalensi kebutaan terjadi di Indonesia dan merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Provinsi Sumatera Selatan merupakan Salah satu provinsi di Indonesia dengan prevalensi kebutaan yang cukup tinggi 1,3%). Tingginya penumpukan kasus (backlog) katarak disebabkan oleh ketidakseimbangan antara insiden katarak dengan operasi yang dilakukan setiap tahunnya.
Operasi katarak merupakan salah salu tindakan operatif yang terbukti cost effective. Bcberapa jenis metode operasi diharapkan bisa mengatasi backlog katarak dan bisa diterima baik dari sisi provider juga dari penerima pelayanan (penderita). Manual Small Incision Cataract Surgery (MSICS) dan Phacoemalsfficarion diharapkan bisa rnenjadi standar operasi katarak di negara berkembang seperti Indonesia dan Sumatera Selatan khususnya di kota Palembang. Penelitian ini membandingkan dua metode operasi katarak, MSICS dan phacoemulsification.
Penelitian ini bertujuan membandingkan biaya rata-rata dan output operasi katarak yang dilakukan di dua klinik khusus mata di Palembang, Sumatera Selatan yaitu Palembang Eye Centre untuk metode MSICS dan Sriwijaya Eye Centre untuk metode Phacoemulsificataion. Sampel adalah 55 penderita yang dioperasi dengan metode MSICS dan 60 pasien yang dioperasi dengan metode phacoemulsification. Penelitian dilakukan secara prospektif dari bulan Februari sampai dengan April 2008. Data demografi penderita, visus sebelum dan sesudah operasi diperoleh dari rekam medis dan observasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya total pada phacoemulsification lebih besar dibandingkan metode MSICS. Phacoemulsification membutuhkan biaya investasi yang besar untuk mesin phacoemulsification dan mikroskop operasi serta biaya bahan medis habis pakai dan lensa tanam per kasus yang dioperasi. Pada metode MSICS biaya bahan medis habis pakai ini mengambii porsi 46 % dari biaya total dan 63 % pada metode phacoemulsiiication. Biaya bahan medis habis pakai adalah Rp.866.850 untuk MSICS dan Rp.2.008.750 untuk phacoemulsification. Perbandingan biaya rata-rata per operasi adaiah Rp. 1.895.019 untuk metode MSICS dan Rp.3.20l.4l6 untuk phacoemulsiiication. Biaya investasi per unit operasi pada metode MSICS lebih tinggi dibandingkan dengan metode phacoemulsification sedangkan biaya operasional dan pemeliharaan rata-rata per operasi pada metode MSICS lebih rendah.
Pada penelitian ini sebanyak 8l,8% penderita yang dioperasi dengan metode MSICS dan 96,7 % penderita yang dioperasi dengan metode phacoemulsification bisa mencapai perbaikan visus 6/ 12 atau lebih pada 4 minggu post operasi. Pada penelitian ini hanya biaya dari sisi provider yang dihitung, sementara biaya dari sisi penderita tidak dihitung. Pengukuran visus post operasi hanya dilakukan sampai minggu ke-4. Karena keterbatasan inilah, hasil evaluasi ekonomi ini harus diinterpretasikan secara hati-hati dan metode operasi manakah yang lebih cost-effective belum dapat disimpulkan. Kesimpulan yang bisa dibuat dari penelitian ini adalah biaya operasi katarak dengan metode MSICS Iebih effisien secara ekonomi dan bisa dipilih sebagai altematif dalam penanganan baclog katarak.

Cataract is the main cause of avoidable blindness in Indonesia and throughout the world. There are an estimated prevalence l.5 % of blindness in Indonesia, the highest one in South East Asia. South Sumatera is one of the province in Indonesia having high prevalence of blindness (l,8%). A huge backlog of cataract blindness is due to imbalance of cataract incidence and surgery done every year.
Cataract extraction is one of the cost eiective surgical interventions. Any type of cataract surgery, which is expected to tackle the backlog has to be affordable to service provider and the service recipient (patient). Manual Small incision Cataract Surgery (MSICS) and Phacoemulsilication are expected to be the standard of care for cataract surgery. A small incision is done and does not need to be sutured makes both of these methods to have high quality in restoring visual function after cataract surgery.
This study was done to make comparison of these two methods, MSICS and phacoemulsification, aimed to compare the average cost and output of cataract surgeries done in two Eye Care Centre in Palembang, South Sumatera, namely Palembang Eye Centre for MSICS methods and Sriwijaya Eye Centre for phacoemulsitication methods. The sample of 55 patient for MSICS and 60 patient for phacoemulsification were enrolled prospectively from February to April 2008. Data on patient demography, pre operative and post operative visual acuity were abstracted from medical record and observation. Output was measured as visual acuity 4 weeks post operatively.
The total cost for phacoemulsification was higher than that for MSICS in this study. Phacoernulsitication requires a high capital investment for a phacoemulsiiication machine and a more expensive operating microscope along with higher cost per case for disposable and a foldable IOL. Consumable cost contributes 46 % of total cost for MSICS and 63 % for Phacoemulsitication. Consumable cost was Rp.866.850 for MSICS and Rp.2.008.'/50 for phacoemulsification. Cost per catarct surgery was Rp.l.895.0l9 for MSICS as compared to Rp.3.20l.4l6 for phacoemulsitication. Average investment cost for MSICS was higher than that for phacoemulsification. Average operational cost (without consumable cost in operating room) and average maintence cost of MSICS were lower than phacoemulsification in this study.
The result of the study showed that 81,8 % patients of MSICS procedures and 96,7 % patients of phacoemulsification procedures achieved 6/ 12 or better visual acuity 4 weeks postoperatively. In this study Only provider cost was calculated while the consumer cost was not included. Visual acuity was measured merely 4 weeks postoperatively. BCVA (Best Corrected Visual Acuity) is used as an outcome measure for cataract surgery. These limitations of the study make the result of this economic evaluation sould be interpreted cautiously. Whether one method is more cost-effective can not be concluded from this study. The conclusion of this study is that the MSICS method being the more efficient method to tackle cataract backlog.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T33917
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Kusuma
"Latar Belakang : Anestesia regional dengan blok peribulbar merupakan teknik anestesia alternatif pada operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Umumnya anestetika lokal yang paling sering dipakai adalah campuran bupivakain yang mempunyai durasi panjang dan lidokain yang mempunyai onset cepat. Di rumah sakit kami, median waktu sejak dimulainya blok hingga dimulainya operasi adalah lebih dari 20 menit dan temuan ini menunjukkan bahwa untuk peribulbar anestesia tidak diperlukan anestetika lokal dengan onset yang cepat. Tujuan studi ini untuk mengetahui keefektifan blok peribulbar inferotemporal menggunakan anestetika tunggal bupivakain 0.5% dibandingkan dengan campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% untuk blok peribulbar pada pasien yang menjalani operasi katarak dengan teknik phacoemulsification.
Metode : Penelitian ini dilakukan pada 70 pasien yang menjalani operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Secara random 35 pasien menggunakan anestesia blok peribulbar dengan anestetika campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% (kelompok 1) dan 35 pasien menggunakan anestesia blok peribulbar dengan anestetika tunggal bupivakain 0.5% (kelompok 2). Skor akinesia bola mata dinilai pada menit ke 5, 10, 15 dan 20 setelah penyuntikan anestetika lokal. Analgesia, waktu antara dimulainya blok hingga dimulainya operasi, lamanya operasi, penambahan anestetika topikal intraoperatif dan insidens efek samping terkait blok peribulbar dicatat.
Hasil: Skor akinesia pada menit ke 5 dan 10 setelah penyuntikan lebih rendah secara bermakna pada kelompok 1 (p<0.05). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok dalam hal skor akinesia pada menit ke 15 dan 20 setelah penyuntikan. Analgesia, total lamanya operasi, penambahan anestetika topikal intraoperatif dan efek samping terkait blok peribulbar tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok.
Simpulan : Kecuali onset yang lebih cepat pada kelompok anestetika campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2%, bupivakain tunggal 0.5% sama efektif dibandingkan campuran bupivakain 0.5% dan lidokain 2% untuk blok peribulbar pada operasi katarak dengan teknik phacoemulsification. Data tersebut didapatkan bahwa bupivakain tunggal 0.5% dapat digunakan pada kasus dimana blok dengan onset yang cepat tidak diperlukan.

Background : Regional anesthesia provided by a peribulbar block is an alternative anesthetic technique in cataract surgery. Generally, the most frequently used local anesthetic agent is a mixture of bupivacaine which has a long duration of effect and lidocaine which has a rapid onset of action. In our centre, the median time from the start of peribulbar blockade to start surgery was more than 20 minutes and these findings suggest that it is not necessary to use a local anesthetic with a quick onset of action for peribulbar anesthesia. The purpose of this study was to determine the effectiveness of single injection inferotemporal peribulbar block using 5 mL of plain bupivacaine 0.5% compared with a 1:1 mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2% in patients underwent cataract surgery with phacoemulsification.
Methods : A total of 70 patients scheduled for phacoemulsification cataract surgery with peribulbar anesthesia were randomly allocated into two groups of 35 patients each, to receive 5 ml of a 1:1 mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2% (group 1), or plain bupivacaine 0.5% (group 2). Ocular movement scores were evaluated at 5, 10, 15 and 20 minutes after injection. Analgesia, time from block to start surgery, duration of surgery, need for supplementary anesthesia and the incidence of perioperative complication were recorded.
Results: The ocular movement scores at mins 5 and 10 were significantly lower in group 1 (p<0.05). There were no significant difference among the groups in ocular movement scores at mins 15 and 20. Analgesia, time from block to start surgery, duration of surgery, need for supplementary anesthesia and the incidence of perioperative complication did not differ among the groups.
Conclusion : Except for a significantly faster onset of peribulbar block with a mixture of bupivacaine 0.5% and lidocaine 2%, 0.5% bupivacaine as the sole agent was equally effective in inducing satisfactory peribulbar anesthesia for phacoemulsification cataract surgery. These data suggest that plain bupivacaine 0.5% may be suitable where the rapidity of onset of block is not necessary.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reni Junita
"Tujuan: Evaluasi pengaruh penggunaan cairan irigasi dingin pada fakoemulsifikasi terhadap ketebalan kornea dan jumlah suar bilik mata depan pasca bedah.
Tempat: Perjan Rumah Sakit Ciptomangunkusumo dan Jakarta Eye Center, Jakarta. Bahan dan cara: Prospektif, tersamar ganda, randomisasi pada 33 mata katarak senilis gradasi 3-4. Dilakukan fakoemulsifikasi menggunakan BSS® 10°C (n=16) atau BSS® suhu karnar (n=17) dengan prosedur dan terapi pasca bedah yang sama. Pra bedah, pasca bedah hart pertama dan hari ke-7 dilakukan pengukuran ketebalan komea, jumlah suar dan tekanan intraokular, masing-masing dengan OrbscanTM, laser flare-meter Kowa FM-500, dan tonometer non-kontak. Parameter intrabedah; waktu fako efektif (EPT) dan besarnya tenaga ultrasonik(UIS) direkam dalam mesin fako. Subjek yang mengalami komplikasi intrabedah maupun pasca bedah dikeluarkan dari penelitian.
Hasil: Prabedah kedua kelompok memiliki karakteristik yang setara pada umur, gradasi katarak, ketebalan kornea, jumlah suar dan TIO. Tidal( terdapat perbedaan bermakna pada E. dan U/S. Fasca bedah hari pertama, ketebalan kornea pada kelompok BSSQ dingin 548,87±48,31}im, pada kelompok BSS® suhu kamar 582,47±35,48p.m (p0,022). Ketebalan kornea hari ke-7 tidak berbeda bermakna. Tidak terdapat perbedaan bermakna jumlah soar sampai tindak lanjut hari ke-7, namun peningkatan jumlah suar pada kelompok BSS® dingin lebih sedikit dan telah mencapai nilai prabedah pada hari ke-7. Hasil pengukuran tekanan intraokular sesuai dengan pengukuran ketebalan kornea.
Simpulan: Cairan irigasi dingin dapat mempertahankan fungsi endotel komea dan stabilitas sawar darah akuos, sehingga menghambat penambahan ketebalan kornea dan jumlah suar di bilik mata depan pasca fakoemulsifikasi.

Purpose: To evaluate the effect of cooled intraocular irrigating solution during phacoemulsification on postoperative central corneal thickness (CCT) and anterior chamber flare (AC flare).
Setting: Cipto Mangunkusumo Hospital and Jakarta Eye Center, Jakarta
Methods: In a prospective, double masked, randomized study, 33 eyes of third and fourth grade density cataract had phacoemulsification with irrigating solutions cooled to approximately 10°C (n=16) or at room temperature (n=17). Surgical procedure and postoperative therapy were otherwise identical in both groups. lntraoperative parameters; effective phaco time (EPT) and ultrasound energy (U/S) were recorded by phaco machine. Postoperative CCT, AC flare and intraocular pressure (IOP) were assessed respectively with Orbscan pachymetry, Kowa FM-500 laser flare-meter and non-contact tonometry on days 1 and 7. Complicated cases were excluded.
Results: Both groups were well matched characteristic in age, cataract density, preoperative CCT, AC flare and IOP. Intraoperative parameters were not different significantly. C.1the first postoperative day, CCT (cooled irrigation 548,87±48,31µm, control 582,47±35,48µm; p0,022) was significantly lower in the group with cooled irrigating solution. There was no significant difference in CCT on the 7th postoperative day. Despite no significant between-group difference in AC flare on any postoperative days, AC flare was lower in the group with cooled irrigating solution. Intraocular pressure measurement was well related to corneal thickness.
Conclusions: Cooled intraocular irrigating solution preserved corneal endothelial function and blood aquas barrier, showed with reducing immediate postoperative CCT and AC flare.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21398
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>