Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahmaniar Desianti Kuraga
"Skabies merupakan infestasi dari tungau Sarcoptes scabiei varian homini. Pengobatan skabies di Indonesia adalah menggunakan krim permetrin 5% yang dioleskan seluruh tubuh dan didiamkan selama 8 - 12 jam lalu dibersihkan menggunakan sabun. Cara pengolesan krim permetrin 5% tersebut memiliki efek samping berupa rasa nyeri dan sensasi terbakar. Metode Pemakaian krim permetrin 5% hanya pada lesi telah dikembangkan untuk mengurangi efek samping permetrin dengan angka kesembuhan yang sama baiknya dengan pengolesan seluruh tubuh. Terkait manifestasi klinis skabies dapat timbul 4 minggu pasca infestasi tungau pertama di kulit, perlu dilakukan penelitian konfirmasi untuk menilai kekambuhan pasca pengolesan krim permetrin 5% hanya pada lesi dan pengolesan krim permetrin 5% seluruh tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan angka kekambuhan skabies dengan krim permetrin 5% yang dioleskan hanya pada lesi dengan pengolesan krim permetrin 5% yang dioleskan seluruh tubuh serta untuk mengetahui faktor yang memengaruhi kekambuhan skabies. Studi ini adalah studi kohort yang merupakan bagian dari penelitian induk berupa perbandingan efektivitas krim permetrin 5% sebagai terapi skabies dengan pengolesan hanya pada lesi dan pengolesan seluruh tubuh. Studi ini melibatkan santri pada pesantren Al-islami, Bogor serta pesantren Tapak Sunan dan Darul Ishlah, Jakarta yang telah sembuh dari pengobatan skabies menggunakan krim permetrin 5% pada bulan September 2018 sampai Agustus 2019. Terdapat 157 santri yang memenuhi kriteria penelitian, namun hanya 148 subjek penelitian (SP) yang menyelesaikan penelitian. Subjek penelitian di follow up pada minggu keempat untuk menilai kekambuhan serta faktor yang memengaruhi kekambuhan. Angka kekambuhan pada kelompok dengan riwayat pengolesan krim permetrin 5% hanya pada lesi pada 4 minggu pasca sembuh lebih rendah dibandingkan kelompok dengan riwayat pengolesan krim permetrin 5% seluruh tubuh (10,7% vs 12,3%). Tidak terdapat perbedaan kekambuhan skabies pada kedua kelompok (p = 0,751). Faktor yang memengaruhi kekambuhan adalah perilaku tidak menjemur matras tidur secara reguler dengan odd ratio 4,219. Kesimpulan penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan angka kekambuhan pada riwayat pengolesan krim permetrin 5% hanya pada lesi dengan riwayat pengolesan krim permetrin 5% seluruh tubuh setelah empat minggu sembuh dari penyakit skabies.

Scabies is a skin disease due to the infestation of Sarcoptes scabiei var hominis. permethrin is the drug of choice for scabies in Indonesia. It is applied to the whole body and left on the skin for 8-12 hours before being cleansed. This method of application has various side effects, such as pain and burning sensations. Modification to this method by applying 5% permethrin cream only on scabies lesion has been developed to reduce the side effects and reported to have recovery rate equal to the standard method. Scabies can manifest clinically up to 4 weeks after the first mite infestation of the skin. Further investigation is required to assess the recurrence of scabies after the application of the modified 5% permethrin and standard cream. The aim of this study is to compare the recurrence rate of scabies treated with 5% permethrin cream applied only to the lesion vs the standard 5% permethrin cream applied to the whole body while determining the factors that influence the recurrence of scabies. This is a cohort study, part of a main research aiming to compare the efficacy of the only lesion 5% permethrin cream application method vs the whole body 5% permethrin cream application method as scabies therapy. The students of the Al-Islami boarding school in Bogor, Tapak Sunan and Darul Ishlah Islamic boarding school in Jakarta who had previously recovered from scabies after being treated with 5% permethrin cream between September 2018 to August 2019 were recruited into this study. 157 students met the inclusion criteria, but only 148 participants completed the whole study protocol. They were followed 4 weeks after recovery to assess their recurrency and other factors associated with recurrence. At the 4th weeks after recovery, the recurrence rate of the only lesion 5% permethrin cream application method group was lower than the whole body 5% permethrin cream application method group (10.7% vs 12.3%). There were no differences in the recurrence of scabies among the two groups (p = 0.751). One influencing factor of scabies recurrence is the specific behavior of not regularly drying sleep mattresses, with an odds ratio of 4.219. The study concludes that there was no difference in the recurrence rate among subjects who applied 5% permethrin cream using only lesion 5% permethrin cream application method compared to whole body 5% permethrin cream application method at four weeks after recovery."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bany Faris Amin
"Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit arbovirus yang paling umum di dunia, termasuk di berbagai daerah di Indonesia. Pengendalian vektor kimia pada Ae aegypti dengan permethrin adalah salah satu cara untuk mengendalikan penyakit, meskipun resistensi telah dilaporkan. Berdasarkan hal-hal ini, penelitian ini menguji resistensi Ae. aegypti terhadap permethrin di Desa Pangkah, Kabupaten Tegal. Tes dilakukan berdasarkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dengan mengukur tingkat kematian Ae aegypti yang dicatat selama 24 jam.
Hasil percobaan menunjukkan Ae. Angka kematian aegypti terhadap permethrin 0,25% selama 24 jam adalah 26% yang menunjukkan terjadinya resistensi. Selain itu, waktu kematian permetrin ditunjukkan sebagai LT50, LT90, LT99 untuk 6611.636 menit, 280603.776 menit, dan 5958807.272 menit masing-masing. Perlawanan terhadap permethrin di Ae. aegypti diidentifikasi sehingga penggunaan permethrin 0,25% perlu dipertimbangkan.

Dengue hemorrhagic fever (DHF) is the most prevalent arbovirus disease in the world, including including in various regions in Indonesia. Chemical vector control on Ae aegypti with permethrin is one way to control the disease, even though resistance has been reported. Based on these matters, this study tested the resistance of Ae. aegypti against permethrin in Pangkah Village, Tegal Regency. Test was performed based on the World Health Organization (WHO) standard by measuring Ae aegypti mortality rates which are recorded for 24 hours.
The results of the experiments show the Ae. aegypti mortality rate against permethrin 0.25% for 24 hours is 26% which shows the occurance of resistance. Besides that, the permethrin mortality times are shown as LT50, LT90, LT99 for 6611,636 minutes, 280603,776 minutes, and 5958807,272 minutes respectively. Resistance to permethrin in Ae. aegypti was identified so that the use of permethrin 0.25% needs to be considered.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Kurnia Pertiwi
"

Latar belakang: Pedikulosis kapitis merupakan masalah kesehatan yang umumnya terjadi pada anak-anak usia 3-12 tahun di seluruh dunia. Losio permetrin 1% merupakan terapi pilihan pertama untuk pedikulosis kapitis dan obat ini tersedia di Indonesia. Saat ini mulai ada laporan resistensi penggunaan permetrin 1% di beberapa negara. Di Indonesia belum ada data resistensi permetrin. Dilaporkan permetrin 5% dapat digunakan untuk pedikulosis kapitis yang resisten terhadap permetrin 1%. Sepengetahuan penulis belum pernah ada uji klinis dengan kontrol yang membandingkan losio permetrin 1% dengan 5% sebagai terapi pedikulosis kapitis.

Tujuan: Mengetahui efektivitas dan keamanan penggunaan losio permetrin 1% dan losio permetrin 5%.

Metode: Rancangan studi menggunakan uji klinis acak tersamar ganda. Subyek penelitian adalah santri perempuan di Pondok Pesantren di Cibinong. Subyek yang memenuhi kriteria penerimaan dialokasikan secara acak mendapatkan terapi losio permetrin 1% (LP1) dan losio permetrin 5% (LP5). Pengobatan dilakukan 2 kali dengan jarak 7 hari. Penilaian efektivitas dilakukan pada hari ke-7 dan hari ke-14. Subyek dinyatakan sembuh bila tidak ditemukan kutu hidup saat evaluasi. Penilaian efek samping dinilai pada hari ke-0 yaitu 10 menit setelah pengolesan, 7 hari setelah pengobatan pertama, 7 hari setelah pengobatan kedua yaitu hari ke-14.

Hasil:

Sebanyak 48 subyek ikut dalam penelitian ini. Terdapat 1 SP drop out dari kelompok LP5. SP yang sembuh pada kelompok LP1 di hari ke-7 dan ke-14 adalah sebanyak 15 SP (62,5%) dan 23 SP (95,8%), sedangkan pada kelompok LP5 adalah 15 SP (65,2%) dan 22 SP (95,7%). Tidak terdapat perbedaan angka kesembuhan yang bermakna secara statistik antara kedua kelompok pada hari ke-7 dan ke-14 (p=1,000). Efek samping subyektif pada kedua kelompok yang paling banyak ditemukan adalah rasa panas di kelompok LP1 sebanyak 3 orang dan di kelompok LP5 sebanyak 2 orang.

Simpulan:

Efektivitas LP1 dan LP5 pada pedikulosis kapitis tidak berbeda bermakna. Angka kesembuhan yang didapatkan pada hari ke-7 dan hari ke-14 serupa antara kedua kelompok. Selain itu tidak didapatkan perbedaan keamanan antara LP1 dan LP5 yang bermakna secara statistik.


Background: In the worldwide pediculosis capitis is a community disease commonly affected among children 3 to 12 years of age.  Permethrin lotion 1% is drug of choice for pediculosis capitis and available in Indonesia. In many countries, there are reported resistency of permethrin 1%. There is no data of permethrin resistency in Indonesia. Permethrin 5% has been reported useful for resistance cases of permethrin 1%. As the author’s knowledge there is no previous clinical trial comparing permethrin lotion 1% and 5% as pediculosis capitis therapy.   

Objective: To know the effectivity and safety of permethrin lotion 1% and 5% in the treatment of pediculosis capitis.

Methods: A randomized control study of woman boarding school student in Cibinong. Patient who fulfilled inclusion criteria, allocated to receive permethrin lotion 1% and 5% accordance with randomization. Treatment is done twice with distance 7 days. The effectivity assest at day-7th and day-14th. Cure, if there is no life lice on subject at the evaluation. The adverse effect assest 10 minutes after first application, day-7th, and seventh day after second application at day-14th.

Results:

A total of 48 subjects were enrolled. One subject dropped out. On day-7th and day-14th there were 15 subject (62,5%) and 23 subject (95,8%) cured at group LP1, likewise at group LP5 there were 15 subject (65,2%) and 22 subject (95,7%) cured.  There was no statistical difference on the effectivity between both group on day-7th and day-14th (p=1,000). The most common subjective side effect on both group was burn, 3 subject on group LP1 and 2 subject on group LP5.

Conclusion:

There was no statistical differences on the effectivity between group LP5 and LP1. Cure rate on day-7th and day-14th on both group similar. There was no statistical differences on side effect between group LP1 and LP5.

 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Natasha Marianne Setiabakti
"ABSTRAK
Skabies adalah penyakit kulit yang biasanya terdapat di lingkungan padat disertai sanitasi yang buruk. Pengobatan lini pertama skabies adalah permetrin krim yang dioleskan ke seluruh badan, namun permetrin menimbulkan rasa tidak nyaman seperti terbakar, merah dan gatal. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas terapi skabies menggunakan permetrin hanya di lesi untuk mengurangi efek samping. Penelitian repeated cross sectional ini dilakukan pada semua santri yang menderita skabies di pesantren di Jakarta Timur pada bulan Maret-April 2014. Diagnosis skabies ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan dermatologik. Santri positif skabies diinstruksikan untuk mengoleskan permethrin krim di lesi saja dan empat minggu kemudian dinilai angka kesembuhannya. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 20 dan diuji dengan chi square. Terdapat 44 dari santri positif skabies; 41 santri laki-laki dan perempuan. Uji chi-square menunjukkan yang berarti ada perbedaan bermakna prevalensi skabies pada santri laki-laki dan perempuan. Sebanyak 40 santri sembuh dari skabies (angka kesembuhan Tidak terdapat perbedaan signifikan antara tingkat kesembuhan skabies pada santri laki-laki dan perempuan (chi square Disimpulkan permetrin krim 5% yang dioleskan hanya di lesi efektif mengobati skabies dengan angka kesembuhan

ABSTRACT
Scabies is infectious skin diseases that usually occurs in overcrowded places with bad sanitation. First line drug used for the treatment of scabies is permethrin cream applied to the whole body. However application of permethrin cream to whole body causes a discomfort to the patient as well as a lot of side effects, such as burning sensation, pruritus and redness. Objective of this research is to evaluate effectiveness of scabies treatment using permethrin in lesion only application. This repeated cross-sectional study is done in a pesantren in East Jakarta on March April 2014. Diagnosis of scabies is done from anamnesis and dermatological examination. Students with positive scabies infection are instructed to use permethrin cream to the lesion only and four weeks later are evaluated from the cure rate of the disease. The data is then analyze using SPSS 20 and tested with chi square test It is found that 44 out of 188 students are scabies positive 41 students are male and 3 are female. Using chi square test which means that there is a significant difference in the prevalence of scabies in male and female students From the second evaluation it is found that 40 students are treated from scabies There is no significant difference between the cure rate of permethrin amongst male and female student in this pesantren In conclusion, permethrin cream when applied to the lesion only is effective to treat scabies with cure rate of "
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Shafiq Advani
"ABSTRAK
Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh parasit mikroskopis, Sarcoptes scabiei. Hunian yang padat dan kebiasaan buruk mengenai kebersihan adalah faktor predisposisi penyakit skabies. Saat ini, pengobatan metode standar adalah aplikasi permethrin 5% krim ke seluruh tubuh. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas permethrin 5% terapi standar terhadap murid pesantren yang memiliki kebiasaan berwudhu lima kali sehari serta padat hunian dengan menghitung angka kesembuhan. Penelitian ini dilakukan di sebuah pesantren yang terletak di Jakarta Selatan dari bulan Juli 2013 sampai September 2013 dengan metode desain eksperimen. Subyek yang positif scabies diobati dengan krim permetrin 5% yang dioleskan ke seluruh tubuh lalu dibersihkan (mandi memakai sabun) setelah 10 jam. Pengobatan dinilai efektif jika angka kesembuhan pada minggu ke-4 lebih dari 90%. Evaluasi pengobatan dilakukan pada minggu ke-4 dan ke-5. Dari 98 murid yang diperiksa, 67 (68,4%) orang mengidap scabies dengan lokasi lesi paling sering di bokong (75,6%). Evaluasi pada mingguke-4 menunjukkan, angka kesembuhan 90% dan minggu ke-5 adalah93,3%. Tidak terdapat perbedaan signifikan pada angka kesembuhan minggu ke-4 dan ke-5 (McNemar, p=0,025). Disimpulkan bahwa krim permetrin 5% yang dioleskan dengan metode standar efektif untuk mengobati skabies.

ABSTRACT
Scabies is a contagious skin disease that caused by microscopic mite, known as Sarcoptes scabiei. Overpopulated places followed by unhygienic behavior are predisposing factors to develop scabies infestation. The current standard treatment is topical permethrin 5% cream that applied over the body despite the area of the lesion. In this study, the aim is to assess the effectiveness of permethrin 5% standard treatment in Islamic boarding school students who have habit of ablution five times a day and living in a crowd by calculating the cure rate. It was conducted in an Islamic boarding school in South Jakarta from July 2013 until September 2013. Experimental design was used. Subjects with scabies were given the standard treatment and should be washed (shower and soap was used) after 10 hours. Treatment is considered effective if the cure rate on week IV is equal to or >90%. Evaluation was done on week IV and week IV. Out of 98 examined students, 67 (68.4%) of them were scabies positive with bottom as the most frequent affected area (75.6%). On week IV and week V, most of them were cured with cure rate of 90.0% and 93.3% respectively. However, there is no significant difference (McNemar, p=0.625) between the cure rate on week IV or week V. In conclusion, permethrin 5% cream standard treatment is effective in curing scabies."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rose Amalia Haswinzky
"Latar Belakang. Skabies banyak terdapat di komunitas padat penghuni dan higiene rendah. Pengobatan standar skabies dengan pengolesan krim permetrin 5% selama 10 jam ke seluruh tubuh. Efek samping permetrin adalah eritema, pruritus, dan sensasi panas. Oleh karena itu, timbul pemikiran untuk modifikasi terapi standar dengan mengoleskan permetrin di lesi saja disertai perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Metode. Penelitian dengan desain kuasi eksperimental dilakukan di pesantren daerah Bogor dan Jakarta. Penelitian diawali dengan anamnesis dan pemeriksaan dermatologi untuk mendiagnosis skabies pada santri (subjek). Subjek yang positif skabies dibagi dua kelompok. "Hasil. Prevalensi skabies di pesantren Bogor adalah 41% dan prevalensi di pesantren Jakarta adalah 32%. Pengolesan krim permetrin 5% di seluruh tubuh dan di lesi saja mengurangi gatal secara bermakna (p<0,001) di seluruh lokasi lesi. Angka kesembuhan skabies setelah pengolesan permetrin di seluruh tubuh adalah 85% dan di lesi 91%. Tidak terdapat perbedaan bermakna (Uji s pada kesembuhan lesi skabies di seluruh tubuh dengan di lesi saja dengan RR 1,8 (0,6-5,0). Permetrin 5% efektif untuk mengobati skabies dan tidak terdapat perbedaan bermakna pada hasil pengobatan dengan kedua cara pengolesan permetrin. 

Scabies mainly found in the densely populated areas and poor hygiene. Scabies common treatment is applying permethrin 5% for 10 hours to the entire body. Side effects of permethrin are erythema, pruritus, and burn sensation. There are several thoughts developed to modify the common treatment of scabies by applying permethrin cream only to the lesions followed with clean and healthy behavior known as Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). e study was designed with quasi- experimental design and conducted in boarding schools in Bogor and Jakarta. The study began with history taking and dermatological examinations to diagnose scabies amongst the students (subject). Subjects with positive results was divided into two groups. The prevalence of scabies in boarding schools in Bogor is 41% and 32% in Jakarta. Applying permethrin 5% to the entire body and only to the lesions reduce pruritus throughout the lesions significantly (p<0,001). Scabies recovery rate after using scabies common treatment is 85% and 91% only to the effected lesions. There is no significant difference (Chi squared test, Fisher test) on lesion recovery between two methods with RR 1,8 (0,6-5,0). Permethrin cream 5% is effective to treat scabies and there is no significant difference between the results of applying cream with two methods. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryadi Islami
"Ae. aegypti merupakan nyamuk yang dapat menularkan berbagai patogen penyakit seperti virus, bakteri dan parasit sehingga disebut sebagai vektor. Berbagai penyakit manusia yang diperantarai oleh nyamuk Ae. aegypti antara lain adalah demam berdarah DBD , Chikungunya, Yellow Fever dan Zika. Terjadinya resistensi pada berbagai insektisida, termasuk piretroid merupakan masalah yang sekarang dihadapi di berbagai negara. Pada penelitian ini dilakukan uji bioassay WHO pada Ae. aegypti Palembang dan Jakarta dengan menggunakan insektisida piretroid permetrin 0,25 . Fragmen gen VGSC yang berkaitan dengan resistensi piretroid L982, S989, I1011, L1014, V1016 dan F1534 dari strain resistan dan sensitif diamplifikasi dan dianalisis. Uji kerentanan menunjukkan adanya resistensi pada Ae. aegypti Palembang dan Jakarta. Dari hasil analisis fragmen gen VGSC diketahui terdapat mutasi S989P dan/atau V1016G pada Ae. aegypti Palembang resistan dan S989P dan/atau V1016G pada Ae. aegypti Jakarta resistan.

Ae. aegypti mosquito is a vector that could transmit various pathogens, such as viruses, bacteria, and parasites. Several human diseases transmitted by Ae. aegypti mosquito are dengue fever DHF , Chikungunya, Yellow Fever and Zika. The occurance of resistance to various insecticides, including pyrethroid, is a current problem faced by various countries. In this research, a WHO bioassay test on Palembang and Jakarta Ae. aegypti was conducted using 0.25 permethrin pyretroid insecticide. VGSC gene fragments associated with pyrethroid resistance L982, S989, I1011, L1014, V1016 and F1534 of resistant and sensitive strains were amplified and analyzed. The test showed the presence of resistance in Palembang and Jakarta Ae. aegypti. From the results of VGSC gene fragment analyses, it was known that there were mutations S989P and or V1016G on resistant Palembang Ae. aegypti and S989P and or V1016G on resistant Jakarta Ae. aegypti.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library