Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ghafur Rasyid Arifin
"ABSTRACT
Latar Belakang: Defisiensi vitamin B12 belum diketahui secara jelas insidensi dan prevalensinya di seluruh dunia dan hanya terdapat penelitian di daerah-daerah tertentu. Terdapat indikasi defisiensi asam folat dan vitamin B12 menjadi masalah kesehatan masyarakat dalam beberapa negara. Dalam beberapa penelitian, ditemukan bahwa kadar vitamin B12 yang rendah berhubungan dengan terjadinya perlemakan hati. Kondisi perlemakan hati memiliki spektrum yang luas, dari perlemakan hati sederhana, steatohepatitis, fibrosis, hingga sirosis hati. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan gambaran histopatologi perlemakan hati pada tikus dengan diet restriksi vitamin B12 dalam durasi waktu tertentu. Metode: Penelitian dilakukan dengan 18 ekor tikus Sprague-Dawley yang terbagi dalam 3 kelompok: (1) kelompok kontrol dengan diet normal selama 16 minggu; (2) kelompok perlakuan dengan diet restriksi vitamin B12 selama 8 minggu; dan (3) kelompok perlakuan dengan diet restriksi vitamin B12 selama 16 minggu. Setelah masa perlakuan selesai, hewan coba didekapitasi dan diambil jaringan hati dan dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin untuk diamati perlemakan hati yang terjadi.Hasil: Ditemukan steatosis mikrovesikular pada ketiga kelompok. Hanya sedikit ditemukan steatosis markovesikular, inflamasi lobular, dan pembengkakan hepatiosit pada kelompok perlakuan. Pemberian diet restriksi vitamin B12 menunjukkan perbedaan yang bermakna ketika dilihat melalui persentase pelemakan hati yang terjadi (p=0,001). Analisis post-hoc dilakukan dan didapatkan hasil yaitu terdapat perbedaan perlemakan hati yang bermakna pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok perlakuan 8 minggu dan pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok perlakuan 16 minggu. Kesimpulan: Diet restriksi vitamin B12 menunjukkan adanya perbedaan gambaran perlemakan hati yang bermakna yang terlihat pada gambaran histologi jaringan hati setelah perlakuan 8 dan 16 minggu.

ABSTRACT
Introduction: Vitamin B12 deficiencys incidence and prevalence throughout the world are still unknown  and studies only found in certain areas. There is an indication that folate and vitamin B12 deficiency will be global health problem in some countries. In some research, it was found that low level of serum vitamin B12 was associated with non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). NAFLD has a broad spectrum, from simple steatosis, steatohepatitis, fibrosis, until cirrhosis. Objective: This research aimed to investigate the histopathological changes of steatosis in rats induced with vitamin B12 restriction diet within observation period. Method: This experimental study was conducted with 18 Sprague-Dawley rats that were divided equally in 3 groups: (1) control group with normal diet for 16 weeks; (2) treatment group with vitamin B12 restriction diet for 8 weeks; and (3) treatment group with vitamin B12 restriction diet for 16 weeks. After observation period was finished, decapitation was performed to obtain rats liver tissue. Liver tissue then stained with Hematoxylin-Eosin to observe the steatosis percentage. Result: Microvesicular steatosis was observed in all groups. There were a little macrovesicular steatosis, lobular inflammation, and hepatic ballooning in treatment group. Steatosis percentage showed significant result when all groups were compared (p=0,001). Post-hoc analysis then performed; there was significant difference of steatosis percentage of control group compared with 8 weeks treatment group and control group compared with 16 weeks treatment group. Conclusion: Vitamin B12 restriction diet showed significant difference of steatosis showed in liver tissue after 8 and 16 weeks of treatment."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardya Gustada Hikmahrachim
"ABSTRAK
Hiperkolesterolemia adalah kondisi gangguan metabolik yang sering dijumpai pada masyarakat dunia. Karena berkaitan erat dengan insidensi dislipidemia dan penyakit kardiovaskular, berbagai peneliti telah mencoba untuk menemukan terapi farmakologi terbaik untuk menurunkan kadar kolesterol. Diantara beberapa obat pilihan utama adalah asam fibrat. Saat ini dikembangkan pengobatan dengan tanaman tradisional, salah satunya adalah Acalypha indica. Tanaman ini terbukti untuk penyembuhkan pneumonia, artritis, dan infeksi. Polifenol dan flavonoid yang terdapat dalam Acalypha indica diduga berperan penting dalam efek antihiperkolesterolemia yang dimilikinya. Diharapkan juga kandungan pada tanaman ini dapat menurunkan efek samping penggunaan obat konvensional. Uji preklinis ini bertujuan untuk mengetahui efek antihiperkolesterolemia dari ekstrak etanol akar Acalypha indica pada perlemakan hati, dibandingkan dengan terapi asam fibrat. Dua puluh dari dua puluh lima tikus Sprague-Dawley diinduki diit tinggi kolesterol-fruktosa selama empat minggu hingga mencapai kondisi tinggi kolesterol. Sampel dibagi menjadi lima grup berdasasrkan intervensinya, yakni kontrol positif, kontrol negatif, terapi gemfibrozil, terapi ekstrak Acalypha indica, dan terapi kombinasi gemfibrozil dan ekstrak Acalypha indica. Tikus kemudian diterminasi pada akhir periode intervensi. Hati tikus diambil dan diproses dengan blok parafin dan pewarnaan hematoksilin-eosin. Jaringan hati dinilai dengan kriteria Clinical Research Network Scoring untuk Steatohepatitis non alkoholik (NASH). Ekstrak Acalypha indica menurunkan deposisi lemak secara signifikan (p = 0,014), sama baiknya dengan terapi gemfibrozil (p = 0,003) dan terapi kombinasi (p = 0,003). Ekstrak etanol akar Acalypha indica merupakan agen antihiperkolesterolemia yang cukup menjanjikan untuk mengurangi deposisi lipid dan kejadian steatohepatitis non alkoholik pada jaringan hati tikus.

ABSTRACT
Hypercholesterolemia is a common metabolic disorder found worldwide. As it is highly associated with dyslipidemia and cardiovascular disease incidence, researchers have been trying to find the best pharmacological therapy to lower cholesterol level. Among the first line choices drugs are fibrate. Acalypha indica, known as ?Akar Kucing? in Indonesian language, is a traditional plant used as medicine in most Asia countries. Previously, it has been proved to help to cure pneumonia, arthritis, and infection. Polyphenol and flavonoid found in Acalypha indica are considered to play an important role in its antihypercholesterolemia effect. It is also expected to have lower side effect than conventional drugs. This preclinical trial was aimed to investigate antihypercholesterolemia effect of Acalypha indicaroot extract on fatty liver tissue, compared to fibrate treatment. Sixteen from twenty Sprague-Dawley rats were induced with high cholesterol-fructose diet for four weeks to reach fatty liver state. Samples were divided into four groups based on its intervention. Each group was processed with a four-week therapy with Acalypha indicaroot extract, gemfibrozil, combination of Acalypha indicaroot extract and gemfibrozil, and without any therapy, respectively. Rats were terminated at the end of intervention period. Liver were taken and processed with paraffin block and hematoxylin-eosin stain. Liver tissues were assessed using Clinical Research Network Scoring for Non Alcoholic Steatohepatitis (NASH). Result: Acalypha indicaroot extract significantly reduced lipid deposition in fatty liver tissue (p = 0,014), as good as fibrate therapy using gemfibrozil (p = 0,003) and fibrate-Acalypha indica therapy (p = 0,003). Acalypha indica root extract is promising for use as antihypercholesterolemia agent to reduce lipid deposition and Non Alcoholic Steatohepatitis incidence in fatty liver tissue.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nico Gandha
"Latar belakang: Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit yang kronik, ditandai oleh plak eritematosa dan skuama kasar berlapis. Psoriasis dihubungkan dengan berbagai penyakit penyerta. Penyakit perlemakan hati nonalkoholik (PPHNA) merupakan salah satu penyakit penyerta yang sering ditemukan dan dapat memengaruhi derajat keparahan psoriasis, begitu pula sebaliknya. Penelitian untuk mengetahui korelasi derajat keparahan psoriasis dan perlemakan hati nonalkoholik (PHNA) belum pernah dilakukan.
Tujuan: Mengetahui korelasi derajat keparahan psoriasis dan derajat PHNA.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan terhadap pasien psoriasis dewasa di Poliklinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo pada bulan Desember 2017-Februari 2018. Dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis untuk mendapatkan nilai derajat keparahan psoriasis (psoriasis area and severity index; PASI) dan dicatat pula nilai body surface area (BSA). Penelitian dilanjutkan dengan pemeriksaan derajat PHNA pada semua pasien dengan menggunakan controlled attenuation parameter (CAP).
Hasil: Didapatkan total 36 subjek dengan rerata umur 49,08 tahun (+15,52 tahun). Proporsi psoriasis derajat ringan, sedang, dan berat berturut-turut adalah 50%, 27,8%, dan 22,2%. Median PASI 6,1 (2-38,4) dan median BSA 7,5 (2-93). Proporsi PPHNA berdasarkan CAP adalah 77,8%. Rerata skor CAP 250,03+45,64. Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan PASI dengan derajat PHNA berdasarkan CAP (r=0,258; p=0,128). Namun bila digunakan BSA pada penilaian derajat keparahan psoriasis, didapatkan hasil korelasi yang bermakna (r=0,382; p=0,021). Ditemukan bahwa indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar perut berkorelasi positif secara bermakna dengan skor CAP (berturut-turut r=0,448, p=0,006 dan r=0,485, p=0,003).
Kesimpulan: Tidak ditemukan korelasi yang bermakna secara statistik antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan PASI dengan derajat PHNA. Namun ditemukan korelasi yang bermakna antara derajat keparahan psoriasis berdasarkan BSA dengan derajat PHNA. Luas lesi kulit psoriasis berpengaruh terhadap derajat PHNA. Selain itu terdapat beberapa faktor, misalnya IMT dan lingkar perut, yang dapat memengaruhi derajat keparahan PHNA pada pasien psoriasis.

Background: Psoriasis is a chronic inflammatory skin disease, characterized by erythematous plaques and thick scales. Psoriasis is associated with various comorbidities. Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) is one of the most common comorbidities that can affect the severity of psoriasis, vice versa. Research regarding the correlation of the severity of psoriasis and nonalcoholic fatty liver (NAFL) has never been done.
Objective: To measure the correlation of the severity of psoriasis and the degree of NAFL. Methods: A cross-sectional study of adult patients with psoriasis was conducted in Dermatovenereology outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital from December 2017 through February 2018. Psoriasis severity (psoriasis area and severity index; PASI) and body surface area (BSA) were recorded and compared with NAFL severity by controlled attenuation parameter (CAP).
Results: A total of 36 subjects were enrolled with an average age of 49.08 years (+15.52 years). The proportions of mild, moderate, and severe psoriasis were 50%, 27.8%, and 22.2%, respectively. Median PASI was 6.1 (2-38.4) and BSA was 7.5 (2-93). The proportion of NAFLD was 77.8%. The mean of CAP score was 250.03+45.64. There was no statistically significant correlation between the severity of psoriasis based on PASI and CAP score (r = 0.258; p = 0.128). However, based on BSA, we found significant correlation (r = 0.382; p = 0,021). The body mass index (BMI) and abdominal circumference were significantly correlated with CAP score (r = 0.448, p = 0.006 and r = 0.485, p = 0.003, respectively).
Conclusion: There was no statistically significant correlation between the severity of psoriasis based on PASI and nonalcoholic fatty liver degree, but a statistically significant correlation was found when using BSA in measuring the severity of psoriasis. In psoriasis, the extent of skin lesions may be influential to the degree of nonalcoholic fatty liver. In addition there are several factors, such as BMI and abdominal circumference, which may affect the severity of nonalcoholic fatty liver in psoriasis patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Aleta Violina
"Hati berlemak adalah penyakit ketika penumpukan lemak hati mencapai 5% dari berat hati. Hingga saat ini belum ada terapi farmakologis yang ideal, sehingga terapi non farmakologis masih menjadi terapi pertama yang diberikan kepada penderita fatty liver. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model hewan perlemakan hati dan mengevaluasi pemberian pioglitazone pada hewan model. Studi model hewan dilakukan dengan induksi diet tinggi lemak saja dan induksi oral diet tinggi lemak dan propylthiouracil selama 42 hari. Selanjutnya model hewan digunakan untuk mengevaluasi pemberian pioglitazone menggunakan tikus putih jantan sebanyak 30 ekor yang dibagi menjadi 5 kelompok, kelompok normal, kelompok kontrol negatif, dan tiga variasi dosis pioglitazone (1 mg, 2 mg dan 4 mg/200 g BB/hari). Pada hari ke 43, pioglitazone diberikan secara oral selama 28 hari hingga 70 hari. Kemudian diukur kadar AST, ALT, dan trigliserida, dan diamati morfologi hati. Selain itu, dilakukan pengukuran parameter lain seperti kolesterol total, HDL, LDL, dan aktivitas antioksidan, Gpx dan SOD. Kelompok dengan diet induksi tinggi lemak dan propyltiouracil menunjukkan peningkatan ALT dan trigliserida secara signifikan lebih tinggi (p <0,05) dibandingkan dengan diet tinggi lemak saja. Pioglitazone dengan dosis 2 mg/200 g BB/hari menunjukkan penurunan yang signifikan pada AST, ALT, trigliserida, kolesterol total, HDL dan LDL dibandingkan dengan dosis lain. Studi ini menyimpulkan bahwa induksi diet tinggi lemak dengan propylthiouracil lebih baik daripada induksi diet tinggi lemak saja. Pemberian pioglitazone dengan dosis 2 mg/200 g BB/hari menunjukkan perbaikan kondisi hati berlemak terbaik dibandingkan dengan dosis lainnya.

Fatty liver is a disease when the accumulation of liver fat reaches 5% of the liver weight. Until now, there is no ideal pharmacological therapy, so non-pharmacological therapy is still the first therapy given to people with fatty liver. This study aims to obtain a fatty liver animal model and evaluate the administration of pioglitazone in animal models. Animal model studies were performed with induction of a high-fat diet alone and oral induction of a diet high in fat and propylthiouracil for 42 days. Furthermore, animal models were used to evaluate the administration of pioglitazone using 30 male white rats which were divided into 5 groups, normal group, negative control group, and three variations of pioglitazone dosage (1 mg, 2 mg and 4 mg/200 g BW/day.). On day 43, pioglitazone was given orally for 28 days to 70 days. Then the AST, ALT, and triglyceride levels were measured, and the liver morphology was observed. In addition, other parameters were measured such as total cholesterol, HDL, LDL, and antioxidant activity, Gpx and SOD. The group on the high-fat and propyltiouracil induction diet showed significantly higher elevations in ALT and triglycerides (p <0.05) compared to the high-fat diet alone. Pioglitazone at a dose of 2 mg/200 g BW/day showed a significant reduction in AST, ALT, triglycerides, total cholesterol, HDL and LDL compared to other doses. This study concluded that the induction of a high-fat diet with propylthiouracil was better than the induction of a high-fat diet alone. The administration of pioglitazone at a dose of 2 mg/200 g BW/day showed the best improvement in fatty liver conditions compared to other doses."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Diandra Sari
"Obesitas merupakan masalah utama pada kesehatan masyarakat dunia yang diketahui juga sebagai salah satu faktor risiko penyakit perlemakan hati non alkoholik(NAFLD). Sistem penilaian untuk mendeteksi NAFLD telah dikembangkan dan divalidasi di Indonesia. Namun, pola makan orang obesitas yang mungkin memberikan pengaruh terhadap NAFLD masih belum diketahui. Penelitian ini mengevaluasi asupan sukrosa pada obesitas dewasa di Jakarta dan hubungannya dengan skor NAFLD. Ini adalah studi potong lintang berbasis komunitas di antara orang dewasa dengan indeks massa tubuh (BMI)>25 kg/m2 antara September dan Oktober 2018 di Jakarta, Indonesia. Asupan sukrosa dinilai menggunakan food recal l2x24 jam, dihitung berdasarkan tabel komposisi makanan Indonesia dan Amerika dengan menggunakan Nutrisurvey 2007.Skor NAFLD terdiri dari enam faktor risiko, yaitu BMI>25 kg/m2, jenis kelamin laki-laki, usia>35 tahun, trigliserida>150 mg/dL, kadar kolesterol lipoprotein kepadatan tinggi<40 mg/dL untuk pria atau <50 mg/dL untuk wanita, dan kadar alanin aminotrans feraseserum >35 U/L. Dari 102 subjek yang terdaftar, 75 orang(73,5%) adalah wanita. Median dari total skor NAFLD adalah 6,7 dengan rentang dari 3,6 hingga 10,2. Median asupan karbohidrat total adalah 179,6 (54,1-476,8) g/hari, dan median total asupan sukrosa adalah 47,0 (13,7-220,5) g/hari. Asupan sukrosa lebih tinggi signifikan pada responden dengan skor NAFLD >6,7 dibandingkan <6,7. (47,8 vs. 45,3 g; p=0,042; Mann-Whitney U test). Analisis multivariat mengonfirmasi adanya hubungan asupan sukrosa dan skor tinggi perlemakan hati non alkoholik.
Kesimpulan: Asupan sukrosa tidak memiliki hubungan bermakna dengan skor NAFLD pada penyandang obesitas dewasa, namun bermakna jika dikaitkan dengan skor tinggi perlemakan hati non alkoholik. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan variabel tambahan pada skor NAFLD.

Obesity is a major problem in a world public health which is also known as one of the risk factors of non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). An assessment system for detecting NAFLD has been developed and validated in Indonesia. However, the diet pattern of obese people who might have an effect on NALFD is still unknown. This study evaluated sucrose intake among obese adults in Jakarta and ints association with NAFLD score. This was a community-based cross sectional study among adults with body mass index (BMI) >25 kg/m2 between September and Oktober 2018 in Jakarta, Indonesia. Sucrose intake was assessed using 2x24-hour food recall, calculated based on the Indonesian and American food composition tables using dietary software Nutrisurvey. The NAFLD score consists of six risk factors, i.e. BMI >25 kg/m2, male sex, age >35 years, triglycerides >150 mg/dL, high density lipoprotein cholesterol levels <40 mg/dL for men or <50 mg/dL for women, and serum alanine aminotransferase levels >35 U/L. A total of 102 subjects were recruited; 75 (73.5%) of them were women. The median of total NAFLD scores was 6.7, ranging from 3.6 to 10.2. Median total carbohydrate intake was 179.6 (54.1-476.8) g/day, while the median total sucrose intake was 47.0 (13.7-220.5) g/day. Sucrose intake was significantly higher in patients with NAFLD score >6.7 than <6.7 (47.8 vs. 45.3 g; p=0.042; Mann-Whitney U test). Multivariate analysis confirmed the association of sucrose intake and higher total NAFLD score.
Conclusions: Sucrose intake and NAFLD score have no significant association among obese adults. Further research is needed to develop additional variables on NAFLD score.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57776
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Philip Waruna
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Kanker payudara merupakan kanker yang menempati urutan pertama dari keseluruhan kanker pada perempuan di Indonesia dan menurut data dari Indonesia Journal of Cancer 2012 menyebabkan kematian sebesar 458.000 perempuan. Kepadatan payudara merupakan salah satu faktor resiko terjadinya kanker payudara yang dipicu oleh adanya estrogen yang menjadi prekursor jaringan fibrogladular menjadi padat. Pada perempuan dengan kanker payudara dan densitas payudara yang tinggi ditemui juga adanya perlemakan hati yang tinggi. Hubungan antara pasien dengan kanker payudara dengan densitas payudara yang tinggi dan perlemakan hati masih belum banyak diteliti. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kepadatan jaringan payudara yang diperiksa dengan mammografi dan perlemakan hati yang diperiksa dengan ultrasonografi serta melihat hubungannya dengan estrogen reseptor yang diperiksa dengan immunohistokimia.
Metode: Penelitian potong lintang menggunakan data sekunder ultrasonografi abdomen dan mammografi dari sistem PACS RS Kanker Dharmais. Penilaian yang dilakukan dengan melihat derajat kepadatan payudara yang diperiksa dengan mammografi dan derajat perlemakan hati yang diperiksa dengan ultrasonografi serta melihat status estrogen reseptor dari immunohistokimia pada pasien kanker payudara tersebut. Analisa data dilakukan dengan mengelompokan kepadatan payudara sampai 50 % dan kelompok lain dengan kepadatan lebih dari 50% dan membandingkan dengan perlemakan hati ringan dan berat.
Hasil: Pengelompokan pasien dengan kepadatan payudara sampai 50% menunjukkan terdapat banyak perlemakan hati berat, demikian juga pada kepadatan payudara yang lebih besar dari 50% menunjukkan terdapat lebih banyak lagi perlemakan hati derajat berat namun secara statistik tidak terdapat hubungan yang signifikan dengan Nilai Odds Ratio (OR) = 0.60 dengan 95% Interval Kepercayaan 0.12 – 3.01.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kecenderungan hubungan antara kepadatan jaringan payudara yang tinggi dengan perlemakan hati yang juga tinggi walaupun secara statistik tidak menunjukkan hasil yang signifikan.

ABSTRACT
Background and Objectives: Breast cancer are the most common cancer and the first in all cancer that affected women in Indonesia and the data from Indonesian Journal of Cancer 2012 said, it cause death for about 458.000 women. Breast density are one of the risk factor that cause breast cancer and estrogen are the precursor for high density of the fibroglandular tissue. Women with breast cancer and high breast density are found to have a high degree of fatty liver. The relationship between breast cancer with high breast density and high fatty liver was unknown. The aim of these research wants to evaluation the breast density on mammography and fatty liver on ultrasound and the relationship with estrogen reseptor which was examined with immunohistochemistry.
Method: A cross sectional research is perform using mammography and ultrasound from PACS system. These research wants to evaluation the high breast density with mammograms and fatty liver with ultrasound and their relationship with estrogen receptor by immunohistochemistry. Data was merged in to two groups, one group with breast density until 50% and the other group was breast density more than 50% and compared it with mild and severe fatty liver.
Result: Patient with breast density until 50% showed more severe fatty liver as well as patient with breast density more than 50% had more severe fatty liver, although statistically had no significant relationship with Odds Ratio (OR) = 0,60 and confidence interval 0,12-3.01.
Conclusion: There are tendency relationship between higher breast density and higher fatty liver although statistically showed no significant relationship."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library