Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
Naufal Yudawan
"Pengaruh yang kuat paham Relativisme Budaya dalam konteks negara-negara Timur, Komunis, maupun Gerakan Non-Blok yang menjunjung tinggi nilai kolektivitas dan kebudayaan sehingga menganggap paham Universalisme merupakan bagian dari Imperialisme Budaya. Penolakan tersebut termanifestasi dalam batasan-batasan hak asasi yang termuat secara eksplisit pada Undang-Undang Dasar atau konstitusi negara sehingga perlu ditelaah secara komprehensif tentang pembatasan hak asasi dalam konstitusi. Metode penelitian hukum yang digunakan adalah Doktrinal dalam mengkaji secara teoritis dan historis-filosofis perumusan Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 perihal pembatasan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Hasil penelitian menunjukan bahwa nilai-nilai historis-filosofis yang ditelisik mulai dari para pendiri bangsa hingga konsolidasi reformasi Indonesia yang tetap mempertahankan kekhas-an nilai-nilai berbangsa dan bernegara. Demikian, korelasi paham Relativisme Budaya dengan pembatasan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi menjadikan paradigma pembatasan hak asasi di Indonesia menemukan formula hak asasi dalam perpaduan paham antara Universalisme dengan Relativisme Budaya menjadi Pluralisme yang berlaku secara preskripsi di Indonesia.
The strong influence of the understanding of Cultural Relativism in the context of Eastern countries, Communists, and Non-Aligned Movements that uphold the values of collectivity and culture so that they consider the understanding of Universalism to be part of Cultural Imperialism. This rejection is manifested in the limitations of human rights that are explicitly contained in the Constitution or the country's constitution, so it is necessary to comprehensively examine the restrictions on human rights in the constitution. The legal research method used is Doctrinal in studying theoretically and historically-philosophically the formulation of Article 28J of the 1945 Constitution regarding the restriction of Human Rights in Indonesia. The results of the study show that the historical-philosophical values examined starting from the founders of the nation to the consolidation of Indonesian reform that still maintains the uniqueness of the values of the nation and state. Thus, the correlation of the understanding of Cultural Relativism with the restriction of Human Rights in the Constitution makes the paradigm of human rights restriction in Indonesia find a human rights formula in the combination of the understanding of Universalism and Cultural Relativism into Pluralism which applies by prescription in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Nabilla Arsyafira
"Keserasian antara kebebasan dan ketertiban sebagai suatu antinomi atau pasangan nilai dibutuhkan untuk mencapai kedamaian sebagai salah satu tujuan hukum. Harmoni kedua nilai tersebut di alam demokrasi negara hukum Indonesia dapat diupayakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga yang berwenang membentuk hukum, yang di antaranya mengatur kemerdekaan pers sebagai elemen penting demokrasi. Dalam rangka memperoleh keserasian yang dimaksud, adakalanya kemerdekaan pers harus dibatasi untuk mencegah ekses kebebasan. Kemerdekaan pers sebagai wujud hak asasi manusia mensyaratkan pembatasan hukum yang sesuai dengan kaidah hak asasi manusia dan konstitusi, di antaranya dibutuhkan untuk memenuhi tujuan-tujuan absah tertentu necessary for a legitimate aim, seperti untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain, dan tanpa merusak esensi hak.
Berdasarkan hasil penelitian, pengaturan kemerdekaan pers di Indonesia oleh hukum positif yang berlaku telah cukup menyelaraskan nilai-nilai kebebasan dan ketertiban dalam aspek pembatasan peliputan, aksesibilitas informasi publik, independensi lembaga regulasi pers, keleluasaan partisipasi pers oleh swasta, dan kebebasan aktivitas jurnalistik. Sedangkan porsi nilai kebebasan masih belum dapat bersanding secara ideal dengan nilai ketertiban dalam aspek jaminan konstitusional kemerdekaan pers dan kemerdekaan berekspresi dan konsekuensi atas pencemaran nama baik pejabat atau negara. Untuk mengusahakan keselarasan nilai-nilai kebebasan dan ketertiban yang lebih menyeluruh dalam menegakkan kemerdekaan pers, diajukan saran untuk melakukan reformasi legislasi demi meminimalisasi kriminalisasi pers dan mempertegas rumusan jaminan konstitusional bagi kemerdekaan pers untuk mencegah penyelewengan terhadapnya.
The consonance of freedom and order as an antinomy or a pair of values is imperative to achieve peace as one of the objectives of law. The harmony between the two values in the realm of democracy that is occupied by Indonesia as a state that abides to the rule of law can be acquired by the Peoples Consultative Assembly through its legislative capacity, which governs, among others, press freedom as a crucial element to democracy. To obtain said consonance, press freedom may sometimes need to be limited in order to prevent an excess of freedom. Inasmuch as press freedom is a manifestation of human rights, legal restrictions upon it must be imposed according to the conditions prescribed by human rights principles and the constitution, namely a justified necessity to accomplish a legitimate aim, such as to protect the rights and freedoms of others, and the exclusion of restrictions jeopardizing the essence of the right concerned. This research finds that the legal regulation of press freedom in Indonesia has rather succeeded in harmonizing the two aforementioned values in the aspects of reporting restrictions, public information accessibility, independence of the press regulatory body, press participation of private parties, and freedom of journalism activities. On the other side, order is more dominant than freedom in the aspects of existing constitutional guarantee for press freedom and freedom of expression and penalties for libelling officials or the state. Finally, a reassessment of the current constitutional guarantee for press freedom and a legislative reform aimed at minimizing press criminalization may prove to be effective in facilitating a more holistic coherence between freedom and order in the preservation of press freedom."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Raihan Al Hadi Nst
"Konflik di Papua telah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan sejak masih dikenal dengan nama Irian Jaya. Sejarah panjang proses integrasi Papua yang bermasalah telah melahirkan konflik yang hingga kini tidak kunjung mencapai kata selesai. Dalam perkembangannya, kini ancaman tidak hanya datang dari kelompok bersenjata yang menginginkan kemerdekaan Papua. Studi terbaru juga menunjukkan besarnya potensi konflik, baik di antara orang Papua itu sendiri, maupun antara orang Papua dengan penduduk pendatang. Untuk menangani situasi di Papua, pemerintah telah melakukan tindakan-tindakan yang patut diduga membatasi Hak Asasi Manusia, seperti pengerahan aparat bersenjata dan pembatasan akses terhadap informasi dan media. Pada masa orde baru, secara faktual Papua bahkan pernah menjadi Daerah Operasi Militer. Uniknya, terlepas adanya indikasi kedaruratan yang nyata, pemerintah tidak pernah mendeklarasikan keadaan darurat secara resmi berdasar hukum. Padahal, menurut doktrin Hukum Tata Negara Darurat, tindakan-tindakan khusus yang membatasi Hak Asasi Manusia tersebut hanya dapat dilakukan dalam suatu keadaan darurat yang dideklarasikan secara resmi. Melalui studi pustaka, penelitian ini berusaha menelusuri norma pembatasan hak asasi manusia dalam keadaan darurat, baik dalam teori, hukum positif di Indonesia, dan pengaturannya dalam konstitusi negara-negara lain. Uraian-uraian menyangkut konflik yang terjadi di Papua juga disajikan untuk menambah pemahaman terhadap persoalan yang ada. Penelitian ini menemukan bahwa penggunaan tindakan-tindakan khusus yang dilakukan dalam penanganan konflik di Papua telah bertentangan dengan asas proklamasi yang dikenal dalam Hukum Tata Negara Darurat. Selain itu, kasus-kasus pembunuhan di luar proses hukum dan penyiksaan juga menunjukkan pelanggaran serius terhadap non-derogable rights yang dijamin Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 4 International Covenant on Civil and Political Rights. Lebih-lebih lagi, ketiadaan pengawasan oleh parlemen dan pengadilan menyebabkan tidak terdeteksinya tindakan-tindakan lain yang patut diduga tidak beralasan dan tidak proporsional terhadap ancaman bahaya yang ada.
The conflict in Papua has been ongoing for decades, dating back to when it was known as Irian Jaya. The troubled integration process has led to a conflict that remains unresolved. Recently, studies have shown that threats come not only from armed groups seeking Papuan independence. Recent studies also show the potential conflicts, both between Papuans themselves, and within the Papuan community and between Papuans and the migrant population. The government's efforts to handle the situation, including the deployment of armed forces and restrictions on information access and the media, have raised concerns about human rights restrictions. Despite indications of an emergency, the government has never officially declared a state of emergency based on law, as required by the Emergency Constitutional Law doctrine. This study aims to explore how human rights restrictions during state of emergency in theory, Indonesian law, and in the constitutions of other countries. In addition, it presents descriptions of conflict in Papua to shed light on existing problems. The research reveals that the special measures used to manage the conflict in Papua conflict with the proclamation principle outlined in the Emergency Constitutional Law doctrine. Furthermore, cases of extrajudicial killings and torture demonstrate serious violations of the non-derograble rights guaranteed by the Article 28I of Constitution of the Republic of Indonesia and the Article 4 of the International Covenant on Civil and Political Rights. The absence of oversight by parliament and the courts has led to the failure to detect other actions alleged to be unreasonable and disproportionate to the gravity of the events."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library