Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Freedy Samuel O H
"
Sebagai bagian dari usaha terus menerus dan Indonesia untuk menuju modernisasi industi pelayaran nasional telah ditargetkan oleh pemenntah sebagai elemen yang esensial dari usaha pengembangan ekonomi nasional Pemenntah Indonesia secara eksplisit telah menyatakan pentingnya secara strategis dan ekonomis pengembangan industri pelayaran nasional yang tangguh dan kuat jelas terlihat bahwa besarnya peluang ketenagakerjaan yang dapat disediakan oleh industri pelayaran juga telah mempengaruhi adanya resnon vang positif dari Pemenntah Krisis yang saat ini dihadapi oleh industri pelayaran nasional dalam jangka panjang dapat mengarah pada kematiannya bila tidak segera dilakukan perubahan terhadap serangkaian kebijakan yarg mempengaruhi industn pelayaran nasional Kondisis Indonesia sebagai negara yang dikelilingi oleh lautan, menyebabkan akses Indonesia ke pasar internasional sebagian besar menggunakan jasa pelayaran Namun ironisnya, pembangunan di bidang pelayaran nasional tidak diprioritaskan sehingga keadaannya sangat ketinggalan dan lemah Defisit pada jasa pelayaran per tahun mencapai US$ 5 8 milyar yang diakibatkan dikuasainya jasa angkutan laut baik ekspor impor ( 97 % ) maupun dalam negeri ( 52 % ) oleh pelayaran asing PT Djakarta Lloyd merupakan satu-satunya flag carrier Indonesia untuk angkutan luar negeri khususnya pada Container Transport Perusahaan saat lm berada pada posisi kurang baik dan segi keuangan maupun segi operasinya Akumulasi hutang dan kerugian dan tahun tahun sebelumnya maupun kondisi armada yang sudah tua menyebabkan perusahaan sukar untuk bersaing dalam dunia pelayaran yang sangat kompetitif Untuk merubah kondisi saat ini demi mencapai kondisi yang dicita-citakan, perusahaan berusaha mencari dan mengembangkan strategi untuk mengembalikan kesehatan perusahaan. Restrukturisasi perusahaan dapat menjadi pembuka jalan bagi krisis yang dialami oleh perusahaan. Pemerintah khususnya Menteri Negara Pendayagunaan BUMN telah menekankan pentingnya restrukturisasi pada BUMN demi untuk meningkatkan efisiensi pertumbuhan dan kemampuan untuk meraih laba demi membantu pemulihan kondisi perekonomian nasional yang masih dalam kondisi krisis PT Djakarta Lloyd pada saat mi sedang berusaha melakukan restrukturisasi internal yang mencakup bidang keuangan usaha serta organisasi dan manajemen Tujuan dari penulisan ini adalah membantu perusahaan dalam merencanakan program restrukturisasinya agar dapat bertahan dalam lingkungannya serta meningkatkan daya saingnya Sebelum membuat program restrukturisasi dilakukan analisis SWOT untuk membantu dalam merencanakan program perubahan dan menganalisa strategi utama j ang sesuai bagi perusahaan Saran saran yang dapat diberikan pada perusahaan adalah bahwa keberhasilan dan restruktunsasi sangat bergantung pada kemampuan manajemen untuk melakukan perubahan terutama perubahan budaya manaiemen dan kepemimpinan (Leadership ) Bila perusahaan mengabaikan salah satunya program restruktunsasi tidak akan berhasil"
2000
T8777
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siswoyo
"BASTRAK
Pada Repelita VI Tahun 1994-1999 telah dicanangkan sasaran jasa-jasa di luar sektor minyak dan gas bumi, yang berupa jasa nonfaktor dan pendapatan faktor. Namun demikian, pada perencanaan sasaran tersebut dijumpai adanya nilai defisit yang semakin membesar, yaitu pada pengangkutan, biaya angkutan, dan jasa-jasa lain, serta bunga dan transfer keuntungan penanaman modal asing dan bank asing. Sementara itu, pada sektor jasa perjalanan, pariwisata, dan transfer tenaga kerja menunjukkan perangkaan yang selalu surplus.
Pokok masalah dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor internal dan eksternal apa yang mendukung dan menghambat usaha pelayaran nasional Indonesia, apakah Paket November 21 Tahun 1988 dapat meningkatkan usaha pelayaran di Indonesia, dan strategi apa yang harus ditempuh oleh pemerintah untuk menumbuhkembangkan usaha pelayaran nasional Indonesia di masa yang akan datang ?
Data yang digunakan sebagai bahan analisis diperoleh dari data sekunder dengan mengumpulkan laporan-laporan, buletin-buletin, dan pustakan lain yang kompeten dengan usaha pelayaran di Indonesia. Penelitian ini juga dilengkapi dengan data yang diperoleh dari hasil wawancara yang mendalam dengan para pengambil keputusan yang berkepentingan dengan usaha pelayaran. Wawancara dilakukan terhadap pejabat pada Direktorat Jenderal Lalulintas Angkutan Laut dan Pengurus Dewan Pimpinan Pusat INSA.
Berdasar hasil analisis menunjukkan bahwa Paket November 21 Tahun 1988 mempunyai pengaruh yang besar dan positif terhadap usah pelayaran di Indonesia, seperti jumlah perusahaan pelayaran dan nonpelayaran mengalami peningkatan dan pangsa dan laju pertumbuhan jumlah dan kapasitas kapal pada armada pelayaran internasional meningkat. Namun demikian, perlu diakui pula bahwa kebijakan ini juga mempunyai dampak yang negatif, seperti ekses demand tenaga kerja pelaut profesional disubstitusi oleh tenaga kerja asing.
Sehubungan dengan penerapan Paket November 21 Tahun 1998, saran yang disampaikan adalah Indonesia harus mempercepat pengembangan kapal samudera modern yang bertonase besar. Tranparansi kinerja industri strategis perkapalan harus ditingkatkan. Pemerintah perlu melakukan diplomasi anti dumping terhadap operasionalisasi kapal oleh negara pemilik kapal atau perusahaan.
"
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Romy Hikmah Tulloh
"Artikel ini membahas peran Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara dalam melakukan penyelidikan terhadap permasalahan PT. Pelayaran Nasional Indonesia. Kurangnya pengalaman dan adanya kesulitan pasca mengambil alih perusahaan pelayaran Belanda membuat manajerial PT. Pelni tidak bekerja secara optimal dan terus merugi secara finansial. Hal ini mendorong Bapekan terlibat dalam upaya pemecahan permasalahan tersebut. Metode sejarah yang digunakan dalam penelitian ini mencakup pengumpulan sumber yang diverifikasi, interpretasi, dan historiografi. Penulis menggunakan sumber arsip, surat kabar sezaman, dan beberapa artikel majalah Departemen Perhubungan Laut sebagai sumber primer dan sekunder. Berbeda dengan kajian-kajian sebelumnya yang membahas permasalahan PT. Pelni di tahun yang sama tanpa adanya campur tangan dari instansi lain, kebaruan penelitian ini yaitu upaya penyelesaian masalah PT. Pelni dengan melibatkan Bapekan. Hasil temuan penelitian ini yaitu, Bapekan berperan aktif melakukan pemetaaan permasalahan di dalam tubuh PT. Pelni. Setelah melakukan pemetaan permasalahan, Bapekan merumuskan saran-saran sebagai bahan pertimbangan PT. Pelni untuk terbebas dari permasalahan yang ada.

This article discusses the role of the State Apparatus Activity Monitoring Agency in conducting investigations into PT. Indonesian National Shipping. The lack of experience and the difficulties after taking over the Dutch shipping company made the management of PT. Pelni is not working optimally and continues to suffer financial losses. This prompted Bapekan to get involved in solving the problem. The historical method used in this research includes collecting legible sources, interpretation, and historiography. The author uses archival sources, contemporary newspapers, and several magazine articles of the Department of Sea Transportation as primary and secondary sources. Unlike the previous studies that discussed the problems of PT. Pelni in the same year without any interference from other agencies, the novelty of this research is an attempt to solve the problem of PT. Pelni involving Bapekan. The findings of this study are that Bapekan plays an active role in mapping problems within PT. Pelni. After solving the problems, Bapekan formulates suggestions for consideration by PT. Pelni to be free from existing problems."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Usindi T. Soekatjo
"Yang menjadi dasar tanggung jawab pengangkut (darat, laut dan udara) dalam sistem hukum kontinental adalah adanya perjanjian pengangkutan. Dilihat dari jenis prinsip-prinsip tanggung jawab pengangkut yang dikenal di dunia ini, yang berlaku di Indonesia adalah prinsip tanggung jawab mutlak. Perjanjian pengangkutan itu sendiri merupakan kesepakatan antara pengangkut dan penumpang; pengangkut berkewajiban untuk mengangkut penumpang tiba di tempat tujuan dengan selamat, sedangkan penumpang berkewajiban memberikan upah pengangkutan kepada pengangkut. Konsekuensi adanya perjanjian pengangkutan ini menimbulkan kewajiban bagi pengangkut untuk mencapai suatu hasil, bukan hanya sekedar menyelenggarakan pengangkutan. Jika kewajiban tersebut tidak terlaksana dengan baik, pengangkut dinyatakan melakukan wanprestasi (Pasal 1243 KUHPer). Bukti adanya perjanjian pengangkutan adalah karcis penumpang (Pasal 85 Ayat (2) Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran). Merupakan kewajiban pengangkut untuk mengasuransikan tanggung jawabnya itu; jika tidak mengasuransikannya, pengangkut akan dipidana dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 6.000.000,- (Pasal 86 Ayat (3) juncto Pasal 124 Undang-Undang No. 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran). KUHP secara tegas melarang pengangkut untuk tidak bertanggung jawab sama sekali atau terbatas untuk segala kerugian yang disebabkan oleh alat pengangkutannya, laik laut kapal, dan tidak cukupnya pengawasan dalam kapal. Penumpang yang hendak menggunakan jasa pelayaran PT PELNI dibebani kewajiban untuk membayar iuran wajib dan premi asuransi tambahan, setiap kali membeli karcis kapal laut. Kewajiban penumpang untuk membayar sendiri asuransinya tersebut diatur dalam Pasal 3 Ayat (la) Undang-Undang No. 33 Tabun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan. Itu sebabnya PT PELNI tidak memberikan ganti kerugian kepada penumpang yang mengalami musibah kapal, kecuali untuk musibah kapal yang dinyatakan sebagai musibah nasional (misalnya tenggelamnya Kapal Tampomas II). Ganti kerugian yang diberikan oleh pihak asuransi (PT Jasa Raharja, PT Jasaraharja Putera dan PT Arthanugraha) dalam hal terjadinya kecelakaan kapal laut, adalah untuk kematian, cacat tetap, biaya rawatan, dan biaya penguburan."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaenal Abidin
"KPH (Koninklijke Paketvaart-Maatschappij) adalah perusahaan pelayaran Belanda yang memegang hak monopoli atas pelayaran antarpulau di Indonesia sejak 1890. Dalam mempertahankan monopolinya KPM mempergunakan berbagai cara yang sifatnya menghambat, seperti tidak memberikan fasilitas baik itu pelabuhan maupun pinjaman bank terhadap para pesaingnya. Akibatnya perusahaan-perusahaan pelayaran yang dikelola oleh pribumi sulit berkembang. Tahun 1942-1945, KPM menghentikan sementara usaha pelayarannya karena pendudukan Jepang terhadap Indonesia. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, bersamaan dengan datangnya kembali Belanda di Indonesia, KPM kembali menjalankan usaha pelayarannya di Indonesia. Sementara itu Pemerintah Indonesia yang telah merdeka menganggap bahwa kembalinya KPM di Indonesia menimbulkan kecurigaan terhadap kembalinya dominasi modal asing di Indonesia. Untuk itulah Pemerintah berkeinginan untuk menggantikan peranan KPM di Indonesia, maka baru pada tahun 1952 Pemerintah Indonesia membentuk PELNI (Perlayaran Nasional Indonesia). Dalam perkembangannya sejak berdirinya PELNI mengalami berbagai hambatan dalam usaha perkembangannya salah satunya adalah masih beroperasinya KPM di Indonesia. Sejak tahun 1957, ketika KPM dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia, maka PELNI sebagai perusahaan dalam negeri yang paling dominan menggantikan peranan KPM. PELNI mengalami berbagai kemajuan yang menyolok baik itu jumlah armada, pangsa muatan barang dan penumpang, serta luasnya pengoperasian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peristiwa nasionalisasi KPM tahun 1957 merupakan titik tolak berkembangnya pelayaran nasional Indonesia..."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
S12635
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Sekar Widyastuti
"Sebagai negara maritim dan kepulauan, Indonesia tentu banyak memanfaatkan pengangkutan melalui laut, terutama pengangkutan barang sebagai pondasi utama perdagangan nasional maupun internasional. Kelancaran pengangkutan barang melalui laut ini menjadi penting bagi kelangsungan pertumbuhan ekonomi negara. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, tidak jarang kemudian terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di antara para pihak yang terlibat yang menyebabkan terlambatnya, rusaknya atau hilangnya barang angkutan. Hal inilah yang terjadi pada Kapal TB Hector 103 dan BG. PMS 202 (270 FT) yang mengangkut barang berupa batu scroup yang tidak dapat diserahkan oleh si Pemilik Kapal sebagai Pengangkut kepada Penerima dikarenakan ketidakakuratan kelaiklautan (seaworthiness) yang dilakukan Pengangkut terhadap kapal, sehingga kapal dan barang angkutan tidak dapat diterima di pelabuhan tujuan. Atas keterlambatan tersebut kemudian muncul bentuk pertanggungjawaban dari para pihak yang terlibat yakni pengangkut serta agen kapal sebagai pihak yang melakukan pengurusan terhadap administrasi kapal yang diberangkatkan. Hilangnya barang akan ditinjau berdasarkan hukum pelayaran nasional yang masih merujuk pada KUHD sebagai dasar pertanggungjawaban pengangkut selain kemudian dibuatnya UU 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran serta peraturan turunan di bawahnya. Sebagai perbandingan, kasus juga akan dianalisis dengan The Hague-Visby Rules, Hamburg Rules serta Rotterdam Rules, mengingat ketiganya sebagai konvensi internasional lebih relevan dengan perkembangan pengangkutan yang ada sekarang.

As a maritime and archipelagic country, Indonesia certainly utilizes a lot of transportation by sea, especially the transportation of goods as the main foundation of national and international trade. The smooth transportation of goods by sea is important for the continuity of the country's economic growth. However, in its implementation, it is not uncommon for unwanted things to happen between the parties involved which cause delays, damage or loss of transportation goods. This is what happened to TB Hector 103 and BG. PMS 202 (270 FT) which transporting scroup stones that could not be delivered by the Shipowner as the Carrier to the Receiver due to inaccuracies in the Carrier's seaworthiness of the ship, so that the ship and goods could not be received at the destination port. The delay of goods will then be reviewed based on national shipping law which still refers to the KUHD as the basis for carrier liability in addition to later made Law 17 of 2008 concerning Shipping and its derivative regulations. For comparison, the case will also be analyzed with The Hague-Visby Rules, Hamburg Rules and Rotterdam Rules, considering those three as international conventions are more relevant to the current development of transportation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library