Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bima Uramanda
"Salah satu cara untuk mendeteksi secara dini adanya gangguan faal paru adalah dengan cara mengukur arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan peak flow meter. Salah satu faktor resiko yang menyebabkan penurunan nilai APE adalah merokok. Merokok dapat menyebabkan terjadinya bronkokontriksi pada saluran pernapasan. Selain merokok, faktor lain yang berperan dalam menurunkan risiko terjadinya penurunan kapasitas fungsi paru adalah kurangnya aktivitas fisik. Oleh karena itu penelitian untuk melihat efek gabungan merokok dan aktifitas fisik terhadap penurunan nilai APE diperlukan untuk mengkonfirmasi besar asosiasi keduanya dengan mempertimbangkan faktorfaktor contributory (potential confounder) yang juga berhubungan terhadap penurunan nilai APE. Penelitian ini menggunakan disain cross-sectional. Sebanyak 8.823 responden pria 18-74 tahun menjadi sampel pada penelitian ini. Data diperoleh dari Indonesian family life survey 5(IFLS) dan dianalisis menggunakan uji Cox regresi. Penurunan nilai arus puncak ekspirasi lebih besar pada orang yang tidak merokok dan aktifitas fisik kurang,yaitu sebesar 1,26 kali serta perokok yang memiliki aktivitas fisik kurang sebesar 1,20 kali dibanding orang yang tidak merokok dan memiliki aktivitas fisik cukup. Sedangkan pada orang yang merokok dan memiliki aktivitas fisik cukup beresiko 0,84 kali protektif dibandingkan dengan orang yang tidak merokok dan memiliki aktivitas fisik cukup dengan kata lain aktivitas fisik lebih berperan dibanding kebiasaan merokok. Pada orang yang memiliki kebiasaan merokok sebaiknya juga melakukan aktifitas fisik secara rutin agar resiko untuk terjadinya penurunan nilai arus puncak ekspirasi menjadi lebih kecil.

The One way to detect early pulmonary function disorders is by measuring peak expiratory flow (PEF) using a peak flow meter. One of the risk factors that causes decrease in the value of APE is smoking. Smoking can cause bronchoconstriction in the respiratory tract. In addition to smoking, other factors that play a role in reducing the risk of a decrease in lung function capacity are lack of physical activity. Therefore, research to see the combined effects of smoking and physical activity on the decline in APE values is needed to confirm the magnitude of the two associations by considering contributory factors (potential confounders) which also relate to decreasing APE values. This study uses cross-sectional design. A total of 8,823 male respondents 18-74 years were sampled in this study. Data was obtained from Indonesian family life survey 5 (IFLS) and analyzed using the Cox regression test. The decrease in peak expiratory flow values was greater in people who did not smoke and less physical activity, which amounted to 1,26 times and smokers who had less physical activity of 1.20 times compared to people who do not smoke and have enough physical activity. Whereas in people who smoke and have physical activity is 0.84 times protective compared to people who do not smoke and have enough physical activity in other words physical activity has more role than habit smoke. In people who have a smoking habit, they should also carry out regular physical activities so that the risk of decreasing the value of peak expiratory flow becomes smaller."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53932
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Gathmyr
"LATAR BELAKANG: Terbang dengan menggunakan pesawat yang memiliki kecepatan tinggi melebihi kecepatan suara (high performance air craft), yang mampu menghasilkan akselerasi +5Gz sampai +9Gz bahkan lebih terutama pada saat melakukan manuver, merupakan suatu tantangan tersendiri yang membutuhkan kepaiawaian dan sikap profesional. Banyak faktor yang mempengaruhi relaxed +Gz force tolerance seperti mean arterial pressure, hasil puncak ekspirasi dan posisi tubuh.
METODE: Desain penelitian adalah studi korelasi, yang dilakukan di Lakespra Saryanto Jakarta. Dengan menggunakan populasi semua bakal calon penerbang TNI AU dan subyek dipilih secara random sederhana, semua yang memenuhi kriteria inklusi diambil. Sampel yang diambil sebanyak 31 orang, data yang dikumpulkan berasal dari kuesioner, pencatatan human centrifuge. Hasil penelitian kemudian dilakukan uji statistik berupa analisis regresi inner untnk melihat pengaruh arus puncak ekspirasi terhadap relaxed+Gz force tolerance serta faktor faal yang berpengaruh.
HASIL: Rata-rata relaxed +G, -force tolerance 7,51 ± 0,71 G, selanjutnya beberapa faktor yang berpengaruh terhadap relaxed +Gr force tolerance antara lain arus puncak ekspirasi: koefisien regresi sebesar -0,358 dan kemaknaan p = 0,073; mean arterial pressure: koefisien regresi sebesar 0,047 dan kemaknaan p = 0,065, serta forced expiratory in 1 second: koefisien regresi sebesar 1,246 dan kemaknaan p = 0,012) dan yang paling dominan adalah-forced expiratory in l second.
KESIMPULAN: Relaxed ±Gz force tolerance dipengaruhi oleh arus puncak ekspirasi. Di samping itu relaxed G tolerance berkaitan pula dengan mean arterial pressure dan FEV1.

The Influence of Peak Expiratory Flow Rate to Relaxed +Gz Force Tolerance at Human Centrifuge Training in Pilot Candidates of Indonesian Air Force 2002BACK GROUND: Flying high performance fighter aircraft is a challenging and demanding profession which regularly imposes significant acceleration force on pilot, particularly during air combat maneuvering, in which +Gz level of +5 to ±9 G or more are frequently experienced. Relaxed +Gz force tolerance is influenced by mean arterial pressure, peak expiratory flow rate and body position.
METHODS: Correlation study design was chosen for this research in Lakespra Saryanto. Simple random sampling is used to choose the subject from all pilot candidates in the population. Thirty one subjects were selected consecutively according to inclusion criteria. Data collected from questionnaire, human centrifuge records. The results were analyzed by linear regression analysis to evaluate the influence of peak expiratory flow rate and relaxed +Gz tolerance, and other physiological factors which might influence the relaxed +Gz tolerance.
RESULTS: The mean value of relaxed +Crz tolerance was 7,51 ± 0,71G. Several factors that influence of relaxed +Gz tolerance was peak expiratory rate (regression coefficient - 0,358, p = 0,073); mean arterial pressure (regression coefficient =0,047, p = 0,065); forced expiratory volume in 1 second (regression coefficient 1,246, p = 0,012). The most dominant was forced expiratory volume in 1 second.
CONCLUSIONS: Relaxed +Gz force tolerance was influenced by peak expiratory flow rate, forced expiratory volume in 1 second and mean arterial pressure.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T11435
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arie Jefry Ka`Arayeno
"ABSTRAK
Nama : Arie Jefry Ka rsquo;arayenoProgram Studi : Magister Ilmu Keperawatan Universitas IndonesiaJudul : Pengaruh Latihan Pernapasan Buteyko Terhadap Saturasi Oksigen Perifer Dan Arus Puncak Ekspirasi Pada Pasien Asma Asma sebagai penyakit jalan napas obstruktif dengan penyempitan jalan napas, cenderung diikuti dengan peningkatan laju pernapasan. Konsep dasar teori Buteyko adalah mengajarkan cara bernapas yang benar pada pasien asma. Tujuan penelitian ini yaitu mengidentifikasi pengaruh latihan pernafasan Buteyko terhadap nilai saturasi oksigen perifer dan arus puncak ekspirasi pada pasien asma. Desain penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimen, pretest dan posttest dengan kelompok kontrol. Responden penelitian berjumlah 24 orang, terdiri dari 12 orang yang melakukan latihan pernapasan Buteyko pada kelompok intervensi dan 12 orang pada kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh yang bermakna terhadap arus puncak ekspirasi pada kelompok intervensi p value = 0.001 . Namun tidak terdapat pengaruh yang bermakna terhadap saturasi oksigen perifer p value = 0,082 . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa latihan pernapasan Buteyko dapat diberikan sebagai terapi pelengkap, bagian dari perawatan pada pasien asma. Kata kunci: arus puncak ekspirasi, asma, buteyko breathing exercise, saturasi oksigen perifer

ABSTRACT
Name Arie Jefry Ka 39 arayenoStudy Program Master of Nursing Science, University of IndonesiaTitle Effect of Buteyko Breathing Exercises Against Peripheral Oxygen Saturation And Peak expiratory flow in patients with Asthma Asthma is a disease with obstructive airway constriction of the airway, tend to be followed by an increase in respiratory rate. The basic concept of the Buteyko theory is taught how to breathe correctly in asthma patients. The purpose of this study is to identify the Buteyko breathing exercises influence on the value of peripheral oxygen saturation and peak expiratory flow in patients with asthma. The research design is quasi experimental, pretest and posttest with control group. Respondents totaling 24 people, consisting of 12 people doing Buteyko breathing exercises in the intervention group and 12 in the control group. The results showed a significant effect on peak expiratory flow in the intervention group p value 0.001 . However, there is no significant effect on peripheral oxygen saturation p value 0.082 . The results of this study indicate that the Buteyko breathing exercises can be administered as complementary therapies, part of the treatment in patients with asthma.Keywords asthma, buteyko breathing exercise, peak expiratory flow, peripheral oxygen saturation"
2017
T49672
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Depok : Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia , 2019
610 JKI 22:1 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
M. Muchlis
"Krisis ekonomi yang diperberat oleh berbagai bencana telah menyebabkan banyak orang tua mengalami keterpurukan ekonomi akibat pemutusan hubungan kerja, menurunnya daya beli serta harga barang yang melambung, sehingga tidak dapat memenuhi hak dan kebutuhan anak. Akibat lebih jauh yaitu banyaknya anak yang terpaksa meninggalkan sekolah dan rumah guna mencari nafkah di jalanan, sehingga jurnlah anak di jalanan di kota besar menunjukkan peningkatan yang tajam.
Situasi kehidupan di jalanan memberikan akses bagi anak-anak tersebut untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat memberikan penghasilan atau sekedar bergaul dan bermain bersama teman sebayanya. Namun demikian kehidupan di jalanan juga membuat anak jalanan cenderung untuk melakukan kebiasaan yang buruk. Sebuah survey besar pada tahun 2001, dikatakan merokok merupakan kebiasaan buruk yang paling banyak dilakukan oleh anak jalanan, setelah itu kebiasaan rninuman keras, memakai napza dan kebiasaan lain termasuk sex bebas. Sementara itu situasi dan lingkungan sehari-hari di jalanan sangat membahayakan kehidupan anak karena ancaman kecelakaan dan kesehatannya. Salah sate ancaman kesehatan yang dapat timbul adalah terpaparnya anak-anak tersebut dengan bermacam polutan udara yang ada di sekitar lingkungan sehari-harinya beraktifitas. Di jalanan pencemaran udara akibat emisi kendaraan bermotor merupakan penyumbang terbesar polusi udara. Zat yang dihasilkan emisi gas buang kendaraan bermotor antara lain karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrokarbon, partikel, sulfur oksida, asam organik, aldehid dan timbal.
Jakarta merupakan kota ke 3 setelah Meksiko dan Bangkok sebagai kota dengan dengan polusi udara yang terparah. Sebagian besar polutan udara di Jakarta dan kota besar lainnya berasal dari kendaraan bermotor. Lebih dari 20% kendaraan di Jakarta diperkirakan melepas gas beracun tersebut melebihi ambang batas yang dinyatakan aman dan peningkatan jumlah kendaraan bermotor akan terus meningkatkan pemakaian bahan bakar yang mengakibatkan polusi udara yang meningkat pula.
Pencemaran udara oleh polutan sisa pembakaran kendaraan bermotor di Indonesia dan tahun ke tahun cenderung meningkat. Kondisi pencernaran udara terlebih di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Bandung tingkat polusi udaranya kini tengah mencapai ambang batas yang membahayakan kesehatan manusia selain juga merusak lingkungan seperti beberapa jenis tanaman yang mati akibat kadar gas buang yang mencemari udara semakin berat. Pencemaran tak dapat terelakkan lagi akibat terus membengkaknya jumlah kendaraan bermotor, di Jakarta sendiri jumlah kendaraan bermotor pada akhir tahun 2002 saja sudah mencapai 3,5 juta unit.
Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta melaporkan kondisi/kualitas pencemaran udara pada tahun 2001 : Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) sebesar 72,15 % tergolong kategori sedang 19,1 % kategori bails, 8,49 % masuk kategori tidak sehat, dan sisanya 0,27 % termasuk kategori sangat tidak sehat. Angkutan darat berperan memberikan kontribusi pencemaran udara dengan komposisi 78,32 % (SO2), 29,18 % (NO2). 62,62 % (Hidrokarbon), 85,78 % (CO), serta debu (partikulat) 6,9 %."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58459
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library