Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
Sa'Adatud Daroini
"Akta Hibah merupakan salah satu akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan PPAT. Dalam prosesnya pembuatannya, tidak boleh ada paksaan terhadap pemberi hibah untuk menandatangani akta tersebut. Hal ini karena pada dasarnya hibah adalah pemberian dari seseorang semasa hidupnya dengan cuma-cuma. Jika dalam pembuatan akta hibah terdapat paksaan dari salah satu pihak maka akan berakibat pada keabsahan akta hibah tersebut dan PPAT dapat digugat. Permasalahan dalam penelitian ini mengenai seorang PPAT yang dapat dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta hibah dan tanggung jawab PPAT terhadap akta hibah yang dibuat dengan adanya paksaan dalam penandatanganannya berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 1007/Pdt.G/2020/PN Sby. Penelitian ini menggunakan yuridis normatif, dengan tipologi yang bersifat eksplanatoris analitis dan menggunakan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa akta hibah yang dibuat dengan adanya paksaan menjadi tidak sah dan dapat diminta pembatalannya ke pengadilan karena tidak memenuhi syarat sah perjanjian mengenai kesepakatan para pihak. Notaris/PPAT YA dapat diminta pertanggung jawaban secara perdata karena telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu membuat akta hibah dimana pemberi hibah tidak pernah menyetujui adanya penghibahan tersebut dan hal tersebut merugikan pemberi hibah. Tanggung jawab berikutnya adalah secara administratif, karena Notaris/PPAT YA telah melanggar Pasal 28 ayat (4) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 serta tanggung jawab secara pidana karena melanggar Pasal 264 ayat (1) KUHP. Berdasarkan hal tersebut, PPAT sebaiknya menolak untuk membuat akta hibah yang dalam penandatanganannya terdapat paksaan yang dilakukan oleh salah satu pihak karena akan berakibat pada keabsahan akta hibah tersebut dan PPAT dapat dikenakan tanggung jawab secara perdata, administratif dan bahkan pidana.
The Grant Deed is one of the authentic deeds made by or before the PPAT. In the process of making the Deed, there shouldn’t be any force towards the grantor to sign the deed. It is because basically a grant is a gift from someone during his/her lifetime for free. If there is a force in the making of a grant deed from one of the parties, it will affect the validity of the grant deed and the PPAT could be sued. The problem of this research is concerning the validity of the grant deed and the liability of PPAT towards the grant deed which was made by forcing the signing of the grant deed based on the Surabaya District Court Decision Number 1007/Pdt.G/2020/PN Sby. This research uses normative juridical, with explanatory analytical typology and uses secondary data. The result of this research showed that the grant deed which was made by force becomes invalid and its cancellation could be requested to the court because it does not comply the legal requirements of the agreement regarding the deal of the parties. Notary/PPAT YA can be held civilly liable for committing an unlawful act, namely making a grant deed that has never been approved by the grantor and it is detrimental to the grantor. The following liability is administratively, because Notary/PPAT YA has violated Article number 28 clause (4) of the Regulation of the Head of the National Land Agency Number 1 of 2006 as well as criminal liability for violating Article 264 clause (1) of the KUHP. Based on that, it is better for the PPAT to refuse making a grant deed which was forced by one of the parties in its signing because it would affect the validity of the grant deed and PPAT might be subject to civil, administratively, or even criminally."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Bau Siti Hartinah
"Perjanjian merupakan hubungan hukum yang sering dilakukan pada kehidupan bermasyarakat. Salah satu syarat sah perjanjian adalah syarat subjektif, yaitu kata sepakat. Kata sepakat mungkin saja tidak tercapai pada suatu perjanjian. Tidak tercapainya kata sepakat karena adanya unsur paksaan dalam perjanjian antara para pihak. Pendapat para ahli hukum mengenai definisi paksaan dalam perjanjian dan pertimbangan hakim dalam menentukan ada atau tidaknya unsur paksaan dalam suatu perjanjian. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan deskriptif analisis. Data terdiri dari primer dan sekunder. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa definisi paksaan menurut para ahli hukum ialah perbuatan menakuti seseorang yang menyebabkan orang tersebut takut bahwa dirinya akan menderita kerugian. Terdapat kesesuaian teori dan doktrin yang menjadi dasar hukum di beberapa pengadilan di Indonesia dalam menentukan adanya unsur paksaan dalam suatu perjanjian. Diperlukan adanya diskusi lebih lanjut untuk mendefinisikan paksaan itu sendiri di antara para sarjana. Sebaiknya Mahkamah Agung memberikan pelatihan hukum kepada hakim-hakim terkait unsur paksaan dalam perjanjian.
Duress on Agreement is a legal relationship that is often carried out in community life. One of the legitimate conditions for an agreement is a subjective condition, namely an agreement. An agreement may not be reached on an agreement. Not reaching an agreement because of the element of coercion in the agreement between the parties. The opinions of legal experts regarding the definition of coercion in the agreement and consideration of the judge in determining whether or not there is an element of coercion in an agreement. This study uses a normative juridical method and descriptive analysis. Data consists of primary and secondary. The results showed that the definition of coercion according to legal experts was the act of frightening someone who caused the person to fear that he would suffer losses. There is a conformity of theory and doctrine which is the legal basis in several courts in Indonesia in determining the element of coercion in an agreement. Further discussion is needed to define coercion itself among scholars. It is recommended that the Supreme Court provide legal training to judges regarding the element of coercion in the agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Bau Siti Hartinah
"Perjanjian merupakan hubungan hukum yang sering dilakukan pada kehidupan bermasyarakat. Salah satu syarat sah perjanjian adalah syarat subjektif, yaitu kata sepakat. Kata sepakat mungkin saja tidak tercapai pada suatu perjanjian. Tidak tercapainya kata sepakat karena adanya unsur paksaan dalam perjanjian antara para pihak. Pendapat para ahli hukum mengenai definisi paksaan dalam perjanjian dan pertimbangan hakim dalam menentukan ada atau tidaknya unsur paksaan dalam suatu perjanjian. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dan deskriptif analisis. Data terdiri dari primer dan sekunder.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa definisi paksaan menurut para ahli hukum ialah perbuatan menakuti seseorang yang menyebabkan orang tersebut takut bahwa dirinya akan menderita kerugian. Terdapat kesesuaian teori dan doktrin yang menjadi dasar hukum di beberapa pengadilan di Indonesia dalam menentukan adanya unsur paksaan dalam suatu perjanjian. Diperlukan adanya diskusi lebih lanjut untuk mendefinisikan paksaan itu sendiri di antara para sarjana. Sebaiknya Mahkamah Agung memberikan pelatihan hukum kepada hakim-hakim terkait unsur paksaan dalam perjanjian.
Agreement is a legal relationship that is often carried out in community life. One of the legitimate conditions for an agreement is a subjective condition, namely an agreement. An agreement may not be reached on an agreement. Not reaching an agreement because of the element of coercion in the agreement between the parties. The opinions of legal experts regarding the definition of coercion in the agreement and consideration of the judge in determining whether or not there is an element of coercion in an agreement. This study uses a normative juridical method and descriptive analysis. Data consists of primary and secondary. The results showed that the definition of coercion according to legal experts was the act of frightening someone who caused the person to fear that he would suffer losses. There is a conformity of theory and doctrine which is the legal basis in several courts in Indonesia in determining the element of coercion in an agreement. Further discussion is needed to define coercion itself among scholars. It is recommended that the Supreme Court provide legal training to judges regarding the element of coercion in the agreement. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Faza Luna Lestari
"Pada 16 Januari 2014 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia membacakan putusan uji materiil yang pada pokoknya menyatakan unsur "sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan" dalam Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP bertentangan dengan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sehingga saat ini unsur tersebut tidak lagi mempunyai kekuatan hukum. Unsur "sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan" sering disalah gunakan oleh penegak hukum karena unsur itu sendiri tidak memiliki batasan pengertian yang jelas. Di sisi lain, Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP mengenai tindak pidana paksaan sering disalah artikan oleh penegak hukum dengan pemberian kualifikasi berupa "pasal perbuatan tidak menyenangkan", padahal unsur yang sifatnya alternatif tersebut hanya merupakan salah satu cara untuk mencapai perbuatan "memaksa" tadi. Kesalahan dalam memberikan kualifikasi tertentu pada Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP tersebut memicu kesewenang-wenangan penegak hukum dalam menerapkannya. Setelah adanya uji materiil, perumusan unsur yang ada pada pasal tersebut menjadikan sangat terbatasnya perbuatan yang dapat dipidana dengan Pasal 335 Ayat (1) ke-1 KUHP.
On january 16, 2014 the Constitutional Court of the Republic of Indonesia announced the judicial decision which essentially states that the elements "by any other actions or by an unpleasant treatment" in Article 335, Paragraph 1 to 1 of the Indonesian Criminal Code contrary to the rule of law as provided in Article 28D, Paragraph 1 of Contitution of 1945, so this time the elements no longer have the force of law. The elements "by any other actions or by an unpleasant treatment" often misused by the law enforcer because the elements itself doesn't have clear definitions. On the other hand, Article 335, Paragraph 1 to 1 of the Indonesian Criminal Code about the crime of coerce is often misunderstood by the law enforcer to be qualified as "the crime of unpleasant treatment", whereas the elements that are alternative is only one way actions to achieve "coerce" itself. Error in giving certain qualifications to Article 335, Paragraph 1 to 1 of the Indonesian Criminal Code lead to arbitrariness in applying the law enforcement. After judicial review, the formulation of the elements that exist in the article make very limited actions that can be punished by Article 335, Paragraph 1 to 1 of the Indonesian Criminal Code."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57098
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library