Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 91 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurhuda
"ABSTRAK
Latar belakang. Prosedur stimulasi ovarium terkendali pada program FIV berdampak buruk terhadap reseptivitas endometrium. Efek buruk tersebut terjadi karena perubahan kadar hormon yang tidak fisiologis. Laporan penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan hamil pada program FIV hanya sekitar 30%.
Tujuan penelitian. Menilai dampak pemberian stimulator ovarium terhadap ekspresi petanda reseptivitas endometrium periode implantasi.
Metodologi penelitian. Sebanyak 16 ekor Macaca nemestrina dibagi menjadi 4 kelompok: 1 kelompok kontrol dan 3 kelompok perlakuan, berupa pemberian stimulator ovarium dosis 30-70 IU selama 10-12 hari sampai diperoleh puncak sekresi estradiol pada fase folikuler akhir dan dilanjutkan dengan pemberian hCG dosis 3200 IU. Nekropsi jaringan uterus dilakukan hari ke 8-9 setelah puncak sekresi estradiol. Parameter yang dinilai adalah kadar hormon estradiol, progesteron dan ekspresi protein HOXA10, integrin αvβ3 pinopod endometrium dan hubungan hormon steroid dengan ekspresi petanda reseptivitas endometrium.
Hasil dan pembahasan. Berdasarkan uji Anova, variasi dosis stimulator ovarium antara 30-70 IU tidak menunjukkan perbedaan bermakna kadar estradiol, progesteron serta ekspresi protein HOXA10 dan integrin αvβ3 antara kelompok kontrol dengan perlakuan (p > 0,05). Berdasarkan Uji korelasi Pearson terdapat hubungan bermakna antara kadar progesteron dengan ekspresi protein HOXA10 dan integrin αvβ3 terutama pada daerah fungsional endometrium ( p < 0,05), sedangkan dengan hormon estradiol tidak terdapat perbedaan yang bermakna (P>0.05). Perkembangan pinopod yang menunjukkan periode jendela implantasi (tahap perkembangan maksimal) diperoleh pada rasio progesteron/estrogen antara 0,20 ? 0,49 dan periode regresi yaitu pada rasio 0,26 ? 7,34.
Kesimpulan.Variasi dosis stimulator ovarium 30-70 IU tidak mempengaruhi sekresi hormon estrogen, progesteron dan ekspresi petanda reseptivitas endometrium. Berdasarkan uji regresi Pearson terdapat hubungan bermakna antara hormon progesteron fase folikuler akhir dan fase luteal dengan ekspresi petanda reseptivitas endometrium. Lonjakan estradiol fase folikuler akhir tidak berpengaruh terhadap ekspresi petanda reseptivitas endometrium. Rasio progesteron/estradiol antara 0,20-0,49 menunjukan periode jendela implantasi, sedangkan rasio 0,26 ? 7,34 menunjukkan bahwa perkembangan pinopod mengalami regresi.

ABSTRACT
Background.Controlled ovarian stimulation procedure on FIV program adversely affect endometrial receptivity. The adverse effects occur due to non physiological changes in hormone levels. Research reports showed that pregnant success rate of FIV program were only around 30%.
Research objective.To assess the impact of ovarian stimulator on the expression of endometrial receptivity markers of implantation period.
Research methodology.Total of 16 Macaca nemestrinawere divided into four groups, one control group and three treatment groups, ie giving a dose of 30-70 IU ovarian stimulator for 10-12 days to obtain peak estradiol secretion at the end of follicular phase and continued with a dose of 3200 IU of hCG administration. Uterine tissue necropsy was performed 8-9 days after the peak secretion of estradiol. The parameters assessed were levels of the hormones estradiol, progsterone and expression of proteins HOXA10, integrin αvβ3 pinopod endometrium and steroid hormone relationship with the expression of markers of endometrial receptivity.
Results and discussion. Based on analysis of variance (anova), ovarian stimulator dose variation between 30-70 IU showed no significant difference levels of estradiol, progesterone and protein expression of integrin αvβ3 HOXA10 and the control group with treatment (p> 0.05). Based on Pearson correlation test there is a significant correlation between the levels of progesterone with HOXA10 protein expression and integrin αvβ3 especially in the area of functional endometrium (p <0.05), whereas the hormone estradiol no significant difference (P> 0.05). Pinopod development which indicates implantation window period (maximum developmental stage) was obtained in the ratio of progesterone/estrogen between .20 to 0.49 and regression period is the ratio of 0.26 to 7.34.
Conclusion. Variations ovarian stimulator dose of 30-70 IU did not affect the secretion of the hormone estrogen, progesterone and endometrial receptivity marker expression. Based on Pearson regression test there was a significant relationship between the hormone progesterone late follicular phase and the luteal phase endometrial receptivity marker expression. While the surge in late follicular phase estradiol had no effect on the expression of markers of endometrial receptivity. Progesterone/estadiol ratio between 0.20 to 0.49 indicates implantation window period, while the ratio of 0.26 to 7.34 indicates that the development pinopod regresses.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D1969
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Indah Fauziah
"Selama ini kasus karsinoma ovarium yang datang ke RSCM ditangani oleh Subbagian Ginekologi Onkologi, dan telah membuat panduan tatalaksana karsinoma ovarium. Karsinoma ovarium stadium lanjut sejak tahun 1994. dilakukan pemberian neoadjuvant kemoterapi yang dilanjutkan dengan pembedahan sitoreduksi. Kurangnya data awal maupun kajian dalam bentuk penelitian mengenai perubahan metode pemberian kemoterapi, dari metode konvensional yaitu pembedahan sitoreduksi (tanpa neoadjuvant kemoterapi) yang kemudian dilanjutkan dengan pemberian adjuvant kemoterapi, menjadi pemberian neoadjuvant kemoterapi tcrlcbih dahulu kemudian dilanjutkan pembedahan sitoreduksi menimbulkan pertanyaan, bagaimana efek pemberian neoadjin.ant kemoterapi pada karsinoma stadium lanjut di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Pada pasien karsinoma ovanium stadium lanjut yang dilakukan pengobatan kemoterapi selama kurun waktu tertentu di Subbagian Ginekologi Dnkologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.
1. Bagaimanakah praktek pemberian neoadjuvant kemoterapi pada karsinoma ovarium stadium lanjut?
2. Bagaimanakah efek pemberian neoadjuvant kemoterapi terhadap pencapaian sitoreduksi optimal?
3. Bagaimanakah efek pemberian neoadjuvant kemoterapi terhadap morbiditas pembedahan?
4. Bagaimanakah efek pemberian neoadjuvant kemoterapi terhadap kualitas hidup?"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18163
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hari Sandi Sumardi Wiranegara
"Kanker ovarium masih menempati urutan kedua terbanyak dalam keganasan ginekologi dan merupakan penyebab utama kematian akibat kanker pada perempuan. Banyak bukti menunjukkan bahwa kanker ovarium umunya dalam pengaruh stress oksidatif. Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas stress oksidatif melalui pengukuran enzim Superoxide Dismutase (SOD) dan kadar Malondialdehyde (MDA) pada penderita keganasan ovarium dibandingkan dengan penderita tumor jinak ovarium. Penelitian dilakukan dengan uji potong-lintang yang dilaksanalan di Ruang Rawat Kebidanan Ginekologi RSCM Jakarta, RS Persahabatan Jakarta dan RS Fatmawati Jakarta pada Juli hingga Desember 2018. Seluruh penderita keganasan ovarium dan penderita tumor jinak ovarium yang memenuhi kriteria diikutsertakan dalam penelitian ini. Darah penderita tumor ovarium diambil sebelum dilakukan operasi, lalu sampel dilakukan pengukuran kadar SOD dan MDA. Terdapat 35 penderita keganasan ovarium dan 43 penderita tumor jinak ovarium yang diikutsertakan dalam penelitian ini. Rerata atau median kadar SOD dan MDA pada penderita keganasan ovarium adalah 1,23 (0,24-5,709) dan 0,803 ± 0,316 , sementara rerata atau median kadar SOD dan MDA pada penderita tumor jinak ovarium adalah 0,488 (0,101-1,86) dan 0,634 ± 0,266. Terdapat perbedaan kadar SOD dan MDA yang bermakna antara kedua kelompok. Terdapat perbedaan kadar SOD yang bermakna antara penderita keganasan ovarium stadium awal dengan penderita keganasan ovarium stadium lanjut. Sementara pada pemeriksaan MDA tidak terdapat perbedaan bermakna antara penderita stadium awal dengan stadium lanjut. Kesimpullan pada penelitian ini terdapat perbedaan kadar SOD dan MDA yang bermakna antara penderita keganasan ovarium dengan penderita tumor jinak ovarium.

Ovarian cancer is the leading cause of death due to gynecological malignancies among women. A lot of evidence shows that ovarian cancer is generally influenced by oxidative stress. In this study aims to determine the activity of SOD enzymes and MDA levels in patients with ovarian malignancies and patients with benign ovarian tumors. The study was conducted by cross-sectional tests carried out in the RSCM Jakarta Gynecology Obstetric Room and Persahabatan Hospital Jakarta and Fatmawati Hospital Jakarta in July to December 2018. All patients with ovarian malignancies and patients with benign ovarian tumors who met the criteria were included in this study. Blood from ovarian tumor patients taken before surgery, then the samples were measured for SOD and MDA levels. There were 35 ovarian malignancies and 43 patients with benign ovarian tumors included in the study. The mean or median level of SOD and MDA in patients with ovarian malignancy is 1.23 (0.24 - 5.709) and 0.803 ± 0.316, while the mean or median level of SOD and MDA in patients with benign ovarian tumors is 0.488 (0.101-1.86) and 0.634 ± 0.266. There were significant differences in SOD and MDA levels between the two groups. There were significant differences in SOD levels between patients with early-stage ovarian malignancies and those with advanced ovarian malignancies. While on MDA examination there were no significant differences between patients with early stages with advanced stages. Conclusion in this study were significant differences in SOD and MDA levels between ovarian malignancies and patients with benign ovarian tumors"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Loho, Ditha Adriana
"Latar Belakang: Kanker ovarium merupakan kanker yang menduduki peringkat kedelapan untuk angka kejadian dan peringkat ketujuh untuk mortalitas pada perempuan di seluruh dunia. Mayoritas pasien akan mengalami rekurensi, terutama pada tiga tahun pertama setelah terapi. Terdapat beragam faktor prognostik klinikopatologis yang mempengaruhi luaran dan rekurensi kanker ovarium, namun hasil penelitian yang telah ada menunjukkan hasil yang tidak konsisten mengenai pengaruh faktor-faktor tersebut.
Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah mempelajari kejadian rekurensi 3 tahun pasien kanker ovarium epitelial di RSCM dan faktor klinikopatologis yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif pada 102 pasien yang menjalani terapi untuk kanker ovarium epitelial di RSCM. Dilakukan pemantauan hingga 3 tahun pasca terapi atau hingga terjadi rekurensi yang didapatkan secara klinis atau radiologis. Dilakukan analisis kesintasan terhadap faktor klinikopatologis yaitu usia, stadium, keberhasilan sitoreduksi, sitologi asites, histopatologi, derajat diferensiasi dan keterlibatan KGB. Faktor yang didapatkan memiliki hubungan bermakna dengan kejadian rekurensi kemudian dianalisis dengan metode regresi Cox.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan bahwa rekurensi kanker ovarium epitelial di RSCM pada 1 tahun adalah 17,7%, pada 2 tahun adalah 30,6%, dan pada 3 tahun adalah 36,3%. Median waktu hingga rekurensi adalah 94 minggu. Analisis kesintasan menunjukkan bahwa usia, histopatologi dan derajat diferensiasi tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian rekurensi 3 tahun. Di sisi lain, didapatkan bahwa stadium berdasarkan FIGO, keberhasilan operasi sitoreduksi, sitologi asites dan keterlibatan KGB memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian rekurensi 3 tahun. Setelah dilakukan analisis multivariat, keterlibatan KGB ditemukan sebagai faktor prognostik terhadap kejadian rekurensi 3 tahun pada kanker ovarium epitelial dengan hazard ratio 3,066 (IK 95% 1,186-7,923).
Kesimpulan: Angka kejadian rekurensi 3 tahun untuk kanker ovarium epitelial adalah 36,3%. Faktor klinikopatologis yang mempengaruhi rekurensi adalah stadium, keberhasilan operasi sitoreduksi, sitologi asites, dan keterlibatan KGB.

Background: Ovarian cancer is a cancer that ranks eighth for the incidence and ranks seventh for mortality in women around the world. The majority of patients will experience recurrence, especially in the first three years after therapy. There are a variety of clinopathologic prognostic factors that influence the outcome and recurrence of ovarian cancer, but the results of existing studies show inconsistent results regarding the influence of these factors.
Objective: The purpose of this study was to study the 3-year recurrence rate of epithelial ovarian cancer patients in Cipto Mangunkusumo Hospital and the influencing clinicopathologic factors.
Methods: This study was a retrospective cohort study of 102 patients undergoing treatment for epithelial ovarian cancer in the RSCM. Monitoring is carried out up to 3 years after therapy or until recurrences are obtained clinically or radiologically. Survival analysis of the clinicopathologic factors including age, stage, success of cytoreduction, ascites cytology, histopathology, degree of differentiation and involvement of lymph node was performed. The factors which were found to have a significant relationship with the recurrence event were then analyzed using the Cox regression method.
Results: In this study it was found that the recurrence of epithelial ovarian cancer in the RSCM at 1 year was 17.7%, at 2 years was 30.6%, and at 3 years was 36.3%. The median time to recurrence is 94 weeks. Survival analysis showed that age, histopathology and degree of differentiation did not have a significant relationship with the incidence of recurrence at 3 years. Conversely, it was found that stage based on FIGO, successful cytoreductive surgery, ascites cytology and lymph node involvement had a significant relationship with the incidence of recurrence at 3 years. After multivariate analysis, lymph node involvement was found as a prognostic factor for the incidence of 3-year recurrence in epithelial ovarian cancer with a hazard ratio of 3.066 (95% CI 1.186-7.923).
Conclusion: The 3-year recurrence rate for epithelial ovarian cancer is 36.3%. Clinicopathologic factors that influence recurrence are stage, success of cytoreductive surgery, ascites cytology, and lymph node involvement.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roselina Panghiyangani
"Pendahuluan: Sindroma ovarium polikistik (SOPK) merupakan masalah reproduksi yang sering terjadi pada perempuan usia reproduksi, namun hingga saat ini etiopatogenesis SOPK masih belum jelas. Penelitian ini bertujuan menganalisis peran sel granulosa folikel ovarium dalam etiologi SOPK, keterkaitan genotip FSHR Asn680Ser dengan patogenesis SOPK dan peran gen CYP19A1(aromatase) dalam patogenesis SOPK.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik observasional berbentuk studi seran lintang (cross sectional study) dan dilakukan di Departemen Biologi FKUI, Klinik Yasmin-RSCM Kencana dan Laboratorium terpadu FKUI pada tahun 2011-2014. Sebanyak 142 subyek penelitian (66 pasien SOPK dan 76 pasien bukan SOPK) terlibat dalam penelitian ini. Sampel penelitian berupa darah tepi dan cairan folikel ovarium yang diaspirasi ketika proses ovum pick up sebagai sumber sel granulosa. Dilakukan isolasi DNA untuk analisis RFLP polimorfisme FSHR Asn680Ser, dilakukan kultur sel granulosa untuk mengetahui kemampuan proliferasi sel granulosa dan analisis ekspresi mRNA aromatase sel granulosa dengan metode RT-qPCR.
Hasil: Indeks proliferasi sel dan ekspresi mRNA aromatase sel granulosa pada kelompok SOPK lebih rendah secara bermakna dibandingkan bukan SOPK (p<0,05). Tidak ditemukan perbedaan bermakna distribusi genotip FSHR Asn680Ser antara kelompok SOPK dan bukan SOPK (p>0,05), tidak ditemukan perbedaan bermakna antara kadar hormon FSH basal berdasarkan variasi genotip FSHR Asn680Ser pada kelompok SOPK dan bukan SOPK (p>0,05). Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna indeks proliferasi sel granulosa berdasarkan variasi genotip FSHR Asn680Ser baik pada kelompok SOPK maupun bukan SOPK (p>0,05). Tidak terdapat korelasi antara indeks proliferasi sel granulosa dengan ekspresi mRNA aromatase (p>0,05).
Kesimpulan: Indeks proliferasi sel dan tingkat ekspresi mRNA aromatase sel granulosa kelompok SOPK menurun dibandingkan kelompok bukan SOPK. Genotip FSHR Asn680Ser tidak menentukan kerentanan individu untuk menderita SOPK. Kadar hormon FSH basal dan indeks proliferasi sel granulosa tidak berbeda antara kelompok SOPK dan bukan SOPK berdasarkan variasi genotip FSHR Asn680Ser. Tidak ada korelasi antara indeks proliferasi sel dengan ekspresi mRNA aromatase sel granulosa pada penelitian ini.

Introduction: Polycystic ovary syndrome (PCOS) is a common reproductive problem in women at reproductive age, but until now aetiopathogenesis of PCOS has not been fully understood. The objective of this study was to analyse interrelationship between proliferation of ovarian follicular granulosa cells, CYP19A1 expression and polymorphism at codon 680 of FSHR towards the etiology of PCOS.
Methods: Observational analytic in the form of cross-sectional study was used in this research. The study was carried out between 2011-2014 at the Department of Biology, Integrated laboratory of Faculty of Medicine University of Indonesia and Yasmin clinic at the Cipto Mangunkusumo Hospital. A total of 142 subjects (66 patients with PCOS and 76 patients without PCOS) were involved in this study. Granulosa cells for culture were obtained from ovarian follicular fluid and total RNA was isolated from the cells. DNA samples were extracted from peripheral blood. Granulosa cell proliferation index was determined by counting under a phase-contrast microscope. CYP19A1 expression was measured by qRT-PCR, whereas polymorphism at Asn680Ser FSHR was performed by RFLP.
Result: Cell proliferation index and CYP19A1 mRNA expression levels in the granulosa cells of the PCOS group was significantly lower than non-PCOS (p < 0.05). There was no significant difference found in Asn680Ser FSHR genotype distribution between PCOS and non-PCOS group (p > 0.05). Based on Asn680Ser FSHR genotype variation, no significant difference was found between basal FSH hormone levels in the PCOS and non- PCOS group (p > 0.05) and FSHR genotype variation did not correlate with granulosa cell proliferation index between PCOS and non-PCOS group (p > 0.05). Moreover, there was no correlation between the granulosa cell proliferation index with aromatase mRNA expression levels (p > 0.05).
Conclusion: Cell proliferation index and CYPA1 expression of granulosa cells in PCOS group were lower compared to the non PCOS group although no correlation was found between the two parameters. Asn680Ser FSHR genotype did not correlate with individual susceptibility to PCOS. FSHR genotype variation did not correlate with basal FSH levels and granulosa cell proliferation index between PCOS and non-PCOS.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Made Dwi Sandhiutami
"

Latar belakang: Kurkumin memiliki aktivitas antikanker yang poten, namun profil farmakokinetik dan ketersediaan kurkumin di organ target sangat rendah. Nanopartikel kurkumin dibuat untuk meningkatkan aktivitas kurkumin sehingga dapat meningkatkan efek obat pada proses angiogenesis dan proliferasi sel pada tikus model kanker ovarium.

Metode: Nanopartikel kurkumin dibuat dengan metode gelasi ionik menggunakan kitosan sebagai polimer. Profil farmakokinetika kurkumin dan nanokurkumin dilakukan pada tikus dengan pemberian dosis oral sebesar 100 mg/kgBB. Sampel darah diambil pada sembilan  waktu dan konsentrasi kurkumin dalam plasma dianalisis menggunakan UPLC-MS/MS. Pengujian nanokurkumin sebagai ko-kemoterapi secara in vivo pada kanker ovarium dilakukan pada tikus model kanker ovarium dengan induksi DMBA. Tikus model kanker ovarium diberikan terapi cisplatin atau kombinasi cisplatin dan kurkumin, atau kombinasi cisplatin dan nanokurkumin. Efek antikanker dilihat dari pengukuran marker antiproliferasi (Ki67), marker apoptosis serta jalur sinyal TGF-b/PI3K/Akt dan IL-6/JAK/STAT3.

Hasil: Diperoleh ukuran partikel nanokurkumin sebesar 19,43±11,24 nm, dengan efisiensi penjerapan 99,97%, dan loading capacity 11,34%. Sifat mukoadhesif nanokurkumin lebih baik dibandingkan dengan kurkumin. Evaluasi profil farmakokinetik pada tikus diperoleh bahwa nanokurkumin meningkatkan AUC, Cmax, Tmax dan menurunkan klirens. Pada uji aktivitas in vivo,  pemberian cisplatin dan ko-kemoterapi nanokurkumin menyebabkan penurunan yang signifikan pada volume dan berat ovarium. Penemuan ini sesuai dengan penurunan ekspresi protein TGF-β, PI3K dan p-Akt/Akt. Efek ko-kemoterapi nanokurkumin juga dapat dapat menurunkan ekspresi protein IL-6, JAK, dan p-STAT3/STAT3. Pemberian cisplatin dan nanokurkumin juga menyebabkan peningkatan marker apoptosis yang signifikan seperti Bax, kaspase-9 dan kaspase-3 serta menurunkan ekspresi Bcl-2.

Kesimpulan: Nanokurkumin dapat memperbaiki profil farmakokinetika kurkumin, sehingga dapat diaplikasikan pada strategi ko-kemoterapi kanker ovarium dengan menghambat proliferasi melalui penghambatan jalur sinyal PI3K/Akt, JAK/STAT3, peningkatan apoptosis marker Bax, kaspase-3 dan kaspase-9 serta menurunkan ekspresi Bcl-2.

Kata kunci: kurkumin, kitosan, nanopartikel, kanker ovarium, PI3K/Akt, JAK/STAT


Background: Curcumin has a potent anticancer activity. However, its systemic bioavailability and its concentration in organ is extremely low. The modification of curcumin to curcumin nanoparticles was expected to increase the activity of curcumin on angiogenesis and cell proliferation process in rat ovarian cancer.
Methods: Nanocurcumin were made using ionic gelation methods. The pharmacokinetic profiles of curcumin particles and nanoparticles were then assessed in rats by administering a single oral dose of 100 mg/kg BW. Blood samples were taken from nine predetermined time points, and curcumin plasma concentrations were then analyzed using UPLC-MS/MS. Nanocurcumin was tested as a co-chemotherapy in vivo and was carried out on ovarian cancer animal models, induced with 7,12-dimethylbenz(a)anthracene (DMBA). The ovarian cancer animal models were then treated with cisplatin, or cisplatin and curcumin, or combination of cisplatin with nanocurcumin. The anticancer effect of nanocurcumin as co-chemotherapy was investigated with the measurement of antiproliferation marker (Ki67), apoptotic markers as well as the expression of TGF-b/PI3K/Akt dan IL-6/JAK/STAT3.

Result: The particle size of the curcumin nanoparticles obtained were 19,43±11,24 nm. Entrapment efficiency (EE) of curcumin nanoparticles were exceeding 99.97%, and drug loading capacity (DLC) was 11.34%. The mucoadhesive properties of the nanoparticles were superior to that of curcumin particles. Pharmacokinetic evaluation in rats revealed that curcumin nanoparticles resulted in an increase of AUC, Cmax, Tmax, and lower Cl. The administration of cisplatin and nanocurcumin co-chemotherapy caused a significant reduction in ovarian volume and weight. These findings followed with decreased protein expression of TGF-β, PI3K and p-Akt/Akt. The co-chemotherapy effect nanocurcumin is also investigated as a mechanism of action via IL-6, JAK, p-STAT3/STAT3 expressions.  Treatments of cisplatin and nanocurcumin resulted in a significant increase in apoptotic markers such as Bax, caspase-9, and caspase-3 expressions and decreased Bcl-2 expression.

Conclusion: Nanocurcumin is an effective formulation to improve pharmacokinetics profile. Nanocurcumin as a co-chemotherapy  can be considered as a potential co-chemotherapy in ovarian cancer. The improved mechanism of actions are shown by the proliferation inhibition, downregulation of PI3K/Akt, JAK/STAT3 signaling pathways, and Bcl-2 expression and increasing apoptosis through the expression of Bax, caspase-9 and caspase-3.

Keywords: curcumin, chitosan, nanoparticles, ovarian cancer, PI3K/Akt, JAK/STAT

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benedikta Diah Saraswati
"Kanker ovarium epitelial (EOC) merupakan kanker ginekologi paling mematikan yang salah satunya disebabkan karena progresivitasnya yang cepat. Berdasarkan tipe molekuler dan progresivitasnya, EOC dapat dibagi menjadi tipe high-grade dan low-grade. Pada tahapan karsinogenesis EOC seringkali melibatkan reaksi  inflamasi. Siklooksigenase‑2 diketahui berkontribusi pada progresivitas tumor dan dapat teraktivasi oleh jalur pensinyalan NF-κB . Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis korelasi varian genetik RELA rs11820062 dan PTGS2 rs20417 beserta ekspresi mRNA RELA dan PTGS2 di EOC pada pasien di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia. Adanya variasi RELA rs11820062 dan PTGS2 rs20417 diduga akan memengaruhi ekspresi mRNA RELA dan PTGS2. Penelitian ini menggunakan 65 sampel darah wanita normal dan total 80 biopsi ovarium dengan rincian: 15 kista ovarium sebagai kalibrator ekspresi, 36 EOC low-grade, dan 29 EOC high-grade. Distribusi genotipe dan alel dianalisis menggunakan ARMS PCR dan ekspresi mRNA menggunakan teknik qPCR. Tidak ditemukan perbedaan distribusi genotipe dan alel kedua varian antara kelompok normal dan EOC. Ekspresi mRNA RELA dan PTGS2 signifikan lebih tinggi pada kelompok EOC dibandingkan kelompok kista. Genotipe TT dari rs11820062 berkorelasi dengan ekspresi mRNA RELA yang lebih rendah pada EOC high-grade dan low-grade. Sedangkan genotipe PTGS2 rs20417 tidak berkorelasi dengan tingginya ekspresi mRNA PTGS2 pada EOC. Ekspresi RELA dan PTGS2 diketahui saling berkorelasi satu sama lain.

Epithelial ovarian cancer (EOC) is the highest mortality type of gynecology cancer due to its progressivity. EOC can be divided based on its molecular type and progressivity into low-grade and high-grade EOC. Every step of EOC’s carcinogenesis is known to involve an inflammation reaction. Cyclooxygenase‑2 is one of the inflammatory factors contributing to tumor progression and can be activated by the NF-κB signaling pathway. Hence, we examined their distribution and correlation to RELA and PTGS2 mRNA expression in EOCs patients from Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia. A total of 65 healthy subjects and 80 ovarian biopsies (15 ovarian cysts as expression calibrators, 36 low-grade EOC, and 29 high-grade EOC) were used in this study. The distribution of genotypes and alleles was analyzed using ARMS PCR and mRNA expression using the qPCR technique. There was no significant difference between genotype and allele distributions for both variants. Both genes’ mRNA relative expression was significantly higher in EOC than in ovarian cyst. RELA rs11820062 TT genotype is correlated with lower RELA mRNA relative expression in EOC. In contrast, PTGS2 rs20417 didn’t correlate with the considerably higher PTGS2 mRNA relative expression in EOC tissues. The increase of PTGS2 mRNA relative expression is known to correlate with RELA mRNA relative expression."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wudjuliani Mukhta
"Kista ovarium merupakan tumor jinak yang sering ditemukan pada wanita pada usia reproduksi. Kista ovarium yang terus-menerus membesar  akan menimbulkan nyeri pada abdomen. Manajemen nyeri sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya nyeri secara terus menerus yang dapat berkembang menjadi nyeri kronik. Salah satu manajemen nyeri yang dapat diterapkan adalah manajemen nyeri non-farmakologis melalui pemberian latihan deep breathing. Deep breathing dilakukan 3x dalam sehari selama 5-10 menit. Penerapan deep breathing dilakukan selama empat hari perawatan. Deep breathing dilakukan dengan menghirup udara melalui hidung selama selama empat detik hingga terasa dada terisi oleh udara, tahan hingga 3-5 detik, dan hembuskan udara melalui mulut yang mengerucut  selama empat detik. Deep breathing mengontrol nyeri dengan meminimalkan aktivitas saraf simpatis sistem saraf otonom dan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga terjadi kondisi relaksasi. Setelah empat hari pemberian intervensi deep breathing, terjadi penurunan skala nyeri dari 7 menjadi 3. Penurunan skala nyeri ini ditandai dengan penurunan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi napas. Hasil laporan kasus ini menandakan bahwa pemberian deep breathing efektif dalam penurunan skala nyeri pada pasien. Deep breathing dapat dilakukan oleh pasien sebagai latihan mandiri di rumah dalam mengatasi nyeri setelah nantinya selesai perawatan di rumah sakit. Kata Kunci: deep breathing, kista ovarium, nyeri

An ovarian cyst is a benign tumor that is often found in women of reproductive age. Ovarian cysts that continue to enlarge will cause abdominal pain. Pain management is needed to prevent continuous pain that can develop into chronic pain. One of the pain management that can be applied is non-pharmacological pain management through the provision of deep breathing exercises. Deep breathing is done 3 times a day for 5-10 minutes. The application of deep breathing was carried out for four days of treatment. Deep breathing is done by inhaling air through the nose for four seconds until the chest is filled with air, hold for 3-5 seconds, and exhale through the pursed mouth for four seconds. Deep breathing controls pain by minimizing the activity of the sympathetic nerves of the autonomic nervous system and causing vasodilation of blood vessels resulting in a relaxed st ate. After four days of giving the deep breathing intervention, there was a decrease in the pain scale from 7 to 3. The decrease in the pain scale was marked by a decrease in blood pressure, pulse rate, and respiratory rate. The results of this case report indicate that giving deep breathing is effective in reducing pain scale in patients. Deep breathing can be done by the patient as an independent exercise at home in dealing with pain after finishing treatment at the hospital. Keywords: deep breathing, ovarium cyst, pain"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dalimunthe, Boeyoeng Ego A.P.
"Latar belakang: Kanker ovarium merupakan salah satu penyakit dengan tingkat mortalitas tertinggi dan memerlukan tindakan operatif sebagai penanganannya. Meskipun didapatkan manfaat yang besar dari tindakan operasi, tidak jarang tindakan operasi menimbulkan komplikasi pada pasien. Belum terdapat penelitian mengenai komplikasi akibat operasi pada kanker ovarium di Indonesia, oleh sebab itu penelitian ini bertujuan mengetahui proporsi komplikasi akibat operasi pada pasien kanker ovarium di Indonesia. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang untuk menganalisis proporsi komplikasi intraoperatif dan postoperatif pada pasien kanker ovarium yang menjalani operasi laparotomi di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta pada Januari 2018 hingga Desember 2019. Pasien kanker ovarium yang menjalani operasi laparotomi diikutsertakan dalam penelitian. Pasien dengan Riwayat kanker lainnya atau memiliki data tidak lengkap dieksklusi dari penelitian. Komplikasi intraoperatif pada penelitian ini adalah cedera usus,
cedera ureter, dan cedera vesika. Komplikasi postoperatif pada penelitian ini adalah sepsis, ileus paralitik, dan infeksi luka operasi. Hasil: Sebanyak 78 subjek diikutsertakan dalam penelitian. Didapatkan proporsi komplikasi secara total sebesar 19,2%. Komplikasi intraoperatif terbanyak secara proporsi adalah cedera usus (12,8%), cedera vesika (2,6%), dan cedera ureter (1,3%). Komplikasi postoperatif terbanyak secara proporsi adalah infeksi luka operasi (5,2%), sepsis (3,9%), dan tidak terdapat pasien yang mengalami ileus paralitik.
Kesimpulan: Didapatkan proporsi komplikasi pada operasi kanker ovarium di RSUPN
dr. Cipto Mangunkusumo pada Januari 2018 – Desember 2019 sebesar 19,2%.

Background: Ovarian cancer is one of the diseases with the highest mortality rate while requires operative action to treat. Despite the great benefits of surgery, complications are not uncommon adverse effects of it. There has been no research on complications of ovarian cancer in Indonesia, therefore this study aims to investigate complications associated with ovarian cancer surgery in Indonesia.
Methods: This study was a cross-sectional study to analyze reports of intraoperative and postoperative complications in ovarian cancer patients undergoing laparotomy at dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta from January 2018 to December 2019. Ovarian cancer patients undergoing laparotomy surgery were
included in the study. Patients with a history of other cancers or having incomplete data were not excluded from the study. The intraoperative complications in this study were intestinal injury, ureter injury, and bladder injury. Postoperative complications in this study were sepsis, paralytic ileus, and surgical wound infection. Results: A total of 78 subjects were included in the study. The total proportion of complications was 19.2%. The most prevalent intraoperative complications were intestinal injury (12.8%), bladder injury (2.6%), and ureter injury (1.3%). Most prevalent postoperative complications reported were surgical wound infection (5.2%), sepsis (3.9%), while none of the patients had paralytic ileus. Conclusion: The proportion of complications in ovarian cancer surgery at dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital on January 2018 to December 2019 was 19.2%.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>