Prevalensi sepsis neonatorum diantara bayi baru lahir cukup tinggi. Oleh karena itu, dibutuhkan diagnosis yang akurat. Namun, gejala klinis sepsis tidak cukup spesifik untuk menegakkan diagnosa, dan ini merupakan tantangan bagi para dokter. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara enam faktor resiko terhadap prevalensi sepsis neonatorum awitan dini (SNAD). Terdapat 67 pasien yang lahir dan dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2018 dan diikutsertakan dalam penelitian ini, dan data yang digunakan didapatkan dari rekam medis. Subjek dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan durasi pengobatan antibiotik: sepsis (pengobatan >5 hari) dan non-sepsis (pengobatan ≤5 hari). Penelitian ini cross-sectional, dan menggunakan analisis univariat dan bivariat. 52 (77.6%) dari 67 pasien memiliki SNAD. Melalui analisis bivariat, faktor resiko yang diteliti tidak signifikan secara statistik (nilai p> 0.05) terhadap sepsis maupun non-sepsis, dengan pengecualian untuk demam pada ibu dengan nilai p yang tidak ada. Ketuban pecah dini (KPD) ≥18 jam, nilai APGAR rendah, usia gestasi <37 minggu, dan berat badan lahir (BBL) < 2500 gram memiliki OR>1, Sedangkan leukosit ibu ≥18000 sel/ µL memiliki OR <1. Untuk demam ibu dan nilai APGAR rendah OR tidak dapat dihitung. Pada kesimpulannya, KPD ≥18 jam, usia gestasi <37 minggu, BBL < 2500 gram, leukosit ibu ≥ 18000 sel/ µL, dan nilai APGAR rendah tidak berhubungan dengan prevalensi SNAD. Tidak ada faktor resiko yang paling berpengaruh.
Kata kunci: Faktor resiko sepsis, sepsis neonatorum awitan dini
The prevalence of sepsis among neonates are high. Hence, accurate diagnosis is required. However, diagnosis through clinical signs and symptoms are still vague, which remains a challenge for physicians. This research aims to study the association of six risk factors towards the prevalence of neonatal Early Onset Sepsis (EOS). A total of 67 patients that were born and treated in Ciptomangunkusumo Hospital in 2018 were used in this research, obtained from medical record. The subjects were divided into two groups based on the duration of treatment using antibiotics: sepsis (treatment >5 days) and non-sepsis (treatment ≤ 5 days). This study is cross-sectional, and uses univariate and bivariate analysis. 52 (77.6%) out of 67 patients have EOS. From bivariate analysis, the risk factors that were examined did not show a statistical significance (p-value > 0.05) towards sepsis and non-sepsis, except for maternal fever which p-value has no result. Prolonged rupture of membranes, low APGAR score, gestational age <37 weeks, and birth weight <2500 grams had an OR>1. On the other hand, high maternal leukocyte count has an OR< 1. The OR of maternal fever and low APGAR score was not able to be calculated. In conclusion, prolonged rupture of membrane, premature infant, birth weight <2500 grams, maternal leukocyte counts of ≥ 18000 cells/ µL, and low APGAR score has no relation with the prevalence of EOS. There are no most influential risk factors.
Keywords: Risk factors of sepsis, early onset sepsis
"Pendahuluan: Preeklampsia diketahui sebagai sindrom spesifik kehamilan dan salah satu penyebab tersering kematian ibu. Terdapat dua jenis preeklampsia, awitan lambat dan awitan dini. Akan tetapi, penelitian menujukkan bahwa preeklampsia awitan dini jauh lebih berbahaya untuk ibu dan bayi. Meskipun patogenesis preeklampsia masih belum jelas, insufisiensi plasenta akibat meningkatnya peroksidasi lipid dan invasi trofoblas yang defektif diduga sebagai salah satu faktor pencetus preeklampsia. PPARg, yang berfungsi untuk metabolisme lipid dan diferensiasi sel di plasenta, secara teori dapat mencetuskan preeklampsia apabila aktivasinya berkurang. Dengan demikian, studi ini ditujukan untuk menganalisis secara spesifik ekspresi protein PPARg pada plasenta preeklampsia awitan dini. Selain itu, analisis terhadap ekspresi protein PPARg juga dilakukan berdasarkan kategori karakteristik subjek, yaitu usia ibu dan usia kehamilan.
Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif potong lintang. Sebanyak 26 sampel jaringan plasenta dengan usia gestasi ≤ 33 minggu (preeklampsia awitan dini) digunakan dalam penelitian ini. Konsentrasi protein PPARg diukur pada homogenat jaringan plasenta dengan menggunakan metode ELISA. Selanjutnya, analisis data dilakukan secara statisik mennggunakan perangkat lunak IBM SPSS Statistics. Varian tes yang digunakan adalah t-test dan Mann-Whitney test untuk perbandingan, serta Pearson dan Spearman untuk tes korelasi.
Hasil: Ekspresi PPARg adalah 3.19±1.13 ng/mg protein; usia ibu 29.65±5.97 tahun; usia gestasi 30.50 (24-33) minggu. Berdasarkan kategori usia ibu, usia <30 tahun mengekspresikan PPARg sebesar 2.81 (0.60 – 5.71) ng/mg protein, sedangkan usia ≥30 tahun mengekspresikan 3.17 (1.75 – 5.40) ng/mg protein. Pada kategori usia gestasi, usia <30 minggu mengekspresikan PPARg sebanyak 2.86±1.14 ng/mg protein PPARg dan usia ≥30 minggu sebanyak 3.48±1.07 ng/mg protein. Dibandingkan dengan plasenta kehamilan normal (3.52 (1.12 – 12.43) ng/mg protein), plasenta preeklampsia mengekspresikan 2.94 (0.60 – 5.71) ng/mg protein PPARg.
Kesimpulan: Konsentrasi PPARg yang lebih tinggi ditemukan pada wanita berusia ≥30 tahun daripada wanita berusia <30 tahun. Berdasarkan usia gestasi (UG), konsentrasi PPARg pada UG ≥ 30 minggu lebih tinggi dibandingkan UG < 30 minggu. Jika dibandingkan dengan plasenta kehamilan normal, plasenta preeklampsia memiliki konsentrasi PPARg yang lebih rendah.
Introduction: Preeclampsia is regarded as a specific pregnancy disorder and one of the leading causes of maternal death. There are two types of preeclampsia, late-onset and early-onset. However, evidences have proven that early-onset preeclampsia is associated to deleterious outcomes for both mother and newborns. Though the pathogenesis is still unclear, placental insufficiency due to increased lipid peroxidation and defective trophoblast invasion is thought to be one cause of preeclampsia. PPARg, which functions for lipid metabolism and cell differentiation in placenta, is correlated to preeclampsia once the activation is lessened, theoretically. Thus, this research was intended to analyse protein expression of PPARg, specifically in placenta of early-onset preeclampsia. In addition, the analysis also conducted according to characteristics of the subjects, which are maternal age and gestational age.
Methods: The design of this research was descriptive cross-sectional study. There are 26 samples of placental tissues used with gestational age ≤ 33 weeks (early onset preeclampsia). In form of placental homogenates, protein concentration of PPARg was measured by using ELISA method. Statistical data analyses was performed in IBM SPSS Statistics software by using t-test and Mann-Whitney test for comparison, also Pearson and Spearmen for correlation test.
Results: The expression of PPARg was 3.19±1.13 ng/mg protein; maternal age 29.65±5.97 years; gestational age 30.50 (24-33) weeks. PPARg expression according to maternal age category is 2.81 (0.60 – 5.71) ng/mg protein in <30 years and 3.17 (1.75 – 5.40) ng/mg protein in ≥30 years. Based on gestational age (GA) group, GA <30 weeks expresses 2.86±1.14 ng/mg protein PPARg, while GA ≥30 weeks shows 3.48±1.07 ng/mg protein PPARg. In comparison to normal placenta (3.52 (1.12 – 12.43) ng/mg protein), preeclamptic placenta expresses 2.94 (0.60 – 5.71) ng/mg protein PPARg.
Conclusion: Distribution of PPARg is established higher in women aged ≥30 years than women aged <30 years. In gestational age ≥30 weeks, the PPARg distribution is also higher compared to gestational age <30 weeks. However, preeclamptic placenta distributes lower amount of PPARg than normal placenta.
"