Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sara Elise Wijono
"Tuberculosis adalah salah satu dari penyakit menular yang menyebabkan banyak masalah di seluruh dunia, WHO sudah menyarankan sebuah strategi untuk melawan Tuberkulosis, yang dikenal dengan DOTS (Directly Observed Treatment Short-Course) sejak 1995. Strategi tersebut telah diterapkan di Indonesia, yang merupakan salah satu dari lima besar Negara di dunia dengan kasus Tuberkulosis terbanyak sejak tahun 2000.
Riset ini menggunakan metode cross-sectional untuk mensurvei tujuh rumah sakit besar di Jakarta Timur dan Jakarta Pusat demi mengevaluasi implementasi strategi DOTS di rumah sakit tersebut. Area tersebut dipilih berdasarkan studi terdahulu yang mengamati MDR Tuberkulosis di daerah tersebut.
Ditemukan bahwa lima rumah sakit telah mengimplementasi strategi DOTS. Angka kesembuhan dari Tuberkulosis terlihat lebih tinggi di rumah sakit yang mengimplementasi DOTS, dengan persentase kesembuhan rata-rata 43.42 untuk rumah sakit yang mengimplementasikan DOTS dan 6.67 untuk rumah sakit yang tidak mengimplementasi DOTS.
Riset ini menunjukkan bahwa lima rumah sakit besar di Jakarta Timur dan Jakarta Pusat sudah mengimplementasikan strategi DOTS. Selain itu, diamati tren bahwa angka kesembuhan lebih tinggi di rumah sakit yang mengimplementasikan strategi DOTS. Walaupun demikian, perlu dilakukan studi dengan sampel yang lebih banyak untuk mendapatkan data yang lebih akurat.

Tuberculosis is an infectious disease that still causes high burden worldwide. WHO has suggested one strategy to combat Tuberculosis that is known as DOTS (Directly Observed Treatment Short-Course) since 1995. This method has been applied in Indonesia, which is one of the top five countries in the world with the highest Tuberculosis cases since 2000.
This study used cross-sectional method to survey seven main hospitals in East and Central Jakarta area to evaluate whether they have implement DOTS strategy. The area was chosen based on previous study regarding MDR-Tuberculosis.
It was found that five hospitals have implemented DOTS strategy. Recovery rate from Tuberculosis was found to be higher in hospitals implementing DOTS strategy compared to those that did not, with the mean percentage of 43.42 and 6.67 respectively for hospitals with DOTS strategy implementation and without DOTS strategy implementation.
This study suggest, therefore, that five hospital in East and Central Jakarta have implement DOTS strategy. Moreover, an apparent trend of higher Tuberculosis recovery rate was observed in hospitals implementing DOTS strategy. A future study with higher samples, however, is needed to further strengthen the evidence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fachmi Idris
"ABSTRAK
Tahun 1993, ditetapkan WHO sebagai tahun kedaruratan global TB. Ini terjadi akibat: 1) peningkatan kasus TB yang terkait dengan peningkatan kasus AIDS/HIV; 2) tingginya angka migrasi penduduk yang menyebabkan makin meningkatnya penyebaran penyakit TB; 3) perhatian pemerintah yang mulai berkurang dalam pemberantasan penyakit TB (terutama di negara-negara berkembang); 4) munculnya multi drugs resistant obat-obat TB. Di Indonesia, TB masih merupakan permasalahan kesehatan utama dan menduduki tiga besar dari peringkat penyebab kematian bersama-sama penyakit saluran napas dan kardiovaskuler. Untuk mengatasi permasalahan di atas, WHO memperkenalkan strategi directly observed treatment short course (DOTS). Strategi DOTS merupakan strategi untuk program penanggulangan TB (P2TB) yang terdiri dari 5 (lima) komponen, yaitu: 1) komitmen politik dari penentu kebijakan; 2) penegakan diagnosis dengan pemeriksaan hapusan sputum; 3) penggunaan obat paduan jangka pendek yang ampuh dan gratis; 4) adanya pengawas penderita menelan obat (PMO); 5) adanya sistem pencatatan dan pelaporan yang baik. Penerapan strategi DOTS, dapat meningkatkan cakupan penderita lebih dari 70% dengan angka kesembuhan lebih dari 85%, angka konversi setelah fase intensif lebih dari 80% dan angka kesalahan laboratorium kurang dari 5%.
Indonesia, sejak tahun 1995 mulai menerapkan strategi DOTS melalui puskesmas namun hasilnya tidak optimal karena tidak melibatkan sarana pelayanan lain. Kemampuan cakupan optimal puskesmas diperkirakan hanya sekitar sepertiga (30%) dari total penderita TB yang ada di masyarakat. Sepertiga penderita TB lainnya (30%) berobat ke dokter praktek swasta (DPS). Untuk memperluas cakupan pengobatan penderita TB maka strategi DOTS harus diterapkan pada DPS.
Pentingnya keterlibatan DPS dalam P2TB merupakan strategi global dari WHO. WHO berpendapat bahwa DPS dan pemerintah (pengelola P2TB) harus bermitra untuk bersama-sama memberantas TB, yang di beberapa negara telah terbukti keberhasilannya. Namun demikian, untuk menjalankan program kemitraan antara pemerintah dan DPS dalam P2TB bukanlah upaya yang mudah karena: 1) sifat dan karakter DPS (sebagai sektor swasta) sangat berbeda dengan pelaksana program kesehatan masyarakat (sebagai sektor publik); 2) adanya kompleksitas manajerial P2TB strategi DOTS yang harus disesuaikan dengan kondisi DPS. Untuk itu, perlu diciptakan model (kemitraan) yang dapat melibatkan DPS menjalankan strategi DOTS. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan mengimplementasikan serta mendeskripsikan proses dan mengevaluasi efek model kemitraan tersebut (selanjutnya disebut model ini disebut model kemitraan DPS-TB DOTS).
Penelitian ini menggunakan desain penelitian operasional, yaitu studi eksplorasi dan studi intervensi lapangan. Studi eksplorasi memerlukan dua tahap, yaitu: pertama, untuk menganalisis masalah (problem analysis/identification); kedua, menyusun model penyelesaian masalah (solution development). Studi intervensi lapangan bertujuan untuk mendeskripsi proses pelaksanaan model kemitraan DPS-TB DOTS dan mengevaluasi efek dari model kemitraan DPS-TB DOTS.
Studi eksplorasi menganalisis masalah menggunakan metode penelitian survai dan pendekatan kualitatif melalui diskusi kelompok terarah. Studi eksplorasi untuk menyusun model penyelesaian masalah menggunakan studi kepustakaan dan pertemuan pakar; yang menghasilkan model kemitraan teoretis DPS-TB DOTS. Studi intervensi terdiri dan 2 fase: 1) penyesuaian model kemitraan teoretis DPS-TB DOTS untuk dijadikan model kemitraan implementatif DPS-TB DOTS; 2) mengujicobakan model kemitraan implementatif DPS-TB DOTS di wilayah intervensi. Metode penyesuaian model adalah seminar dan curah pendapat. Metode studi intervensi adalah post test only with control group.
Dari hasil analisis masalah didapatkan bahwa DPS pada prinsipnya bersedia untuk terlibat dalam P2TB strategi DOTS dan tidak mengharapkan penghargaan (apalagi secara materi). Namun demikian, ada beberapa permasalahan yang teridentifikasikan apabila DPS akan dilibatkan, yaitu: 1) secara umum DPS belum paham tentang strategi DOTS; 2) perlu pengorganisasian untuk melibatkan DPS; 3) adanya kesulitan untuk menjalan prosedur diagnosis pemeriksaan sputum; 4) fungsi PMO tidak dapat dijalankan sendiri oleh DPS; 5) adanya keraguan tentang keberlanjutan dan tata cara distribusi obat; 6) sebagian DPS tidak bersedia untuk mencatat dan melaporkan pasien TB yang diobati. Berdasarkan temuan ini, dilakukan pertemuan pakar dan studi kepustakaan untuk mendapatkan model kemitraan teoretis DPS-TB DOTS yang menghasilkan: alternatif model pengorganisasian untuk melibatkan DPS, alternatif manajemen dari masing-masing komponen strategi DOTS. Model kemitraan teoretis merupakan model dasar yang dapat diterapkan pada seluruh DPS. Pada studi intervensi, model kemitraan teoretis setelah disesuaikan dengan kondisi lokal (yang bersifat spesifik di wilayah penelitian) menghasilkan model kemitraan implementatif DPS-TB DOTS di Palembang (model Palembang).
Terdapat dua aspek panting pada model Palembang, yaitu: 1) aspek pengorganisasian yang terdiri dari satuan gugus tugas dan Kelompok Dokter Pemerhati dan Pengobat TB; 2) aspek manajerial pelaksanaan yang meliputi alternatif dari alur rujukan laboratorium pemeriksaan sputum, rujukan kasus, pencatatan dan pelaporan dan penyediaan obat. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa 1) pada sisi proses pelaksanaannya, model dapat berjalan dengan baik; b) pada sisi evaluasi efek dari pelaksanaannya, temyata dibuktikan bahwa model menghasilkan efektivitas program yang lebih baik.
Pelajaran dari model Palembang adalah DPS dapat dilibatkan untuk menjalankan P2TB strategi DOTS. Keterlibatan ini telah menempatkan DPS sebagai bagian dari keseluruhan sistem pelayanan kesehatan yang ada dalam satu wilayah yang merupakan satu pendekatan kesehatan masyarakat baru (new public health approach). Pendekatan ini telah menciptakan hubungan (linkage) antara pelayanan kesehatan publik dengan pelayanan kesehatan swasta, yang membentuk sistem pelayanan kesehatan "publik privat miks". Disarankan temuan ini dapat dikembangkan di tempat lain sesuai dengan kondisi lokal yang ada di wilayah tersebut.

ABSTRACT
Public Private Partnership Between Public Health Sector And Private Practitioners On TB Control Program Through DOTS Strategy At Palembang CityTuberculosis as a global emergency was stated by WHO in 1993. This warning related to: 1) High incidence ADS/REV; 2) spreading TB among refugees and migrants; 3) lack of government concern; 4) multi drugs resistant of anti TB. In Indonesia, up to now TB is still a main public health problem. Based on some health household survey (recently 1995), it has been found that TB is around the second or the third greatest killer among cardiovascular diseases and respiratory system.
Faced this situation WHO recognized DOTS strategy that is success to against TB in developing countries. DOTS strategy has five component: 1) government commitment to sustained TB control activities; 2) case detection by sputum smear microscopy; 3) a regular, uninterrupted supply of all essential anti-TB drugs; 4) directly observed treatment (DOT); 5) recording and reporting system. Applying DOTS strategy could be: 1) increases coverage more than 70%; 2) increases conversion rate (after intensive phase) more than 80%; 3) decreases error rate (for lab sputum examination) less than 5%.
Since 1995, Indonesia applied DOTS strategy but up to now the data reflected slow progress of TB coverage because the implementation is covered in the puskesmas only. In fact, various health institutions treat TB patients, among them is the private practitioners (PPs). Current estimates indicate that each of the PPs and other private sectors diagnose and treat around 30% of the total numbers of TB cases.
The significant of the involvement of private practitioners is WHO global strategy. WHO ask the government to build a partnership with private sector (the PPs) to against TB. But, there are some constrains to build the partnership between government (as a public sector) with PPs (as a private sector) because: 1) the difference characters between them; 2) the management complexity of DOTS strategy itself that need adjustment for PPs to conduct that strategy. Therefore need to create program (model) that could be involved the private practitioners to increase the TB coverage in the term of mutual benefit between those sectors.
This research have three goals: the first goal is, to create model to involvement PPs on national tuberculosis program and implement the model, the second goal is, to describe the process of model implementation; and the third goal is, to evaluate model impact i.e. the effectiveness of the program. The research method is operational research design that consists of two stages. First stage is exploration study to analysis current situation to involve the PPs (problem analysis/problem identification) and to develop problem solution (model development) base on problem identification. Second stage is intervention study to evaluate the fitness and impact of the model (solution validation) in a period of intervention.
The exploration study to analysis current situation (problem analysis/problem identification) use survey method as a quantitative study and qualitative study-focus group discussion as additional method The exploration study to develop problem solution (model development) use literature review and expert meeting; the product of this stage is theoretical public private partnership model. The intervention study have two phase: 1) adjusting the theoretical public private partnership model to be the implementing model base on local specific environment at the intervention area; 2) to intervene implementing public private partnership model at the intervention area The method of the adjusting model is seminar and brainstorming. The method of intervention is the posttest design only with control group.
Problem analysis found that the PPs available to conduct DOTS strategy principally. But there are potential problems, i.e. 1) the PPS has lack of knowledge about DOTS strategy; 2) the PPs need to be organized; 3) the problem in sputum smear examination; 4) there is no PPs manpower to conduct DOT activity; 5) the PPs is not sure about sustainability free anti TB drug; 6) The difficulty to conduct of the reporting system. Base on that finding, to be conducted expert meeting and literature review that produce theoretical model which consist of organizational alternative to involve PPs and management alternative for sputum smear examination, DOT, anti TB drug supply, and reporting system. The theoretical model is agreed as a general model if DOTS strategy will be implemented on PPs. In the intervention study, the theoretical model that was adjusted according to local specific environment at the intervention area has produced implementing public private partnership model (known as "model impelrnentatif DPS-TB DOTS" at Palembang City).
Palembang model has two important aspect, i.e.: 1) organizational aspect, consist of: DOTS taskforce and PPs group of TB Control; 2) management aspect, consist of the alternatives of sputum examination, case referral, reporting and recording and drug supply. The conclusion of this result shows that model fit to be conducted by PPs. At the process evaluation, DPS run the model in the line with standard. At the impact evaluation, the model enhances the effectiveness of the PPs performance to handle TB patients.
Palembang lesson learn found that there is a new approach in the TB control program (public sector) to involve the PPS (private sector) to conduct public health program. This approach builds linkage, which put private provider as a part of the whole health service system. In the communicable disease control program, this is a new public health approach-known as public private mix health service system-that could be replicable to other place through some condition, especially local specificity at that area."
Depok: 2003
D569
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asnawi
"Program penanggulangan Tuberkulosis Paru dengan strategi Directly Observed Treatment Short course (DOTS) telah dimulai sejak tahun 1995. Diantara indikator yang dapat digunakan melihat keberhasilan strategi DOTS adalah angka kesembuhan dan angka konversi. Di kota Jambi angka kesembuhan pada tahun 2000 sebesar 87,5% di atas target nasional sebesar 85%, dan tahun 2001 turun menjadi 80%. Sedangkan angka konversi BTA (+) menjadi BTA (-) tahun 2001 hanya mencapai 65% di bawah target nasional sebesar 80%,. Terjadinya penurunan angka kesembuhan dan angka konversi tersebut mengindikasikan adanya penurunan persentase penderita Tb Paru yang patuh berobat di kota Jambi tahun 2001. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di kota Jambi tahun 2001.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu 2 bulan, dengan menggunakan data primer yang di peroleh dari basil wawancara melalui kuesioner. Sampel penelitian adalah seluruh penderita Tb Paru yang telah selesai berobat sejak 1 November 2000 sampai 31 Oktober 2001 sebanyak 133 orang.
Penelitian ini menunjukkan bahwa faktor pengetahuan, efek samping obat (ESO), jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, persepsi terhadappersediaan obat, penyuluhan oleh petugas, jenis PMO dan peran PMO mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru.
Dan hasil analisis multivariat dapat disimpulkan bahwa faktor jarak dari rumah ke Puskesmas, kesiapan transportasi, penyuluhan oleh petugas, dan peran PMO merupakan variabel yang dominan berhubungan dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru di Kota Jambi tahun 2001.
Penelitian ini menyarankan pihak program dapat memanfaatkan tenaga kesehatan yang berdomisili dekat dengan penderita untuk memperrnudah pasien mengambil obat misalnya bidan di desa, perawat, petugas kesehatan di Puskesmas Pembantu.
Agar PMO benar-benar dapat melaksanakan tugas sesuai fungsi dan peranya dengan baik, maka dimasa yang akan datang disarankan perlu melakukan pemilihan PMO yang lebih selektif, dan semua PMO tersebut di beri pelatihan secara khusus sebelum pengobatan dimulai. Dengan memperhatikan kuatnya hubungan antara penyuluhan yang diberikan petugas dengan kepatuhan berobat penderita Tb Paru serta didukung hasil beberapa penelitian terdahulu, maka di masa akan datang perlu pengamatan secara kualitatif tentang penyuluhan langsung perorangan yang diberikar petugas kepada penderita Tb Paru di Puskesmas, dan kemungkinan altematil pengembangan keterampilan petugas dalam memberi penyuluhan lansung perorangan (misalnya dengan mengikuti pelatihan atau kursus berhubungan dengan penyuluhan tersebut).

Lung Tuberculosis control program by Directly Observed Treatment Short course (DOTS) has been started since 1995. Among the indicators that suggested the ? level of successfulness of DOTS strategy are cure rate and conversion rate. In Jambi recovery rate in year 2000 is 87,5% higher than 85% of national target, but in 2001 decrease to 80%. Whereas conversion rate of Acid-Fast Bacilli positive to negative in 2001 is only 65% below 80% of national target. The decreasing rate of recovery and conversion indicating the decreasingly of lung TB patient which obey regular medication in Jambi. This study generally to find out factors related to medication compliance of lung TB patient in Jambi year of 2001.
This study using a cross sectional design, carried out in two months, primary data obtained from interview with questionnaires. The sample is all of the 133 lung TB patients that have been taking medication since 1st of November 2000 to 31st of December 2001.
This study suggest that such factors like knowledge, drugs side effect, distance from home to community health centre, transportation, perception to drugs availability, information dissemination by health officer, and drug usage supervising have significance correlation to patient's obedient to medication. From multivariate analysis, can conclude that distance factor from house to community health centre, transportation, information by healthcare staff, and drug usage supervising are dominant variable related to lung TB patient's compliance in medication in Jambi year of 2001. This study recommended that program planner to involve every healthcare staff which living nearby patient to help patient in this medication such as midwife or community health centre staffs.
In order to encourage PMOs to do the task appropriately, in the future all PMOs should be rained before doing their job. By considering relationship between educations by healthcare staff with patient's compliance to medication and supported by the results from previous study, so in the future need qualitative observation about information directly to TB lung patient in community health centre, and alternative for developing skill of healthcare staffs in disseminating information directly to an individual.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eriska Dara Funna
"ABSTRAK
Tuberkulosis tercatat sebagai penyebab kematian nomor sembilan di dunia dan Indonesia menjadi negara kedua dengan kejadian tuberkulosis terbanyak di dunia. Dalam upaya mengendalikan tuberkulosis, pelaksanaan metode DOT directly observed treatment dibandingkan metode SAT self administered treatment menjadi hal yang penting untuk menjamin kepatuhan pasien. Tuberkulosis juga menyebabkan pengeluaran yang tidak sedikit karena pasien harus menjalani terapi dalam jangka waktu yang panjang, sehingga dibutuhkan suatu studi untuk menghubungkan kualitas hidup yang pasien peroleh dengan biaya yang harus dikeluarkan selama pengobatan. Dalam penelitian ini, dilakukan analisis utilitas-biaya untuk melihat bagaimana pengaruh metode DOT dan SAT terhadap kualitas hidup pasien dan biaya yang dibutuhkan untuk setiap metode tersebut. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan pengumpulan data primer dan data sekunder. Subjek penelitian adalah pasien tuberkulosis kategori I yang berumur 18 tahun ke atas di RSPAD Gatot Soebroto. Utilitas diperoleh dengan bantuan kuesioner EQ-5D-5L dan biaya yang digunakan dilihat dari perspektif masyarakat dengan komponen biaya medis langsung, biaya non medis langsung, dan biaya tidak langsung. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah nilai utilitas sebesar 0,718 dengan total biaya pengobatan sebesar Rp5.499.656,00 pada kelompok DOT n=12 dan nilai utilitas sebesar 0,838 dengan total biaya biaya pengobatan sebesar Rp5.804.887,00 pada kelompok SAT n=30. Berdasarkan nilai tersebut, diperoleh rasio utilitas-biaya sebesar Rp7.659.688,02 pada kelompok DOT, Rp6.927.072,79 pada kelompok SAT, dan rasio inkremental utilitas-biaya sebesar Rp2.543.592/utilitas. Hasil yang telah diperoleh menunjukkan bahwa di RSPAD Gatot Soebroto kelompok DOT lebih utilitas-biaya dibandingkan kelompok SAT.

ABSTRACT
Tuberculosis TB recorded as the 9th cause of death worldwide and Indonesia becomes the 2nd country with the highest TB incidence worldwide. Implementation of DOT directly observed treatment method compared to SAT self administered treatment method is the important thing to ensure patient compliance. Tuberculosis also causes a lot of expenditures because patients have to undergo therapy for a long period of time, so a study is needed to link the quality of life that patients get with the costs at the expense of treatment. In this study, a cost utility analysis was conducted to see how the DOT and SAT methods influence the patient 39 s quality of life and how much it costs for each method. This study used a cross sectional design with primary data and secondary data collection. The subjects were tuberculosis category I patients aged 18 years and over at RSPAD Gatot Soebroto. Utilities were obtained with the help of the EQ 5D 5L questionnaire and the costs used were viewed from a social perspective with the components of direct medical costs, direct non medical costs, and indirect costs. The results obtained in this study is the utility value of 0.718 with total medical expenses Rp5.499.656,00 in the DOT group n 12 and the utility value of 0.838 with the total cost of medical expenses Rp5.804.887,00 in the SAT group n 30 . Based on these values, the average cost utility rasio in the DOT group was Rp7,659,688.02, in the SAT group was Rp6,927,072.79, and an incremental cost utility ratio was Rp2,543,592 utility. The results showed that in RSPAD Gatot Soebroto the DOT group is more cost utility than the SAT group."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah
"Penyakit tuberkulosis di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pemerintah memperkirakan saat ini setiap tahun terjadi 583.000 kasus bare dengan kematian 140.000 orang. Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah telah melaksanakan program penanggulangan TB dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse) sejak tahun 1995.
Untuk mengetahui keberhasilan program DOTS, menggunakan indikator atau tolok ukur angka konversi pada akhir pengobatan tahap intensif minimal 80%, angka kesembuhan minimal 85% dari kasus baru BTA positif, Di Puskesmas Kecamatan Jatinegara, angka kesembuhan tahun 2001 baru mencapai 80% dan angka konversi sebesar 90,65%. Angka kesembuhan tersebut sangat berkaitan dengan kepatuhan berobat penderita TB paru bersangkutan. Oleh karena itu secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang hubungan persepsi , pengetahuan penderita, dan Pengawas Menelan Obat dengan kepatuhanberobat penderita TB paru di Puskesmas Kecamatan Jatinagara tahun 2001.
Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan memanfaatkan data primer dan sekunder. Penulis melakukan pengumpulan data dengan wawancara berpedoman pada kuesioner pada tanggal 29 Maret 2002 sampai 8 Mei 2002 dad seluruh penderita TB paru BTA positif sebanyak 92 orang yang mendapat pengobatan kategori-1 dan telah selesai berobat di Puskesmas tersebut tahun 2001. Variabel dependen adalah kepatuhan berobat, dan variabel independen adalah persepsi kerentanan, persepsi keseriusan, persepsi manfaat minus rintangan , persepsi ancamanlbahaya, pengetahuan dan pengawas menelan obat. Sedangkan variabel confounding terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan. Untuk pengolahan data, penulis menggunakan analisis univariat, bivariat dan multivariat dengan regresi logistik Banda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang patuh berobat 73,9 % dan tidak patuh berobat 26,1%_ Dui basil analisis bivariat didapatkan variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan kepatuhan berobat adalah variabel persepsi kerentanan P value=4.045 dan OR=0,314 , persepsi keseriusan P value 0,034 dan OR=3,26 , persepsi manfaat minus rintangan P value-0,023 dan OR=3,70 , persepsi ancamanl bahaya P value~,030 dan OR=0,310 dan pengawas menelan obat P value-0,008 dan OR=0,171. Sedangkan basil analisis multivariat mendapatkan tiga variabel yang berhubungan dengan kepatuhan berobat yaitu keseriusan P value=0,013 dan OR=6,221, manfaat minus rintangan P value 0,019 dan OR=5,814 , dan pengawas menelan obat P value= 0,024 dan OR ,174. Namun yang paling dominan diantara ketiga variabel tersebut adalah variabel keseriusan P value-0,013 dan OR-6,221.
Peneliti menyarankan kepada pengelola program penanggulangan TB pare di Puskesmas untuk memberikan informasi yang cukup dan lebih jelas lagi tentang TB pare kepada setiap penderita dengan menggunakan bahasa sederhana agar penderita mudah memahami dan melaksanakannya. Sebaiknya di ruang tunggu Puskesmas diadakan penyuluhan TB paru melalui TV dan poster. Meningkatkan pecan PMO melalui penyuluhan dan pertemuan yang efektif dengan kader kesehatan , TOMA dan terutama dengan PMO dari keluarga. Mensosialisasikan Pedoman Umum Promosi Penanggulangan TB yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2000 .

Tuberculosis remains to become a large public health problem in Indonesia. This time the government estimates that there are 583.000 new cases of tuberculosis and up to 140.000 persons die from tuberculosis annualy. Solving this problem the government has carried out the program to fight against tuberculosis by DOTS (Directly Observed Treatment Short course) strategy since 1995.
To know the success of DOTS program we use indicator or yard stick i.e. conversion rate at the end of intensive medication stage is minimal 80% and cure rate is minimal 85% of acid-fast bacilli positive new cases. In Puskesmas Kecamatan Jatinegara in 2001, the cure rate achieved 80% and the conversion rate was 90,65%. The cure rate is closely related to medication compliance of those lung tuberculosis patients. Therefore in general, the aim of this study is to obtain information about the relationship between perception, patient's knowledge , PMO (Drug Swallowing Observer), and medication compliance of lung tuberculosis patients in Puskesmas Kecamatan Jatinegara, year of 2001.
This study used cross sectional design employing both primary and secondary data. The writer collected data based on interview with questionnaires on 29 March 2002 to 8 May 2002 from all smear-positive lung tuberculosis patients as much as 92 persons who have received category-1 therapy and have completed the medication in the Puskesmas in the year 2001. The dependent variable is the medication compliance, and the independent variables are the perceived susceptability, perceived seriousness, perceived benefits minus barriers, perceived threat, knowledge of TB, and PMO. Whereas the confounding variables consist of age, gender, education and job. Processing the data the writer used univariate, bivariate analysis and multivariate analysis with multiple regression logistic.
The result of this study showed that respondents who complied with medication was 73,9% and those who uncomplied with medication was 26,1%. From the result of bivariate analysis found variables which had significant relationship to medication compliance. Those variables were perception of susceptability P value=4,045 and OR=0,314 , perception of seriousness P value= 0,034 and OR=3,26 , perception of benefits minus barriers P value 0,023 and ORO,370 , perception of threat P value x,030 and OR=0,310 ,and PMO P value-3,008 and OR=0,171. Whereas the result of multivariate analysis found three variables which had significant relationship to medication compliance i.e. persception of seriousness P value=0,013 and OR=6.221, benefits minus barriers P value-A019 and OR=5,814 , and PMO Pvalue=0,024 and OR=0,174. Nevertheless the most dominant amongst those three variables was perception of seriousness P value 0,013 and OR=6,221.
The writer suggests the management of the program to fight against lung tuberculosis in Puskesmas to give adequate and clearer information about lung tuberculosis to each patients using simple and plain language in order the patients to understand and practice it easily_ It is best that Puskesmas carries out lung tuberculosis counseling by TV and poster in the waiting room. To increase the role of PMO by the way of effective counseling and meeting with health cadres or volunteers , TOMA (public vigors) and especially with PMO who comes from family. Socialization of Pedoman Umum Promosi Penanggulangan TB published by Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Linglcungan year of 2000.
BibIiograhy : 41 (1965 - 2001)
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T620
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mardjono Samad
"Penyakit Tuberkulosis Paru pada umumnya menyerang penduduk usia produktif. Dari segi ekonomi penyakit ini dapat menimbulkan dampak terhadap produktivitas seseorang dan keluarga, yang pada akhirnya pertumbuhan ekonomi menjadi terganggu.
Dalam rangka mengefektifkan program pemberantasan penyakit tuberkulosis paru, maka sejak tahun 1993 Indonesia telah menetapkan strategi baru dalam pemberantasan penyakit Tb.Paru, yang dikenal dengan stratagi DOTS (Directly Obseved Treatment Short Course).
Hasil analisis data program P2.Tb.Paru di Kota Palu selama kurun waktu tahun 1997-1999, menunjukan bahwa cakupan penggunaan pelayanan kesehatan oleh penderita tersangka Tb.Paru di Kota Palu baru mencapai 28,5% pertahun. Di wilayah Kecamatan Palu Selatan, khususnya di Puskesmas Kawatuna dan Puskesmas Petobo cakupan tersebut Baru mencapai 27,4% dari perkiraan jumlah penderita tersangka Tb.Paru yang ada di wilayah tersebut. Rendahnya cakupan penggunaan pelayanan Kesehatan diperkirakan berhubungan dengan faktor pengetahuan, dan faktor-faktor lainnya seperti: pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, persepsi bahaya, biaya pengobatan, penerimaan informasi tentang Tb.Paru dan dorongan keluarga.
Penelitian ini dilaksanakan di Wilayah Kecamatan Palu Selatan Kota Palu, tepatnya di Puskesmas Kawatuna dan Puskesmas Petobo pada Tahun 2001. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kasus-kontrol tidak berpadanan. Sebagai populasi adalah semua penderita tersangka Tb.Paru yang berusia >15 tahun dan berdomisili di wilayah penelitian tahun 2001. Sedangkan sampel adalah semua penderita tersangka Tb.Paru yang mempunyai gejala batuk berdahak > 3 minggu, ditemukan pada saat dilakukan skrining. Kasus adalah penderita tersangka Tb.Paru yang tidak menggunakan pelayanan kesehatan dan kontrol adalah penderita tersangka Tb.Paru yang menggunakan pelayanan kesehatan. Besarnya sampel dalam penelitian ini adalah 306, yang terdiri dari 80 sampel pada kasus , dan 226 sampel kontrol.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola penggunaan pelayanan kesehatan, menilai kekuatan hubungan antara faktor pengetahuan setelah dikontrol dengan variabel pendidikan, pekerjaan, persepsi bahaya, biaya pengobatan, dorongan keluarga dan faktor penerimaan informasi tentang Tb.Paru dengan penggunaan pelayanan kesehatan bagi penderita tersangka Tb.Paru.
Hasil penelitian menunjukan, berdasarkan analisa bivariat terdapat 4 (empat) variabel yang secara statistik mempunyai hubungan yang signifikan dengan penggunaan pelayanan kesehatan, yaitu pengetahuan, pendidikan, persepsi bahaya dan penerimaan informasi Tb.Paru. Hasil analisa multivariat menunjukan, bahwa dua variabel yang dinilai mempunyai kekuatan hubungan, yaitu variabel pengetahuan, dan penerimaan informasi tentang Tb.Paru. Variabel pengetahuan dalam penelitian ini dinilai mempunyai kekuatan hubungan yang lebih besar OR = 13,811 ; 95% Cl = 7,318 - 26,067 dibanding dengan variabel penerimaan informasi tentang Tb.Paru dengan OR = 2,417 ; 95% CI=1,305 - 4,476. Artinya penderita tersangka Tb.Paru yang mempunyai pengetahuan rendah tentang penyakit Tb.Paru mempunyai risiko sebesar 13,8 kali untuk tidak menggunakan pelayanan kesehatan dibanding dengan yang mempunyai pengetahuan tinggi.
Upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan cakupan penggunaan pelayanan kesehatan oleh penderita tersangka Tb.Paru di Kecamatan.Palu Selatan, adalah upaya peningkatan promosi kesehatan/penyuluhan tentang penyakit Tb.Paru secara berkesinambungan kepada masyarakat, yang klaim pelaksanaanya perlu didukung unsur advocacy, social support dan empowerment.

The Factors that Related to the Use of the Health Service for Suspected Lung Tuberculosis in South Palu Sub-district, Palu City, 2001Lung Tuberculosis Disease usually attacks people at the reproductive age economically, this disease can emerge the impact to productivity of them as well as their family and furthermore to national economic growth.
In order to make effective the program on lung tuberculosis eradication, since 1993 Indonesia has decided the new strategy in combating this disease namely DOTS (Directly Observed Treatment Short Course).
According to the data analysis on lung tuberculosis in Palu City within 1997 to 1999, it showed that the coverage of the use of health care by suspected lung tuberculosis was only 285% per year. In South Palu Sub-district, especially at Kawatuna and Petobo Community Health Centers, the coverage was only 27A% from the estimation figures to all suspected lung tuberculosis in these areas. The low of its coverage was related to the factors such as knowledge, education, occupation, sex, perception of dangerous, cost of medication, information on lung tuberculosis, and motivation of their families.
The research was conducted in the area of South Palu Sub-district, Palu City, at Kawatuna and Petobo Community Health Centers at the year of 2001. The design used in this research was un-matching case-control. The population was all suspected lung tuberculosis who more 15 years of age and selected in the research area in 2001. While the samples were all suspected lung tuberculosis who's indicated cough sputum symptom more than 3 weeks, at the time of screening. The cases were suspected lung tuberculosis that did not used the health care, while the control were those who used the health care. The samples were 306 consist of 80 cases and 226 controls.
The objective of the research was to know the pattern of the use of the health care, to grade the power relationship between the knowledge after controlled by the factors such as education, occupation, perception of dangerous, cost of medication, motivation of family, and the information received by them on lung tuberculosis and the use of the health care for suspected lung tuberculosis.
The result of the research showed that based on bivariates analysis there were four variables which statistically have significant relationship to the use of the health care. Those variables were knowledge, education, perception of dangerous, as well as information received on lung tuberculosis. According to multivariate analysis showed that two variables, which graded have power relationship, those were variable knowledge, and information received on lung tuberculosis. Knowledge variable in this study graded has greater power relationship (OR = 13,811; 95% CI = 7,318-26,067) than information received on lung tuberculosis (OR = 2,417; 95% CI = 1,305-4,476). It means that those who had lower knowledge on lung tuberculosis had risk 13,8 times for not use the health care compared to who with higher knowledge.
Considering the result of the research it was suggested to increase the coverage of the use of the health promotion as well as giving information about lung tuberculosis continuously to the community supported by advocacy, social support and community empowerment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T7735
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Mediana Purnami
"Tuberkulosis masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, karena merupakan penyakit yang menular dan dapat menyebabkan kematian. Salah satu upaya penanganan tuberculosis di dunia dengan program strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) termasuk di Indonesia. Sebenarnya bila TB paru ditanggani dengan baik dan benar dapat disembuhkan sehingga diharapkan setiap penderita TB paru dapat sembuh dari penyakitnya, akan tetapi bila tidak ditanggani dengan baik dan benar dapat menyebabkan terjadinya DO (Drop Out). Di Kabupaten Bandung rata-rata angka DO penderita TB paru pada tahun 2001, sebesar 10,8%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya DO pada penderita TB paru di Kabupaten Bandung tahun 2001.
Penelitian ini menggunakan data primer dengan disain kasus kontrol dan dilakukan di wilayah Kabupaten Bandung, dilaksanakan pada bulan Mei- Juni 2002. Sampel penelitian adalah penderita TB paru di Kabupaten Bandung dengan jumlah sampel kasus sebanyak 77 responden dan kontrol sebanyak 77 responden.
Hasil penelitian mengenai persepsi biaya dengan terjadinya DO pada penderita TB paru diperoleh ORa 8,918 dengan (95% CI 1,859 - 42,785) dan nilai p=0,006, berarti bahwa biaya mahal beresiko sebesar 8,92 kali untuk menjadi DO bila dibandingkan dengan penderita yang berpersepsi murah setelah dikontrol dengan variabel jarak dan ESO.
Demikian Pula dengan penderita TB paru yang merasakan adanya ESO diperoleh nilai p=0,004 (p<0.05) dengan ORa 2,78 (95%CI: 1,393-5,539) berarti bahwa penderita TB paru yang merasakan adanya ESO beresiko 2,78 kali bila dibandingkan dengan penderita yang tidak merasakan adanya ESO, setelah dikontrol variabel jarak dan biaya. Sedangkan penderita TB paru dengan persepsi jarak jauh diperoleh p 0,012 (p<0,05) dan ORa 2,497 (95% CI: 1,220-5,109), berarti bahwa penderita TB paru yang berpersepsi jauh dari rumah ke tempat pelayanan beresiko 2,497 kali menjadi DO bila dibandingkan dengan penderita TB paru dengan persepsi jarak dekat setelah dikontrol variabel biaya dan adanya ESO.
Dengan diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya DO pada penderita TB paru pada penelitian ini dapat memberikan saran kepada Dinas Kesehatan dan Puskesmas pengelola program TB paru sehingga dapat menekan angka DO penderita TB paru di Kabupaten Bandung.

The Factors Related to the Occurrence of DO of Pulmonary TB Patients in Bandung Regency in the Year 2001Tuberculosis is still a health problem in Indonesia as well as in other countries in the world because it is a contagious disease which can cause death if not treated well. One effort in treating Tuberculosis in the world including in Indonesia is by applying the strategic program, namely the DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). In fact, in the pulmonary Tuberculosis is treated well and properly, it can be cured, and therefore every TB patient can recuperated but if it is not treated well and properly it will result in DO (Drop Out). In Bandung Regency the DO of pulmonary TB in the year 2001 is 10.8%.The aim of this research is to know the factors related to the DO of pulmonary TB patients in Bandung Regency in the year 2001.
This research applies primary data with a case-control design and is done in Bandung Regency, carried on in May - June 2002. The samples of the research are pulmonary TB patients in Bandung Regency with the sample case of 77 respondents and control as many as 77 respondents.
The result of the cost perception causing DO in pulmonary TB patients is OR 8.918 with (95%CI 1.859 - 42.785) and the p value =0.006, which means the high cost perception ha a risk of 8.92 times to be DO if compare to patients with cheap perception after being controlled distance perception variable and the side effect of tuberculosis-pulmonary drug therapy.
It is also the same as the pulmonary TB patients who feel the side effect of tuberculosis-pulmonary drug therapy with ORa 2.778 (95% CI: 1,339-5,539) and the p value = 0,004 (p<0,05) which means who feel the side effect of tuberculosis - pulmonary drug therapy has a risk of 2,778 times to be DO if compare to patients who do not feel the side effect of tuberculosis-pulmonary drug therapy after being controlled with the perception cost and with far distances perception.
And the pulmonary TB patients with the far distances perception with ORa 2.497 (95% CI; 1,220-5,109) and p value = 0,012 (p<0,05) its means the patients with the far distances perception has risk of 2,497 times to be DO if compare to pulmonary TB patients with the near distances perception after being controlled with cost variable and the side effect of tuberculosis-pulmonary drug therapy.
Having known the factors related to the occurrence of DO in pulmonary TB patients in this research, it is possible to give suggestions to: the health office regency and the pulmonary program, to reduce the number of DO."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 10727
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nilda Elfemi
"Pelaksanaan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Sourtcurse) dalam penanggulangan penyakit tuberkulosis sudah dilaksanakan semenjak tahun 1995. Strategi ini merupakan strategi yang paling cost-effective dengan pencapaian kesembuhan yang tinggi (beberapa hasil penelitian menunjukkan pencapaian kesembuhan diatas 90%). Dalam pelaksanaan strategi DOTS ini, puskesmas ditetapkan sebagai ujung tombak program dengan target pencapaian cakupan pelayanan penderita secara nasional pada tahun 2000 adalah 70%. Permasalahannya adalah bahwa sampai saat ini (saat penelitian dilakukan) cakupan pelayanan penderita yang berhasil dicapai sangat rendah (secara nasional hanya 10%, dan di daerah penelitian adalah 30%). Berdasarkan kondisi tersebut, maka pokok permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah: bila tingkat kesembuhan yang dapat dicapai dengan strategi DOTS ini sangat tinggi, mengapa cakupan pelayanan tuberkulosis di puskesmas sangat rendah, faktor apa saja yang mempengaruhi cakupan pelayanan penderita tuberkulosis di puskesmas, dan aspek sosial kultural apa saja yang mempengaruhi perawatan kesehatan penderita tuberkulosis.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang berbentuk deskriptif interpretif, yang didasarkan pada data kualitatif dan data kuantitatif. Analisa dan penyajian data dilakukan secara kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi partisipasi, dengan memanfaatkan pedoman wawancara mendalam sebagai alat pengumpulan data.
Untuk ketajaman analisa, penelitian menggunakan dua kerangka berpikir. Pertama, kerangka berpikir yang dikemukakan oleh Foster (1986:50), terutama digunakan untuk memahami konsepsi masyarakat di daerah penelitian berkenaan dengan sehat dan sakit serta keputusan perawatan kesehatannya. Kedua, kerangka berpikir yang dikemukakan oleh Nico S. Kalangie (1994:5), terutama digunakan untuk memahami berbagai faktor yang mempengaruhi masyarakat (penderita tuberkulosis) dalam perawatan kesehatannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di daerah penelitian terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi perawatan kesehatan penderita tuberkulosis yaitu :
1. Pengetahuan, terutama pengetahuan yang berkaitan dengan penyebab penyakit tuberkulosis. Beragamnya pengetahuan tentang penyebab penyakit tuberkulosis ini ternyata telah mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk tindakan perawatan kesehatan dan pilihan tempat berobat.
2. Persepsi. Adanya bahwa penyakit tuberkulosis bukanlah penyakit berbahaya (terutama pada gejala awal), mengakibatkan sebagian besar masyarakat tidak melakukan perawatan secara serius.
3. Masih adanya kepercayaan di masyarakat bahwa penyakit tuberkkulosis tidak bisa disembuhkan, sehingga tidak mempunyai semangat untuk berobat.
4. Masih terdapat sikap kurang peduli dari sebagian besar masyarakat terhadap penyakit tuberkulosis terutama pada gejala awal penyakit tersebut.
5. Berkaitan dengan faktor ekonomi adalah harga obat yang dianggap mahal oleh sebagian besar penderita tuberkulosis, terutama bila penderita penyakit tersebut harus mendapat perawatan di rumah sakit.
6. Faktor aksesibilitas terhadap pelayanan kesehatan (puskesmas) relatif tidak terkait dengan kondisi geografis, melainkan dengan mahalnya biaya transportasi untuk mencapai pelayanan kesehatan yang harus menggunakan "ojek motor" khususnya ke puskesmas.
7. Permasalahan yang dirasakan oleh mayarakat khususnya penderita penyakit tuberkulosis berkaitan dengan kualitas pelayanan adalah bahwa hasil pemeriksaan dahak di laboratorium yang tidak dapat langsung dilihat pada hari pertama kunjungan, tetapi harus menunggu 1-2 hari berikutnya. Kondisi ini bagi pihak penderita tuberkulosis jelas akan menjadi biaya tambahan (ongkos ojek) yang memberatkan mengingat tingkat ekonominya yang relatif rendah.
Faktor-faktor sebagaimana tersebut di atas pada kenyataannya sangat berdampak pada rendahnya cakupan pelayanan kesehatan penderita tuberkulosis di daerah penelitian. Faktor lainnya adalah karena di daerah penelitian tersedia banyak tempat untuk memperoleh perawatan kesehatan atau pengobatan, sehingga masyarakat akan memilih tempat perawatan yang sesuai dengan kemampuan dan kepercayaannya. Dalam kasus penyakit tuberkulosis di daerah penelitian, ternyata selain puskesmas, mantri kesehatan merupakan tempat yang disenangi dan banyak dipilih sebagai tempat berobat. Kondisi ini juga didukung oleh strategi pencarian penderita secara pasif.
Berdasarkan temuan penelitian tersebut, dan untuk meningkatkan pelayanan di masa datang maka perlu dilakukan penyuluhan secara rutin dan berkala, pencarian penderita secara aktif, serta ketersediaan tenaga penyuluh yang memiliki kemampuan komunikasi dan pengetahuan sosial kultural masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12047
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
J. Sudarsono
"Sebagian besar kecelakaan kerja disebabkan oleh perilaku kerja tidak aman atau at risk behavior, Menurut studi Dupont mengatakan bahwa 96% kecelakaan kerja diakibatkan oleh perilaku kerja tidak aman. Accident ratio study mengatakan bahwa kecelakaan serius tidak terjadi begitu saja tetapi merupakan akibat dari akumulasi kecelakaan yang relatif ringan sebelumnya. Rasio tersebut adalah satu kasus kecelakaan serius diakibatkan dari akumulasi 10 minor injury, 10 minor injury diakibatkan oleh akumulasi 30 property damage accidents, 30 propety damage accidents diakibatkan oleh akumulasi 600 incidents with no visible injury or damage atau disebut juga nearmiss atau hampir celaka. Nearmiss ini merupakan perilaku tidak aman atau at risk behavior, (Frank E. Bird, Jr & George L. Germain, Practical Loss Control Leadership, First Edition, 1990:21).
Semua pekerjaan yang berpotensi menimbulkan kecelakaan kerja maupun tidak semuanya dilakukan oleh manusia. Hal yang spesifik dari manusia yang dapat menimbulkan kecelakaan kerja adalah perilakunya.
Traditonal Safety Management memang telah banyak menurunkan kecelakaan kerja namun masih meninggalkan residual accident. Residual accidents ini yang akan dikendalikan lebih lanjut melalui pendekatan behavior based safety.
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hubungan aspek Input-Proses-Output dalam penerapan behavior based safely dengan program STOP di BP Indonesia sehingga dapat diketahui kesulitan-kesulitan dalam implementasinya demi perbaikan yang berkelanjutan.
Penelitian ini adalah studi evaluasi dengan pendekatan kualitatif. Data primer diperoleh dari kuesioner dan data sekunder diperoleh dari HSE Department-BP Indonesia.
Hasil penelitian yang diperoleh terutama adalah faktor kualitas dalam melakukan observasi perilaku sehingga proses perubahan perilaku belum terjadi secara optimal, hal ini diindikasikan dari banyaknya jumlah observasi yang belum disertai dengan penurunan kecelakaan kerja. Untuk itu perlu diadakan pembekalan Positive Interaction Skill kepada seluruh pekerja agar proses interaksi sewaktu melakukan observasi dapat menghasilkan proses perubahan perilaku yang hasilnya relatif permanen.
Daftar bacaan : 17 (1980 2001)

The Study of Implementation Behavior Based Safety using STOP Program at BP Indonesia Observed from the Input-Process-Output AspectsMost of the industrial accidents were caused by at risk behavior, According to the study carried out by Dupont reported that 96% of the total accidents were caused by at risk behavior.
Accident ratio study also reported that every serious or major injury was resulted from the accumulation of 10 minor injuries, while 10 minor injuries were resulted from the accumulation of 30 property damage accidents, and the 30 property damage accidents were resulted from the accumulation of 600 incidents with no visible injury or damage. The incidents with no visible injury or damage are categorized as near miss or at risk behavior. If we control the at risk behavior successfully, the major injury will not happen. (Frank E. Bird, Jr. & George L. Germain, Practical Loss Control Leadership, 1990:21).
We realize that all jobs whether it is potential to create accident or not, all are performed by human. The specific think on the human, which can create accident, is their behavior.
The Traditional Safety Management has successfully decreasing the rate of accident. However as some of the most common and severe accidents were eliminated, the results from the traditional methods began to plateau and company looked up for new ways to address the remaining accidents. This remaining accidents or residual accidents will be controlled through the behavior based safety approaches.
The intention of this study is to observe the relationship of Input-Process-Output aspects on applying the behavior based safety using STOP Program at BP Indonesia.
So the problems that arise on applying STOP Program can be identified for continual improvement.
This study is an evaluation study with qualitative approach, the primary data was obtained from the questioners and the secondary data was obtained from the HSE Department-BP Indonesia.
The result of this study is primarily on the quality of behavior observation. The study indicates that the number of observation was increasing but the number of accident was also increasing. Positive Interaction Skill training should be designed and delivered to all workforces so the process of interaction during observation could result in improved behavior modification, which is relatively permanent.
Bibliography: 17 (1980-2001)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12925
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alma Luspa
"Secara Nasional Penyakit TB paru sampai saat ini masih menjadi beban kerja yang berat, karena hampir 70% penderita TB paru adalah penduduk yang berusia produktif terutama mereka yang yang berasal dari ekonomi lemah, RS RK Charitas Kota Palembang merupakan salah satu jalan keluar (outlet) untuk peningkatan cakupan Program Penanggulangan Penyakit TB paru dengan strategi DOTS, sehingga dapat direplikasikan kepada RS swasta lainnya, haI ini terlihat tingginya angka sembuh dari hasil pelaksanaan pengobatan Penyakit TB paru dengan strategi DOTS.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi mendalam tentang proses efektifitas Penanggulangan Penyakit TB paru dengan strategi DOTS di RS RK Charitas Kota Palembang, dengan melihat dari pendekatan sistem, yang terdiri dari komponen masukan (input) terdiri dari tenaga pelaksana yang dilihat dari pengetahun, lama kerja, beban kerja dan sikap, serta dana, obat, sarana dan metoda. Komponen proses dilihat dari perencanaan, pelaksanaan dan monitoring. Penelitian ini dilakukan dengan metoda Kualitatif, di mana pengumpulan data dilakukan dengan melaksanakan wawancara mendalam (WM) dengan Direktur RS, Ketua tim Penanggulangan Penyakit TB paru serta Perawat kesehatan dan tenaga Farmasi yang bertugas di Poliklinik DOTS.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa proses Penanggulangan Penyakit TB paru dengan strategi DOTS di RS RK Charitas Palembang secara keseluruhan telah herhasil dengan baik, sesuai dengan Pedoman Nasional Penanggulangan Penyakit TB paru Departemen Kesehatan RI yaitu angka kesembuhan >85%, Drop out <10% dan angka kambuh 4,5%, Namun walau demikian masih terdapat kendala baik di komponen masukan (Input) maupun di pelaksanaan kegiatan. Untuk mereplikasikan keberhasilan Penanggulangan Penyakit TB paru dengan strategi DOTS ke RS swasta lainnya, maka perlu Political Komitmen dari Pimpinan RS, dan pemberian makanan tambahan, bebas biaya retribusi setiap kunjungan serta PMO dari kalangan keluarga sendiri. Dan pihak penanggung jawab Program Penanggulangan Penyakit TB paru yaitu Dinas Kesehatan Kota Palembang diharapkan untuk memberikan umpan balik dan saran dari hasil kerja RS RK Charitas serta benclunarking RS swasta Iainnya ke RS RK Charitas kota Palembang.

Tuberculosis disease currently is still a major problem, because almost 70% of lung tuberculosis sufferers are people in productive age, especially those from lower income. RK Charitas Hospital of Palembang City as one of outlets for improving the coverage of lung tuberculosis disease overcoming program by DOTS. It seems that this strategy can be applied to the other private hospitals, as it can be seen from the high of recovery rate of result implementation treatment of lung tuberculosis disease by DOTS strategy.
The objective of this study is to obtain further information on the process of the effectiveness overcoming of lung tuberculosis disease by DOTS strategy at RK Charitas Hospital of Palembang City. We used system approach that covers of input components that consist of knowledge, working duration, attitude and workload of staff, fund, medicine, means and method. The process component included was planning, implementation and monitoring. This study conducted using qualitative method, where data collected by in-depth interview to the director of the hospital, the chief of the team on lung tuberculosis disease overcoming, nurses, chemistry officer who work at DOTS polyclinic.
Based on the result of this study showed that the process of lung tuberculosis disease overcoming by DOTS strategy at RK Charitas hospital of Palembang. It wholly has been success with good result. And it met with the Lung Tuberculosis Disease Overcoming National Guidelines, MOH RI, i.e. recovery rate > 85%, drop-out < 10% and recurrence rate 4,5%, even though is still having obstacle in input component and the implementation activity. To reapply the success of lung tuberculosis disease overcoming by DOTS strategy to other private hospitals, so it needs Political Commitment of the Hospital's leader, and giving additional food, free from retribution each visiting also the PMO from nuclear family. For one who?s responsible to the program on lung tuberculosis overcoming, the Local Health Service of Palembang City, it is hoped to give a feedback and suggestion to the work achievement of RK Charitas Hospital also the benchmark from other private hospitals to RK Charitas Hospital of Palembang City.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2002
T4036
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>