Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ghafur Rasyid Arifin
"ABSTRACT
Latar Belakang: Defisiensi vitamin B12 belum diketahui secara jelas insidensi dan prevalensinya di seluruh dunia dan hanya terdapat penelitian di daerah-daerah tertentu. Terdapat indikasi defisiensi asam folat dan vitamin B12 menjadi masalah kesehatan masyarakat dalam beberapa negara. Dalam beberapa penelitian, ditemukan bahwa kadar vitamin B12 yang rendah berhubungan dengan terjadinya perlemakan hati. Kondisi perlemakan hati memiliki spektrum yang luas, dari perlemakan hati sederhana, steatohepatitis, fibrosis, hingga sirosis hati. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan gambaran histopatologi perlemakan hati pada tikus dengan diet restriksi vitamin B12 dalam durasi waktu tertentu. Metode: Penelitian dilakukan dengan 18 ekor tikus Sprague-Dawley yang terbagi dalam 3 kelompok: (1) kelompok kontrol dengan diet normal selama 16 minggu; (2) kelompok perlakuan dengan diet restriksi vitamin B12 selama 8 minggu; dan (3) kelompok perlakuan dengan diet restriksi vitamin B12 selama 16 minggu. Setelah masa perlakuan selesai, hewan coba didekapitasi dan diambil jaringan hati dan dilakukan pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin untuk diamati perlemakan hati yang terjadi.Hasil: Ditemukan steatosis mikrovesikular pada ketiga kelompok. Hanya sedikit ditemukan steatosis markovesikular, inflamasi lobular, dan pembengkakan hepatiosit pada kelompok perlakuan. Pemberian diet restriksi vitamin B12 menunjukkan perbedaan yang bermakna ketika dilihat melalui persentase pelemakan hati yang terjadi (p=0,001). Analisis post-hoc dilakukan dan didapatkan hasil yaitu terdapat perbedaan perlemakan hati yang bermakna pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok perlakuan 8 minggu dan pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok perlakuan 16 minggu. Kesimpulan: Diet restriksi vitamin B12 menunjukkan adanya perbedaan gambaran perlemakan hati yang bermakna yang terlihat pada gambaran histologi jaringan hati setelah perlakuan 8 dan 16 minggu.

ABSTRACT
Introduction: Vitamin B12 deficiencys incidence and prevalence throughout the world are still unknown  and studies only found in certain areas. There is an indication that folate and vitamin B12 deficiency will be global health problem in some countries. In some research, it was found that low level of serum vitamin B12 was associated with non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). NAFLD has a broad spectrum, from simple steatosis, steatohepatitis, fibrosis, until cirrhosis. Objective: This research aimed to investigate the histopathological changes of steatosis in rats induced with vitamin B12 restriction diet within observation period. Method: This experimental study was conducted with 18 Sprague-Dawley rats that were divided equally in 3 groups: (1) control group with normal diet for 16 weeks; (2) treatment group with vitamin B12 restriction diet for 8 weeks; and (3) treatment group with vitamin B12 restriction diet for 16 weeks. After observation period was finished, decapitation was performed to obtain rats liver tissue. Liver tissue then stained with Hematoxylin-Eosin to observe the steatosis percentage. Result: Microvesicular steatosis was observed in all groups. There were a little macrovesicular steatosis, lobular inflammation, and hepatic ballooning in treatment group. Steatosis percentage showed significant result when all groups were compared (p=0,001). Post-hoc analysis then performed; there was significant difference of steatosis percentage of control group compared with 8 weeks treatment group and control group compared with 16 weeks treatment group. Conclusion: Vitamin B12 restriction diet showed significant difference of steatosis showed in liver tissue after 8 and 16 weeks of treatment."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardya Gustada Hikmahrachim
"ABSTRAK
Hiperkolesterolemia adalah kondisi gangguan metabolik yang sering dijumpai pada masyarakat dunia. Karena berkaitan erat dengan insidensi dislipidemia dan penyakit kardiovaskular, berbagai peneliti telah mencoba untuk menemukan terapi farmakologi terbaik untuk menurunkan kadar kolesterol. Diantara beberapa obat pilihan utama adalah asam fibrat. Saat ini dikembangkan pengobatan dengan tanaman tradisional, salah satunya adalah Acalypha indica. Tanaman ini terbukti untuk penyembuhkan pneumonia, artritis, dan infeksi. Polifenol dan flavonoid yang terdapat dalam Acalypha indica diduga berperan penting dalam efek antihiperkolesterolemia yang dimilikinya. Diharapkan juga kandungan pada tanaman ini dapat menurunkan efek samping penggunaan obat konvensional. Uji preklinis ini bertujuan untuk mengetahui efek antihiperkolesterolemia dari ekstrak etanol akar Acalypha indica pada perlemakan hati, dibandingkan dengan terapi asam fibrat. Dua puluh dari dua puluh lima tikus Sprague-Dawley diinduki diit tinggi kolesterol-fruktosa selama empat minggu hingga mencapai kondisi tinggi kolesterol. Sampel dibagi menjadi lima grup berdasasrkan intervensinya, yakni kontrol positif, kontrol negatif, terapi gemfibrozil, terapi ekstrak Acalypha indica, dan terapi kombinasi gemfibrozil dan ekstrak Acalypha indica. Tikus kemudian diterminasi pada akhir periode intervensi. Hati tikus diambil dan diproses dengan blok parafin dan pewarnaan hematoksilin-eosin. Jaringan hati dinilai dengan kriteria Clinical Research Network Scoring untuk Steatohepatitis non alkoholik (NASH). Ekstrak Acalypha indica menurunkan deposisi lemak secara signifikan (p = 0,014), sama baiknya dengan terapi gemfibrozil (p = 0,003) dan terapi kombinasi (p = 0,003). Ekstrak etanol akar Acalypha indica merupakan agen antihiperkolesterolemia yang cukup menjanjikan untuk mengurangi deposisi lipid dan kejadian steatohepatitis non alkoholik pada jaringan hati tikus.

ABSTRACT
Hypercholesterolemia is a common metabolic disorder found worldwide. As it is highly associated with dyslipidemia and cardiovascular disease incidence, researchers have been trying to find the best pharmacological therapy to lower cholesterol level. Among the first line choices drugs are fibrate. Acalypha indica, known as ?Akar Kucing? in Indonesian language, is a traditional plant used as medicine in most Asia countries. Previously, it has been proved to help to cure pneumonia, arthritis, and infection. Polyphenol and flavonoid found in Acalypha indica are considered to play an important role in its antihypercholesterolemia effect. It is also expected to have lower side effect than conventional drugs. This preclinical trial was aimed to investigate antihypercholesterolemia effect of Acalypha indicaroot extract on fatty liver tissue, compared to fibrate treatment. Sixteen from twenty Sprague-Dawley rats were induced with high cholesterol-fructose diet for four weeks to reach fatty liver state. Samples were divided into four groups based on its intervention. Each group was processed with a four-week therapy with Acalypha indicaroot extract, gemfibrozil, combination of Acalypha indicaroot extract and gemfibrozil, and without any therapy, respectively. Rats were terminated at the end of intervention period. Liver were taken and processed with paraffin block and hematoxylin-eosin stain. Liver tissues were assessed using Clinical Research Network Scoring for Non Alcoholic Steatohepatitis (NASH). Result: Acalypha indicaroot extract significantly reduced lipid deposition in fatty liver tissue (p = 0,014), as good as fibrate therapy using gemfibrozil (p = 0,003) and fibrate-Acalypha indica therapy (p = 0,003). Acalypha indica root extract is promising for use as antihypercholesterolemia agent to reduce lipid deposition and Non Alcoholic Steatohepatitis incidence in fatty liver tissue.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Hazim
"Latar Belakang. Keluarga derajat pertama (first degree relatives/FDR) dari Diabetes Melitus tipe 2 (DMT2) memiliki kecenderungan untuk memiliki gangguan metabolik dan vaskular lebih dini tanpa melaui resistensi insulin (RI) sebagai perantaranya seperti lebih tebalnya tunika intima media karotis. Penyakit perlemakan hati non-alkoholik (non-alcoholic fatty liver disease/NAFLD) adalah penyakit hati kronik yang banyak ditemukan pada pasien DMT2 yang dependen terhadap RI. Studi tentang hubungan FDR DMT2 dengan NAFLD masih sangat terbatas dan inkonklusif. Hubungan tersebut masih belum jelas apakah kejadian NAFLD pada FDR DMT2 dependen terhadap RI atau karena kerentanan genetik FDR DMT2.
Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara FDR DMT2 dengan NAFLD.
Metode. Sebanyak 118 dewasa muda (19-39 tahun) dengan toleransi glukosa normal (59 subjek FDR DMT2 dan 59 subjek non-FDR dengan matching usia dan jenis kelamin) diikutsertakan dalam penelitian potong lintang ini. Pengukuran antropometri (tinggi, berat badan, indeks massa tubuh (IMT) dan lingkar perut) dan analisis laboratorium (glukosa darah puasa, HbA1c, profil lipid, serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT)), serum glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT)) diperiksa pada penelitian ini. Perlemakan hati didiagnosis dengan ultrasonografi (USG) menggunakan kriteria standar.
Hasil Penelitian. Dua puluh enam subjek (22,03%) dengan NAFLD terdeteksi dengan USG dalam penelitian ini dengan proporsi yang sama pada kedua kelompok. Pada kelompok FDR DMT2 didapatkan jumlah subjek dengan angka HDL rendah dan sindrom metabolik lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok tanpa FDR.
Kesimpulan. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara FDR DMT2 dengan NAFLD.

Background. First degree relatives (FDR) of type 2 diabetes mellitus (T2DM) predisposes individuals to have earlier metabolic and vascular disorders independent of insulin resistance (IR) such as thicker carotid intima media thickness than that of non-FDR. Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD) is the most commonly found chronic liver disease in T2DM which is IR dependent. Studies about NAFLD in FDR of T2DM populations are very limited and inconclusive. It is unclear whether the occurrence of NAFLD in FDR of T2DM is IR dependent or due to genetic vulnerability.
Aim. to determine the association between NAFLD and FDR of T2DM.
Method. A total of 118 young adults (19-39 years old) with normal glucose tolerance (59 FDR of T2DM and age-sex matched 59 non-FDR subjects) were included in this cross-sectional study. Anthropometric measurement (height, weight, BMI and waist circumference) and routine laboratory analysis (fasting blood glucose, HbA1c, lipid profile, alanine aminotransferase (ALT), aspartate transaminase (AST)) were examined. Fatty liver was diagnosed by ultrasonography (US) using standard criteria.
Result. Twenty-six (22,03%) subjects with NAFLD were detected by US with similar proportion for each group. Low HDL level and metabolic syndrome were found higher in FDR group.
Conclusion. we couldn`t prove the association between FDR of T2DM and NAFLD in this research.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Diandra Sari
"Obesitas merupakan masalah utama pada kesehatan masyarakat dunia yang diketahui juga sebagai salah satu faktor risiko penyakit perlemakan hati non alkoholik(NAFLD). Sistem penilaian untuk mendeteksi NAFLD telah dikembangkan dan divalidasi di Indonesia. Namun, pola makan orang obesitas yang mungkin memberikan pengaruh terhadap NAFLD masih belum diketahui. Penelitian ini mengevaluasi asupan sukrosa pada obesitas dewasa di Jakarta dan hubungannya dengan skor NAFLD. Ini adalah studi potong lintang berbasis komunitas di antara orang dewasa dengan indeks massa tubuh (BMI)>25 kg/m2 antara September dan Oktober 2018 di Jakarta, Indonesia. Asupan sukrosa dinilai menggunakan food recal l2x24 jam, dihitung berdasarkan tabel komposisi makanan Indonesia dan Amerika dengan menggunakan Nutrisurvey 2007.Skor NAFLD terdiri dari enam faktor risiko, yaitu BMI>25 kg/m2, jenis kelamin laki-laki, usia>35 tahun, trigliserida>150 mg/dL, kadar kolesterol lipoprotein kepadatan tinggi<40 mg/dL untuk pria atau <50 mg/dL untuk wanita, dan kadar alanin aminotrans feraseserum >35 U/L. Dari 102 subjek yang terdaftar, 75 orang(73,5%) adalah wanita. Median dari total skor NAFLD adalah 6,7 dengan rentang dari 3,6 hingga 10,2. Median asupan karbohidrat total adalah 179,6 (54,1-476,8) g/hari, dan median total asupan sukrosa adalah 47,0 (13,7-220,5) g/hari. Asupan sukrosa lebih tinggi signifikan pada responden dengan skor NAFLD >6,7 dibandingkan <6,7. (47,8 vs. 45,3 g; p=0,042; Mann-Whitney U test). Analisis multivariat mengonfirmasi adanya hubungan asupan sukrosa dan skor tinggi perlemakan hati non alkoholik.
Kesimpulan: Asupan sukrosa tidak memiliki hubungan bermakna dengan skor NAFLD pada penyandang obesitas dewasa, namun bermakna jika dikaitkan dengan skor tinggi perlemakan hati non alkoholik. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan variabel tambahan pada skor NAFLD.

Obesity is a major problem in a world public health which is also known as one of the risk factors of non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). An assessment system for detecting NAFLD has been developed and validated in Indonesia. However, the diet pattern of obese people who might have an effect on NALFD is still unknown. This study evaluated sucrose intake among obese adults in Jakarta and ints association with NAFLD score. This was a community-based cross sectional study among adults with body mass index (BMI) >25 kg/m2 between September and Oktober 2018 in Jakarta, Indonesia. Sucrose intake was assessed using 2x24-hour food recall, calculated based on the Indonesian and American food composition tables using dietary software Nutrisurvey. The NAFLD score consists of six risk factors, i.e. BMI >25 kg/m2, male sex, age >35 years, triglycerides >150 mg/dL, high density lipoprotein cholesterol levels <40 mg/dL for men or <50 mg/dL for women, and serum alanine aminotransferase levels >35 U/L. A total of 102 subjects were recruited; 75 (73.5%) of them were women. The median of total NAFLD scores was 6.7, ranging from 3.6 to 10.2. Median total carbohydrate intake was 179.6 (54.1-476.8) g/day, while the median total sucrose intake was 47.0 (13.7-220.5) g/day. Sucrose intake was significantly higher in patients with NAFLD score >6.7 than <6.7 (47.8 vs. 45.3 g; p=0.042; Mann-Whitney U test). Multivariate analysis confirmed the association of sucrose intake and higher total NAFLD score.
Conclusions: Sucrose intake and NAFLD score have no significant association among obese adults. Further research is needed to develop additional variables on NAFLD score.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57776
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library